"Hari ini, tadi sore, apa ada orang datang ke sini?" Nazwa bertanya dengan perasaan tak keruan. Sebenarnya dia juga takut mendengar jawabannya, tapi dia harus tahu yang sebenarnya. Semoga dia siap mendengar jawaban Bi Jum. "Ada, Bu ...." Dada Nazwa seketika berdesir. Ya Allah kuatkan hamba, batinnya. "S-siapa, Bi?" "Katanya dia temannya Bu Nazwa, namanya Nabila." Nazwa seketika melotot. Kondisi jantungnya sekarang sudah tidak bisa dijelaskan. Tapi dia harus mengorek informasi lebih pada Bi Jum. "Tadi sore tapi, Bu," timpal Bi Jum sebelum Nazwa kembali bertanya lagi. "Dia nanyain Ibu." "Nanyain saya?" Nazwa merasa janggal. "Iya, Bu. Tapi saya bilang Ibu ndak ada di rumah, lagi ke rumah sakit gitu. Habis itu dia pulang." "Dia cuman nanya begitu? Pas tahu saya nggak ada langsung pulang?" "Iya, Bu." "Waktu itu ada Pak Reza juga?" Bi Jum menggeleng. "Cuman ndak lama habis itu baru Pak Reza pulang." "Setelah itu malamnya dia datang lagi nggak?" "Sejak sore itu sampai sekaran
Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Nazwa merenungkan kejadian di rumahnya tadi. Dia sungguh merasa bersalah dan malu juga berdosa sudah bersu'udzan sama suaminya. Suaminya memang pernah berselingkuh, tapi harusnya dia percaya kalau suaminya bisa berubah dan tidak selingkuh lagi. Bisa-bisanya dia berpikiran buruk tentang suaminya. "Ya Allah ampuni hamba yang sudah bersu'udzan pada suami sendiri," gumamnya seiring dengan air mata mengalir di pipi. *** "Kamu kenapa, Za?" Pertanyaan Nabila menyadarkan Reza dari lamunannya. Membuat pria itu tersadar dan mengerjap-ngerjap menatap Nabila yang menyetir di sampingnya. "Kenapa?" Dia malah balik bertanya. Nabila tertawa melihat reaksi pria pujannya itu. "Kamu itu melamun kenapa? Aku nanya kok jadi balik nanya." "Hmm ... enggak ...." Pria itu malah menggeleng. Enggan bercerita. Walau sejujurnya memang banyak masalah yang dia pikirkan sejak tadi. Terutama tentang Nazwa. Dia sungguh dilema. "Kamu mikirin apa?" tanya Nabila lagi. Wani
Beberapa hari dirawat di rumah sakit. Kondisi Pak Rahman menunjukkan kemajuan. Hingga pihak rumah sakit mengizinkannya pulang. Nazwa pun senang hati dan amat bersyukur. Karena itu artinya kekhawatirannya akan bapaknya yang meninggal, tidak terjadi. Nazwa berterima kasih pada Allah yang sudah memberikan kesembuhan pada bapaknya. Bahkan setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit, Pak Rahman menunjukkan kesembuhan yang signifikan. Hingga Nazwa terlihat tenang-tenang saja. Namun, hari itu takdir berkata lain. Pagi itu Nazwa masuk ke kamar bapaknya sambil membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air putih. "Pak, udah waktunya makan obat. Sebelum makan obat Bapak makan bubur dulu, ya," ucap Nazwa sambil meletakkan nampan di atas nakas. Nazwa melihat bapaknya yang sedang tidur nyenyak. Tak tega juga rasanya jika dia harus membangunkan bapaknya. Pelan, Nazwa menggoyangkan lengan krisut bapaknya. "Pak, bangun dulu, yuk. Udah waktunya makan siang," ucapnya lembut. Namun, orang
Proses pemakaman Pak Rahman berjalan lancar dan penuh khidmat. Suasana itu terasa begitu memilukan sekaligus mencekam. Beberapa pelayat sudah pada bubar, meninggalkan Nazwa, Reza, keluarga, kerabat dan beberapa tetangga yang masih berbaik hati menenangkan Nazwa yang sedang berkabung. "Bu Nazwa yang sabar, ya," ucap salah satu tetangganya sambil merangkul bahunya. Nazwa masih setia berjongkok menatap nama di batu nisan itu. "Almarhum Pak Rahman pasti sudah tenang di sana. Semoga Bu Nazwa diberi kekuatan menghadapi cobaan ini dari Allah." Nazwa melirik sekilas. "Terima kasih, Bu," balasnya. Tak urung air mata itu keluar juga seberapa kuat pun dia menahan diri agar tidak menangis. Nazwa masih tak percaya orang tuanya satu-satunya kini pergi meninggalkannya. Memang benar tidak ada yang bisa menentang kehendak Allah. "Kalau begitu saya permisi duluan, Bu." Ibu itu izin pamit undur diri. Nazwa mengangguk-angguk. "Silakan. Makasih sudah berbela sungkawa." "Bapak. Nazwa masih pengin di s
Nazwa mendongak menatapnya. "Mas Reza?" Reza tak memedulikan Nazwa dan justru berpaling ke Hanif. "Bisa tinggalkan istri saya?" Hanif yang mengerti langsung mengangguk. Namun, sebelum pergi, dia berpesan ke Nazwa. "Nazwa aku pulang dulu, ya. Hati-hati, jaga diri baik-baik," ucapnya sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan makam itu. Nazwa lantas berdiri, menatap kepergian Hanif dengan heran. 'Kenapa Hanif berpesan seperti itu?' "Ngapain liatin dia begitu?" tegur Reza yang terlihat tak suka. Nazwa spontan menatap Reza. "A-aku cuman heran aja, Mas." Lagi Nazwa menatap tempat Hanif berlalu. "Heran kenapa?" Reza bingung. Nazwa terdiam kemudian wanita itu menggeleng. "Ya udah ayok kita pulang." Reza lalu menarik tangan istrinya, memimpinnya. Sebelum benar-benar pergi, Nazwa sempat memperhatikan nisan bapaknya. Berat sekali rasanya meninggalkan makam ini. Meninggalkan makam serasa meninggalkan bapaknya sendiri. Rasanya Nazwa belum siap berpisah dari bapaknya, sekalipun itu hanya ma
Adalah Muhammad Hanif Al-Qorni keponakan dari Bibi Nur Salimah. Sejak kecil Hanif yatim piatu, tinggal bersama bibi dan pamannya. Di sekolahkan hingga dewasa oleh paman dan bibinya. Sebagai bentuk bakti kepada bibinya yang sudah berbaik hati membesarkan dan menyekolahkan dirinya, setelah bekerja Hanif memutuskan tinggal bersama mereka, sekaligus menanggung penghidupan mereka--bibi dan anak-anaknya. Apalagi sekarang bibinya sudah menjadi single parent sejak suaminya meninggal karena sakit jantung. Hanif berkecimpung di dunia kepenulisan sejak SMA. Dulu dia senang menulis artikel. Dia juga belajar menulis berita. Awalnya tulisan-tulisannya itu hanya dia simpan di laptop. Setiap kali habis menulis di simpan dalam laptop. Ketika kuliah, Hanif aktif di berbagai organisasi kampus. Seperti organisasi keagamaan. Dia juga aktif di organisasi lain, salah satunya organisasi literasi, organisasi yang menanungi mahasiswa yang gemar membaca dan menulis. Dari sanalah Hanif belajar banyak tentang i
Hari ke empat pasca kepergian bapaknya, Nazwa memutuskan ikut bibinya pulang kampung, sekaligus mengunjungi pusara ibunya di sana. Beruntungnya, Reza mengizinkan tanpa keberatan. Dia hanya mengantar istrinya dan bibi istrinya itu sampai di stasiun kereta. Sebelum istrinya naik kereta, Reza sekali lagi mencium keningnya. "Hati-hati, ya, Sayang. Pulangnya jangan lama-lama, nanti aku kangen," godanya. Nazwa tersenyum simpul. "Insya Allah, aku tiga malam aja di rumah Bi Ifah," jawab Nazwa. "Kalau pulang nanti jangan lupa kabari aku dulu, ya, biar aku jemput," beritahu Reza lagi. "Aku bisa kok Mas pulang sendiri nggak perlu dijemput-jemput segala. Nanti kamu repot." "Nggak pa-pa. Pokoknya biar aku yang jemput nanti, ya." Reza kekeh. Nazwa memaksakan tawa di tengah suasana hatinya yang masih berkabung. Dia sadar, dia tak boleh terlalu larut dalam sedih. "Oke deh, Mas. Aku naik kereta dulu, ya. Kasihan tuh Bi Ifah lama nungguin." Nazwa menoleh ke arah bibinya berdiri sekilas. Tampaknya
From Nabila: Aku udah sampai di depan nih. Reza terkejut membaca pesan itu. Dia bangun dari pembaringannya di atas sofa. "Nabila kok ke mari?" Tak kuasa lama-lama berpikir, Reza pun bergegas berdiri dan membukakan pintu. Begitu pintu di buka, dilihatnya Nabila sudah berdiri di depan tangga. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Reza dengan raut wajah panik. "Kamu liat aku kayak liat setan, Za." Nabila kesal dengan penyambutan Reza yang tak sesuai dengan ekspektasinya. "Bukannya di suruh masuk, malah di tanya kenapa ke sini. Kamu nggak senang aku ke sini?" "Rencananya kita kan tadi ke hotel aja. Dan aku yang jemput kamu, ngapain kamu ke sini?" "Itu kan cuman rencana. Kadang sesuatu terjadi nggak sesuai dengan yang udah kita rencanakan kan? Setelah aku pikir-pikir sebaiknya kita di rumah kamu aja, lagian katanya pembantumu lagi pulang kampung kan? Jadi nggak masalah dong aku ke sini." Setelah menjelaskan panjang lebar, Nabila berlenggang masuk ke rumah Reza yang pintunya terbuka. Reza memp