Proses pemakaman Pak Rahman berjalan lancar dan penuh khidmat. Suasana itu terasa begitu memilukan sekaligus mencekam. Beberapa pelayat sudah pada bubar, meninggalkan Nazwa, Reza, keluarga, kerabat dan beberapa tetangga yang masih berbaik hati menenangkan Nazwa yang sedang berkabung. "Bu Nazwa yang sabar, ya," ucap salah satu tetangganya sambil merangkul bahunya. Nazwa masih setia berjongkok menatap nama di batu nisan itu. "Almarhum Pak Rahman pasti sudah tenang di sana. Semoga Bu Nazwa diberi kekuatan menghadapi cobaan ini dari Allah." Nazwa melirik sekilas. "Terima kasih, Bu," balasnya. Tak urung air mata itu keluar juga seberapa kuat pun dia menahan diri agar tidak menangis. Nazwa masih tak percaya orang tuanya satu-satunya kini pergi meninggalkannya. Memang benar tidak ada yang bisa menentang kehendak Allah. "Kalau begitu saya permisi duluan, Bu." Ibu itu izin pamit undur diri. Nazwa mengangguk-angguk. "Silakan. Makasih sudah berbela sungkawa." "Bapak. Nazwa masih pengin di s
Nazwa mendongak menatapnya. "Mas Reza?" Reza tak memedulikan Nazwa dan justru berpaling ke Hanif. "Bisa tinggalkan istri saya?" Hanif yang mengerti langsung mengangguk. Namun, sebelum pergi, dia berpesan ke Nazwa. "Nazwa aku pulang dulu, ya. Hati-hati, jaga diri baik-baik," ucapnya sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan makam itu. Nazwa lantas berdiri, menatap kepergian Hanif dengan heran. 'Kenapa Hanif berpesan seperti itu?' "Ngapain liatin dia begitu?" tegur Reza yang terlihat tak suka. Nazwa spontan menatap Reza. "A-aku cuman heran aja, Mas." Lagi Nazwa menatap tempat Hanif berlalu. "Heran kenapa?" Reza bingung. Nazwa terdiam kemudian wanita itu menggeleng. "Ya udah ayok kita pulang." Reza lalu menarik tangan istrinya, memimpinnya. Sebelum benar-benar pergi, Nazwa sempat memperhatikan nisan bapaknya. Berat sekali rasanya meninggalkan makam ini. Meninggalkan makam serasa meninggalkan bapaknya sendiri. Rasanya Nazwa belum siap berpisah dari bapaknya, sekalipun itu hanya ma
Adalah Muhammad Hanif Al-Qorni keponakan dari Bibi Nur Salimah. Sejak kecil Hanif yatim piatu, tinggal bersama bibi dan pamannya. Di sekolahkan hingga dewasa oleh paman dan bibinya. Sebagai bentuk bakti kepada bibinya yang sudah berbaik hati membesarkan dan menyekolahkan dirinya, setelah bekerja Hanif memutuskan tinggal bersama mereka, sekaligus menanggung penghidupan mereka--bibi dan anak-anaknya. Apalagi sekarang bibinya sudah menjadi single parent sejak suaminya meninggal karena sakit jantung. Hanif berkecimpung di dunia kepenulisan sejak SMA. Dulu dia senang menulis artikel. Dia juga belajar menulis berita. Awalnya tulisan-tulisannya itu hanya dia simpan di laptop. Setiap kali habis menulis di simpan dalam laptop. Ketika kuliah, Hanif aktif di berbagai organisasi kampus. Seperti organisasi keagamaan. Dia juga aktif di organisasi lain, salah satunya organisasi literasi, organisasi yang menanungi mahasiswa yang gemar membaca dan menulis. Dari sanalah Hanif belajar banyak tentang i
Hari ke empat pasca kepergian bapaknya, Nazwa memutuskan ikut bibinya pulang kampung, sekaligus mengunjungi pusara ibunya di sana. Beruntungnya, Reza mengizinkan tanpa keberatan. Dia hanya mengantar istrinya dan bibi istrinya itu sampai di stasiun kereta. Sebelum istrinya naik kereta, Reza sekali lagi mencium keningnya. "Hati-hati, ya, Sayang. Pulangnya jangan lama-lama, nanti aku kangen," godanya. Nazwa tersenyum simpul. "Insya Allah, aku tiga malam aja di rumah Bi Ifah," jawab Nazwa. "Kalau pulang nanti jangan lupa kabari aku dulu, ya, biar aku jemput," beritahu Reza lagi. "Aku bisa kok Mas pulang sendiri nggak perlu dijemput-jemput segala. Nanti kamu repot." "Nggak pa-pa. Pokoknya biar aku yang jemput nanti, ya." Reza kekeh. Nazwa memaksakan tawa di tengah suasana hatinya yang masih berkabung. Dia sadar, dia tak boleh terlalu larut dalam sedih. "Oke deh, Mas. Aku naik kereta dulu, ya. Kasihan tuh Bi Ifah lama nungguin." Nazwa menoleh ke arah bibinya berdiri sekilas. Tampaknya
From Nabila: Aku udah sampai di depan nih. Reza terkejut membaca pesan itu. Dia bangun dari pembaringannya di atas sofa. "Nabila kok ke mari?" Tak kuasa lama-lama berpikir, Reza pun bergegas berdiri dan membukakan pintu. Begitu pintu di buka, dilihatnya Nabila sudah berdiri di depan tangga. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Reza dengan raut wajah panik. "Kamu liat aku kayak liat setan, Za." Nabila kesal dengan penyambutan Reza yang tak sesuai dengan ekspektasinya. "Bukannya di suruh masuk, malah di tanya kenapa ke sini. Kamu nggak senang aku ke sini?" "Rencananya kita kan tadi ke hotel aja. Dan aku yang jemput kamu, ngapain kamu ke sini?" "Itu kan cuman rencana. Kadang sesuatu terjadi nggak sesuai dengan yang udah kita rencanakan kan? Setelah aku pikir-pikir sebaiknya kita di rumah kamu aja, lagian katanya pembantumu lagi pulang kampung kan? Jadi nggak masalah dong aku ke sini." Setelah menjelaskan panjang lebar, Nabila berlenggang masuk ke rumah Reza yang pintunya terbuka. Reza memp
Waktu pertama kali membuka mata, yang Reza lihat adalah plafon kamarnya yang putih. Saat itu kesadarannya belum kembali penuh hingga dia belum menyadari apa yang terjadi, sampai sebuah suara menyadarkannya. "Selamat pagi, Sayang ... kamu udah bangun?" Dia menoleh ke sumber suara dan melihat Nabila mendekatinya sambil membawa sepiring sandwich serta segelas susu. Gadis itu mengenakan lingeri ketat berwarna hitam. "Kenapa? Kok kaget gitu liat aku?" Reza lalu melihat keadaan sekitarnya. Sadarlah dia bahwa dirinya kini berada di atas tempat tidur bahkan tanpa mengenakan baju. "Ki-kita habis ngapain, Bil?" Reza menatap Nabila waswas seolah Nabila adalah monster yang hendak memakannya. Nabila yang sudah meletakkan makanan di atas nakas tersenyum tenang. Dia duduk di samping Reza. "Apa perlu aku jelasin kita ngapain aja tadi malam?" Reza berkernyit, dia berusaha mengingat apa yang terakhir kali dia lakukan. Yang dia ingat terakhir kali adalah dia meminum air jeruk buatan Nabila. Lalu
"Apa aja yang udah kalian lakukan?!" Nazwa bertanya dengan penuh tekanan dan air mata kala menatap dua orang di hadapannya kini yang tak lain adalah Reza dan Nabila.Setelah berperang dengan pikirannya, Reza akhirnya membukakan Nazwa pintu melalui pintu depan, dan tentu saat itu dia dan Nabila sudah memasang baju yang pantas. Walau mereka sudah kedapatan dan tak dapat mengelak lagi.Reza langsung bertanya kenapa Nazwa tak memberitahunya dulu sebelum pulang agar bisa dia jemput. Namun, Nazwa yang waktu itu emosinya sudah di ubun-ubun langsung masuk ke dalam rumah dan mencecar mereka dengan pertanyaan yang menghinakan mereka."Jawab jujur aja karena aku udah dengar semua percakapan kalian," ucap Nazwa lagi kala melihat wajah suaminya begitu tegang dan ragu-ragu ingin menjawab.Kepulangan Nazwa memang tiba-tiba. Itu dikarenakan Bi Ifah tiba-tiba harus kembali ke Jakarta karena mendapat kabar cucunya--anak dari putra pertamanya yang tinggal di Jakarta--
Ya, pengendara bermotor itu adalah Hanif. Hanif memperhatikan Nazwa yang dalam keadaan membawa tas besar sambil menangis."Kamu mau ke mana, Nazwa? Mau aku antar?"Ditanya demikian, Nazwa tercenung. Banyak hal yang tiba-tiba menggangu pikirannya. Jujur, dia butuh pertolongan, tapi apa dia harus menceritakan semua masalahnya pada Hanif? Apa itu pantas? Dan sebenarnya bagaimana Hanif juga bisa ada di sini? Apa itu hanya kebetulan?"Kamu kenapa, Nazwa? Ada masalah?" tanya Hanif lagi.Hanif pun mulai khawatir dengan keadaan wanita itu yang keliatannya memang tidak baik-baik saja. Apalagi mengingat isu perselingkuhan suaminya, Nazwa pasti memang sedang dalam masalah besar. Rumah tangganya memang tidak baik-baik saja.Nazwa lalu mengangguk kencang. "A-aku butuh pertolonganmu, Hanif." Akhirnya kalimat itu keluar juga. "Sekarang aku mau menyembunyikan diri dulu, tolong bawa aku menjauh dari tempat ini.""Menyembunyikan diri dari siapa?"