Nazwa lalu berdiri, menatap suaminya lekat-lekat. "Kamu mencurigakan, Mas. Aku tahu kok kamu sempat pergi ke mana?" Wajah Reza makin terlihat tegang. "Sayang aku ...." Nazwa serta-merta tertawa terbahak-bahak di depan Reza membuat Reza terkejut heran. "Kamu kenapa jadi ketawa?" "Kamu lucu banget mukanya." Sambil tertawa, Nazwa memegangi perutnya yang tersengal karena ketawa. "Aku kenapa? Kamu nertawain aku?" Reza makin heran. Jantungnya sudah berdetak dua kali lebih cepat sejak tadi. "Enggak, kok, Mas. Yang tadi itu cuman bercanda. Aku percaya kok kamu cuman kerja," jelas Nazwa akhirnya serius. Rupanya Nazwa hanya bercanda. Padahal tadi pikirannya sudah ke mana-mana. Dia takut kalau Nazwa beneran tahu dia sempat mengantar Nabila pulang. Reza menghela napas lega. "Ada-ada aja kamu. Kirain apaan?" "Maaf, ya, Mas, aku nge-prank kamu." Nazwa masih tersenyum-senyum. Tak dia sangka aksinya itu berhasil membuat suaminya terlihat takut. Tapi sebenarnya dia juga bingung kenapa Reza terl
Hari-hari terus berlalu. Rutinitas kembali seperti semula. Reza fokus dengan pekerjaannya di rumah sakit. Sedangkan Nazwa pun mulai kembali mengisi kajian. Karena kondisi rumah tangga mereka saat ini dirasa cukup baik, Nazwa merasa inilah waktu yang tepat untuknya kembali melanjutkan aktivitas. Kondisi Pak Rahman pun sudah boleh ditinggal, ditemani Bi Jum--sang asisten rumah tangga di rumah. Dalam pengajian kali ini Nazwa membawa materi tentang ilmu pernikahan. Tentang bagaimana upaya kita dalam menjalani rumah tangga agar tak mudah dihasut setan hingga tercerai-berai. Karena setiap pernikahan pasti ada ujiannya masing-masing. Lalu materi ceramah itu ditutup dengan pembacaan ayat Al-Qur'an bersama. Surah yang dibawakan adalah surah Al-Kahfi. Selesai pembacaan ayat Al-Qur'an, para ibu bersalam-salaman sebelum pulang. "Denger-denger, katanya, suaminya Bu Nazwa itu selingkuh, ya." Sebelum benar-benar pulang, para ibu pengajian masih sempat bergosip ria sambil berdiri di teras masjid.Y
"Aku tuh nggak bisa lepasin kamu, Bil. Serius. Nggak tahu kenapa?" Nabila hanya tersenyum simpul mendengarnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nabila selalu pulang bersama Reza setiap habis kerja. Awalnya Reza menolak ketika Nabila minta diantar pulang, tapi Nabila selalu berhasil membujuk pria itu. Nabila ingat bagaimana percakapannya tadi. "Aku cuman minta pulang bareng lho, Za. Nggak yang aneh-aneh. Nurutin kemauan aku untuk hal yang sepele gitu kok ribet banget, sih?" "Kamu ngertiin aku, dong, Bil." "Aku selalu dituntut buat ngertiin kamu, tapi kamu nggak pernah mau ngertiin aku." "Kamu jangan kekanakkan gini, lah, Bil." "Kekanakkan? Udahlah, Za, aku capek. Kalau kamu begini terus mending kita udahan aja." "Nggak bisa seenaknya gitu, dong, Bil." "Ya, terus kamu maunya apa? Selama ini kamu udah nggak peduli sama aku, kurang perhatian sama aku. Mending kita putus aja." "Bil." Reza langsung menahan pergelangan tangan Nabila ketika gadis itu hendak pergi. "Apa?" "Oke, a
"Assalamu'alaikum. Hai, Sayang." Reza memasuki ruang tengah dan mendapati sang istri sedang menghadap laptop. Melihat itu, Reza tahu istrinya itu pasti sedang menulis. Nazwa spontan menoleh. "Wa'alaikumussalam, Mas." Dia pun tersenyum dan berdiri menyambut suaminya. Ketika jarak mereka telah sangat dekat, Reza memeluk pinggang ramping Nazwa dan mencium keningnya. "Tumben pulangnya agak telat dari biasanya," tegur Nazwa kemudian. "Iya, tadi di jalan ada macet sedikit, makanya agak telat," jawab Reza yang lantas melepas dasinya. "Oh, kirain ada masalah pekerjaan. Sini aku bantu." Nazwa membantu melepas ikatan dasi di kerah kemeja suaminya membuat mereka berdiri berhadap-hadapan. "Kamu lagi apa?" tanya Reza melirik laptop yang terletak di atas meja lalu menatap wajah istrinya. "Lagi nulis." Nazwa tersenyum. "Nulis ... cerita yang kemarin ...." Reza menatap Nazwa penuh selidik. Nazwa membalas tatapan suaminya. "Bukan. Cuma nulis quotes, kok." Reza hanya mengangguk-angguk, tapi di
"I-itu ... Ba-Bapak." Bi Jum malah tergugup. "Sakit jantungnya Bapak kumat." "Apa?!" Nazwa melotot. Spontan saja dia dan suami bergegas menuju kamar Pak Rahman. Begitu Nazwa membuka pintu, dilihatnya bapaknya yang tengah mengenakan pakaian koko sambil memegang Al- Qur'an terduduk di lantai. Orang tua itu terlihat kesakitan. Tangan sebelahnya mencengkram dada kirinya. "Bapak!" Nazwa menghampiri sang Bapak dengan linangan air mata. "Dada Bapak sakit," lirih orang tua itu seiring dengan dadanya yang terasa nyeri luar biasa seolah dadanya ditimpa batu besar. Nazwa mendongak menatap Reza yang berdiri. "Mas, tolongin Bapak. Bawa ke rumah sakit!" "Iya, Nazwa." *** Pak Rahman dibawa ke rumah sakit Medika Permata Hijau tempat di mana Reza bekerja. Pak Rahman langsung di bawa ke IGD terlebih dulu untuk di periksa. Selagi Pak Rahman di periksa, Nazwa dan Reza menunggu di depan ruang tersebut. Sejak tadi Reza menenangkan istrinya yang menangis. Nazwa jadi makin kepikiran dengan ucapan bapa
"Kamu kok di sini?" Reza malah balik bertanya setelah dia berhasil menetralkan wajahnya. "Bukannya tunggu di sana. Takutnya ada dokter atau suster yang mau ngomong gimana?" Reza mengalihkan perhatian istrinya. "Aku tadi cek hp bentar, ini juga baru mau ke toilet," alibinya. Nazwa masih menatap suaminya curiga sebelum akhirnya menurut. "Ya udah kalau gitu. Aku balik dulu." Sepeninggal Nazwa, Reza menghela napas lega sambil mengurut keningnya. "Rumit ... rumit." *** Berdasarkan laporan dokter yang menanganinya, Pak Rahman harus diopname di rumah sakit karena keadaan jantungnya yang belum stabil. Hingga beliau butuh penanganan lebih. Dan itu membuat Nazwa juga harus menginap di rumah sakit, menemani bapaknya seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu Reza berinisiatif menawarkan diri pulang ke rumah untuk mengambil pakaian Nazwa. Namun, sesampainya di rumah, Reza terkejut dengan keberadaan Nabila yang tiba-tiba. Gadis itu berdiri di terasnya, tersenyum menyambutnya. "Hai, Za." Reza me
Nazwa duduk termenung di depan ruang rawat inap bapaknya. Menunggu kedatangan suaminya sejak tadi. Dia tak mau menunggu di dalam. Bapaknya pun sedang tidur. Dia tak ada kawan bicara. Berkali-kali juga dia melirik jarum jam di tangan yang menunjukkan pukul setengah tujuh. "Nazwa, ya?" Tiba-tiba saja ada orang yang menegurnya. Spontan Nazwa mendongak menatap sosok yang menegurnya itu. Dia pun membelalak melihat sosok yang amat familier itu. "Hanif?" Sosok yang dipanggil Hanif tersenyum. "Siapa sakit?" tanyanya kemudian. Dia pun tak menyangka bertemu Nazwa lagi di sini. "Bapakku, Nif." Nazwa lantas berdiri. "Kamu ke sini ngapain?" "Aku jenguk Bibiku yang juga dirawat inap di sini." "Oh." Nazwa mengangguk. "Boleh aku jenguk bapakmu?" Hanif menawarkan diri. "Silakan. Mau jenguk sekarang?" Sejak suaminya pernah bertemu Hanif dulu dan menyaksikan suaminya tidak cemburu, Nazwa sudah tidak takut-takut lagi berhubungan dengan Hanif. "Bentar. Aku bayar administrasi dulu," jawab Hanif
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Nazwa akhirnya menelepon Reza untuk menuntaskan rasa penasarannya. "Mas, kok kamu nitipin barang lewat kurir? Kamu nggak jadi ke sini?" tanyanya to the point. Sementara Hanif hanya mendengarkan. "Maaf, Sayang. Aku nggak bisa lagi ngantarin itu ke rumah sakit. Soalnya tadi pas dijalan, mobilku kempes. Dan ada banyak masalah lain lah. Jadi aku nggak bisa nemenin kamu ke rumah sakit, ya, Sayang. Aku malam ini di rumah aja. Maaf, ya. Nggak pa-pa kan?" Suara Reza terdengar dari speaker handphone. Kalau biasanya Nazwa selalu kasihan tiap mendengar Reza mendapat masalah dan dia tidak pernah keberatan akan hal itu, tapi kali ini entah kenapa dia justru merasa ada yang janggal. "Sayang, kok, diam?" Reza bertanya membuyarkan lamunan Nazwa. "Iya, Mas," sahut Nazwa akhirnya. "Iya, kenapa?" "Nggak pa-pa, Mas." "Sekali lagi aku minta maaf, ya." Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin Nazwa tanyakan, seperti ada masalah apa? Apakah suaminya sibuk? Tapi dia m
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke