Nazwa duduk termenung di depan ruang rawat inap bapaknya. Menunggu kedatangan suaminya sejak tadi. Dia tak mau menunggu di dalam. Bapaknya pun sedang tidur. Dia tak ada kawan bicara. Berkali-kali juga dia melirik jarum jam di tangan yang menunjukkan pukul setengah tujuh. "Nazwa, ya?" Tiba-tiba saja ada orang yang menegurnya. Spontan Nazwa mendongak menatap sosok yang menegurnya itu. Dia pun membelalak melihat sosok yang amat familier itu. "Hanif?" Sosok yang dipanggil Hanif tersenyum. "Siapa sakit?" tanyanya kemudian. Dia pun tak menyangka bertemu Nazwa lagi di sini. "Bapakku, Nif." Nazwa lantas berdiri. "Kamu ke sini ngapain?" "Aku jenguk Bibiku yang juga dirawat inap di sini." "Oh." Nazwa mengangguk. "Boleh aku jenguk bapakmu?" Hanif menawarkan diri. "Silakan. Mau jenguk sekarang?" Sejak suaminya pernah bertemu Hanif dulu dan menyaksikan suaminya tidak cemburu, Nazwa sudah tidak takut-takut lagi berhubungan dengan Hanif. "Bentar. Aku bayar administrasi dulu," jawab Hanif
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas." Nazwa akhirnya menelepon Reza untuk menuntaskan rasa penasarannya. "Mas, kok kamu nitipin barang lewat kurir? Kamu nggak jadi ke sini?" tanyanya to the point. Sementara Hanif hanya mendengarkan. "Maaf, Sayang. Aku nggak bisa lagi ngantarin itu ke rumah sakit. Soalnya tadi pas dijalan, mobilku kempes. Dan ada banyak masalah lain lah. Jadi aku nggak bisa nemenin kamu ke rumah sakit, ya, Sayang. Aku malam ini di rumah aja. Maaf, ya. Nggak pa-pa kan?" Suara Reza terdengar dari speaker handphone. Kalau biasanya Nazwa selalu kasihan tiap mendengar Reza mendapat masalah dan dia tidak pernah keberatan akan hal itu, tapi kali ini entah kenapa dia justru merasa ada yang janggal. "Sayang, kok, diam?" Reza bertanya membuyarkan lamunan Nazwa. "Iya, Mas," sahut Nazwa akhirnya. "Iya, kenapa?" "Nggak pa-pa, Mas." "Sekali lagi aku minta maaf, ya." Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin Nazwa tanyakan, seperti ada masalah apa? Apakah suaminya sibuk? Tapi dia m
Taksi online Nazwa berhenti tepat di depan rumahnya. Dia meminta si supir menunggu sebelum akhirnya dia turun dari sana. Nazwa memasuki halaman rumah pelan-pelan. Dari kejauhan rumah itu tampak benderang namun terasa sepi. Dia berjalan mengendap-ngendap menuju teras. Sesampainya di teras, Nazwa tidak langsung mengetuk pintu. Dia mengotak-atik ponselnya, menghubungi Bi Jum lewat ponsel untuk membukakannya pintu. Dan meminta Bi Jum agar tidak memberitahu kedatangannya pada suaminya. Setelah mengirim pesan tersebut, Nazwa memasukkan ponsel kembali dalam tas. Tak lama terdengar pintu di buka. Nazwa berbalik badan. Dia lega melihat kemunculan Bi Jum. "Bi, suamiku ada?" bisiknya. Bi Jum mengangguk. "Ada di kamar, silakan masuk, Bu," bisik Bi Jum. Nazwa pun masuk ke dalam setelah Bi Jum menutup pintu. Nazwa langsung berjalan menuju kamarnya, sesekali dia melirik ruangan-ruangan yang dilewatinya. Barangkali ada orang yang bersembunyi. Ketika telah sampai di depan pintu kamar, Nazwa mencob
"Hari ini, tadi sore, apa ada orang datang ke sini?" Nazwa bertanya dengan perasaan tak keruan. Sebenarnya dia juga takut mendengar jawabannya, tapi dia harus tahu yang sebenarnya. Semoga dia siap mendengar jawaban Bi Jum. "Ada, Bu ...." Dada Nazwa seketika berdesir. Ya Allah kuatkan hamba, batinnya. "S-siapa, Bi?" "Katanya dia temannya Bu Nazwa, namanya Nabila." Nazwa seketika melotot. Kondisi jantungnya sekarang sudah tidak bisa dijelaskan. Tapi dia harus mengorek informasi lebih pada Bi Jum. "Tadi sore tapi, Bu," timpal Bi Jum sebelum Nazwa kembali bertanya lagi. "Dia nanyain Ibu." "Nanyain saya?" Nazwa merasa janggal. "Iya, Bu. Tapi saya bilang Ibu ndak ada di rumah, lagi ke rumah sakit gitu. Habis itu dia pulang." "Dia cuman nanya begitu? Pas tahu saya nggak ada langsung pulang?" "Iya, Bu." "Waktu itu ada Pak Reza juga?" Bi Jum menggeleng. "Cuman ndak lama habis itu baru Pak Reza pulang." "Setelah itu malamnya dia datang lagi nggak?" "Sejak sore itu sampai sekaran
Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Nazwa merenungkan kejadian di rumahnya tadi. Dia sungguh merasa bersalah dan malu juga berdosa sudah bersu'udzan sama suaminya. Suaminya memang pernah berselingkuh, tapi harusnya dia percaya kalau suaminya bisa berubah dan tidak selingkuh lagi. Bisa-bisanya dia berpikiran buruk tentang suaminya. "Ya Allah ampuni hamba yang sudah bersu'udzan pada suami sendiri," gumamnya seiring dengan air mata mengalir di pipi. *** "Kamu kenapa, Za?" Pertanyaan Nabila menyadarkan Reza dari lamunannya. Membuat pria itu tersadar dan mengerjap-ngerjap menatap Nabila yang menyetir di sampingnya. "Kenapa?" Dia malah balik bertanya. Nabila tertawa melihat reaksi pria pujannya itu. "Kamu itu melamun kenapa? Aku nanya kok jadi balik nanya." "Hmm ... enggak ...." Pria itu malah menggeleng. Enggan bercerita. Walau sejujurnya memang banyak masalah yang dia pikirkan sejak tadi. Terutama tentang Nazwa. Dia sungguh dilema. "Kamu mikirin apa?" tanya Nabila lagi. Wani
Beberapa hari dirawat di rumah sakit. Kondisi Pak Rahman menunjukkan kemajuan. Hingga pihak rumah sakit mengizinkannya pulang. Nazwa pun senang hati dan amat bersyukur. Karena itu artinya kekhawatirannya akan bapaknya yang meninggal, tidak terjadi. Nazwa berterima kasih pada Allah yang sudah memberikan kesembuhan pada bapaknya. Bahkan setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit, Pak Rahman menunjukkan kesembuhan yang signifikan. Hingga Nazwa terlihat tenang-tenang saja. Namun, hari itu takdir berkata lain. Pagi itu Nazwa masuk ke kamar bapaknya sambil membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air putih. "Pak, udah waktunya makan obat. Sebelum makan obat Bapak makan bubur dulu, ya," ucap Nazwa sambil meletakkan nampan di atas nakas. Nazwa melihat bapaknya yang sedang tidur nyenyak. Tak tega juga rasanya jika dia harus membangunkan bapaknya. Pelan, Nazwa menggoyangkan lengan krisut bapaknya. "Pak, bangun dulu, yuk. Udah waktunya makan siang," ucapnya lembut. Namun, orang
Proses pemakaman Pak Rahman berjalan lancar dan penuh khidmat. Suasana itu terasa begitu memilukan sekaligus mencekam. Beberapa pelayat sudah pada bubar, meninggalkan Nazwa, Reza, keluarga, kerabat dan beberapa tetangga yang masih berbaik hati menenangkan Nazwa yang sedang berkabung. "Bu Nazwa yang sabar, ya," ucap salah satu tetangganya sambil merangkul bahunya. Nazwa masih setia berjongkok menatap nama di batu nisan itu. "Almarhum Pak Rahman pasti sudah tenang di sana. Semoga Bu Nazwa diberi kekuatan menghadapi cobaan ini dari Allah." Nazwa melirik sekilas. "Terima kasih, Bu," balasnya. Tak urung air mata itu keluar juga seberapa kuat pun dia menahan diri agar tidak menangis. Nazwa masih tak percaya orang tuanya satu-satunya kini pergi meninggalkannya. Memang benar tidak ada yang bisa menentang kehendak Allah. "Kalau begitu saya permisi duluan, Bu." Ibu itu izin pamit undur diri. Nazwa mengangguk-angguk. "Silakan. Makasih sudah berbela sungkawa." "Bapak. Nazwa masih pengin di s
Nazwa mendongak menatapnya. "Mas Reza?" Reza tak memedulikan Nazwa dan justru berpaling ke Hanif. "Bisa tinggalkan istri saya?" Hanif yang mengerti langsung mengangguk. Namun, sebelum pergi, dia berpesan ke Nazwa. "Nazwa aku pulang dulu, ya. Hati-hati, jaga diri baik-baik," ucapnya sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan makam itu. Nazwa lantas berdiri, menatap kepergian Hanif dengan heran. 'Kenapa Hanif berpesan seperti itu?' "Ngapain liatin dia begitu?" tegur Reza yang terlihat tak suka. Nazwa spontan menatap Reza. "A-aku cuman heran aja, Mas." Lagi Nazwa menatap tempat Hanif berlalu. "Heran kenapa?" Reza bingung. Nazwa terdiam kemudian wanita itu menggeleng. "Ya udah ayok kita pulang." Reza lalu menarik tangan istrinya, memimpinnya. Sebelum benar-benar pergi, Nazwa sempat memperhatikan nisan bapaknya. Berat sekali rasanya meninggalkan makam ini. Meninggalkan makam serasa meninggalkan bapaknya sendiri. Rasanya Nazwa belum siap berpisah dari bapaknya, sekalipun itu hanya ma
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke