Azmi Daffa Al Kaivan harus menelan pil pahit ketika lamarannya yang ketujuh ditolak Yasmin. Yasmin beralasan ingin menjadi dokter spesialis dan meminta Azmi untuk menunggu lagi. Azmi memilih menyerah dan kembali ke Al-Hikam. Di sisi lain, Jenar Ayu Kumalasari sedang dilanda patah hati. Arif, lelaki yang dia cintai dan telah melamarnya, tiba-tiba menikah dengan anak kyainya dan meninggalkan Jenar. Sakit hati membuat Jenar memutuskan mondok lagi di Al-Hikam. Dua manusia yang sedang berusaha move on bertemu. Serangkaian kejadian membuat keduanya saling mengenal dan berada pada keadaan yang terkadang membuat sama-sama kikuk. Lambat laun perasaan keduanya berubah. Ada getaran aneh yang mereka rasakan. Akankah keduanya sama-sama move on, dan menjalin hubungan, sementara para mantan kembali meminta perhatian dari keduanya?
Узнайте большеSeorang gadis tengah merenungi nasibnya. Hari ini seseorang yang begitu di kaguminya sejak usia 15 tahun akan melangsungkan pernikahan dengan anak seorang kyai. Padahal, seminggu yang lalu sang lelaki telah meminangnya di hadapan kedua orang tuanya dan sang kakak. Pun sang ibu dari si lelaki menyetujuinya.
Hanya berselang seminggu, dari acara tembung sang lelaki ternyata sang lelaki malah menikahi ning-nya atas perintah almarhum sang guru. Sungguh miris. Dia kalah karena si gadis hanyalah orang biasa, anak seorang petani. Bahkan dirinya hanya bisa mengenyam pendidikan sampai MA saja. Sangat jauh dibandingkan calon sang lelaki. Sudah bergelar ning, sarjana lagi. Hidup terkadang serumit dan semiris ini.
"Nduk."
"Iya mbok. Sebentar."
Jenar Ayu Kumalasari namanya. Asli Wonosobo daerah Wadas Lintang tepatnya.
Ceklek.
"Pripun mbok."
"Boleh mbok masuk."
"Silakan mbok."
Mereka pun duduk berjejeran di tepi ranjang. Si mbok mengelus kepala sang putri yang tertutup kerudung dengan penuh kasih.
"Sudah. Dia memang bukan jodohmu. Harusnya kamu bersyukur gak sama dia. Sejak dulu Arif itu anak emaknya. Lihat khan? Bilang setuju kamu jadi menantunya eh... Malah mau menikahkan sang anak sama putri kyai Mustofa. Tanpa rembugan tanpa omongan sedikitpun sama kita. Insya Allah kamu akan di kasih jodoh yang terbaik untuk kamu. Dan lebih baik dari Arif. Insya Allah."
"Amin mbok." ucap Jenar lalu menampilkan senyum tulusnya.
"Nah gitu dong. Ini baru anaknya simbok."
Jenar masih sesenggukan, mau tak mau perkataan ibunya memang benar. Dia harus melupakan dan melepaskan Arif istilahnya move on.
"Wis tho nduk, ra usah nangis wae. Sudah cukup air matamu keluar. Buktikan sama Arif kalau kamu cewek yang kuat. Kayak bapak sama simbok itu loh, tetap membantu di rumah tetangga kita. Harusnya kalau mereka punya malu gak mungkin minta tolong sama kita. Buktikan kamu itu gadis kuat." Cakra kakak lelakinya, menyemangati Jenar untuk tetap tabah.
Luar biasa, mungkin dibanding Jenar. Cakra adalah orang yang paling terluka, karena sahabatnya yang ia percaya malah menghancurkan hati adik dan keluarganya. Namun, Cakra walau suka mbanyol, dia sangatlah dewasa.
"Eh... Denger. Kamu masih muda, baru 20 tahun. Mending kamu ngaji lagi aja. Gak usah ngaji lagi di pondok kyai Mustofa toh pak kyainya udah gak ada. Dia cuma punya satu putri ning Alifah. Yang gantiin beliau paling Arif, gak bakalan maju tuh pondok kalau yang megang Arif. Bukannya mas lagi dendam sama dia, tapi Arif itu orangnya gak bisa tegas. Buktinya sama kamu itu loh. Mancla mencle."
Jenar tertawa melihat ekspresi kakaknya saat menghujat sang sahabat.
"Percaya sama mas, kamu justru harus bersyukur gak berjodoh sama orang mancla mencle kayak dia. Nanti mas akan ngantar kamu ke Al-Hikam Purwokerto. Disana pondoknya bagus, udah ada universitasnya juga. Ada banyak beasiswa untuk santri yang berprestasi kayak kamu. Udah ya jangan nangis."
"Iya mas... Jeje gak bakalan nangis lagi kok."
"Bagus. Sekarang siap-siap tunjukkin siapa diri kamu."
"Iya mas."
Jenar tersenyum cantik memperlihatkan lesung pipi di pipi kanannya yang semakin menambah kecantikannya. Duh, dasar Arif goblok bisik hati Cakra. Dia telah membuang batu permata yang masih tertutup demi sebuah emas yang kelihatan mentereng padahal belum tentu mas asli 24 karat mungkin 22 karat. Astagfirullah, maafkan Cakra. Rupanya dendam dan benci ini masih ada.
****
Akad pernikahan antara ning Alifah dan Arif dilangsungkan di rumah Arif atas permintaan ibunya Arif karena Arif putra tunggalnya. Sedangkan pondok Al-Huda sendiri akan mengadakan resepsi seminggu kemudian.
Bu Tuti senang sekali putranya dipilih menjadi mantu almarhum kyai Mustofa. Dia sungguh tak peduli dengan tanggapan miring warga sekitar, pun dengan perasaan Jenar. Dia menyukai Jenar, namun kalau harus memilih dia lebih memilih ning Alifah yang jelas statusnya lebih baik daripada Jenar.
Dia pun bersikap cuek meminta bantuan bu Minah dan suaminya pak Karmin agar mau membantu di rumahnya. Biarlah, toh mereka juga mau.
Setelah akad nikah langsung dilanjutkan resepsi. Mau tak mau hampir semua orang mengagumi pasangan pengantin yang sangat serasi. Yang satu ganteng sedangkan yang satunya cantik. Namun kedatangan Cakra dan Jenar sedikit membuat suasana menjadi sedikit kaku.
Apalagi wajah bu Tuti dan Arif. Arif menatap nanar pujaan hatinya. Cantik walaupun hanya memakai gamis sederhana namun Jenar memang selalu cantik. Rasa bersalah di hatinya sungguh kian terasa saat melihat Jenar nampak baik-baik saja. Padahal Arif tahu hatinya terluka, hal itu pun karena ulahnya. Bodoh, kenapa dia harus mengiyakan permintaan gurunya dengan menyakiti banyak orang. Jenar, Cakra, dan Jafar, sahabat karibnya di pondok. Padahal dia tahu Jafar mencintai ning Alifah. Jafar langsung boyong mengetahui Arif akan menikahi gadis yang dicintainya. Bahkan teman satu kamarnya mendiamkannya hingga kini. Beberapa memilih pindah pondok. Sementara bu Tuti mengakui Jenar sangat cantik sekali dan baik, ada sudut hatinya yang merasa bersalah karena menyia-nyiakan gadis sebaik dia.
"Arif selamat ya." Cakra mengucapnya dengan senyum manis namun tatapan tajamnya mengintimidasi Arif .
"Makasih." jawab Arif sambil menunduk. Tak ada pelukan ala sahabat lagi diantara mereka. Yang ada hanya canggung dan perasaan bersalah Arif serta perasaan tersakiti di hati Cakra.
"Selamat ya mas Arif juga ning Alifah semoga samawa." ucap Jenar dengan senyum merekah.
"Terima kasih ya Jenar. Oh iya, aku mau minta tolong sama Jenar. Jenar nanti bantu saya ngajar TPQ ya. Soalnya Jenar disukai anak-anak."
"Ngapunten Ning saya mau melanjutkan ngaji sama mondok."
"Yah... Apa gak bisa ditunda Je."
"Gak bisa ning, menuntut ilmu itu kewajiban apalagi membahagiakan orang tua dan kakak. Saya rela kerja jauh di Kalimantan itu demi adik saya biar sekolah tinggi ning, biar jadi wanita yang berpendidikan biar gak di rendahkan terus sama orang." celetuk Cakra, walau diucapkan dengan tenang terlihat sekali menyindir Arif dan sang Ibu.
"Harus itu mas Cakra. Ya sudah nanti saya cari alumni yang lain saja."
"Pangapunten ning. Mari saya duluan, karena masih banyak yang antri."
Jenar dan sang kakak turun dari pelaminan. Jenar berkumpul dengan teman pondoknya. Sesekali dia tersenyum mendengar guyonan para sahabat.
Arif sesekali melirik Jenar, sudut hatinya sangat tak rela kehilangan Jenar. Apalagi sejak tadi beberapa teman satu pondok maupun luar pondoknya banyak yang melirik ke arah Jenar.
Mungkin Alifah adalah ratu dalam acara ini. Namun, Jenar adalah sang artis yang keberadaannya menjadi magnet bagi sekelilingnya.
Tingkah Arif tak lepas dadi pengamatan sang istri. Sudut hatinya terluka menyadari jika hati sang suami ternyata bukan untuknya. Ah lebih tepatnya belum. Sebenarnya dialah yang meminta sang abah agar menikahkan dirinya dengan Arif jadi dia akan berusaha membuat Arif jatuh cinta padanya.
****
"Ning tidur saja duluan, saya akan menemui tamu dulu."
"Mas tunggu, kita sudah menikah. Alangkah baiknya mas Arif memanggil saya dengan nama atau dek saja. Kesannya kok aneh ya."
"Maaf ning, saya belum terbiasa. Saya keluar dulu."
Ambyar.... Runtuh sudah air mata Alifah melihat penolakan sang suami. Malam pertama yang begitu diidam-idamkannya sepertinya akan berlalu begitu saja.
"Duh gusti, pangapunten bah. Alifah ndak manut sama abah. Padahal abah kepengin saya sama Jafar, tapi Alifah ngeyel pengin nikah sama Arif. Maaf bah... Maaf. Alifah nyesel ndak manut sama abah."
Malam berlalu begitu saja. Kedua pasangan pengantin baru bahkan tak tidur seranjang, Alifah tidur di kamar Arif sedangkan Arif entah tidur dimana.
"Ning." sapa bu Tuti ramah.
"Alifah saja bu. Khan saya menantu ibu."
"Ah... Ndak patut, orang ning anak junjungan saya. Sudah sini ning makan. Arif mana?"
"Mas Arif... Mas Arif ..."
"Wonten nopo bu?"
"Eh.. Arif. Kamu dari mana?"
"Mushola bu."
"Oh... Ya sudah sini makan."
Arif duduk di dekat Alifah. Alifah meladeni sang suami dengan telaten. Di depan sang ibu baik Arif dan Alifah menampilkan kemesraan pasangan pengantin baru. Padahal aslinya hambar.
****
"Mas... "
"Iya."
"Ehm ..." Jenar bingung mau memulai dari mana.
"Tenang mas gak akan bilang ke siapapun kalau kamu di Purwokerto. Mas akan bilang kamu di Kediri."
"Makasih mas."
Hening.
"Dek... Yang betah-betah ya disana syukur kamu dapat jodoh disana."
"Dapat gus ya mas."
"Amin..."
"Hahahaha." baik Jenar maupun Cakra tertawa, menertawakan omongan Jenar yang terlalu menghalu. Padahal omongan terkadang menjadi doa yang akan diijabah oleh Allah S.W.T.
Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala
Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis
Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal
Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh
Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura
Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal
Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu
Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Комментарии