“Ooom!” teriak Azada.
“Iya.”
“Ayok ke Timezone.”
“Boleh.”
“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”
“Ikut,” jawab keduanya kompak.
“Siap-siap sana!”
“Oke.”
Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.
“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”
“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”
“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.
“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”
“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?” jawab abah bijak.
“Iya sih, Bah. Itu duo perusuh aja cuma manut sama abah dan uminya. Sama ....”
“Abrisam,” jawab abah dan umi kompak.
“Iya. Duh itu si Abri emang pantes jadi kakak. Soalnya aura wibawanya keliatan banget.”
“Amin. Insya Allah mereka bakalan jadi anak baik semua yah walau agak ....”
“Nakal ya, Um.”
“Iya. Tapi persis Azzam sih waktu kecil sampai remaja. Hahaha,” kenang umi.
“Hah? Beneran, Um?” Azmi gak percaya.
“Beneran. Masmu itu sewaktu kecil pecicilan, gak mau diem, tukang bikin rusuh, jenis kenakalan biasa lah sebagai santri. Masih tergolong wajar. Untung kebantu sama otaknya yang encer. Mirip kamu juga, ‘kan?” ledek Umi Aisyah pada Azmi.
“Hehehe. Sekarang Azmi udah tobat, Um.”
“Harus! Udah gede juga. Bentar lagi jadi ayah kalau punya anak sendiri.”
“Amin. Segera ya Umi.”
“Amin.”
Lalu terdengarlah tawa ketiganya berbarengan dengan kedatangan Desi dan Jenar.
“Pripun, Gus? Katanya manggil kami?” tanya Desi.
“Temeni saya menjaga Aslan triplet main ke Timezone.”
“Nggih, Gus,” sahut Desi antusias sedangkan Jenar bingung.
Timezone itu apa ya?
***
Ketiga Aslan sudah berlarian di sekitar Rita Super Mall diikuti Azmi. Desi sudah senyam senyum gaje dari tadi. Sedangkan Jenar? Dia bingung sekaligus malu. Dia belum pernah ngemall. Tempat terjauh yang ia kunjungi selama di Wonosobo adalah pasar.
“Je, salah bukan ke arah situ tapi ke arah sini!” teriak Desi saat temannya malah berjalan ke arah yang salah.
“Oh. Iya maaf,” jawab Jenar kikuk.
“Santai aja Je, bersikaplah seolah-olah kamu udah biasa ke sini.”
“Tapi aku gak pernah main ke tempat kayak gini, Des,” bisik Jenar.
“Makanya dibiasain mulai sekarang. Apalagi kamu sekarang jadi pengasuh keluarga Aslan.”
“Iya.”
Mereka mengitari lantai bawah dengan penuh antusias. Kalau dulu Azmi yang suka memanfaatkan masnya sekarang gantian Azmi yang dimanfaatin oleh ketiga keponakannya.
“Ckckck. Tombok ini om gantengnya. Padahal dulu aku sendirian minta jatah sama Mas Azam, eh ini aku malah dibales langsung sama tiga orang.” Meski kedengaran mengomel aslinya Azmi senang-senang saja membelikan berbagai barang untuk keponakannya. Bahkan dia membeli beberapa baju cantik, bando, dan kerudung untuk Quila.
“Om ... ayok ke Timezone!” teriak Azada yang sudah tidak sabar.
Azada, Aidan, dan Abrisam langsung menaiki eskalator menuju lantai atas. Karena letak permainan anak berada di lantai atas. Jenar melongo. Dia menarik tangan Desi.
“Kenapa sih?” tanya Desi.
“Aku takut. Ada tangga yang gak jalan gak sih?”
“Astagfirullah, jangan bercanda kamu!” bisik Desi.
“Tapi beneran aku takut loh. Aku nunggu di bawah saja ya.” Jenar nampak ketakutan.
“Wis ayuh melu aku. Cekelan tanganku.” (Sudah ayok ikut aku. Pegangan tanganku)
Jenar melingkarkan tangannya pada lengan kiri Desi. Kakinya kebingungan mau naik ke eskalator dengan cara bagaimana. Berulangkali kaki satunya sudah naik tapi kaki satunya bergetar gak bisa diangkat. Jadi gagal deh. Duh muka Jenar sudah memerah karena takut dan malu. Desi sendiri bingung antara mau ketawa tapi merasa kasihan juga. Ya ampun, Jenar ini ya lugu ya ndeso alias katrok.
Azmi yang menyadari para khadamahnya belum juga naik menoleh ke arah mereka. Azmi tidak bisa menahan kekehannya. Astaga! Dia segera memberi kode pada Aslan.
“Tuh, Mbak Jenar dibantu naik Zad.”
“Hah? Oh ... oke Om. Ayok Dan, kita bantu.”
“Oke.”
Azada dan Aidan turun kembali kemudian mereka menggenggam tangan Jenar kiri dan kanan.
“Ikutan aba-aba Zada ya Mbak, nanti di hitungan ketiga kaki kanan angkat dan taroh di sana. Lalu kaki kirinya ditaruh setelahnya.” Azada menunjuk eskalator.
“1 ... 2 ... 3 angkat. Hap.”
Meski dengan agak canggung, Jenar akhirnya bisa menaiki eskalator. Desi mengikuti dibelakangnya sambil terus menahan tawa. Saat akan turun, Jenar hampir saja keserimpet gamisnya karena malah lompat. Untung gak jatuh. Kalau jatuh malu, kan jadinya.
Azmi sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala. Ternyata masih ada ya gadis lugu dan ndeso kayak Jenar. Rumahnya pelosok banget apa gimana nih?
***
Ketiga Aslan langsung ke area Timezone dan bermain di sana. Jenar dan Desi mengamati ketiganya. Sementara Azmi sibuk mengecek usahanya lewat ponsel.
Jenar menatap takjub ke sekelilingnya. Dia sungguh merasa gumun dengan semua hal yang baru pertama kali dilihat dan dialaminya.
“Jangan kelihatan gumun gitu Je, kesannya ndeso alias katrok tahu.”
“Tapi aku memang gumun, soalnya ini baru pertama kalinya Des. Di tempatnya aku gak ada kayak ginian.”
“Melosok banget apa rumahmu?”
“Iya. Orang di kelilingi kali alias sungai.”
“Owh gitu.”
Mereka melanjutkan mengobrol hal lain sambil terus mengawasi para gus kecil.
“Om ... laper!” teriak Azada setelah satu jam bermain.
“Oke. Ayok kita makan.”
Mereka menuju ke area foodcourt dan lagi-lagi Jenar merasa panas dingin karena harus naik eskalator lagi. Ya Allah.
Aidan dan Azada sudah siap berada di kanan kiri Jenar. Mereka memberikan uluran tangannya sambil tersenyum. Jenar menunduk pasrah. Ya Allah, malunya. Udah Ndeso, katrok lagi. Pokoknya double malunya.
“Memangnya Mbak Jenar gak pernah ke mall?” tanya Azada.
“Mboten Gus, di tempatnya mbak gak ada mall. Adanya pasar sama kali. Wadas lintang, kan terkenal banyak kali.”
“Benarkah? Wah kapan-kapan kita harus ke sana,” ucap Aidan dengan semangat.
“Ngapain Gus? Orang adanya cuma kali gak ada mall kayak di sini.” Jenar mengernyit melihat gusnya tampak bersemangat.
“Justru kita bosen sama mall, Mbak. Kita pengin main jauh berpetualang dan berbaur dengan alam. Gimana Mas?” tanya Aidan pada Abrisam.
“Beres. Liburan nanti kita minta Abah ngijinin kita jalan-jalan ke Wonosobo sekalian ke Dieng.”
“Oke.” Kompak Aidan dan Azada.
“Hah?!” Jenar semakin melongo dengan ketiga gus kecilnya.
“Bapaknya suka naik gunung Mbak, ibunya pramuka sejati. Jadi ya jangan heran mereka suka banget berpetualang dengan alam,” terang Gus Azmi.
“Oh begitu. Nanti Mbak Jeje ajak mancing ya Gus.”
“Mbak Jeje bisa mancing?” tanya Azmi.
“Hehehe. Bisa Gus. Gampang pokoknya.”
“Beneran?”
“Beneran Gus Azmi.”
“Okeh. Yang penting sekarang kita makan dulu.”
“Hah? Boleh Jeje nunggu di sana saja, Gus?” pinta Jeje dengan wajah memelas.
Dan hanya ditertawakan oleh Azmi yang langsung menaiki eskalator. Sementara kedua tangan Jenar sudah digandeng oleh duo gusnya. Dan hap! Akhirnya, Jeje bisa naik eskalator juga walaupun lagi-lagi dia hampir jatuh karena keserimpet gamisnya. Hahaha.
*****
“Gus.”“Eh. Ning Hafsah.”“Iya saya.”“Ada apa, Ning?”“Mau ambil foto, Gus.”“Oh. Saya duluan ya.”“Eh. Gus tunggu!”Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.“Iya.”“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”“Bos.”“Iya.”“Semua sudah siap.”“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan i
“Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w
“Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,
Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta
“Kenapa kamu?”“Aku gagal ta’aruf Mi.”“Oh.”“Hanya oh saja, ya ampun Azmi. Kamu tuh gak ngerti rasanya. Seseorang yang selama dua tahun ini kamu harapkan dan kamu ingin lebih mengenal dia, malah ternyata gagal karena dia sudah dilamar sama orang lain. Nyesek tahu. Rasanya itu ... sakit.”Azmi memilih menikmati bakso uratnya dengan lahap dan hanya mendengarkan keluhan sahabatnya Gus Amar. Gus asal Jember yang sedang main ke Purwokerto.“Kamu gak bakalan paham Azmi. Kamu, kan ....” Amar menghentikan kalimatnya lalu nyengir dengan perasaan bersalah.“Kamu itu baru ta’aruf Mar. Aku ini loh tujuh tahun dikasih harapan sama Yasmin.”“Hehehe. Sorry Mi, lupa.”Azmi hanya meliriknya dan melanjutkan makan bahkan dia memesan semangkok bakso lagi.“Azmi.”“Hem
Jenar duduk dengan gelisah. Dari tadi dia terus menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sesekali dia melirik ke ruang tamu yang terhalang tirai. Para sahabatnya menemaninya dan berusaha menenangkannya.“Grogi ya Je?” tanya Desi.“Iya.”“Kan aku bilang juga apa? Kamu bisa jadi kandidat istri Gus Azmi. Tuh kan, beneran. Hihihi.”“Iya, temen kita yang Ndeso bin Katrok akhirnya bikin Guse jatuh hati,” tambah Afi.Terdengarlah tawa ketiganya yang langsung terdiam ketika mendapat deheman dari Caca. Sementara di ruang tamu, Keluarga besar Al Hikam terdiri dari Abah Ilyas, Azzam, Azmi dan beberapa anggota yang lain tengah rembugan dengan keluarga Jenar.“Jadi Pak, kedatangan kami k esini untuk melamar putri Bapak, Jenar untuk menjadi istri putra bungsu saya. Bagaimana Pak? Bapak kersa mboten sama anak saya ini buat jadi mantu.”Karmin dan Minah terharu. Mereka yang ha
“Wow ... tempatnya indah ya, Mas?”“Iya. Kamu suka?”“Suka sekali. Mas Azmi kok kepikiran ke sini sih?”“Gara-gara Mas Azzam sama Mbak Caca pernah honeymoon ke sini. Makanya aku juga pengin ke sini sama istriku nanti.”“Oh iya, kok Mbak Caca sama Mas Azzam mau honeymoon malah bawa Mas Azmi sih?”“Hahaha.”Azmi lalu menceritakan bagaimana dulu ia dan Nada mengikuti kemana pun acara bulan madu Azzam sama Caca.“Ya Allah Mas. Mas Azmi sama Mbak Nada bener-bener ya.”“Hehehe. Makanya aku seneng kita gak direcoki sama Aslan bersaudara jadi aku bisa seneng-seneng sama kamu.”Azmi langsung memutar-mutar kerudung Jenar yang menjuntai. Binar matanya terlihat begitu mendamba. Jenar yang paham arti tatapan suaminya hanya menunduk malu. Azmi tertawa dibuatnya kemudian mencubit pipi sang istri.“Ish
“Tolong cabai setan sekilo, merah setengah, hijau panjang setengah, bawang putih sama merahnya masing-masing sekilo.”“Baik, Mbak.”Jenar sedang berbelanja di pasar untuk membeli beberapa keperluan dapur. Sudah tiga hari mereka liburan di Wonosobo. Besok, mereka harus kembali ke Purwokerto.“Dek, beli kerupuk udang dong?” pinta Azmi.“Nggih, Mas.”Setelah membayar, Azmi dan Jenar segera pergi dan menuju ke bagian yang lain. Jenar tersenyum melihat tingkah suaminya yang tanpa canggung membawa barang belanjaan.“Beli apa lagi, Dek?”“Udah gak ada, Mas?”“Beliin gula, teh, kopi, terigu dan lain-lain buat Bapak sama Simbok udah?”Jenar hanya menggeleng.“Ya udah. Yuk beliin.”“Tapi, Mas …?”“Gak tapi-tapian. Kan yang beliin anak sama mantunya.”“Jej
Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala
Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis
Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal
Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh
Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura
Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal
Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu
Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat