Jenar duduk dengan gelisah. Dari tadi dia terus menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sesekali dia melirik ke ruang tamu yang terhalang tirai. Para sahabatnya menemaninya dan berusaha menenangkannya.
“Grogi ya Je?” tanya Desi.
“Iya.”
“Kan aku bilang juga apa? Kamu bisa jadi kandidat istri Gus Azmi. Tuh kan, beneran. Hihihi.”
“Iya, temen kita yang Ndeso bin Katrok akhirnya bikin Guse jatuh hati,” tambah Afi.
Terdengarlah tawa ketiganya yang langsung terdiam ketika mendapat deheman dari Caca. Sementara di ruang tamu, Keluarga besar Al Hikam terdiri dari Abah Ilyas, Azzam, Azmi dan beberapa anggota yang lain tengah rembugan dengan keluarga Jenar.
“Jadi Pak, kedatangan kami k esini untuk melamar putri Bapak, Jenar untuk menjadi istri putra bungsu saya. Bagaimana Pak? Bapak kersa mboten sama anak saya ini buat jadi mantu.”
Karmin dan Minah terharu. Mereka yang ha
“Wow ... tempatnya indah ya, Mas?”“Iya. Kamu suka?”“Suka sekali. Mas Azmi kok kepikiran ke sini sih?”“Gara-gara Mas Azzam sama Mbak Caca pernah honeymoon ke sini. Makanya aku juga pengin ke sini sama istriku nanti.”“Oh iya, kok Mbak Caca sama Mas Azzam mau honeymoon malah bawa Mas Azmi sih?”“Hahaha.”Azmi lalu menceritakan bagaimana dulu ia dan Nada mengikuti kemana pun acara bulan madu Azzam sama Caca.“Ya Allah Mas. Mas Azmi sama Mbak Nada bener-bener ya.”“Hehehe. Makanya aku seneng kita gak direcoki sama Aslan bersaudara jadi aku bisa seneng-seneng sama kamu.”Azmi langsung memutar-mutar kerudung Jenar yang menjuntai. Binar matanya terlihat begitu mendamba. Jenar yang paham arti tatapan suaminya hanya menunduk malu. Azmi tertawa dibuatnya kemudian mencubit pipi sang istri.“Ish
“Tolong cabai setan sekilo, merah setengah, hijau panjang setengah, bawang putih sama merahnya masing-masing sekilo.”“Baik, Mbak.”Jenar sedang berbelanja di pasar untuk membeli beberapa keperluan dapur. Sudah tiga hari mereka liburan di Wonosobo. Besok, mereka harus kembali ke Purwokerto.“Dek, beli kerupuk udang dong?” pinta Azmi.“Nggih, Mas.”Setelah membayar, Azmi dan Jenar segera pergi dan menuju ke bagian yang lain. Jenar tersenyum melihat tingkah suaminya yang tanpa canggung membawa barang belanjaan.“Beli apa lagi, Dek?”“Udah gak ada, Mas?”“Beliin gula, teh, kopi, terigu dan lain-lain buat Bapak sama Simbok udah?”Jenar hanya menggeleng.“Ya udah. Yuk beliin.”“Tapi, Mas …?”“Gak tapi-tapian. Kan yang beliin anak sama mantunya.”“Jej
Suasana meriah menghiasi pondok Al-Hikam. Para santri lalu lalang menyiapkan segala sesuatu untuk resepsi pernikahan putra bungsu Abah Ilyas. Umi Aisyah dan Caca juga dari tadi mondar mandir mengurus segala sesuatu. Sedangkan Abah Ilyas dan Azzam sibuk menyambut para tamu yang datang.Pukul sembilan, acara resepsi dimulai. Pengantin baru sudah memasuki pelaminan. Decak kagum terlontar dari para tamu undangan melihat pasangan pengantin yang serasi sekali.“Al-Hikam itu kayaknya seneng banget ya nyari jodoh dari kalangan bukan ning. Dari Mulai Abah Ilyas, Gus Azzam terus sekarang Gus Azmi,” ucap salah satu bu nyai yang hadir.“Kalau calonnya bagus ya gak masalah, toh sudah terbukti kualitas Bu Nyai Aisyah sama Ning Caca. Gak kalah bagus loh sama yang asli ning,” celetuk yang lain.“Iya, kalau gak salah sekarang semua aktivitas pondok putri dihandel sama Ning Caca. Kalau Gus Azzam ngurus yang pondok putra.”“K
Genap dua bulan usia pernikahan Azmi dan Jenar. Keduanya begitu bahagia, walau namanya rumah tangga pasti ada masalah, tetapi keduanya masih bisa mengatasi masalah tersebut.Hari ini berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Azmi kini sedang berkutat di kantornya. Dia sedang memeriksa laporan keuangan ketiga studio fotonya. Saat sedang fokus, pintu kantornya diketuk.“Bos.” Alfin membuka pintu ruangan bosnya.“Ya.”“Ada tamu ... aduh!” Alfin mengaduh karena tubuhnya didorong dengan keras oleh Yasmin.Yasmin datang sendirian. Azmi menatap Yasmin datar.“Mas, aku mau ngomong berdua aja.” Yasmin tanpa permisi langsung duduk di kursi yang berseberangan dengan Azmi.“Oke kita bicara. Alfin duduk!” Alfin duduk pada sofa mengikuti perintah bosnya.“Aku mau bicara berdua aja Mas, bisa gak pegawai kamu pergi dulu!”“Bertiga atau gak sama sekali,
Jenar baru saja keluar dari ruang dosen. Alhamdulillah proposal skripsinya di ACC. Semua ini tak akan terjadi kalau bukan karena bantuan suami dan kakak iparnya, Caca. Dengan senyum bahagia, Jenar keluar dari gedung fakultas. Sampai di lobi, dia berpapasan dengan Caca.“Je.”“Nggih, Mbak.”“Mbak mau ada acara pengajian, nanti minta tolong sesekali tengokin Quila ya.”“Siap, Mbak.”“Oke, Mbak duluan. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Caca berlalu dari hadapan Jenar, sedangkan Jenar berjalan menuju ke kelasnya yang akan dimulai lima belas menit lagi.***Jenar baru saja membaca chat dari sang suami. Azmi mengabarkan dia harus ke Bumiayu untuk mengecek studio photonya di sana. Dan akan pulang telat. Jenar membalas pesan sang suami dan memintanya untuk berhati-hati.Jenar segera berjalan dan hendak m
Azmi sedang mengamati sang istri, sejak tadi pagi sikap istrinya aneh. Jenar lebih banyak diam dan melamun. Bukan Jenar banget. Tak tahan melihat istrinya terlihat sedih. Azmi mendekati sang istri dan memeluknya.“Dek.”Jenar kaget karena mendapati dirinya dipeluk oleh Azmi.“Mas, sudah pulang dari pondok putra?”“Sudah dari tadi. Kamu kenapa hem? Mas salam dari tadi gak kamu jawab.” Azmi menciumi kening Jenar berkali-kali.“Gak papa Mas, mungkin Jenar capek aja.”Azmi melepaskan pelukannya dan menatap Jenar dengan seksama. Dipandanginya wanita pujaan hatinya dengan teliti. Memang belakangan ini wajah Jenar terlihat lelah, tapi senyum selalu merekah di bibir tipisnya. Tapi pagi ini terlihat sekali jika Jenar sedang tidak baik-baik saja.“Kamu sakit?” tanya Azmi dengan mimik muka khawatir.“Enggak Mas. Cuma capek aja.”“Kita ke dokter ya?”
Hari ini, Azmi berencana ke Jogja untuk melakukan monitoring studionya di Jogja. Dia sengaja membawa Jeje, sekalian honeymoon lagi ceritanya. Kali ini Azmi memastikan tidak akan ada gangguan karena ketiga keponakan gantengnya lagi liburan ke Kebumen. Hahaha. Yes, dalam otak Azmi sudah berseliweran berbagai strategi dan gombalan buat menyenangkan istri ayunya.“Kita langsung ke studio, Mas?”“Iya. Habis itu kita sewa hotel dan nginap tiga hari di sana. Ya ya ya.” Azmi menaikkan alisnya dan tersenyum penuh makna.Jenar sendiri sudah salah tingkah. Pipinya menghangat, tentu dia paham arti perkataan sang suami. Azmi tertawa lalu mengelus pipi kanan sang istri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya fokus pada kemudi.Mereka sampai di Jogja pukul sepuluh pagi. Azmi langsung membawa Jenar ke studionya dan memperkenalkannya dengan Nita dan Didi. Kedua sahabat sekaligus orang kepercayaan Azmi kini sudah menikah dan p
Kyai Yunus dan Gus Yahya baru saja sampai di Pondok At-Taubah di kota Jember. Mereka sengaja mengunjungi pondok yang diklaim Yasmin sebagai tempatnya mondok demi memperbaiki diri.Sampai di sana, Kyai Yunus dan Gus Yahya merasa sedih sekaligus malu. Rupanya Yasmin telah membohongi mereka. Hampir satu jam Kyai Yunus dan Gus Yahya bertamu kemudian mereka pamit kepada pengasuh pondok.“Yahya.”“Nggih, Bah.”“Telepon Yasmin.”“Nggih.”Yahya langsung menelepon adiknya. Setelah panggilan kelima akhirnya Yasmin mengangkat telepon dari sang kakak.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam, Mas. Ada apa?”“Kamu dimana?” tanya Yahya.“Yasmin di pondok, Mas.”“Pondok mana?”“Ya ampun, Mas. Yasmin, kan, udah bilang Yasmin mondok di pondok At-Taubah Jember,” jawab Yasmin
Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala
Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis
Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal
Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh
Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura
Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal
Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu
Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat