Beranda / Romansa / Mahligai Bersamamu / 6. Surat Menyurat

Share

6. Surat Menyurat

Penulis: Bai_Nara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Gus.”

“Eh. Ning Hafsah.”

“Iya saya.”

“Ada apa, Ning?”

“Mau ambil foto, Gus.”

“Oh. Saya duluan ya.”

“Eh. Gus tunggu!”

Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.

“Iya.”

“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”

“Bos.”

“Iya.”

“Semua sudah siap.”

“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”

Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.

Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan itu berlangsung dua hari yang lalu dan Gus Iqbal telah mengkhitbah dirinya.

Namun dengan tegas Hafsah menolak. Hal itu membuat hubungan antara dirinya dan kedua orang tuanya renggang karena baik abi maupun uminya sudah suka dengan Gus Iqbal. Sedangkan Ning Hafsah sendiri semakin yakin dengan Gus Azmi. Karena mau tak mau dari segi rupa, Gus Azmi menang banyak. Tapi bukan berarti Gus Iqbal kurang menarik.

“Loh Ning, belum selesai fotonya?”

“Oh eh ... sudah Mas Alfin. Ini mau diambil.”

“Oh ... saya duluan Ning.”

“Eh ... Mas tunggu!”

“Iya Ning gimana?”

“Ehm ... Gus Azmi masih lama gak ya?”

“Biasanya sampai satu jam, Ning. Ada yang bisa saya bantu?”

“Tolong serahkan ini untuk Gus Azmi.”

Ning Hafsah menyerahkan sebuah surat dan ditaruh di meja. Kemudian Alfin mengambilnya.

“Tolong ya, Mas.”

“Iya Ning gak masalah.”

“Makasih. Saya duluan Mas. Assalamu’alaikum.”

“W*’alaikumussalam.”

***

“Bos.”

“Gimana Fin?”

“Ada titipan dari Ning Hafsah. Kayaknya surat cinta loh Bos. Hihihi.”

“Ada-ada aja kamu. Kalau tagihan utang gimana?”

“Ya dilunasi lah Bos.”

“Hahaha. Aku masuk dulu Fin.”

“Oke Bos.”

Azmi masuk ke ruangannya dan segera membuka amplop surat dan membaca isinya.

Assalamualaikum wr. wb.

Mohon maaf Gus jika apa yang akan saya sampaikan mungkin mengganggu njenengan. Tolong jangan berpikir bahwa saya adalah wanita yang tak tahu malu.

Saya hanya sedang berusaha memperjuangkan masa depan saya. Terutama dalam hal memilih pasangan hidup. Dan hati saya memilih njenengan.

Saya harap rasa yang saya miliki untuk njenengan bersambut Gus. Walau itu membutuhkan waktu. Karena saya tahu, njenengan belum bisa melupakan orang yang pernah njenengan perjuangkan selama tujuh tahun.

Beri saya kepastian Gus, apakah saya harus menunggu atau tidak? Tapi jika saya boleh memilih saya akan menunggu sampai njenengan siap untuk menerima saya.

Dari saya yang begitu mengagumi Gus Azmi Daffa Al Kaivan.

Ning Hafsah Khoerunnisa.

Azmi mendesah. Ya ampun ada-ada saja. Baiklah sepertinya dia harus menjadi Kaivan generasi ketiga yang hobby nolak cewek. Azmi segera menyambar pulpen, kertas beserta amplop dan mulai menuliskan jawabannya.

***

“Ning Hafsah.”

“Iya Mas Alfin.”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Ehm ... mau beli figura,” alibinya.

Alfin tersenyum, jelas wanita dihadapannya lagi nyari si bos. Soalnya pandangan Ning Hafsah ke mana-mana seperti tengah mencari sesuatu atau seseorang.

“Bos pergi, Ning.”

“Oh ... i-iya.”

“Dan Bos nitip ini untuk Ning Hafsah.”

“Benarkah?” Ning Hafsah terlihat sumringah saat menerima sepucuk surat dari Gus Azmi.

Saat sudah berada di dalam kamarnya, Ning Hafsah segera membuka surat dari Gus Azmi. Namun isinya membuat Ning Hafsah merasa kecewa sekaligus malu. Dia sudah pede kalau Gus Azmi akan memberinya kesempatan. Ternyata tidak. Berulangkali dia membaca surat balasan dari Gus Azmi dan ternyata isinya sama saja. Demikian bunyi suratnya :

Terima kasih atas suratnya Ning. Tapi mohon maaf jangan menungguku, karena saya tak bisa menjanjikan apapun pada njenengan.

Luruh sudah air mata Ning Hafsah.

“Kenapa Gus? Apa njenengan masih menunggu dia?” ucap Ning Hafsah sambil sesenggukan.

“Enggak Gus, saya akan berusaha menunggu njenengan. Akan saya pastikan hati njenengan akan beralih ke saya,” tekad Ning Hafsah.

***

“Gimana, Dek?” tanya Azzam sambil ndusel ke ketek sang istri.

Ck. Maaasss, gak usah pake ndusel-ndusel kenapa sih?”

“Habis mas kangen manja-manja sama kamu. Setiap hari kamu dimonopoli sama empat singa kecil. Jatahnya mas kapan?”

“Ya Allah, Mas, maaf ya. Mau gimana lagi.”

“Makanya mumpung anak-anak lagi pada pergi, mas mau manja-manja ke kamu.”

Azzam menggelitiki perut istrinya dengan hidungnya. Caca cuma bisa kegelian dan tertawa.

“Mas ... hahaha. Mas ... hihihi ... geli tahu!”

Ck. Udah punya buntut empat masih gelian. Duh kayak perawan aja deh.” Azzam masih mengusili istrinya.

“Maaasss ....”

“Ekhem ... ekhem ....”

Caca dan Azzam menoleh ke arah si pengganggu. Caca hanya bisa tersenyum malu ke arah Azmi sedangkan Azzam cuek dan malah semakin ndusel ke ketek Caca.

“Ya Allah, kirimkanlah bidadari duniaku. Dekatkanlah dia padaku agar kejombloanku hilang berganti status jadi kawin.”

“Hehehe. Maaf ya Mi. Khilaf,” sahut Caca.

“Itu mah bukan khilaf Mbak, tapi sengaja. Mas Azzam juga. Gak berperikejombloan sama adek sendiri.”

“Dih. Orang statusku udah kawin. Udah jadi bapak empat anak ngapain harus mikirin perikejombloan. Rugi ya. Rugi waktu sama rugi tenaga,” sindir Azzam.

“Nyindir-nyindir. Iya Azmi bucin. Tapi, kan gara-gara Mas sama Abah juga. Dari kecil diajarin jadi bucin,” gerutu Azmi.

“Udah gak usah sewot gitu. Mas kamu cuma bercanda,” hibur Caca.

“Gak bercanda itu Mbak Ca. Sengaja tuh.”

“Hehehe. Udah daripada kamu galau. Ikut yuk hari minggu,” ajak Azzam.

“Kemana?”

“Kebumen.”

“Males. Di sini ajalah.”

“Aslan Triplet mau tak ajak semua loh. Kamu gak bakalan kangen sama mereka? Kita mau di sana semingguan.”

“Gak lah. Di sini aja.”

“Yakin?”

“Yakin Mas.”

“Ya sudah.”

Lalu Azmi fokus dengan HP-nya sedangkan Azzam dan Caca sibuk menyeleksi daftar guru yang akan mengikuti seleksi calon guru baru di SMK dan SMA Al-Hikam tentu dengan posisi saling merapat bahkan tangan Azzam masih memeluk tubuh sang istri dengan erat.

“Emangnya butuh guru apa saja Mas?” Mau tak mau Azmi ikutan kepo, apalagi melihat perdebatan antara Caca dan Azzam yang terlihat seru sekali.

“Otomotif buat SMK soalnya kelasnya nambah, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia buat SMA.”

“Perasaan yang SMA sering ganti?”

“Ya mau gimana lagi? Kan yang di SMA-nya kebanyakan ustazah, kalau single terus nikah dapat orang jauh jelas dibawa pergi sama suaminya,” jelas Azzam.

“Untung Mbak Caca gak kecantol orang jauh ya Mbak. Jadi tetep di sini. Coba nyangkut yang lain. Bisa jadi bujang tua masku. Hahaha.”

Azzam melempar Azmi dengan balpoin yang ia pegang.

“Itu karena Caca memang jodohnya mas gantengmu ini. Ya, ‘kan Dek?” ucap Azzam sambil mengedip nakal.

“Iya Mas. Gus singa garangku yang garangnya gak ketulungan.”

“Tapi cinta, ‘kan?” tanya Azzam sambil menyeringai jahil.

“Iyalah.”

“Apa buktinya?”

“Noh ... empat singa kecil,” sahut Caca.

“Hahaha. Nambah satu lagi yok.”

Caca memelototkan matanya sedangkan Azzam tertawa terbahak-bahak. Azmi sendiri merasa ngenes. Ck. Begini rupanya nasib jomblo ya? Bisanya cuma gigit roti lihat keuwuan pasutri. Azmi memilih memakan biskuit milik Quila yang tergeletak di meja. Sabar ya Azmi, besok kalau udah punya yang halal balas tuh mas garangmu.

***

“Gus.”

“Eh ... Ning Hafsah. Njenengan di sini?”

“Iya Gus. Saya mau microteaching sebagai pengajar di sini,” jawabnya dengan semringah.

“Oh.”

“Mari Gus, saya masuk dulu. Doakan saya nggih Gus. Semoga diterima.”

“Oh ... nggih.

Azmi memilih segera keluar dari kelas. Ya Allah sepertinya Azmi akan menjadi generasi Kaivan jilid ketiga. Baiklah, biarlah dia berusaha tapi Azmi akan seperti mas dan abahnya kalau memang gak ada rasa tak akan pernah mau dipaksa.

Saat dirinya sampai di halaman rumah, tampaklah gadis ayu yang tengah menimang-nimang keponakannya dengan sayang. Entah kenapa hati Azmi tergetar melihat bagaimana mbak khadamah ndeso itu begitu telaten dan keibuan. Senyum simpul Azmi berikan dan si gadis ayu pun membalas.

“Baru pulang Gus?”

“Iya.”

Azmi melangkah menuju teras rumah.

“Sepi. Abah sama Umi ke mana?” lanjut Azmi.

Sowan ke rumah Bu Nyai Laila, Gus?”

“Oh iya. Nanti malam, kan haulnya Mas Fatur. Ya sudah aku masuk dulu ya.”

Nggih Gus.”

Jenar menoleh ke arah gusnya yang sudah berlalu ke dalam. Senyum merekah di bibir Jenar. Ada yang bilang butuh waktu lama untuk move on. Tapi aneh, padahal dia baru tiga bulan di sini tapi nama Arif seperti sudah hilang dari hatinya. Apa mungkin secepat ini? Lalu kenapa bisa secepat ini? Apa mungkin rasa yang Jenar rasa dulu hanya kekaguman yang disalahartikan oleh Jenar sebagai cinta? Entahlah, Jenar tidak bisa menjawabnya.

*****

Bab terkait

  • Mahligai Bersamamu   7. Jadi Ustazah

    “Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w

  • Mahligai Bersamamu   8. Jangan Memancing Keributan

    “Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,

  • Mahligai Bersamamu   9. Hati Gak Bisa Dipaksa

    Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta

  • Mahligai Bersamamu   10. Turunan Al Kaivan

    “Kenapa kamu?”“Aku gagal ta’aruf Mi.”“Oh.”“Hanya oh saja, ya ampun Azmi. Kamu tuh gak ngerti rasanya. Seseorang yang selama dua tahun ini kamu harapkan dan kamu ingin lebih mengenal dia, malah ternyata gagal karena dia sudah dilamar sama orang lain. Nyesek tahu. Rasanya itu ... sakit.”Azmi memilih menikmati bakso uratnya dengan lahap dan hanya mendengarkan keluhan sahabatnya Gus Amar. Gus asal Jember yang sedang main ke Purwokerto.“Kamu gak bakalan paham Azmi. Kamu, kan ....” Amar menghentikan kalimatnya lalu nyengir dengan perasaan bersalah.“Kamu itu baru ta’aruf Mar. Aku ini loh tujuh tahun dikasih harapan sama Yasmin.”“Hehehe. Sorry Mi, lupa.”Azmi hanya meliriknya dan melanjutkan makan bahkan dia memesan semangkok bakso lagi.“Azmi.”“Hem

  • Mahligai Bersamamu   11. Bersamamu Dalam Halal

    Jenar duduk dengan gelisah. Dari tadi dia terus menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sesekali dia melirik ke ruang tamu yang terhalang tirai. Para sahabatnya menemaninya dan berusaha menenangkannya.“Grogi ya Je?” tanya Desi.“Iya.”“Kan aku bilang juga apa? Kamu bisa jadi kandidat istri Gus Azmi. Tuh kan, beneran. Hihihi.”“Iya, temen kita yang Ndeso bin Katrok akhirnya bikin Guse jatuh hati,” tambah Afi.Terdengarlah tawa ketiganya yang langsung terdiam ketika mendapat deheman dari Caca. Sementara di ruang tamu, Keluarga besar Al Hikam terdiri dari Abah Ilyas, Azzam, Azmi dan beberapa anggota yang lain tengah rembugan dengan keluarga Jenar.“Jadi Pak, kedatangan kami k esini untuk melamar putri Bapak, Jenar untuk menjadi istri putra bungsu saya. Bagaimana Pak? Bapak kersa mboten sama anak saya ini buat jadi mantu.”Karmin dan Minah terharu. Mereka yang ha

  • Mahligai Bersamamu   12. Karma

    “Wow ... tempatnya indah ya, Mas?”“Iya. Kamu suka?”“Suka sekali. Mas Azmi kok kepikiran ke sini sih?”“Gara-gara Mas Azzam sama Mbak Caca pernah honeymoon ke sini. Makanya aku juga pengin ke sini sama istriku nanti.”“Oh iya, kok Mbak Caca sama Mas Azzam mau honeymoon malah bawa Mas Azmi sih?”“Hahaha.”Azmi lalu menceritakan bagaimana dulu ia dan Nada mengikuti kemana pun acara bulan madu Azzam sama Caca.“Ya Allah Mas. Mas Azmi sama Mbak Nada bener-bener ya.”“Hehehe. Makanya aku seneng kita gak direcoki sama Aslan bersaudara jadi aku bisa seneng-seneng sama kamu.”Azmi langsung memutar-mutar kerudung Jenar yang menjuntai. Binar matanya terlihat begitu mendamba. Jenar yang paham arti tatapan suaminya hanya menunduk malu. Azmi tertawa dibuatnya kemudian mencubit pipi sang istri.“Ish

  • Mahligai Bersamamu   13. Oppa Jawa

    “Tolong cabai setan sekilo, merah setengah, hijau panjang setengah, bawang putih sama merahnya masing-masing sekilo.”“Baik, Mbak.”Jenar sedang berbelanja di pasar untuk membeli beberapa keperluan dapur. Sudah tiga hari mereka liburan di Wonosobo. Besok, mereka harus kembali ke Purwokerto.“Dek, beli kerupuk udang dong?” pinta Azmi.“Nggih, Mas.”Setelah membayar, Azmi dan Jenar segera pergi dan menuju ke bagian yang lain. Jenar tersenyum melihat tingkah suaminya yang tanpa canggung membawa barang belanjaan.“Beli apa lagi, Dek?”“Udah gak ada, Mas?”“Beliin gula, teh, kopi, terigu dan lain-lain buat Bapak sama Simbok udah?”Jenar hanya menggeleng.“Ya udah. Yuk beliin.”“Tapi, Mas …?”“Gak tapi-tapian. Kan yang beliin anak sama mantunya.”“Jej

  • Mahligai Bersamamu   14. Barisan Para Mantan

    Suasana meriah menghiasi pondok Al-Hikam. Para santri lalu lalang menyiapkan segala sesuatu untuk resepsi pernikahan putra bungsu Abah Ilyas. Umi Aisyah dan Caca juga dari tadi mondar mandir mengurus segala sesuatu. Sedangkan Abah Ilyas dan Azzam sibuk menyambut para tamu yang datang.Pukul sembilan, acara resepsi dimulai. Pengantin baru sudah memasuki pelaminan. Decak kagum terlontar dari para tamu undangan melihat pasangan pengantin yang serasi sekali.“Al-Hikam itu kayaknya seneng banget ya nyari jodoh dari kalangan bukan ning. Dari Mulai Abah Ilyas, Gus Azzam terus sekarang Gus Azmi,” ucap salah satu bu nyai yang hadir.“Kalau calonnya bagus ya gak masalah, toh sudah terbukti kualitas Bu Nyai Aisyah sama Ning Caca. Gak kalah bagus loh sama yang asli ning,” celetuk yang lain.“Iya, kalau gak salah sekarang semua aktivitas pondok putri dihandel sama Ning Caca. Kalau Gus Azzam ngurus yang pondok putra.”“K

Bab terbaru

  • Mahligai Bersamamu   39. Keluarga Bahagia (Sesion 1 Tamat)

    Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala

  • Mahligai Bersamamu   38. Kyamud Dan Bunyamud

    Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis

  • Mahligai Bersamamu   37. Keputusan Azmi

    Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal

  • Mahligai Bersamamu   36. Pemakaman

    Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam

  • Mahligai Bersamamu   35. Kecelakaan

    Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh

  • Mahligai Bersamamu   34. Panggilan Dari Khalid

    Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura

  • Mahligai Bersamamu   33. Allah Perencana Terbaik

    Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal

  • Mahligai Bersamamu   32. Dighosting Emang Enak?

    Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu

  • Mahligai Bersamamu   31. Para Bidadarinya Azmi

    Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat

DMCA.com Protection Status