Home / Romansa / Mahligai Bersamamu / 4. Om Azmi Butuh Istri

Share

4. Om Azmi Butuh Istri

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Azmi tengah bermain bola dengan ketiga Aslan. Mumpung minggu ceritanya sedangkan Azzam dan Caca sedang menghadiri undangan pengajian. Quila sendiri tengah di asuh oleh Jenar.

"Jurus tendangan tanpa bayangan. Hiyaa." Seru Azada.

"Jurus jaring laba-laba menangkap mangsa. Hap." Azmi menangkap bola yang ditendang oleh Azada.

"Yah.... Gagal maning." keluh Azada. Ini sudah kelima kalinya dia gagal memasukkan bola.

"Hehehe. Ayok katanya mau kayak Ronaldo atau Messi."

"Gantian. Minggir." Aidan yang paling jago olahraga diantara ketiganya langsung ancang-ancang dengan seringai dinginnya mirip sang abah.

1.....2....3 tendang....

"Yeah... Gol... Gol... Gol.... "

Astaga Azmi benar-benar terkecoh. Beneran deh emang Aidan paling jago olahraga diantara ketiganya mirip mas Azzam plus sikap dinginnya. Eh ... tapi mbak Caca juga untuk ukuran cewek jago olahraga. Dia masih ingat pas main bola voli kena smash dari mbak Caca, ya Allah sakitnya luar biasa.

Kalau Abrisam dari segi kejeniusan nurun emak bapaknya. Azada??? Entahlah dia mirip siapa? Dulunya dia pikir mirip mbak Caca tapi mbak Caca khan cuma pecicilan sama juteknya yang gak ketulungan. Kalau ini astaga rajanya pecicilan plus kejahilan plus ketengilan. Hadeh...

Heran dia, bisa-bisanya anak-anak masnya kayak gini. Tapi meski begitu mereka termasuk anak-anak yang cerdas dan masih tahu aturan. Meski duo jahil sering bikin ulah namun mereka akan berhenti jika menganggap kejahilan mereka sudah diluar batas.

"Yah... Gagal nih om ganteng. Oke, ayo Abri giliran kamu."

"Oke om."

Abri menendang bola... Hap berhasil ditangkap. Lalu menendang lagi ... Hap. Berhasil ditangkap lagi. Tendangan ketiga... Gooooollll.

"Yes." sahut Abrisam kalem.

Nah itulah kelebihan si Jenius. Meski kemampuan olahraganya dibawah Aidan namun ahli dalam strategi dan perhitungan. Tendangan pertama dan keduanya hanya taktik untuk mengetahui kelemahan lawan. Abri sudah menduga jika bola akan susah ditangkap omnya jika dia menendang ke sebelah kiri karena kaki Azmi memang sedikit sakit akibat kemarin kejatuhan kardus berisi pigura saat membantu para karyawannya di studio miliknya yang ada di Purwokerto. Azmi punya tiga studio foto, pertama di Jogja, Purwokerto dan Bumiayu. Usaha ini sudah dia rintis semenjak masuk kuliah dengan modal dari masnya.

"Yah... berarti tinggal Azada. Ayok Zada kita mulai lagi."

"Oke."

Setelah menendang lebih dari sepuluh kali akhirnya Azada berhasil memasukkan bola. Inilah kelebihan Azada, dia pantang menyerah. Dia akan selalu menggapai apapun meski jatuh berkali-kali. Dan murah senyum tentu saja.

"Gus.. Minumnya." Jenar membawakan minuman dibantu Fitri.

"Oh makasih mbak." sahut Azmi.

"Mbak Jeje, makan." pinta Azada.

"Gus Zada mau makan? Mbak siapin dulu ya."

"Oke."

"Gus Aidan dan Gus Abri mau juga?"

"Boleh." sahut keduanya.

"Aku gak kamu tawari mbak?"

"Oh... Hehehe. Maaf gus, lupa. Gus Azmi mau makan juga?"

"Boleh."

"Jeje sama Fitri siapin dulu ya gus."

"Oke." sahut keempat gus itu lalu kembali bermain bola.

Di dapur Fitri dan Jenar sibuk menyiapkan makanan. Quila sendiri tengah di asuh oleh Afi dan Desi yang sudah pulang dari kuliah.

"Monggo gus, sudah siap." Jenar memberitahu keempat gusnya.

"Iya mbak. Ayo triplet kita makan dulu."

"Oke." sahut ketiganya kompak.

Ketiganya mencuci tangan dan menuju ruang makan. Keempat gus ini makan dengan lahap.

****

Siangnya Azmi mengajak Aslan Triplet menuju studionya. Kebetulan studio sedang ramai sekali. Ketiga Aslan sudah diamankan di ruangan bermain anak bersama anak-anak yang lain. Azmi sengaja menyediakan arena khusus anak atas pertimbangan sang kakak. Dan ternyata benar. Dengan adanya arena ini, para orang tua jadi fokus bertransaksi tanpa direcoki anak-anaknya. Dan pelayanan berjalan semaksimal mungkin.

Saat tengah sibuk mengecek data keuangan ketiga cabang studionya, pintu ruangan Azmi diketuk.

"Masuk."

"Mas ... Ada yang nyari." Farid salah satu karyawannya masuk sambil membawa beberapa berkas yang diminta oleh Azmi.

Azmi lebih suka dipanggil mas atau bos oleh karyawannya. Baginya kalau di tempat kerja ya artinya kerja. Beda kalau di pondok.

"Siapa Farid?"

"Gus Zainal."

"Owh... Suruh masuk ya Rid."

"Siap bos."

Tak lama kemudian Zainal masuk bersama seorang wanita cantik, ning

Hafsah.

"Azmi."

"Hai Zai, gimana kabar?"

"Baik alhamdulillah."

"Kamu balik kok gak kasih kabar sih sama aku." sambung gus Zainal.

"Hehehe. Baru seminggu aku balik Zai. Maaf sibuk ngurusi ini itu. Gimana ada yang bisa aku bantu."

"Ini adikku mau foto wisuda, katanya pengen foto sendiri di foto studio biar hasilnya bagus."

"Bisa, tenang aja. Nanti aku minta salah satu juru potret terbaikku buat foto adik kamu."

"Kamu aja gimana? Khusus buat adikku, ya."

"Maaf, aku hanya melayani keluarga dan lelaki."

"Ck. Plis ya Mi, adikku pengen banget difoto sama kamu."

"Sori Zai, aku gak bisa."

"Ya gini aja halalin adikku ya, biar nanti dia bisa minta kamu fotoin."

"Hahaha. Gak usah bercanda Zai, Iqbal mau dikemanain. Udah kalau ning Hafsah mau silakan nanti aku minta karyawanku buat motoin tapi kalau gak mau ya sudah."

"Ah.... Gak asik kamu Mi."

"Sorry Zai, prinsip. Hehehe."

"Gimana dek?"

"Ya sudah gak papa mas."

"Beneran?"

"Iya."

"Ya sudah. Oke bolehlah, mau sekarang apa besok?"

"Besok saja mas, kan Hafsah belum bawa toga dan yang lainnya."

"Oke. Kalau gitu aku pamit ya Mi."

"Iya Zai."

Azmi menatap kepergian sahabat mondoknya waktu di Bumiayu. Setelah mereka pergi Azmi segera melanjutkan pekerjaannya.

Sementara di luar studio, tepatnya di dalam sebuah mobil Zainal dan Hafsah tengah ngobrol serius.

"Dek, mas gak setuju cara kamu. Mas tahu kamu suka sama Azmi sejak pertama bertemu, saat kamu ikut acara reuninya mas. Cuma kamu sudah di ta'aruf kan sama Iqbal dan kamu sudah setuju loh."

"Tapi Hafsah gak cinta mas."

"Lalu kenapa kamu mengiyakan, dek? Masa mau kamu batalin. Nanti orang tua kita yang malu."

"Waktu itu gus Azmi masih menunggu calonnya siap, tapi aku denger dari sahabatku di Jogja, gus Azmi memilih mundur karena calonnya mau melanjutkan spesialis."

"Tapi mas gak setuju dengan cara kamu dek. Beneran. Mas takut marwah kamu nanti tercemar belum lagi nama baik abi dan umi."

"Ya bilang aja, Hafsah belum siap dan merasa ragu gitu mas. Bukannya Allah gak suka keragu-raguan?"

"Iya bener. Tapi kamu yakin Azmi bakalan cinta sama kamu?"

"Ini Hafsah lagi berusaha mas. Makanya mas bantu aku dong."

"Mas cuma takut kamu kayak mbak Asyifa sepupu kita. Ingat kan kasusnya dulu. Dia memutuskan tali pertunangan dengan gus Jamal berharap jadi isterinya gus Azzam. Tapi lihat, gus Azzamnya gak dapat, mau balik lagi ke gus Jamal, gus Jamalnya juga gak mau. Akhirnya apa? Dia nikah sama ah... Sudahlah. Gak perlu mas bicarakan."

"Beda lah mas. Makanya Hafsah gak mau kayak mbak Asyifa yang nikah sama mas Dika karena gak ada calon lainnya. Lagian Hafsah baru tahap mau ta'aruf belum lamaran."

"Terserah kamu lah, tapi ingat jaga nama baik loh."

"Beres mas."

Aslinya Zainal agak was-was. Dia paham karakter pria dalam keluarga abah Ilyas. Abinya sendiri adalah saksi bagaimana seorang abah Ilyas mempertahankan umi Aisyah, kakak sepupunya Furqon adalah saksi bagaimana gus Azzam menolak Asyifa dan memperjuangkan ning Caca untuk menjadi istrinya hingga sekarang. Zainal takut, jika Hafsah akan mengalami hal yang sama. Karena sedikit banyak Zainal tahu karakter Azmi pun tak jauh berbeda dengan abah dan kakaknya. Tujuh tahun dia sabar menunggu pujaan hatinya, menandakan kalau dia tipe pria setia. Adapun sekarang dia menyerah pasti karena ada alasan. Meskipun Azmi belum tentu berjodoh dengan wanita yang ditunggunya namun bukan berarti Hafsah juga bisa menjadi penggantinya. Apalagi ketika dia ikut istikharah untuk adiknya hasilnya sungguh tak baik. Dia seperti mendapat petunjuk melalui keyakinan bahwa adiknya tidak berjodoh dengan Azmi. Tapi sayang adiknya walau terlihat kalem dan penurut aslinya keras kepala dan maunya segala yang ia ingin harus terpenuhi.

****

"Hem... Enak. Ini bukan masakan umi atau mbak Caca kayaknya. Siapa yang masak umi?" tanya Azmi.

"Owh... Jenar. Khadamah baru kita."

"Owh... Pinter masak kayak umi sama mbak Caca."

"Iya... Makanya umi seneng ada dia, kalau umi sama mbak Caca lagi repot dia bisa gantiin kita masak. Tapi khadamah yang lain juga pinter masak sih cuma ya.... Sssttt. Jangan keras-keras. Ndak enak umi ngomongnya." bisik umi Aisyah.

"Hehehe. Beres umi. Lagian kayak suami, anak dan cucunya umi rewel urusan makan."

"Bener. Kalian itu kalau masalah makanan paling gampang jadinya gak bisa buat rekomendasi masalah warung makan yang enak."

"Hahahaha. Tapi kita paling suka makanan rumahan umi. Lebih sehat dan enak dengan koki paling cantik sedunianya abah Ilyas dan keluarga singa."

"Hahaha. Eh ngomong-ngomong singa, ketiga singa kecil sama singa cantik umi kok gak kelihatan ini?"

"Kayaknya jalan-jalan umi. Sama mbak Jenar dan khadamah yang lain."

"Oh ya? Padahal triplet paling susah kalau diasuh sama mbak-mbak khadamah. Tumben ini. Ah coba kalau umi punya anak cowok lagi tak jodohkan sama Jenar."

"Umi.... Nyadar um. Udah tua, paling nanti nambahnya cucu. Lagian ngapain nyari anak lagi. Orang ada Azmi juga, lupa kalau Azmi jomblo dan butuh calon istri."

"Hahaha. Beneran kamu mau? Umi jodohin nih."

"Hahaha. Gak lah um, Azmi belum move on kasihan Jenarnya. Takut Azmi jadiin pelampiasan. Biar waktu yang menunjukkan aja. Kalau jodoh gak akan kemana."

"Betul. Kamu harus move on dulu. Insya Allah jodohmu udah disiapkan sama Allah, lagian kamu masih 27. Mas kamu aja nikah pas 29. Jadi kamu masih punya dua tahun lagi biar rekornya kayak mas kamu. Tapi usahakan jangan melebihi rekor abah, 30 tahun baru nikah."

"Hahaha. Kalau abah nikah muda gak ketemu umi dong."

"Iya ya."

Kedua ibu dan anak masih sibuk ngobrol dan sesekali tertawa. Abah Ilyas mengintip dari balik pintu kamarnya.

"Tenang Azmi, abah punya firasat jodoh kamu sebentar lagi datang." ucap abah Ilyas sambil tersenyum lalu memilih kembali untuk beristirahat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Mbah..." teriak ketiga Aslan.

"Sini duduk makan dulu."

"Siap mbah."

"Ikutan makan yuk!" ajak umi Aisyah kepada keempat khadamah.

"Mboten umi, kami sudah makan kami lanjut ke kamar dulu mau siap-siap ada kuliah jam sembilan nanti."

"Ya sudah."

"Quila tidur Je."

"Nggih umi, ini mau Jeje taruh di kamar."

"Ya sudah bawa ke kamar dulu sana."

"Nggih umi."

Selesai menidurkan Quila. Jenar membantu umi mengurus ketiga cucunya yang sudah lapar habis jalan-jalan pagi. Kebetulan mereka libur karena para gurunya sedang mengawasi pelaksanaan ujian sekolah untuk kelas 6.

"Ayam mbak." pinta Azada.

"Siap gus."

"Udang mbak." kali ini Aidan yang meminta.

"Oke gus."

"Kamu ikutan makan." titah umi Aisyah.

"Mboten umi, Jeje masih kenyang."

"Gak usah malu dan jangan nolak, pokoknya harus ikut." paksa umi Aisyah.

Akhirnya Jenar ikutan makan meski dengan sangat canggung.

"Umi, minta tolong sayur kangkungnya."

Refleks Jeje mendekatkan sayur kangkung ke arah gus Azmi bahkan menuangkannya kedalam piring gus Azmi.

"Makasih mbak."

"Sama-sama gus."

"Widih..... Suit.. Suit..." Azada berteriak jahil.

"Kenapa kamu Zada." tanya Azmi melirik keponakan tengilnya namun masih dengan mengunyah makanan.

"Om sama mbak Jeje, kayak abah sama umi. Kayak simbah berdua juga. Eh bukannya istri tugasnya meladeni suami ya?"

"Iya. Kenapa emangnya?"

"Berarti mbak Jeje istrinya om dong, orang dari tadi dan kemarin dan kemarinnya lagi meladeni om pas makan."

"Uhukk... Uhuk." Azmi tersedak makanannya sedangkan Jeje membulatkan matanya.

"Ngawur."

Akhirnya acara makan kembali tenang.

Saat akan menuju mobilnya, Azmi kelabakan mencari kunci mobilnya.

"Astaga kebiasaan asal naruhmu itu loh Mi." omel umi Aisyah saat membantu putranya mencari kunci dan dibantu Aslan triplet.

"Pripun umi? Umi mau nyari apa?" tanya Jenar yang baru datang dan sedang menitah Quila.

"Ini nyari kunci mobilnya Azmi."

"Coba di ruang tamu umi, kayaknya tadi guse teleponan di sana."

"Oh... iya Azmi lupa."

Gus Azmi langsung ke ruang tamu dan menemukan kuncinya tergeletak di meja sudut sofa.

"Ketemu Azmi?"

"Ketemu Umi." terang gus Azmi sambil menunjukkan kuncinya.

"Hahahaha. Om Azmi butuh istri deh." celetuk Azada.

"Iya salah satunya biar bisa ngingetin betapa pelupanya om kita." sahut Aidan.

"Dan betapa tak bisa nyari apa-apa tanpa bantuan orang lain." kini Abrisam ikut menyahut.

"Hahaha. Tuh Mi, ketiga keponakanmu aja tahu kalau kamu butuh istri. Ya kan mbak Jenar."

"Iya.... Eh... Itu... Anu... Ehm. Saya permisi dulu nggih umi, kayaknya ning Quila pengin keluar rumah."

Jenar langsung keluar dengan salah tingkah, hal itu tidak luput dari perhatian Azmi bahkan Azmi terkekeh melihat keluguan Jenar.

Related chapters

  • Mahligai Bersamamu   5. Ndeso Bin Katrok

    “Ooom!” teriak Azada.“Iya.”“Ayok ke Timezone.”“Boleh.”“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”“Ikut,” jawab keduanya kompak.“Siap-siap sana!”“Oke.”Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?

  • Mahligai Bersamamu   6. Surat Menyurat

    “Gus.”“Eh. Ning Hafsah.”“Iya saya.”“Ada apa, Ning?”“Mau ambil foto, Gus.”“Oh. Saya duluan ya.”“Eh. Gus tunggu!”Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.“Iya.”“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”“Bos.”“Iya.”“Semua sudah siap.”“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan i

  • Mahligai Bersamamu   7. Jadi Ustazah

    “Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w

  • Mahligai Bersamamu   8. Jangan Memancing Keributan

    “Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,

  • Mahligai Bersamamu   9. Hati Gak Bisa Dipaksa

    Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta

  • Mahligai Bersamamu   10. Turunan Al Kaivan

    “Kenapa kamu?”“Aku gagal ta’aruf Mi.”“Oh.”“Hanya oh saja, ya ampun Azmi. Kamu tuh gak ngerti rasanya. Seseorang yang selama dua tahun ini kamu harapkan dan kamu ingin lebih mengenal dia, malah ternyata gagal karena dia sudah dilamar sama orang lain. Nyesek tahu. Rasanya itu ... sakit.”Azmi memilih menikmati bakso uratnya dengan lahap dan hanya mendengarkan keluhan sahabatnya Gus Amar. Gus asal Jember yang sedang main ke Purwokerto.“Kamu gak bakalan paham Azmi. Kamu, kan ....” Amar menghentikan kalimatnya lalu nyengir dengan perasaan bersalah.“Kamu itu baru ta’aruf Mar. Aku ini loh tujuh tahun dikasih harapan sama Yasmin.”“Hehehe. Sorry Mi, lupa.”Azmi hanya meliriknya dan melanjutkan makan bahkan dia memesan semangkok bakso lagi.“Azmi.”“Hem

  • Mahligai Bersamamu   11. Bersamamu Dalam Halal

    Jenar duduk dengan gelisah. Dari tadi dia terus menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sesekali dia melirik ke ruang tamu yang terhalang tirai. Para sahabatnya menemaninya dan berusaha menenangkannya.“Grogi ya Je?” tanya Desi.“Iya.”“Kan aku bilang juga apa? Kamu bisa jadi kandidat istri Gus Azmi. Tuh kan, beneran. Hihihi.”“Iya, temen kita yang Ndeso bin Katrok akhirnya bikin Guse jatuh hati,” tambah Afi.Terdengarlah tawa ketiganya yang langsung terdiam ketika mendapat deheman dari Caca. Sementara di ruang tamu, Keluarga besar Al Hikam terdiri dari Abah Ilyas, Azzam, Azmi dan beberapa anggota yang lain tengah rembugan dengan keluarga Jenar.“Jadi Pak, kedatangan kami k esini untuk melamar putri Bapak, Jenar untuk menjadi istri putra bungsu saya. Bagaimana Pak? Bapak kersa mboten sama anak saya ini buat jadi mantu.”Karmin dan Minah terharu. Mereka yang ha

  • Mahligai Bersamamu   12. Karma

    “Wow ... tempatnya indah ya, Mas?”“Iya. Kamu suka?”“Suka sekali. Mas Azmi kok kepikiran ke sini sih?”“Gara-gara Mas Azzam sama Mbak Caca pernah honeymoon ke sini. Makanya aku juga pengin ke sini sama istriku nanti.”“Oh iya, kok Mbak Caca sama Mas Azzam mau honeymoon malah bawa Mas Azmi sih?”“Hahaha.”Azmi lalu menceritakan bagaimana dulu ia dan Nada mengikuti kemana pun acara bulan madu Azzam sama Caca.“Ya Allah Mas. Mas Azmi sama Mbak Nada bener-bener ya.”“Hehehe. Makanya aku seneng kita gak direcoki sama Aslan bersaudara jadi aku bisa seneng-seneng sama kamu.”Azmi langsung memutar-mutar kerudung Jenar yang menjuntai. Binar matanya terlihat begitu mendamba. Jenar yang paham arti tatapan suaminya hanya menunduk malu. Azmi tertawa dibuatnya kemudian mencubit pipi sang istri.“Ish

Latest chapter

  • Mahligai Bersamamu   39. Keluarga Bahagia (Sesion 1 Tamat)

    Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala

  • Mahligai Bersamamu   38. Kyamud Dan Bunyamud

    Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis

  • Mahligai Bersamamu   37. Keputusan Azmi

    Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal

  • Mahligai Bersamamu   36. Pemakaman

    Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam

  • Mahligai Bersamamu   35. Kecelakaan

    Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh

  • Mahligai Bersamamu   34. Panggilan Dari Khalid

    Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura

  • Mahligai Bersamamu   33. Allah Perencana Terbaik

    Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal

  • Mahligai Bersamamu   32. Dighosting Emang Enak?

    Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu

  • Mahligai Bersamamu   31. Para Bidadarinya Azmi

    Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat

DMCA.com Protection Status