Home / Romansa / Mahligai Bersamamu / 3. Pertemuan Separuh Hati

Share

3. Pertemuan Separuh Hati

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jenar tengah memandang gerbang pesantren Al-Hikam, kakaknya sedang bertanya kepada satpam yang sedang bertugas di posnya. Karena bus yang mereka tumpangi sempat mogok lama sehingga mereka baru sampai di Al-Hikam pukul 8 malam. Sepertinya sedang ada pengajian rutinan.

Jenar menarik nafasnya dalam-dalam. Entah apa yang dirasakan oleh separuh hatinya. Kenapa Jenar bilang separuh? Karena separuhnya lagi sedang terluka akibat dititipkan kepada Arif. Lelaki yang Jenar anggap bisa menjaga separuh hatinya justru malah menjadi si pemberi luka. Jadi saat ini Jenar hidup hanya dengan separuh hati saja.

Jenar menatap gerbang bertuliskan Al-Hikam dengan penuh minat.

Tin... Tin...Tin.

Jenar tersentak dan otomatis minggir ke arah kanan. Seorang pemuda melongok melalui kaca mobil.

"Mbaknya mau mondok?"

Tampan... Bisik hati Jenar.

"Mbak...mbak..." teriak Azmi.

"Eh... Iya mas."

Azmi tersenyum melihat tingkah Jenar. Sebagai lelaki, Azmi terpesona dengan wajah ayu sang gadis. Sekali lihat saja, Azmi tau kalau gadis di depannya sangat lugu.

"Sendirian?"

"Enggak mas, sama kakak saya cuma lagi tanya sama pak satpam disana."

"Oh..."

Cakra datang ke arah mereka.

"Je... Bener ini rumah pengurus pusatnya disini. Ayok kita masuk."

"Mau ke ndalem mas?" tanya Azmi.

"Nggih mas."

"Mari ikut saya sekalian."

"Wah, matur nuwun... Ayok Je ikut masnya. Mumpung ada tumpangan."

Jeje mengangguk dan membuka pintu belakang sedangkan Cakra duduk di samping Azmi. Selama perjalanan baik Azmi dan Cakra nampak ngobrol dengan akrab. Jenar sendiri lebih suka menjadi pendengar.

****

"Assalamualaikum."

"W*'alaikumsalam."

"Om....."

Teriak tiga anak berusia sekitar 9 tahunan ke arah Azmi.

"Keponakanku sayang." Seru Azmi sumringah.

Azmi memeluk dan mencium satu persatu keponakannya.

"Azmiii." pekik umi Aisyah.

"Umiiii. Azmi kangen umi. Mas Azzam, Azmi kangen. Mbak Cacaaaa.... Azmi juga kangen. Acquila, keponakan om yang paling cantik."

Azmi memeluk satu persatu anggota keluarganya kecuali Caca tentu saja. Hahaha.

"Bah..."Azmi menghampiri abah Ilyas yang tengah duduk menyandar pada sofa. Abah Ilyas tersenyum sumringah melihat putra bungsunya.

"Kamu pulang Mi?"

"Nggih bah, Azmi pulang." Azmi mencium tangan abahnya dan memeluknya erat sekali.

"Alhamdulillah." Abah Ilyas menepuk-nepuk punggung putra bungsunya.

Semua keharuan ini tak lepas dari pengamatan Jenar dan Cakra. Jenar bahkan hampir mewek karena melihat keharuan antara anak dan ayahnya. Jenar jadi ingat pada kedua orang tuanya.

"Pripun mas, mbak? Ada yang bisa kami bantu?" tanya Caca ketika menyadari ada tamu yang datang.

"Ini ning, saya mau mengantar adik saya mondok disini.

"Oh... Mas Azzam ada yang mau mondok."

"Oh... Azmi bisa kamu jaga Quila sama Aslan Triplet. Mas sama mbak Caca mau menemui tamu dulu."

"Beres mas."

"Mari." ajak Azzam pada kedua tamunya.

****

"Mbak Jenar nanti tidur di kamar ini ya. Kamar pojok ini jarang ada yang mau pake katanya berhantu. Mbak Jenar takut hantu gak?"

"Mboten ning. Saya takutnya di kasih hati dan di PHP-in doang." sahut Jenar.

"Hahahaha. Gitu yah. Ya udah deh. Tenang aja penghuninya baik selama yang tidur di sini gak bikin ulah."

"Nggih ning."

"Ya sudah saya tinggal ya mbak. Takut dicari sama anak-anak."

"Nggih ning."

"Semoga kerasan ya mbak Jenar. Punya panggilan sayang gak mbak?"

"Jeje ning."

"Wow panggilannya bagus mbak."

"Ya sudah, mbak Jeje istirahat dulu ya. Saya tak pamit." lanjut Caca.

"Monggo ning."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah Caca pergi, Jenar langsung masuk ke kamarnya. Benar kata ning Caca ternyata ada penghuninya. Meski begitu Jenar tahu kalau penghuninya tak akan mengganggu Jenar selama Jenar berkelakuan baik.

Setelah membersihkan diri, Jenar merebahkan dirinya di kasur lantai. Jenar menatap langit kamar. Pikirannya melayang pada kedua orang tuanya dan juga Arif. Ah... Ayolah Je move on. Kamu harus bisa move on. Ingat Arif sudah menjadi suami orang. Karena rasa lelah dan capek hati akhirnya Jeje tertidur juga.

Sementara di kamarnya Azmi tengah melihat ponselnya. Sejak tadi Yasmin menghubunginya. Dari mulai chat hingga ratusan telepon namun sengaja diabaikan oleh Azmi. Percuma. Karena setelah membaca chat Yasmin isinya sama saja. Azmi disuruh menunggu lagi. Dan Azmi sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tak akan menunggu Yasmin lagi. Dia memang tak tahu takdir jodohnya tapi setelah mendapatkan wejangan dari sang abah, Azmi sadar jika selama ini dia terlalu mengedepankan rasa cintanya pada manusia tanpa mengedepankan rasa cintanya kepada Allah.

"Om..." teriak Azada.

"Iya. Kenapa?"

"Zada bobok sini ya?"

"Oke. Sini bobok sama om."

Azada segera merebahkan dirinya di samping Azmi. Dalam waktu tak kurang dari lima menit, keduanya sudah terbuai dalam mimpi.

Azzam seperti biasanya menengok ketiga putranya. Begitu sadar hanya ada Abrisam dan Aidan, dia langsung menuju ke kamar adiknya. Azzam tersenyum melihat adik dan putranya sudah tidur dengan memeluk guling masing-masing. Azzam pun segera masuk ke kamarnya dimana sang istri baru saja menidurkan Acquila Chana Mustika Aslan di box tempat tidurnya. Puterinya baru berumur satu tahun.

"Udah pada tidur mereka mas."

"Udah, Azada malah tidur di kamar Azmi."

"Oh."

Azzam merebahkan tubuhnya dan menepuk bahu kirinya. Caca yang sudah tahu maksud sang suami segera merebahkan diri disamping sang suami dan menjadikan bahu sang suami sebagai bantalnya.

"Hemmm... Selalu senyaman ini." gumam Caca.

"Hemmm. Dan selalu sehangat ini." sahut Azzam.

Mereka saling berpandangan dan tersenyum manis. Selanjutnya jangan tanya lagi, Azzam segera memperpendek jarak wajahnya dengan wajah sang istri. Azzam mengajak Caca mengarungi samudra cinta dengan penuh gelora. Dinginnya malam tak mereka rasakan lagi, justru rasa gerah nan panas akibat keringat yang dihasilkan lewat olahraga malam yang tengah mereka lakukan. Hihihi.

****

Jenar sedang membantu para khadamah memasak makanan untuk keluarga kyai. Jenar sudah berkenalan dengan para khadamah lain yaitu Fitri, Afi, dan Desi. Rupanya mereka seumuran. Mereka bertiga kini menjadi mahasiswi semester empat di universitas Al-Hikam dengan mengambil jurusan PGSD.

"Mbak Jenar bisa tidur nyenyak semalam?" tanya Afi.

"Jenar atau Jeje aja mbak. Bisa. Kenapa?"

"Kamar pojok terkenal angker loh mbak... Eh Je maksudnya." sahut Desi.

"Benarkah?"

"Iya. Terakhir kamar itu lama ditempati sama ning Caca. Tapi setelah ning Caca jadi istrinya gus Azzam. Kamar itu gak ada yang mau menempati lagi. Katanya kalau yang tidur disitu sering di ganggu gitu." kini Fitri yang bersuara.

"Oh ya, benarkah?"

"Iya beneran. Katanya..."

"Ekhem."

Keempat gadis itu segera menoleh ke sumber suara. Mereka langsung kikuk mendapati gus Azmi tengah berada di antara mereka tanpa mereka sadari.

"Maaf ya mbak, cuma mau tanya makanannya udah siap belum. Itu Aslan triplet udah pada minta makan, abah juga harus makan biar bisa minum obat. Oh iya sekalian bisa buatkan saya kopi kalau kalian udah selesai ngrumpinya."

"Nggih gus." ucap keempatnya sambil menunduk.

Setelah gus Azmi pergi, ketiga teman baru Jenar langsung heboh.

"Duh gantengnya."

"Ya Allah, mau aku jadi istrinya gus Azmi. Ternyata benar gus Azmi gantengnya kayak gus Azzam."

"Iya. Lebih muda lagi."

Jenar hanya tersenyum menatap tingkah ketiga sahabat barunya. Dia pernah dengar dari teman-temannya bahwa salah satu kesenangan dalam mondok adalah mengagumi para gus, terutama kalau gusnya tampan. Jenar yang hanya mondok di pondok kecil yang masih berada di lingkungan kampungnya di Wonosobo tidak pernah menemukan gus karena anak kyainya cuma ning Alifah. Mengingat ning Alifah lagi-lagi Jenar teringat akan Arif. Huft... Move on ternyata susah juga.

****

"Kamu yang kerasan disini. Habis ini mas mau balik Kalimantan lagi."

"Iya mas."

"Ngajinya yang bener. Sama bantu-bantu keluarga kyai dengan tawadu ya. Yang ikhlas."

"Nggih mas."

"Jangan nangisan."

"Iya mas."

"Jangan baperan."

"Iya mas."

"Jangan lupa move on."

"Iyaaaa mas Cakra. Udah deh sana pergi."

"Hehehe. Oke. Mas pulang ya. Jangan ...."

"Waalaikumsalam."

"Hahaha. Assalamualaikum."

Jenar menunggu sampai Cakra naik gojeg dan tak terlihat lagi. Setetes air matanya jatuh namun segera ia hapus.

Saat berbalik menuju ndalem secara tidak sengaja dia bertubrukan dengan Azmi yang tengah tergesa-gesa.

"Astaghfirullah." seru keduanya.

"M-maaf gus."

"Eh.. I-iya. Saya yang harusnya minta maaf."

Keduanya tersenyum kikuk hingga niat hati ingin segera pergi dari kecanggungan mereka malah bergerak berlawanan arah. Azmi ke kirinya, Jenar ke kanannya. Sehingga mereka justru bergerak ke sisi yang sama.

Deg.

Mereka otomatis berganti arah namun malah beralih ke sisi yang sama lagi bahkan sampai tiga kali. Hingga akhirnya Azmi bergerak ke samping kiri sedangkan Jenar ke samping kanan. Dan mereka pun melangkah berlawanan arah. Jenar menuju ndalem, Azmi keluar ndalem.

Azmi segera melangkah menuju mobilnya. Dia memegang dadanya. Astaga, baru kali ini dia bersentuhan tak sengaja dengan lawan jenisnya. Dan rasanya entahlah. Sesuatu dalam dadanya berdebar kencang. Huft... Setelah menormalkan detak jantungnya, Azmi segera melajukan mobilnya.

Hal serupa terjadi dengan Jenar. Sesampainya di dapur. Jenar menyandar pada dinding. Dia meraba jantungnya yang sudah jumpalitan.

"Wangi... Khas cowok. Bahkan lebih wangi dari mas Cakra yang parfumnya cuma seharga lima belas ribu."

"Mbak Jeje lagi ngapain?" tanya Caca. Jenar sendiri kaget bukan main.

"Eh... Ning Caca. Anu saya... Saya... Habis teringat sama bapak dan simbok di rumah. Hehehe." ucap Jenar sambil cengar cengir gaje.

"Oh... Bantuin saya ya, jagain Quila. Soalnya saya ada jadwal ngajar di SMA sama di Universitas. Susunya Quila udah ada di kulkas tinggal di angetin aja. Makannya juga udah saya siapin. Biasanya jam 10 saya kasih biskuit kalau enggak buah. Semaunya Quila aja ya mbak."

"Oh.. Nggih ning."

"Ya sudah. Quila-nya sedang bobok di kamar bawah ya. Tenang Aslan triplet sekolahnya sampai sore. Njenengan aman dari gangguan ketiga singa kecilku. Paling saya minta tolong njenengan bantuin umi kalau umi butuh bantuan buat merawat abah."

"Nggih ning."

"Ya sudah. Pergi dulu ya mbak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Jenar yang mudah akrab dengan anak kecil tak merasa kesulitan dengan Acquila. Bahkan ketika tiga singa kecil pulang dari sekolahnya, Jenar langsung bisa mengendalikan ketiganya. Bahkan si duo perusuh Aidan-Azada pun bertekuk lutut pada Jenar. Mengingat selama ini banyak khadamah yang angkat tangan dalam mengasuh mereka berdua. Kalau Abrisam itu sangat kalem dan mudah dijaga namun sayang Abrisam jarang mau diurusi sama mbak-mbak khadamah. Dia lebih suka mandi dan apa-apa sendiri. Pokoknya mandiri sekali. Sehingga mbak-mbak khadamah cuma bisa gigit jari. Yah... Gagal deh colek-colek gus triplet yang cakepnya kebangetan huhuhu. Cucian deh...

Related chapters

  • Mahligai Bersamamu   4. Om Azmi Butuh Istri

    Azmi tengah bermain bola dengan ketiga Aslan. Mumpung minggu ceritanya sedangkan Azzam dan Caca sedang menghadiri undangan pengajian. Quila sendiri tengah di asuh oleh Jenar."Jurus tendangan tanpa bayangan. Hiyaa." Seru Azada."Jurus jaring laba-laba menangkap mangsa. Hap." Azmi menangkap bola yang ditendang oleh Azada."Yah.... Gagal maning." keluh Azada. Ini sudah kelima kalinya dia gagal memasukkan bola."Hehehe. Ayok katanya mau kayak Ronaldo atau Messi.""Gantian. Minggir." Aidan yang paling jago olahraga diantara ketiganya langsung ancang-ancang dengan seringai dinginnya mirip sang abah.1.....2....3 tendang...."Yeah... Gol... Gol... Gol.... "Astaga Azmi benar-benar terkecoh. Beneran deh emang Aidan paling jago olahraga diantara ketiganya mirip mas Azzam plus sikap dinginnya. Eh ... tapi mbak Caca juga untuk ukuran cewek jago olah

  • Mahligai Bersamamu   5. Ndeso Bin Katrok

    “Ooom!” teriak Azada.“Iya.”“Ayok ke Timezone.”“Boleh.”“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”“Ikut,” jawab keduanya kompak.“Siap-siap sana!”“Oke.”Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?

  • Mahligai Bersamamu   6. Surat Menyurat

    “Gus.”“Eh. Ning Hafsah.”“Iya saya.”“Ada apa, Ning?”“Mau ambil foto, Gus.”“Oh. Saya duluan ya.”“Eh. Gus tunggu!”Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.“Iya.”“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”“Bos.”“Iya.”“Semua sudah siap.”“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan i

  • Mahligai Bersamamu   7. Jadi Ustazah

    “Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w

  • Mahligai Bersamamu   8. Jangan Memancing Keributan

    “Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,

  • Mahligai Bersamamu   9. Hati Gak Bisa Dipaksa

    Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta

  • Mahligai Bersamamu   10. Turunan Al Kaivan

    “Kenapa kamu?”“Aku gagal ta’aruf Mi.”“Oh.”“Hanya oh saja, ya ampun Azmi. Kamu tuh gak ngerti rasanya. Seseorang yang selama dua tahun ini kamu harapkan dan kamu ingin lebih mengenal dia, malah ternyata gagal karena dia sudah dilamar sama orang lain. Nyesek tahu. Rasanya itu ... sakit.”Azmi memilih menikmati bakso uratnya dengan lahap dan hanya mendengarkan keluhan sahabatnya Gus Amar. Gus asal Jember yang sedang main ke Purwokerto.“Kamu gak bakalan paham Azmi. Kamu, kan ....” Amar menghentikan kalimatnya lalu nyengir dengan perasaan bersalah.“Kamu itu baru ta’aruf Mar. Aku ini loh tujuh tahun dikasih harapan sama Yasmin.”“Hehehe. Sorry Mi, lupa.”Azmi hanya meliriknya dan melanjutkan makan bahkan dia memesan semangkok bakso lagi.“Azmi.”“Hem

  • Mahligai Bersamamu   11. Bersamamu Dalam Halal

    Jenar duduk dengan gelisah. Dari tadi dia terus menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sesekali dia melirik ke ruang tamu yang terhalang tirai. Para sahabatnya menemaninya dan berusaha menenangkannya.“Grogi ya Je?” tanya Desi.“Iya.”“Kan aku bilang juga apa? Kamu bisa jadi kandidat istri Gus Azmi. Tuh kan, beneran. Hihihi.”“Iya, temen kita yang Ndeso bin Katrok akhirnya bikin Guse jatuh hati,” tambah Afi.Terdengarlah tawa ketiganya yang langsung terdiam ketika mendapat deheman dari Caca. Sementara di ruang tamu, Keluarga besar Al Hikam terdiri dari Abah Ilyas, Azzam, Azmi dan beberapa anggota yang lain tengah rembugan dengan keluarga Jenar.“Jadi Pak, kedatangan kami k esini untuk melamar putri Bapak, Jenar untuk menjadi istri putra bungsu saya. Bagaimana Pak? Bapak kersa mboten sama anak saya ini buat jadi mantu.”Karmin dan Minah terharu. Mereka yang ha

Latest chapter

  • Mahligai Bersamamu   39. Keluarga Bahagia (Sesion 1 Tamat)

    Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala

  • Mahligai Bersamamu   38. Kyamud Dan Bunyamud

    Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis

  • Mahligai Bersamamu   37. Keputusan Azmi

    Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal

  • Mahligai Bersamamu   36. Pemakaman

    Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam

  • Mahligai Bersamamu   35. Kecelakaan

    Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh

  • Mahligai Bersamamu   34. Panggilan Dari Khalid

    Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura

  • Mahligai Bersamamu   33. Allah Perencana Terbaik

    Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal

  • Mahligai Bersamamu   32. Dighosting Emang Enak?

    Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu

  • Mahligai Bersamamu   31. Para Bidadarinya Azmi

    Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat

DMCA.com Protection Status