Seorang lelaki berusia 27 tahun tengah memandang lalu lintas kota Jogja dari balik kaca ruang kerjanya. Matanya menerawang tak fokus karena pikirannya tengah berjalan kemana-mana.
Sebuah dering ponsel memecah lamunannya. Kemudian dia mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon.
"Assalamu'alaikum mas."
"W*'alaikumsalam, Mi. Kamu apa kabar?"
"Baik mas. Mas sekeluarga gimana?"
"Baik. Tapi kondisi abah belum ada kemajuan Mi."
Gus Azmi menghembuskan nafasnya pelan.
"Azmi tinggal menyelesaikan satu masalah lagi mas. Setelah itu Azmi akan pulang."
"Azmi."
"Iya mas."
"Kamu tahu empat hal yang bisa menjadi patokan memilih istri."
Azmi menghembuskan nafasnya lagi.
"Tahu mas."
"Coba sebutkan."
"Nikahilah wanita karena 4 perkara yaitu 1. Harta, 2. Nasab, 3. Kecantikan dan 4. Agama."
"Lalu?"
"Pilihlah agamanya maka kalian akan beruntung." sahut Azmi lirih.
"Kamu yakin, Yasmin telah memenuhi keempat kriteria itu?"
Deg
Perkataan kakaknya sungguh menohok hati Azmi.
"Azmi."
Hening.
"Azmi."
"Eh... I-iya mas. Mas tadi ngomong apa?"
"Mas tanya apa Yasmin sudah masuk ke dalam empat kriteria itu?"
"Entahlah mas. Azmi tidak tahu."
"Dengarkan mas, Azmi. Jodoh memang rahasia Allah, banyak ujian sebelum kita bertemu dengan jodoh kita. Tapi melihat gelagat Yasmin, mas gak yakin kalau dia mencintai kamu."
"Maksud mas Azzam?"
"Azmi. Kalau Yasmin menyukaimu mas yakin harusnya alasan kuliah tak akan menjadi kendala."
"Yasmin hanya ingin fokus mas. Dia khan calon dokter."
"Baiklah, alasan itu bisa mas terima. Tapi untuk selanjutnya terserah kamu. Tapi saran mas, jika kali ini dia menolak kamu lagi. Maka mas tidak yakin dia mencintai kamu. Dia sepertinya gadis yang mencintai tittle saja. Nanti jika kalian menikah, mungkin kamu akan menjadi prioritas kesekian baginya. Terserah sama kamu. Abah, umi dan mas Azzam tak pernah mencampuri kamu akan menikah dengan siapa. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu."
"Azmi ngerti mas."
"Ya sudah semangat ya, mas harap kamu segera pulang buat menengok abah."
"Iya mas."
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam."
Klik.
Azmi melirik jam tangannya, baiklah ini waktunya dia janjian dengan Yasmin.
"Di, aku pergi dulu ya."
"Oke bos. Memangnya bos mau kemana?" tanya Didi sahabat sekaligus karyawan kepercayaannya.
"Ada perlu."
"Cie ... Cie ... Sama bu dokter ya bos."
"Iya."
"Semangat ya bos, semoga kali ini gak di tolak lagi. Khan bu dokter sudah wisuda dan diambil sumpahnya." ucap Didi sambil mengepalkan kedua tangan dan mengangkatnya setinggi bahu sebagai gerakan semangat.
"Aish... Si bos bucin... Apa bodoh sih?" Nita admin di tempat Azmi nyeletuk. Dia sahabat Azmi yang tomboy dan ceplas ceplos.
"Hus... Ngomongnya saru Nita." sambil menoyor kepala Nita.
"Busyet ape lo, berani sama gue hah."
"Ckckck, jadi cewek jangan bar-bar ngapa sih Nit."
"Terserah gue."
"Udah-udah kalau kalian kayak gini terus udah kalian nikah aja."
"GAK." kompak mereka.
"Hahahaha.Ya udah aku cabut dulu ya."
"Siap bos." kompak mereka lagi.
Azmi segera pergi karena hendak menemui Yasmin. Setelah tak terlihat batang hidung Azmi kedua sahabat sekaligus karyawannya mendesah.
"Gile bos kita. Setianya kagak nanggung. Bayangkan tujuh tahun cuma nungguin si bu dokter itu ckckck. Kalau aku sudah punya anak tiga tahu." sungut Didi sebal dengan sifat bucin sahabatnya itu.
"Iya, lagian gue juga heran sama Yasmin, apa yang kurang coba dari bos kita, ganteng, lulusan doktor ilmu komunikasi, kerjaan oke, sama-sama anak kyai. Apa yang kurang coba." kini Nita yang bersungut-sungut.
"Kurang cinta kali Yasminnya." celetuk Didi.
"Terus ngapain dia nggantungin bos kita? Orang tinggal di tolak aja." Nita masih terlihat kesal.
"Mungkin ego wanita yang merasa senang jika dirinya dicintai oleh seorang pria dengan sebucin itu."
"Halah. Itu namanya jahat. Dianya enak-enakan masih tengok sana sini tebar sana tebar sini sedangkan bos kita galau setiap hari."
"Entahlah. Kedalaman hati seseorang khan gak bisa diukur beda ya sama samudra. Walau dalam banget tapi tetap bisa diukur."
"Ck... Sok puitis lo."
Nita memutuskan kembali ke meja kerjanya melanjutkan mengecek pemesanan pemotretan, desain banner atau pembuatan video dan lainnya.
Sedangkan Didi memilih kembali ke studio foto untuk mengecek persiapan perlengkapan foto pre wedding salah satu pelanggannya.
***
"Mas Azmi." seorang gadis berperawakan mungil dengan kulit putih dan sangat cantik tersenyum cerah menyambut kedatangan Azmi.
"Yas."
"Duduk sini, Mas."
"Kamu seneng banget kayaknya, mau ketemu aku jadi seneng ya?" goda Azmi.
"Ish... Mas Azmi ini, orang setiap hari ketemu juga. Bukan. Tapi ini loh, aku mau melanjutkan spesialisku dan udah keterima mas. UI mas.... Bayangkan UI spesialis anak."
Senyum di wajah Azmi tiba-tiba meredup. Berbeda dengan Yasmin.
"Kok mas Azmi gak seneng sih, harusnya bangga loh calon istrinya mau jadi dokter spesialis."
"Mas akan lebih bangga kalau kamu akhirnya setuju menikah dengan mas. Bukankah mas sudah janji tidak akan pernah melarang kamu untuk tetap menuntut ilmu atau bekerja. Mas hanya ingin hubungan kita segera menuju halal Yasmin. Apa mas salah?"
"Tentu saja salah mas, khan Yasmin minta mas Azmi nunggu aku selesai kuliah kedokteran dulu?"
"Kamu bukannya sudah di sumpah dan sudah jadi dokter? Kamu sudah lulus S1 setelah lima tahun, koas dua tahun dan intership setahun. Berarti penantianku sudah selesai khan?"
"Tapi mas, aku pengin jadi spesialis anak, paling enggak butuh empat atau lima tahun lagi. Aku gak bisa fokus pada dua hal seperti suami dan kuliah, gak bisa." ucap Yasmin nampak menggebu-gebu. Sedangkan Azmi hanya diam.
"Mas harusnya ngertiin aku dong. Kasih aku semangat biar aku itu bisa menyelesaikan studiku dengan baik, dengan nilai memuaskan lalu jadi spesialis anak yang terkenal nantinya."
Diam. Azmi masih diam dan tak berkomentar.
"Mas.... Mas Azmi dengerin Yasmin apa enggak sih."
Azmi menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Dengerin Yas. Bukannya selama ini mas hanya bisa mendengarkan tanpa bisa bantu kamu."
"Makanya mas, cukup doakan Yasmin biar lancar sekolahnya terus habis itu kerja di rumah sakit besar, lalu membuka praktek dan klinik sendiri. Hihihi." angan Yasmin.
"Lalu tentang kita gimana?"
"Ya gak gimana-mana. Kalau kita udah siap ya kita nikah."
"Mas sudah siap bahkan dari lima tahun yang lalu Yas." lirih Azmi.
Yasmin nampak terkejut namun berusaha menguasai dirinya.
"Kalau mas cinta sama Yasmin mas pasti akan menunggu Yasmin."
"Dan jika Yasmin benar-benar mencintai mas, pasti Yasmin tidak akan membuat mas selalu menunggu."
Deg... Omongan Azmi menohok sisi hatinya yang terdalam. Yasmin memang mencintai Azmi, hanya saja keinginannya untuk memiliki karir yang bagus dengan menjadi seorang dokter lebih menggebu.
Kedua orang itu terdiam cukup lama.
"Kamu ingat terakhir kali aku melamarmu setahun yang lalu. Saat itu aku berharap ini tahun terakhir mas menunggumu karena kamu akan berangkat intership ke Lombok dan setelah itu akan segera melakukan sumpah dokter. Tapi rupanya kamu meminta mas untuk menunggu lagi."
"Mas..."
"Maafin mas, sekali lagi mas tanya. Maukah kamu menikah denganku? Dan jika keluargaku datang untuk meminangmu apakah kamu bersedia untuk kulamar dan segera kunikahi?"
Hening.
"Yasmin. Maukah kamu?"
Hening.
Azmi terkekeh, namun tawa yang ia keluarkan adalah tawa kesedihan.
Hening.
"Kita masih muda. Yasmin baru 26 tahun sedangkan mas Azmi 27 tahun. Ditambah 4-5 tahun lagi menunggu gak masalah."
"Mungkin aku dan kamu bisa menunggu tapi maut tidak bisa menunggu."
"Mas." suara Yasmin mulai meninggi.
"Maafkan aku Yasmin. Aku menyerah... Sampai disini saja batas penantianku. Tadi adalah lamaran keenamku untukmu dan terakhir. Maaf jika suatu saat aku akan melamar seseorang kembali dan orang itu bukan kamu. Terima kasih untuk semuanya. Berkat kamu aku belajar tentang apa artinya kesetiaan dan kesabaran."
Azmi berdiri dan melangkahkan kakinya menjauh dari cafe tempat dia dan Yasmin bertemu.
Mata Yasmin memanas, dia sedih. Pria yang dicintainya memilih menyerah. Sudut terkecil hatinya membenarkan semua perkataan Azmi. Namun, sisi egonya lebih mendominasi dan menyalahkan Azmi yang tidak sabar menunggu.
****
"Loh... Azmi." sapa gus Yahya kakak Yasmin.
"Eh gus. Apa kabar." Azmi menyalami sahabatnya dan mencium tangan abah Yunus dan menangkupkan tangan pada umi Miftah.
"Kamu dari mana Azmi?" tanya Yahya.
"Ketemu sama adik kamu."
"Loh kok, Yasminnya mana? Kok kamu keluar sendirian."
"Yasmin masih di cafe. Oh iya abah, umi, gus Yahya. Azmi sekalian mau pamit. Azmi mau balik ke Purwokerto, abah sakit jadi Azmi memutuskan menengok abah dan sekalian pulang."
"Loh-loh. Iki piye tho. Lalu Yasmin gimana?"
"Ya gak gimana-gimana gus. Saya memutuskan menyerah pada penantian tak berujung. Sekali lagi saya mohon maaf. Mari abah, umi, gus, Azmi pamit."
Setelah menyalami ketiganya, Azmi menuju parkiran dan menjalankan mobilnya. Meski sakit tapi Azmi akan belajar untuk melepaskan dan mengikhlaskan alias move on.
****
"Kamu itu gimana sih dek. Kurang apa coba? Dari gelar sudah S3, pekerjaan mapan, omzet foto studio sama desain grafisnya sebulan gak main-main loh, dan dia anak seorang kyai juga. Kamu sebenernya nyari yang gimana? Yang dokter? Kalau kamu mau nyari dokter, ngapain kamu kasih harapan buat Azmi. 7 tahun loh dek. Tujuh tahun." Yahya sedang menumpahkan amarahnya kepada sang adik, sementara abah dan uminya hanya diam. Namun nampak kesedihan pada dua pasang mata tua itu.
"Gus Azmi saja yang gak sabaran. Orang Yasmin mau melanjutkan spesialis dulu kok gak lama cuma 4-5 tahun." Yasmin membela diri.
"Ya Allah dek, 4-5 tahun itu lama kalau dijumlah sama tujuh jadi 11 sama 12 tahun."
Yahya terlihat emosi sekali, dadanya naik turun.
"Nduk... Ingat hadis ini." abah mulai membacakan suatu hadis yang artinya.
"Bila orang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai datang melamar anak gadismu, maka nikahkan dengannya. Sebab bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan banyak kerusakan."
"Kamu tahu abah ridha akan perangai dan agama gus Azmi, kamu pun sepertinya menyukai gus Azmi. Tapi kenapa nduk?" lirih abah.
"Yasmin gak nolak abah. Yasmin hanya minta waktu."
"Sampai kapan?" kali ini Yahya kembali menyerang adiknya.
"Terserah kamu Yasmin yang penting kamu jangan menyesal di kemudian hari. Hati itu bisa berubah begitupun hati Azmi. Hari ini dia mencintai kamu, tapi suatu saat bisa saja rasa cintanya sudah menjadi milik orang lain."
"Gak mungkin mas. Mas Azmi cinta mati sama Yasmin. Buktinya mau menunggu Yasmin sampai tujuh tahun."
"Jangan takabur nduk, Allah gak suka sama orang yang takabur." kali ini umi yang menasehati.
"Wes pokoknya Yasmin akan menyelesaikan program spesialis Yasmin. Akan Yasmin tunjukkan kalau Yasmin bisa dan mas Azmi masih setia sama Yasmin."
Yasmin memilih keluar dari rumah dan menjalankan mobil entah mau pergi kemana. Sedangkan ketiga orang terkasihnya hanya mengucap istighfar berkali-kali.
Sedangkan di tempat berbeda gus Azmi tengah pamit kepada para karyawannya. Usaha studionya akan di handel oleh Didi dan Nita yang memang merupakan tangan kanan Azmi.
"Nitip studio ya Di, Nit. Kalau ada apa-apa hubungi aku."
"Siap bos tenang aja. Tapi beneran bos mau nyetir sendiri ini." tanya Didi khawatir.
"Insya Allah gak papa Di, nanti kalau capek aku istirahat kok. Ya sudah aku pamit ya?"
"Dadah bos, saya doakan bos dapat daun muda ya bos." celetuk Nita dan langsung di toyor oleh Didi. Sedangkan karyawan lainnya hanya tertawa mendengar guyonan Nita.
Azmi menaiki mobilnya kemudian melajukan mobilnya menuju kota kelahirannya, Purwokerto tercinta.
Jenar tengah memandang gerbang pesantren Al-Hikam, kakaknya sedang bertanya kepada satpam yang sedang bertugas di posnya. Karena bus yang mereka tumpangi sempat mogok lama sehingga mereka baru sampai di Al-Hikam pukul 8 malam. Sepertinya sedang ada pengajian rutinan.Jenar menarik nafasnya dalam-dalam. Entah apa yang dirasakan oleh separuh hatinya. Kenapa Jenar bilang separuh? Karena separuhnya lagi sedang terluka akibat dititipkan kepada Arif. Lelaki yang Jenar anggap bisa menjaga separuh hatinya justru malah menjadi si pemberi luka. Jadi saat ini Jenar hidup hanya dengan separuh hati saja.Jenar menatap gerbang bertuliskan Al-Hikam dengan penuh minat.Tin... Tin...Tin.Jenar tersentak dan otomatis minggir ke arah kanan. Seorang pemuda melongok melalui kaca mobil."Mbaknya mau mondok?"Tampan... Bisik hati Jenar."Mbak...mbak..." teriak Azmi.
Azmi tengah bermain bola dengan ketiga Aslan. Mumpung minggu ceritanya sedangkan Azzam dan Caca sedang menghadiri undangan pengajian. Quila sendiri tengah di asuh oleh Jenar."Jurus tendangan tanpa bayangan. Hiyaa." Seru Azada."Jurus jaring laba-laba menangkap mangsa. Hap." Azmi menangkap bola yang ditendang oleh Azada."Yah.... Gagal maning." keluh Azada. Ini sudah kelima kalinya dia gagal memasukkan bola."Hehehe. Ayok katanya mau kayak Ronaldo atau Messi.""Gantian. Minggir." Aidan yang paling jago olahraga diantara ketiganya langsung ancang-ancang dengan seringai dinginnya mirip sang abah.1.....2....3 tendang...."Yeah... Gol... Gol... Gol.... "Astaga Azmi benar-benar terkecoh. Beneran deh emang Aidan paling jago olahraga diantara ketiganya mirip mas Azzam plus sikap dinginnya. Eh ... tapi mbak Caca juga untuk ukuran cewek jago olah
“Ooom!” teriak Azada.“Iya.”“Ayok ke Timezone.”“Boleh.”“Aidan sama Abrisam mau ikut gak?”“Ikut,” jawab keduanya kompak.“Siap-siap sana!”“Oke.”Azmi menuju abah dan uminya yang sedang duduk sambil menonton TV. Rupanya kepulangan si bungsu membuat kondisi Abah Ilyas semakin membaik.“Kamu bawa mbak-mbak khadamah saja, Mi.”“Iya Umi, lagian gak bisa aku handel mereka bertiga sendirian.”“Hehehe. Habis kamu selalu kalah sama mereka,” timpal abahnya.“Heran aku, gimana caranya Mas Azzam sama Mbak Caca ngurus ketiganya kalau pergi-pergi tanpa khadamah atau kang ndalem? Ditambah ada Quila lagi.”“Mereka, kan orang tuanya, ya mereka harus bisa menaklukan anak-anaknya dong. Kalau gak bisa, nanti bagaimana mereka mengarahkan keluarga mereka?
“Gus.”“Eh. Ning Hafsah.”“Iya saya.”“Ada apa, Ning?”“Mau ambil foto, Gus.”“Oh. Saya duluan ya.”“Eh. Gus tunggu!”Azmi membalikkan badannya namun matanya tak memandang Hafsah.“Iya.”“Ehm ... saya ... saya ... saya ....”“Bos.”“Iya.”“Semua sudah siap.”“Oke. Maaf Ning, saya duluan.”Azmi langsung menuju studio foto. Ada sebuah butik yang meminta bantuannya untuk memfoto hasil rancangannya untuk desain kemeja dan jas laki-laki.Ning Hafsah sendiri mendesah, ingin sekali mengatakan kalau dia suka sama Gus Azmi dan ingin melakukan ta’aruf dengannya. Namun lidahnya kelu. Dia dan Kakaknya Gus Zainal sudah mencoba menggagalkan pertemuan antara dirinya dan Gus Iqbal. Sayang Gus Iqbal menolak, akhirnya pertemuan i
“Abah sudah kelihatan lebih sehat,” ucap Azmi sambil memijit Abahnya.“Alhamdulillah. Semoga masih sehat terus sampai lihat kamu nikah.”“Amin, Bah.”Azmi melanjutkan kembali memijat sang abah. Mereka tengah bersantai di gazebo belakang rumah sementara Aslan triplet sedang belajar gerakan tinju dengan sang abah singa.“Ckckck. Itu Mas Azzam ngapain coba, masih pada kecil udah diajarin tinju.”“Hehehe. Mas kamu justru sedang melatih kesabaran dan mengolah emosi mereka, Mi. Kamu tahu sendiri mereka itu cenderung anak hiperaktif dan penuh rasa ingin tahu. Makanya dari kecil sudah harus diarahkan dan diolah emosinya,” terang Abah Ilyas.“Hehehe. Sama kayak Mas Azzam ya, Bah.”“Iya, begitulah abah mendidik mas kamu.”“Tapi kok sama Azmi beda, Bah?”“Soalnya kamu lebih lembut orangnya, sensitif alias perasa, fisikmu w
“Wow ... its wonderful!” teriak Azada.“Do you like it, Gus?”“I like it, Mbak Je. Mas, Idan ayok kita berenang.”“Wokeh.” Ketiga Aslan langsung menuju ke sungai dekat rumah Jenar. Mereka sedang liburan di rumah Jenar ceritanya. Sudah dua hari dua malam mereka menginap di rumah Jenar bersama Desi.“Gila, pantesan kamu katrok ya Je pas pertama aku lihat kamu. Lah rumahmu masih kampung kayak gini,” celetuk Desi.“Kan aku udah bilang, di kampungku gak ada mall adanya kali sama pasar.”“Ho’oh, ra kuat aku nek kon urip neng kene.”(gak kuat aku kalau disuruh hidup disini).Jenar hanya tertawa, lalu mengawasi ketiga gusnya yang sedang bermain di sungai. Bahkan sesekali mereka saling menciprati lawan.Azmi baru saja sampai, dia memutuskan menengok ketiga keponakannya. Azmi ditemani Kang Rozak,
Azmi tengah fokus mengerjakan beberapa desain background untuk keperluan studionya. Fokusnya teralihkan saat ada suara ketukan pintu.“Masuk.”“Permisi Bos, ada tamu,” kata salah satu pegawainya.“Suruh masuk aja.”“Baik, Bos.”Tak lama kemudian munculah sosok Zainal dengan adiknya Hafsah. Azmi mendesah, kenapa dua orang itu senang sekali mengganggunya?“Assalamu’alaikum Azmi, gimana kabarnya?”“Wa’alaikumsalam, baik Zai. Kamu gimana kabarnya?” Azmi mencoba berbasa basi.“Alhamdulillah baik nih. Oh iya, sebulan lagi aku mau nikah sama Ning Ulya. Kamu kenal, ‘kan?”“Gak. Cuma sekedar tahu. Ning Asal Jember, ‘kan?”“Betul, kita mau minta tolong kamu buat motoin kita berdua bisa, ‘kan?”“Bisa kalau cuma kamu yang minta foto. Tapi untuk istrimu nanti aku minta
“Kenapa kamu?”“Aku gagal ta’aruf Mi.”“Oh.”“Hanya oh saja, ya ampun Azmi. Kamu tuh gak ngerti rasanya. Seseorang yang selama dua tahun ini kamu harapkan dan kamu ingin lebih mengenal dia, malah ternyata gagal karena dia sudah dilamar sama orang lain. Nyesek tahu. Rasanya itu ... sakit.”Azmi memilih menikmati bakso uratnya dengan lahap dan hanya mendengarkan keluhan sahabatnya Gus Amar. Gus asal Jember yang sedang main ke Purwokerto.“Kamu gak bakalan paham Azmi. Kamu, kan ....” Amar menghentikan kalimatnya lalu nyengir dengan perasaan bersalah.“Kamu itu baru ta’aruf Mar. Aku ini loh tujuh tahun dikasih harapan sama Yasmin.”“Hehehe. Sorry Mi, lupa.”Azmi hanya meliriknya dan melanjutkan makan bahkan dia memesan semangkok bakso lagi.“Azmi.”“Hem
Azmi membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya melongok lebih dahulu kemudian masuk pelan-pelan berusaha meminimalisir suara. Azmi tidak mau Jenar dan putranya, Azka bangun. Karena bisa dipastikan Azka yang kini menginjak usia lima belas bulan pasti bangun jika tahu dia sudah pulang. Dan itu berarti sang istri ikutan bangun. Padahal mungkin Jenar baru saja tertidur.Azmi terkekeh melihat posisi tidur Azka yang sudah menghadap kemana sedangkan Jenar tertidur dengan posisi miring ke arah kiri dengan beberapa kancing daster yang terbuka. Pasti Azka tidur setelah puas minum sedangkan Jenar yang sudah kelelahan tanpa sadar tidur duluan. Dengan pelan Azmi mengancingkan kancing daster Jenar. Soalnya bahaya, ini aja Azmi harus berusaha menahan diri, rasanya ingin menggantikan Azka buat menikmati sumber makanan si bayi. Hahaha. Duh, biarlah dikata omes toh sama istri sendiri.Setelah menaruh tas dan jaket pada tempatnya, Azmi segera mengambil handuk dan baju ganti lalu berjala
Seakan memang sudah digariskan oleh sang pencipta, semua urusan tentang pembelian tanah dan bangunan peninggalan Alifah berjalan tanpa hambatan berarti. Setelah semua administrasi selesai, beberapa bagian pondok akhirnya ada yang dicat ulang, direnovasi atau dipugar. Azmi bahkan sengaja membangun beberapa kamar lagi untuk santri putra dan putri. Untuk fasilitas MA-nya, Azmi berusaha melengkapinya juga dengan fasilitas laboratorium MIPA maupun komputer. Azmi bahkan merekrut beberapa pengajar untuk melengkapi kekurangan guru yang ada.“Mas, ini gak papa kan aku pakai uangnya Mas Azzam juga? Habis duitku gak cukup kalau aku sendirian yang jadi donatur.”“Ya nanti ganti kalau sudah ada uangnya,” sahut Azzam.“Gak usah lah ya Mas, kan udah lama juga Azmi gak minta duit sama Mas Azzam jadi sekarang Azmi borong.”Azzam cuma mencebik lalu mengacak kasar rambut adiknya dan dibalas Azmi dengan senyuman manis serta sorot puppy eyes persis
Azmi mengernyit menatap beberapa orang yang mendatangi rumah mertuanya.“Gus.”Beberapa orang yang datang langsung menyalami Azmi bahkan hendak mencium punggung tangan Azmi namun Azmi menolak dan meminta mereka bersalaman secara biasa saja. Karmin mengajak sang menantu dan tamu yang datang duduk di ruang tamu.“Ada apa ini, Sir?” tanya Karmin pada salah seorang dari tamu yang datang.“Ini Pak Karmin, ada pengacara Ning Alifah kemarin datang ke pondok dan bertemu dengan kami para pengurus. Katanya pondok gak ada yang ngasuh karena Ning Alifah belum sempat mewariskan atau menghibahkan pondok sama siapa pun. Jadi menurut pengacara Ning Alifah, akan lebih baik jika pondok dijual pada seseorang yang mau merawat pondok dan meneruskan perjuangan Kyai Mustofa,” terang Yasir salah satu pengurus pondok yang berusia sekitar empat puluhan.Azmi mendengarkan dengan seksama penjelasan Yasir, dalam hatinya tiba-tiba ada desiran hal
Amira dan Murni duduk gelisah sambil sesekali melihat ke arah jam. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Khalid, Alifah dan Arif belum juga kembali.“Coba dihubungi lagi, Mira.”“Sudah Umi, tapi gak aktif.”“Duh, umi kok punya firasat gak enak ya.”Kedua ibu dan anak masih setia menunggu kabar dari Alifah atau Arif. Hamid yang baru bangun tidur melihat heran tingkah anak dan istrinya. Dia duduk di kursi yang bersebrangan dengan anak dan istrinya yang duduk di kursi panjang.“Abi sakit? Masa seharian tidur terus?”tanya Murni khawatir.“Enggak, oh iya Khalid mana?”“Nah, itu dia. Khalid belum pulang.”Hamid mengernyit. “Memangnya Khalid ke mana?”“Pergi sama Alifah ke Banjar.”Hamid kaget, wajahnya mendadak pias. Hamid langsung berdiri membuat Murni dan Amira menatap bingung tingkah Hamid.Sampai di kam
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah tiga bulan, Alifah dan Arif berada di Al-Huda. Hamid masih tak ada kabar, sementara Amira memilih kembali pulang ke Pemalang dengan ditemani oleh Murni. Khalid tidak mau tinggal bersama Amira. Khalid yang sejak kecil kurang mendapat kasih sayang baik dari Almer maupun Amira, begitu menikmati kasih sayang dari Alifah dan Arif. Khalid kecil merasa nyaman dan merasa dicintai layaknya anak kecil pada umumnya. Bahkan Tuti, ibunya Arif begitu menyayangi Khalid dan menganggapnya sebagai cucu kandung.“Awas! Kena kamu ya!” Alifah sedang bermain dengan Khalid, sejak tadi balita itu tertawa terus sambil berlari.“Cini, Umi. Tangkap Aid. Hahaha.”Arif yang baru datang menatap haru tingkah Alifah dan Khalid. Senyumnya merekah ketika melihat Khalid melambaikan tangan ke arahnya.“Main apa hem? Kayaknya senang sekali.”Arif menangkap Khalid yang berlari ke arahnya. Membopongnya kemudian mengh
Murni menatap sang suami dengan gelisah. Hamid terlihat marah. Murni ingin menegur tapi terlalu takut akan menjadi sasaran kemarahan Hamid. Bukan tanpa sebab Hamid marah. Semua berawal dari banyaknya keluhan para santri akan gaya kepemimpinannya. Belum lagi pemasukan pondok yang kian hari kian menipis. Banyak donatur yang kini enggan memberikan sumbangan pada Al-Huda. Ditambah lagi beberapa harta peninggalan sang Adik yang akhirnya ludes demi pengobatan Alifah. Kini tak ada apa pun yang tersisa. Hanya pondok, pondok yang mulai sepi.“Abi.” Suara pintu diketuk dari luar mengalihkan perhatian suami istri.Murni membuka pintu kamar dan terlihatlah Amira beserta putranya, Khalid.“Kenapa, Mira?”“Itu, Umi, Abi. Alifah sama Mas Arif sudah pulang.”Murni mengangguk, Amira segera berlalu dengan membopong Khalid yang kini berusia tiga tahun. Hamid masih diam saja, kepalanya pusing. Kepulangan Alifah setelah berobat dari Singapura
Menjadi seorang ayah itu, susah susah gampang. Banyak susahnya tapi banyak banget senengnya. Apalagi kalau anak-anak lagi anteng, tumbuh dengan sehat tanpa kekurangan, ditambah senyum istri yang menawan dan aktivitas halal yang mulai bisa lagi dikerjakan. Happy deh si bapak. Begitulah yang dirasakan oleh Azmi. Mau gado-gado, es campur sampai permen rasa nano nano pokoknya gaskenlah. Maju terus jangan mundur. Soalnya takut nabrak.Seperti pagi ini, Azmi sudah siap dengan kereta dorongnya yang didesain khusus untuk langsung menampung dua bayi. Azmi pun sudah menyiapkan tas penuh dengan perlengkapan si kembar.“Abah, Umi. Azmi pamit mau jalan-jalan sama si kembar.”“Iya. Jeje gak ikut?”“Jeje masak Umi.”“Ya sudah hati-hati ya. Jangan ganjen sama para santri putri, para jomblo sama emak-emak rempong. Inget loh, udah punya istri sama putri.”“Tenang Umi, Azmi kan setia. Mereka mah lewat kecuali kal
Azmi menatap bahagia ke arah keempat keponakannya. Akhirnya, dia bisa menjalani malam pertama di rumah dengan dua putri kembar dan gak sendirian. Awalnya Azmi sedikit takut, karena bagaimana pun dia kan baru jadi abah. Mana umi dan abahnya harus ke Bumiayu karena ada urusan mendadak juga. Meski ada Caca tetap saja gak samalah. Tetep lebih nyaman dengan uminya kalau mau minta tolong.Azmi sangat bersyukur dengan drama yang dilakukan oleh Quila. Biasanya, Azmi resah kalau Quila minta tidur bareng, tapi malam ini pengecualian.“Dedek, dedek kembar ciluk ba ... ciluk ba.” Quila begitu bahagia mempunyai adik, mana langsung dua lagi. Dia sampai merengek minta tidur bersama adik kembarnya. Tentu Azmi sangat menerima dengan senang hati. Tapi ditolak oleh Caca mentah-mentah karena takut Quila malah mengganggu adiknya yang lagi tidur.Tapi, Quila menangis sampai tantrum. Bahkan bujukan dari Caca sama sekali tak mempan. Caca pasrah dan meminta Azzam untuk membujuk Qu
Jenar duduk santai sambil sesekali mengusap perutnya. Di sampingnya Quila sedang menikmati es krim cokelat bersama Mbak Salamah, salah satu khadamah yang juga sedang menikmati es krim rasa vanila.“Akhirnya, anteng juga ya Mbak Salamah.”“Nggih, Ning. Duh, kirain Ning Quila mau jadi gadis kalem lah malah sama saja kayak Gus Aslan.” Salamah mengucap sambil terkekeh.“Ning gak ikutan milih-milih?”“Gak. Capek Mbak. Lagian tuh, udah ada calon abah rempong sama budhe baik hati. Aku duduk ajah, capek.”“Hihihi. Bener Ning.” Salamah terkikik melihat Gus Azmi yang begitu semangat dari satu stand ke stand lainnya. Begitupun dengan Caca. Kedua kakak adik ipar itu begitu antusias memilih baju-baju dan aksesoris untuk putri kembar Azmi-Jeje.Iya, akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh dua minggu, tepat satu bulan setelah acara mitoni diselenggarakan. Jenis kelamin anak kembar Jenar dan Azmi bisa terlihat