Sebuah gubuk reot dengan dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu adalah satu-satunya rumah di dalam hutan itu. Gelap tanpa lampu dan listrik. Hanya sebuah obor sebagai alat penerangan.
Weessssstttt weeesssttt.
Angin bertiup sangat kencang. Daun-daun kering berterbangan.
“Weh, ada yang tidak beres ini!”
“Iroh ....” Bisik Mbah Darmo.
Bibir hitam Mbah Darmo komat kamit, entah apa yang dia lantunkan, terdengar sangat cepat. Tangannya memegang erat sebuah botol kecil seukuran ibu jari.
Guuubraaaaaakk!!
Tiba-tiba semua sesajen yang ada di meja Mbah Darmo jatuh berserakan, seperti ada yang melemparnya.
“Semprul!” muka Mbah Darmo terlihat sangat marah.
Langkah kaki Pak Arya yang beradu dengan tanah dan dedaun kering terdengar semakin mendekati rumah Mbah Darmo.
“Mbah, ini saya Arya. Saya mau minta tolong, Mbah!” seru Pak Arya dengan nafas terengah-engah, detak jantungnya terdengar kencang, terlihat sangat panik, sambil sesekali menyeka air mata yang terus membasahi pipinya.
“Mbah Darmo, Mbaaahhh!” tak henti Pak Arya memanggil Mbah Darmo.
Tak lama sosok lelaki tua berkulit hitam, badan sedikit bungkuk keluar dari balik pintu gubuk reot itu.
“Aku tahu tujuanmu datang kesini, Nak, ayo segera berangkat ke rumahmu, ibu mertua dan anak sulungmu dalam keadaan bahaya!” jelas Mbah Darmo sambil mencari tongkat untuk alat bantunya berjalan.
“Mbah tahu dari mana soal keadaan Ibu mertua dan anak saya? Saya kan baru sampai?” tanya Pak Arya sambil menuntun tangan Mbah Darmo menuju rumahnya.
“Wes lah, ndak perlu tak jelaskan, Le. Yang penting kita harus cepat sampai rumahmu. Kalau tidak ...”
Ucapkan Mbah Darmo terhenti. Tangannya terlihat seperti sedang melawan suatu energi. Angin berhembus kencang, hingga ranting pohon dengan ukuran lumayan besar jatuh.
Mbah Darmo menarik tubuh kekar Pak Arya. Mereka berdua terjatuh, menghindari ranting pohon itu.
“Aaaaarrggh.” Keluh Pak Arya.
“Iblis Semprul ... akanku hancurkan kamu!" Sentak Mbah Darmo, badannya berputar dengan mengacungkan keris miliknya ke atas langit.
“Ayo Arya, kita harus lebih cepat!” imbuh Mbah Darmo.
***
Pyaaaaarrrrr!!!
Suara itu mengagetkan Bu Mirna, lalu beliau keluar kamar Reina.
“Mal, Kemal!!”
Bu Mirna menyusuri dapur, Kemal tidak ada di situ, hanya serpihan pecahan gelas di lantai yang Bu Mirna lihat. Lalu Bi Mirna mencari di ruang lainnya.
“Kemal. Kamu di mana nak, jangan buat mama kawatir!” Bu Mirna terduduk lemas di lantai ruang tamunya, menangis sesenggukan.
“Hiks ... hisks .. hiks.”
Terdengar lirih tangisan anak kecil.
"Mal? Itu kamu bukan? Kamu di mana nak?”
Bu Mirna beranjak dari duduknya, menghampiri asal suara tersebut. Langkah kaki Bu Mirna terdengar pelan, matanya melirik kanan kiri. Sesekali hembusan nafasnya terdengar kencang.
Kreeeeeeeekkkk.
Gorden jendela dekat kamar Nenek iroh di buka oleh Bu Mirna.
“M-maaaaaaaaaaaaaaaa. Kemal takut ma!” jerit Kemal sambil menangis terisak, dia segera memeluk Bu Mirna.
“Ada apa, Nak? Kenapa kamu?” pundak Kemal di pegang kedua tangan Bu Mirna, derai air mata membasahi pipi Kemal.
“Tadi Kemal lihat ....”
Tiba-tiba semua lampu mati. Suara barang-barang jatuh membuat Kemal dan Bu Mirna ketakutan dalam kegelapan. Bu mirna memeluk erat Kemal, berusaha sekuat tenaganya untuk melundungi anaknya. Mereka berdua duduk meringkuk dan bersandar pada salah satu kursi ruang tengah.
"Aaarrrght." Suara teriakan Bu Mirna saat barang-barang jatuh di dekat tubuh mereka. Rupanya suara teriakan Bu Mirna terdengar hingga luar rumah.
“Arya, bawa keluar anak, istri serta ibu mertua mu. Cepat!” perintah Mbah Darmo saat sampai di depan pintu rumah Nenek Iroh.
Pak Arya bergegas membuka pintu. Namun terkunci, dia tidak bisa masuk.
“Mir ... Mirna! Cepat bukakan pintu ini!” teriak Pak Arya keras.
Doorr dooor dooorr!!
Pak Arya masih mencoba membuka pintu itu. Namun beliau tak mendengar Bu Mirna merespon. Hal itu membuat Pak Arya harus mencoba dengan cara lain agar bisa masuk ke rumah itu.
Braaaaaakkkkk!!
Pintu terbuka secara paksa, di tendang dengan kaki Pak Arya. Kemudian dia melihat anak bontot dan istrinya
“Mama keluar dulu sama Kemal. Biar Reina, Papa yang gendong!” seru Pak Arya kepada Bu Mirna.
Langkah kaki Pak Arya terdengar keras menghentak lantai, mendekati kamar Reina.Kreekkk kreeekk kreek.
Pintu kamar Reina terbuka. Pak Arya segera menggendong Reina untuk keluar dari rumah itu.
“Papa ... Kakak!” sambut Kemal dan Bu Mirna. Tangis tak terbendung dalam pelukan mereka.
“Ibu ku gimana, Mbah?” tanya Pak Arya.
“Tenang. Biar aku yang urus.”tegas Mbah Darmo.
“Luputo bilaha kabeh, jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani, niwah penggale ala, gunaning wong luput, bumi atemahan tirta” mantra itu berkali-kali keluar dari mulut mbah Darmo.
Angin bertiup semakin kencang. Jendala dan pintu terbanting sangat keras oleh angin.
Mbah Darmo perlahan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah itu.Semua lampu hidup-mati secara cepat. Benda-benda berterbangan dan terjatuh tak terkendali.
“Keluar! Tunjukkan wujudmu! Apa maumu iblis keparat!!” teriak Mbah Darmo, menantang.
Seperti ada seseorang di belakang Mbah Darmo, beliau dengan cepat membalikkan badannya. Namun tak ada siapa-siapa.
“Jangan main-main sama saya ya!” ancam Mbah Darmo.
Tes tess tes.
Air menetes ke wajah Mbah Darmo. Sontak Mbah Darmo mendongakkan wajahnya ke atas.
Wajah rusak, bola mata putih menonjol seperti ingin keluar, rambut basah terurai melayang berada sejengkal dari wajah Mbah Darmo.“Luputo bilaha kabeh, jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani, niwah penggale ala, gunaning wong luput, bumi atemahan tirta” mantra itu kembali di bacakan Mbah Darmo.
Suasana makin mencekam ketika Nenek iroh keluar dengan bola mata menghitam dan wajah pucat.
“Roohhhh!” Panggil Mbah Darmo lirih.
“Sadar kamu, jangan kalah sama iblis itu!!“
ArahkanNenek Iroh terus mendekati Mbah Darmo, tangannya mengayun-ayunkan sebuah pisau dapur.
“Kikikikikikikikikikik.” Tawa sosok astral itu terdengar.
Melayang semakin mendekat, tangannya seperti ingin mencengkram Mbah Darmo. Matanya nanar melirik tajam.Mbah Darmo segera mengeluarkan keris emas dari kantong celananya. Dia arahkan ke sosok astral itu.
Sosok astral itu mulai merangkak, tubuhnya mengeliat, mulutnya terbuka lebar hingga terlihat giginya yang tajam, darah hitam keluar dari mulutnya."Krekk kreeekk kreekk." Seperti suara tulang-tulang patah. Hantu itu mulai merayap ke dinding."Apa mau mu? Apa yang kau cari disini? Setelah sekian lama aku sudah mengurungmu di sumur itu, apa yang membuat mu bangkit lagi!!" gertak Mbah Darmo yang mulai tersulut emosi."Kikikikikikikikikikikik." Sosok itu hanya tertawa, lalu menghempaskan tubuhnya ke tubuh Nenek Iroh.Seketika tubuh Nenek Iroh terasuki hantu itu. Kuku-kuku tangan Nenek Iroh menghitam seperti kayu yang terbakar."Ini sudah waktunya aku mendapatkan apa yang harus aku dapatkan. Nyawa Iroh milikku." Suara Nenek Iroh yang di rasuki sosok astral itu terdengar serak, menggema mengisi ruangan."Keluar kau dari tubuh Iroh. Tidak ada alasan kau harus mengambil nyawanya!!" tegas Mbah Darmo."Ini su
“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo.Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh,
Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.Kreeekkkkk.Reina membuka jendela kamar Nenek Iro
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
"Diam kata mu? Hei Mirna anak pengabdi setan! Hahaha ... harusnya kau ikut mati sama ibu kau itu!" balas Pak Amir dengan sesekali menyodorkan obor yang dia bawa ke arah Bu Mirna. "ANJING KAU YA! IBU SAYA BUKAN PENGABDI SETAN! COBA KATAKAN SEKALI LAGI, AKAN KU BUNUH KALIAN SEMUA!" ancam Bu Mirna yang semakin tidak terkontrol emosinya. Pak Arya dan Reina segera menenangkan Bu Mirna, mereka membawa Bu Mirna masuk ke dalam rumah. Hal itu mereka lakukan untuk antisipasi agar emosi warga tidak semakin tersulut. "Mama .. Mama." Tangis Kemal yang ketakutan dengan situasi saat itu. "Ayo, Nak! Ikut mama masuk." ajak Pak Arya yang masih menahan tubuh Bu Mirna yang masih melawan, memaksa untuk di lepaskan. Kemal yang mendengar ajakan PaK Arya segera berlari mengikuti kedua orangtua dan kakaknya masuk ke rumah. "Awas ya lo semua kalau bukan karena ada anak gue, lo semua udah gue bantai habis." Tandas Bu Mirna yang masih sempat berontak walaupun sudah berad
*** “Udah jam berapa ini, kok mereka belum datang juga. Kasian ibu!” Bu Mirna menyeka air matanya yang hampir menetes ke jenazah Nenek Iroh. “Sabar ya, Ma. Bentar lagi mereka pasti datang.” Bisik lirih Reina berusaha menenangkan Bu Mirna. Nampak dari kejauhan Pak Arya bersama yang lain datang, tak bisa di tampik lagi ekspresi wajah mereka kelelahan dan ketakutan. “Ada apa, Pa? Kok pada senggoyoran begitu jalannya.” Teriak Reina dari dalam rumah. Reina segera berlari menghampiri mereka yang terduduk lemas di depan pintu di ikuti Bu Mirna dan Kemal. Sedangkan Mbah Darmo tetap duduk tenang di samping jenazah Nenek Iroh. “M-nakutkan, Ya Allah ... baru kali ini saya ketemu demit.” Suara Pak Ponidi gemetar bahkan nyaris tidak bisa di dengar. “Demit? Demit apa sih? Kalian itu kenapa lho?” tanya Bu Mirna penasaran, tangannya menggoyahkan pundak Pak Arya yang berada di sampingnya. “Kita di ganggu hantu, Ma. Anehnya dia bisa beru
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki