Share

8. Kecurigaan Reina

Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.

“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.

“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”

Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.

Kreeeeeekkk.

Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.

Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.

“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.

“Maap ya, Le. Ibu kepo dikit.” Bu Minten menyalakan ponsel milik Bagas.

“Bagas, kamu udah tidur belum. Aku belum bisa tidur nih. Gas ....” Bu Minten membaca pesan W******p Reina pada notifikasi W******pnya saja, sengaja tidak di buka agar Bagas tidak curiga.

Raut muka Bu Minten mendadak berubah, dahinya mengkerut dan bibirnya cemberut. Sepertinya dia masih tak suka anak kesayangannya berhubungan dengan Reina.

“Anak ini nekat!” Gerutu Bu Minten, kemudian dia keluar.

***

Pagi itu Bagas dan Bu Minten berada di teras rumah, Bagas bersiap untuk berangkat ke sawah dan Bu Minten sedang membersihkan beras.

Saat Bagas memegang ponsel untuk membalas pesan W******p Reina, Bu Minten langsung melihat Bagas dengan wajah sinis.

“Apa to, Le. Pagi-pagi udah senyam senyum sendiri gitu.”

“Tak bilangin sekali lagi ya, Le. Kamu jangan dekat-dekat dengan gadis kota itu.” Celetuk Bu Minten.

“Halah Ibu neh. Ya sudah, Bagas berangkat ke sawah dulu, Bagas mau lanjutin nabur pupuk. Assalamualaikum.” Pamit Bagas, kemudian dia berangkat dengan jalan kaki menuju sawah.

Di perjalanan menuju sawah, dia menyempatkan untuk membalas pesan W******p Reina. Dia meminta maaf kepada Reina karena semalam dia udah tidur pulas jadi tidak membalas pesan Reina. Bagas kemudian mengajak Reina bertemu di sawah milik ibunya.

***

“Bagas, kamu dimana?”

“Hei Rei, sini.” Bagas yang sedang duduk di gubuk melambaikan tangan kepada Reina. Reina segera menghampirinya. 

“Hehhh ... panas banget.” Keluh Reina, kemudian dia duduk di samping Bagas. 

“Sorry ya aku ngajak ketemuannya disini, karena aku rasa ini tempat teraman sih buat ngomongin ini, Rey.”

“Hah? Emang ada apa?” tanya Reina peasaran. Dia menggunakan topi yang dia kenakan untuk kipas.

Kemudian Bagas memberi tahu semua yang di ceritakan Bu Minten kepada Reina.

“Hah? Ngaco kamu Gas. Gak mungkin lah keluarga ku ngelakuin pesugihan. Gila aja. Aku nggak pernah nemuin yang aneh-aneh di rumah ku dulu.”

“Ya tapi begitu yang di omongin warga sini, Rei.”

“Tetap nggak mungkin, Gas. Aku yakin kok. Aku malah curiga sama sesorang.”

“Siapa?”

“Mbah Darmo.”

Mata Bagas tebelalak, dia menelan ludah. Seakan tidak percaya dengan yang di katakan Reina.

“Masalahnya gini, aku kemarin waktu nyari barang, aku nemuin foto. Disitu ada nenek, kakek, Mbah Darmo, dan seorang wanita yang aku nggak kenal.”

“Fotonya di sobek jadi dua bagian, bagian kiri aku yakin itu nenek dan kakek aku, dan sebelah kanan itu Mbah Darmo sama seorang wanita yang nggak aku kenal itu.” Imbuh Reina.

“Kok kamu bisa yakin kalau itu Mbah Darmo?”

“Aku inget banget Mbah Darmo punya tahi lalat di atas hidungnya, Gas. Sama persis kaya di foto yang aku temuin itu.” Jelas Reina meyakinkan Bagas.

“Wah ini ada yang nggak bener, Rey. Gimana kalau aku bantu kamu cari tahu yang sebenarnya terjadi?”

“Em nggak usah, Gas. Aku takut Ibu kamu tahu, nanti kamu kena omel. Yang ada malah kita nggak bisa temenan lagi.” Pinta Reina memelas.

“Tenang aja. Semua bakal baik-baik aja kok. Ibu ku nggak bakal tahu.”

“Ya udah kalau kamu maksa. Kalau ada apa-apa itu jadi tanggung jawab kamu sendiri ya.”

Bagas hanya tersenyum sembari memberi Reina kelapa muda  yang dia petik tadi sebelum Reina datang.

“Wah, makasih ya. Seger banget nih pasti.”

“Ngomong-ngomong,ada yang ganjil nggak sih dari foto yang aku temuin itu?” tanya Reina yang masih penasaran “Ada hubungan apa di antara mereka gitu lho.”

“Ya mungkin karena tetanggaan kali jadi ngajak foto bareng gitu.”

“Ah kamu mah ....” Reina mencubit lengan Bagas.

“Aaacchh ... sakit.”

“Hahahahahaha hahahaha.”

Mereka tertawa bersama-sama, di temani kicau burung dan sejuknya angin.

“Jangan-jangan Mbah Darmo itu yang bikin nenek aku kaya gini. Kaya yang ada di sinetron-sinetron itu lho, Gas.” Celetuk Reina tiba-tiba.

“Hus jangan ngawur kamu. Hidup kamu itu bukan sinetron. Jangan di samain.”

“Eheeem.”

Terdengar orang sedang suara batuk di belakang mereka. Mereka saling menatap dan pelan-pelan menoleh ke belakang.

“Haaahhhh.”

Deg deg deg!!

Suara jantung Reina berdebar kencang, Reina terkejut, dia terperanjat mengetahui orang di belakangnya adalah Mbah Darmo. Sontak Reina dan Bagas langsung berdiri.

“Eeeh Mbah Darmo.” Sapa Bagas. Bahunya menyenggol-nyenggol bahu Reina. Reina langsung tersadar dan terlihat salah tingkah.

“M-mbah Darmo kok di s-sini?” tanya Reina gugup.

“Mbah sedang menyingkirkan nyawa yang perlu Mbah singkirkan.”

Mata Mbah Darmo melotot, bola matanya merah. Tangan kanan memegang tongkatnya dengan erat hingga otot-otot tangannya terlihat.

“A-pa maksudnya ya Mbah.”

Tangan Reina meremas keras tangan Bagas, ekspresi wajah Bagas berubah seperti menahan sakit.

Mbah Darmo langsung pergi meninggalkan mereka tanpa menjawab pertanyaan Reina.

Kedua kaki Reina terasa lemas seperti tidak bertulang. Dia terus meremas tangan Bagas.

“Aku anter kamu pulang aja ya, Rei.” Ajak Bagas.

“Boleh deh, ayo.”

“Gas, aku minta tolong ya sama kamu. Kamu jangan ngomong apa pun soal foto itu dan tentang Mbah Darmo juga.”

Bagas menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status