Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.
“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.
“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”
Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.
Kreeeeeekkk.
Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.
Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.
“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.
“Maap ya, Le. Ibu kepo dikit.” Bu Minten menyalakan ponsel milik Bagas.
“Bagas, kamu udah tidur belum. Aku belum bisa tidur nih. Gas ....” Bu Minten membaca pesan W******p Reina pada notifikasi W******pnya saja, sengaja tidak di buka agar Bagas tidak curiga.
Raut muka Bu Minten mendadak berubah, dahinya mengkerut dan bibirnya cemberut. Sepertinya dia masih tak suka anak kesayangannya berhubungan dengan Reina.
“Anak ini nekat!” Gerutu Bu Minten, kemudian dia keluar.
***
Pagi itu Bagas dan Bu Minten berada di teras rumah, Bagas bersiap untuk berangkat ke sawah dan Bu Minten sedang membersihkan beras.
Saat Bagas memegang ponsel untuk membalas pesan W******p Reina, Bu Minten langsung melihat Bagas dengan wajah sinis.
“Apa to, Le. Pagi-pagi udah senyam senyum sendiri gitu.”
“Tak bilangin sekali lagi ya, Le. Kamu jangan dekat-dekat dengan gadis kota itu.” Celetuk Bu Minten.
“Halah Ibu neh. Ya sudah, Bagas berangkat ke sawah dulu, Bagas mau lanjutin nabur pupuk. Assalamualaikum.” Pamit Bagas, kemudian dia berangkat dengan jalan kaki menuju sawah.
Di perjalanan menuju sawah, dia menyempatkan untuk membalas pesan W******p Reina. Dia meminta maaf kepada Reina karena semalam dia udah tidur pulas jadi tidak membalas pesan Reina. Bagas kemudian mengajak Reina bertemu di sawah milik ibunya.
***
“Bagas, kamu dimana?”
“Hei Rei, sini.” Bagas yang sedang duduk di gubuk melambaikan tangan kepada Reina. Reina segera menghampirinya.
“Hehhh ... panas banget.” Keluh Reina, kemudian dia duduk di samping Bagas.
“Sorry ya aku ngajak ketemuannya disini, karena aku rasa ini tempat teraman sih buat ngomongin ini, Rey.”
“Hah? Emang ada apa?” tanya Reina peasaran. Dia menggunakan topi yang dia kenakan untuk kipas.
Kemudian Bagas memberi tahu semua yang di ceritakan Bu Minten kepada Reina.
“Hah? Ngaco kamu Gas. Gak mungkin lah keluarga ku ngelakuin pesugihan. Gila aja. Aku nggak pernah nemuin yang aneh-aneh di rumah ku dulu.”
“Ya tapi begitu yang di omongin warga sini, Rei.”
“Tetap nggak mungkin, Gas. Aku yakin kok. Aku malah curiga sama sesorang.”
“Siapa?”
“Mbah Darmo.”
Mata Bagas tebelalak, dia menelan ludah. Seakan tidak percaya dengan yang di katakan Reina.
“Masalahnya gini, aku kemarin waktu nyari barang, aku nemuin foto. Disitu ada nenek, kakek, Mbah Darmo, dan seorang wanita yang aku nggak kenal.”
“Fotonya di sobek jadi dua bagian, bagian kiri aku yakin itu nenek dan kakek aku, dan sebelah kanan itu Mbah Darmo sama seorang wanita yang nggak aku kenal itu.” Imbuh Reina.
“Kok kamu bisa yakin kalau itu Mbah Darmo?”
“Aku inget banget Mbah Darmo punya tahi lalat di atas hidungnya, Gas. Sama persis kaya di foto yang aku temuin itu.” Jelas Reina meyakinkan Bagas.
“Wah ini ada yang nggak bener, Rey. Gimana kalau aku bantu kamu cari tahu yang sebenarnya terjadi?”
“Em nggak usah, Gas. Aku takut Ibu kamu tahu, nanti kamu kena omel. Yang ada malah kita nggak bisa temenan lagi.” Pinta Reina memelas.
“Tenang aja. Semua bakal baik-baik aja kok. Ibu ku nggak bakal tahu.”
“Ya udah kalau kamu maksa. Kalau ada apa-apa itu jadi tanggung jawab kamu sendiri ya.”
Bagas hanya tersenyum sembari memberi Reina kelapa muda yang dia petik tadi sebelum Reina datang.
“Wah, makasih ya. Seger banget nih pasti.”
“Ngomong-ngomong,ada yang ganjil nggak sih dari foto yang aku temuin itu?” tanya Reina yang masih penasaran “Ada hubungan apa di antara mereka gitu lho.”
“Ya mungkin karena tetanggaan kali jadi ngajak foto bareng gitu.”
“Ah kamu mah ....” Reina mencubit lengan Bagas.
“Aaacchh ... sakit.”
“Hahahahahaha hahahaha.”
Mereka tertawa bersama-sama, di temani kicau burung dan sejuknya angin.
“Jangan-jangan Mbah Darmo itu yang bikin nenek aku kaya gini. Kaya yang ada di sinetron-sinetron itu lho, Gas.” Celetuk Reina tiba-tiba.
“Hus jangan ngawur kamu. Hidup kamu itu bukan sinetron. Jangan di samain.”
“Eheeem.”
Terdengar orang sedang suara batuk di belakang mereka. Mereka saling menatap dan pelan-pelan menoleh ke belakang.
“Haaahhhh.”
Deg deg deg!!
Suara jantung Reina berdebar kencang, Reina terkejut, dia terperanjat mengetahui orang di belakangnya adalah Mbah Darmo. Sontak Reina dan Bagas langsung berdiri.
“Eeeh Mbah Darmo.” Sapa Bagas. Bahunya menyenggol-nyenggol bahu Reina. Reina langsung tersadar dan terlihat salah tingkah.
“M-mbah Darmo kok di s-sini?” tanya Reina gugup.
“Mbah sedang menyingkirkan nyawa yang perlu Mbah singkirkan.”
Mata Mbah Darmo melotot, bola matanya merah. Tangan kanan memegang tongkatnya dengan erat hingga otot-otot tangannya terlihat.
“A-pa maksudnya ya Mbah.”
Tangan Reina meremas keras tangan Bagas, ekspresi wajah Bagas berubah seperti menahan sakit.
Mbah Darmo langsung pergi meninggalkan mereka tanpa menjawab pertanyaan Reina.
Kedua kaki Reina terasa lemas seperti tidak bertulang. Dia terus meremas tangan Bagas.
“Aku anter kamu pulang aja ya, Rei.” Ajak Bagas.
“Boleh deh, ayo.”
“Gas, aku minta tolong ya sama kamu. Kamu jangan ngomong apa pun soal foto itu dan tentang Mbah Darmo juga.”
Bagas menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan pulang.
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara
*** “Udah jam berapa ini, kok mereka belum datang juga. Kasian ibu!” Bu Mirna menyeka air matanya yang hampir menetes ke jenazah Nenek Iroh. “Sabar ya, Ma. Bentar lagi mereka pasti datang.” Bisik lirih Reina berusaha menenangkan Bu Mirna. Nampak dari kejauhan Pak Arya bersama yang lain datang, tak bisa di tampik lagi ekspresi wajah mereka kelelahan dan ketakutan. “Ada apa, Pa? Kok pada senggoyoran begitu jalannya.” Teriak Reina dari dalam rumah. Reina segera berlari menghampiri mereka yang terduduk lemas di depan pintu di ikuti Bu Mirna dan Kemal. Sedangkan Mbah Darmo tetap duduk tenang di samping jenazah Nenek Iroh. “M-nakutkan, Ya Allah ... baru kali ini saya ketemu demit.” Suara Pak Ponidi gemetar bahkan nyaris tidak bisa di dengar. “Demit? Demit apa sih? Kalian itu kenapa lho?” tanya Bu Mirna penasaran, tangannya menggoyahkan pundak Pak Arya yang berada di sampingnya. “Kita di ganggu hantu, Ma. Anehnya dia bisa beru
"Diam kata mu? Hei Mirna anak pengabdi setan! Hahaha ... harusnya kau ikut mati sama ibu kau itu!" balas Pak Amir dengan sesekali menyodorkan obor yang dia bawa ke arah Bu Mirna. "ANJING KAU YA! IBU SAYA BUKAN PENGABDI SETAN! COBA KATAKAN SEKALI LAGI, AKAN KU BUNUH KALIAN SEMUA!" ancam Bu Mirna yang semakin tidak terkontrol emosinya. Pak Arya dan Reina segera menenangkan Bu Mirna, mereka membawa Bu Mirna masuk ke dalam rumah. Hal itu mereka lakukan untuk antisipasi agar emosi warga tidak semakin tersulut. "Mama .. Mama." Tangis Kemal yang ketakutan dengan situasi saat itu. "Ayo, Nak! Ikut mama masuk." ajak Pak Arya yang masih menahan tubuh Bu Mirna yang masih melawan, memaksa untuk di lepaskan. Kemal yang mendengar ajakan PaK Arya segera berlari mengikuti kedua orangtua dan kakaknya masuk ke rumah. "Awas ya lo semua kalau bukan karena ada anak gue, lo semua udah gue bantai habis." Tandas Bu Mirna yang masih sempat berontak walaupun sudah berad