"Diam kata mu? Hei Mirna anak pengabdi setan! Hahaha ... harusnya kau ikut mati sama ibu kau itu!" balas Pak Amir dengan sesekali menyodorkan obor yang dia bawa ke arah Bu Mirna.
"ANJING KAU YA! IBU SAYA BUKAN PENGABDI SETAN! COBA KATAKAN SEKALI LAGI, AKAN KU BUNUH KALIAN SEMUA!" ancam Bu Mirna yang semakin tidak terkontrol emosinya.
Pak Arya dan Reina segera menenangkan Bu Mirna, mereka membawa Bu Mirna masuk ke dalam rumah. Hal itu mereka lakukan untuk antisipasi agar emosi warga tidak semakin tersulut.
"Mama .. Mama." Tangis Kemal yang ketakutan dengan situasi saat itu.
"Ayo, Nak! Ikut mama masuk." ajak Pak Arya yang masih menahan tubuh Bu Mirna yang masih melawan, memaksa untuk di lepaskan. Kemal yang mendengar ajakan PaK Arya segera berlari mengikuti kedua orangtua dan kakaknya masuk ke rumah.
"Awas ya lo semua kalau bukan karena ada anak gue, lo semua udah gue bantai habis." Tandas Bu Mirna yang masih sempat berontak walaupun sudah berad
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah joglo berusia tua. Halamannya penuh dengan daun-daun bambu kering yang telah gugur dari dahannya.Ada beberapa bagian tiang dan tembok yang terbuat dari kayu rapuh di makan oleh rayap. Rumah itu terlihat kusam, seperti tidak pernah di rawat.“Hah? Yakin ini rumahnya Ma, Pa?” celetuk Reina seakan tidak percaya.“Iya, Rei. Sudah, cepat ambil barang yang perlu di bawa masuk!” tegas Pak Arya yang sedang sibuk memarkirkan mobilnya.Tiba-tiba seorang nenek tua, rambut putih di sanggul, mengenakan kebaya hijau dan jarik motif batik parang berwarna coklat muncul dari balik jendela mobil sambil menggedor kaca jendela.“Aaaaaaaaaahhhhhh!!”Sontak Reina berteriak histeris, yang membuat semua orang dalam mobil kaget. Dan spontan mereka keluar dari mobil.“Mirna, anakku akhirnya datang!!” jerit Nenek tersebut dalam bahasa Jawa.Bu
Reina terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot di badannya. Kemudian merapikan tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai, dia berpakaian rapi dan merias wajahnya dengan make up yang tipis. Reina bersiap pergi.“Tumben udah mandi jam segini, udah rapi dan wangi. ” Goda Kemal.“Sekarang kakak udah jadi kembang desa, jadi harus tetap cantik sepanjang waktu.” Jawab Reina sambil mengibaskan rambutnya.“Haah apa, Kak? Cantikan juga Nenek dari pada Kakak.” Jawab Kemal tak mau kalah dari kakaknya. Kemal tertawa terbahak-bahak.Reina menghiraukan candaan Kemal dan berjalan meninggalkan rumah.“Kemana Kak?” teriak Kemal.“Cari yang seger-seger.” Sahut Reina dengan lantang.Reina berjalan menyusuri pematang sawah. Dia sangat kagum dengan hamparan sawah yang sangat luas di kampung itu.Kompren k
Sebuah gubuk reot dengan dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu adalah satu-satunya rumah di dalam hutan itu. Gelap tanpa lampu dan listrik. Hanya sebuah obor sebagai alat penerangan.Weessssstttt weeesssttt.Angin bertiup sangat kencang. Daun-daun kering berterbangan.“Weh, ada yang tidak beres ini!”“Iroh ....” Bisik Mbah Darmo.Bibir hitam Mbah Darmo komat kamit, entah apa yang dia lantunkan, terdengar sangat cepat. Tangannya memegang erat sebuah botol kecil seukuran ibu jari.Guuubraaaaaakk!!Tiba-tiba semua sesajen yang ada di meja Mbah Darmo jatuh berserakan, seperti ada yang melemparnya.“Semprul!” muka Mbah Darmo terlihat sangat marah.Langkah kaki Pak Arya yang beradu dengan tanah dan dedaun kering terdengar semakin mendekati rumah Mbah Darmo.“Mbah, ini saya Arya. Saya mau minta tolong, Mbah!” seru Pak Arya dengan nafas terengah-engah, detak jantungny
Sosok astral itu mulai merangkak, tubuhnya mengeliat, mulutnya terbuka lebar hingga terlihat giginya yang tajam, darah hitam keluar dari mulutnya."Krekk kreeekk kreekk." Seperti suara tulang-tulang patah. Hantu itu mulai merayap ke dinding."Apa mau mu? Apa yang kau cari disini? Setelah sekian lama aku sudah mengurungmu di sumur itu, apa yang membuat mu bangkit lagi!!" gertak Mbah Darmo yang mulai tersulut emosi."Kikikikikikikikikikikik." Sosok itu hanya tertawa, lalu menghempaskan tubuhnya ke tubuh Nenek Iroh.Seketika tubuh Nenek Iroh terasuki hantu itu. Kuku-kuku tangan Nenek Iroh menghitam seperti kayu yang terbakar."Ini sudah waktunya aku mendapatkan apa yang harus aku dapatkan. Nyawa Iroh milikku." Suara Nenek Iroh yang di rasuki sosok astral itu terdengar serak, menggema mengisi ruangan."Keluar kau dari tubuh Iroh. Tidak ada alasan kau harus mengambil nyawanya!!" tegas Mbah Darmo."Ini su
“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo.Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh,
Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.Kreeekkkkk.Reina membuka jendela kamar Nenek Iro
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki