Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo.
“Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo
“Apa ya, Mbah? Keris?”
“Ya!”
“Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.”
“Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.”
“Terus gimana dong, Mbah?”
“Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.”
“Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine
Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar.
Buuuuugh!
“Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara
*** “Udah jam berapa ini, kok mereka belum datang juga. Kasian ibu!” Bu Mirna menyeka air matanya yang hampir menetes ke jenazah Nenek Iroh. “Sabar ya, Ma. Bentar lagi mereka pasti datang.” Bisik lirih Reina berusaha menenangkan Bu Mirna. Nampak dari kejauhan Pak Arya bersama yang lain datang, tak bisa di tampik lagi ekspresi wajah mereka kelelahan dan ketakutan. “Ada apa, Pa? Kok pada senggoyoran begitu jalannya.” Teriak Reina dari dalam rumah. Reina segera berlari menghampiri mereka yang terduduk lemas di depan pintu di ikuti Bu Mirna dan Kemal. Sedangkan Mbah Darmo tetap duduk tenang di samping jenazah Nenek Iroh. “M-nakutkan, Ya Allah ... baru kali ini saya ketemu demit.” Suara Pak Ponidi gemetar bahkan nyaris tidak bisa di dengar. “Demit? Demit apa sih? Kalian itu kenapa lho?” tanya Bu Mirna penasaran, tangannya menggoyahkan pundak Pak Arya yang berada di sampingnya. “Kita di ganggu hantu, Ma. Anehnya dia bisa beru
"Diam kata mu? Hei Mirna anak pengabdi setan! Hahaha ... harusnya kau ikut mati sama ibu kau itu!" balas Pak Amir dengan sesekali menyodorkan obor yang dia bawa ke arah Bu Mirna. "ANJING KAU YA! IBU SAYA BUKAN PENGABDI SETAN! COBA KATAKAN SEKALI LAGI, AKAN KU BUNUH KALIAN SEMUA!" ancam Bu Mirna yang semakin tidak terkontrol emosinya. Pak Arya dan Reina segera menenangkan Bu Mirna, mereka membawa Bu Mirna masuk ke dalam rumah. Hal itu mereka lakukan untuk antisipasi agar emosi warga tidak semakin tersulut. "Mama .. Mama." Tangis Kemal yang ketakutan dengan situasi saat itu. "Ayo, Nak! Ikut mama masuk." ajak Pak Arya yang masih menahan tubuh Bu Mirna yang masih melawan, memaksa untuk di lepaskan. Kemal yang mendengar ajakan PaK Arya segera berlari mengikuti kedua orangtua dan kakaknya masuk ke rumah. "Awas ya lo semua kalau bukan karena ada anak gue, lo semua udah gue bantai habis." Tandas Bu Mirna yang masih sempat berontak walaupun sudah berad
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah joglo berusia tua. Halamannya penuh dengan daun-daun bambu kering yang telah gugur dari dahannya.Ada beberapa bagian tiang dan tembok yang terbuat dari kayu rapuh di makan oleh rayap. Rumah itu terlihat kusam, seperti tidak pernah di rawat.“Hah? Yakin ini rumahnya Ma, Pa?” celetuk Reina seakan tidak percaya.“Iya, Rei. Sudah, cepat ambil barang yang perlu di bawa masuk!” tegas Pak Arya yang sedang sibuk memarkirkan mobilnya.Tiba-tiba seorang nenek tua, rambut putih di sanggul, mengenakan kebaya hijau dan jarik motif batik parang berwarna coklat muncul dari balik jendela mobil sambil menggedor kaca jendela.“Aaaaaaaaaahhhhhh!!”Sontak Reina berteriak histeris, yang membuat semua orang dalam mobil kaget. Dan spontan mereka keluar dari mobil.“Mirna, anakku akhirnya datang!!” jerit Nenek tersebut dalam bahasa Jawa.Bu
Reina terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot di badannya. Kemudian merapikan tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai, dia berpakaian rapi dan merias wajahnya dengan make up yang tipis. Reina bersiap pergi.“Tumben udah mandi jam segini, udah rapi dan wangi. ” Goda Kemal.“Sekarang kakak udah jadi kembang desa, jadi harus tetap cantik sepanjang waktu.” Jawab Reina sambil mengibaskan rambutnya.“Haah apa, Kak? Cantikan juga Nenek dari pada Kakak.” Jawab Kemal tak mau kalah dari kakaknya. Kemal tertawa terbahak-bahak.Reina menghiraukan candaan Kemal dan berjalan meninggalkan rumah.“Kemana Kak?” teriak Kemal.“Cari yang seger-seger.” Sahut Reina dengan lantang.Reina berjalan menyusuri pematang sawah. Dia sangat kagum dengan hamparan sawah yang sangat luas di kampung itu.Kompren k