Share

9. Nenek Iroh Hilang

“Ayo semua makan dulu.  Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna.

“Ya, Ma.” Jawab mereka kompak.

“Nenek udah makan belum, Ma?”

“Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.”

Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya.

“Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.”

“Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?”

“Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.”

“Haaah?”

Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi.

“Kamu nggak salah lihat kan, Mal?”

“Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.”

Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena terheran.

“Mir-Mirna”

Suara itu terdengar dari kamar Nenek Iroh.

“Iya bu, sebentar ya.”

Bu Mirna segera menghampiri Nenek Iroh, sedangkan yang lain melanjutkan makan malamnya.

“Iya Bu ada apa?” Bu Mirna merasa terharu mendengar Nenek sudah mau berbicara.

“Darmo.”

“Iya, kenapa dengan Mbah Darmo. Ibu ingin Mirna panggil Mbah Darmo kesini?”

Mata Nenek melotot, seketika mulutnya seperti terkunci. Tidak dapat berbicara sama sekali.

“Arrrgh aarrghh.”

Tangan Nenek Iroh memegangi lehernya. Kepalanya mendongak ke atas. Lidahnya menjulur panjang keluar. Nenek terdengar merintih kesakitan.

“Papa ... Papa ... Papa.”

Bu Mirna berteriak dengan sangat kencang memanggil suaminya, dia merangkak menjauhi Nenek dan meringkuk di sudut kamar Nenek Iroh. Bulu kuduknya berdiri. Merinding, sangat merinding. Dia sangat ketakutan, mengingat baru kali ini dia mengalami kejadian seperti ini seumur hidupnya.

“As-tagh-firullah.” Bu Mirna beristigfar dengan terbata-bata.

Tubuh kurus dan kering Nenek Iroh tiba-tiba melayang dan terbanting kencang di atas ranjangnya. Berkali-kali di banting oleh iblis itu. Nenek Iroh memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya. Mengotori wajah keriput dan baju putih yang dia kenakan.

“Ya Allah ....” Tangis Bu Mirna semakin terdengar kencang.

Reina yang mendengar suara Bu Mirna langsung  berlari mendekati kamar Nenek Iroh di susul Pak Arya dan Kemal.

Namun saat sampai di depan pintu kamar nenek, tiba-tiba pintu terbanting dan menutup rawat. 

Membuat Reina panik dan menangis histeris. Pak Arya mencoba membuka pintu itu dengan paksa.

“Kamu yang tenang, Rei. Ajak adik kamu mundur, Papa mau dobrak pintu ini.”

“Ma, menjauh dari pintu ya.” Pinta Pak Arya.

Buuugh buugh!

“Eeh ... eehh ... ehh!”

Dengan sekuat tenaga Pak Arya berusaha mendobrak pintu itu.

“Arrrhh arrrgh.” Raung Nenek Iroh terdengar jelas. 

Badan Nenek Iroh kembali melayang, urat lehernya terlihat jelas kebiruan. Kakinya mengayun ke kanan dan kekiri. Seperti orang yang sedang di gantung.

Entah dari mana angin bertiup sangat kencang, jendela terbuka dengan sendirinya membuat seisi kamar porak-poranda oleh angin besar. 

Tiba-tiba Nenek Iroh hilang entah kemana, angin kencang berhenti, dan pintu kamar terbuka dengan sendirinya.

Pak Arya meminta Reina dan Kemal tetap berada di luar.

“Biar Papa aja.”

Pak Arya langsung masuk ke dalam kamar nenek dan menghampiri Bu Mirna yang masih terisak di pojok kamar. Pak Arya memeluk Bu Mirna dan membantunya untuk berdiri.

“Ibu mana, Pa?”

Mereka mencari di seluruh sudut kamar, tapi tak melihatnya. Akhirnya mereka memutuskan keluar dari kamar.

Baru 5 langkah mereka berjalan, terdengar suara ketukan pintu.

“Biar aku aja yang buka.”

Kemudian Reina berjalan menuju jendela, dia membuka gorden jendela pelan-pelan. Dia mengintip keluar.

“Heeehh.”

Reina tersentak, jantungnya berdegub kencang, tangannya mengusap dahinya yang berkeringan melihat Mbah Darmo berdiri membelakangi pintu.

Tok tok tok!!

Lagi-lagi suara ketukan pintu itu terdengar. Reina tampak kebingungan.

“Siapa Rei? Kok nggak di buka?”

“Em itu, Ma. M-mbah Darmo.”

“Lha kok terus kenapa nggak di bukain pintu.”

“I-iya, Ma.”

“Waduh gawat, dia mau ngapain kesini?” batin Reina.

Dia memutar kunci pintu ke kanan, kemudian membuka pintunya pelan-pelan.

“Heeehh!”

Reina sampai berjingkat, terkejut melihat Mbah Darmo sudah berdiri sejengkal dari pintu dengan tatapan sinisnya.

“S-silahkan masuk Mbah.”

Reina mempersilahkan Mbah Darmo masuk terlebih dahulu, dan dia kembali menutup pintu. Badannya bersandar di pintu dengan tangannya masih memegang gagang pintu. Kakinya lemas, sesekali dia menghembuskan nafasnya melalui mulut.

“Mampus gue!” Batin Reina.

Kemudian dia menyusul Mbah Darmo, berjalan tepat di belakang Mbah Darmo. Sesekali Mbah Darmo menoleh ke belakang, membuat Reina semakin ketakutan. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya.

Pak Arya dan Bu Mirna segera berdiri setelah melihat Mbah Darmo berjalan mendekati mereka.

“Mbah ....”

“Kembali lah duduk, jangan kawatir.”

“I-iya Mbah.”

“Rei, tolong bawa adikmu ke kamar, Nak.”

Pinta Pak Arya,  dia mengedipkan mata kepada Reina. Reina pun paham, mungkin mereka akan membicarakan sesuatu yang penting . Reina segera membawa Kemal masuk ke dalam kamarnya.

“Apa ya yang mau mereka omongin.” Tanya Reina dalam hati, penasaran.

“Mal, kamu tidur ya. Ini udah malam.”

“Tapi Kakak temenin Kemal di sini dulu ya.”

“Iya sayang.”

Reina mengelus rambut bocah 6 tahun itu dengan lembut hingga Kemal tertidur. Setelah memastikan kemal tertidur pulas, dia memberanikan diri menguping pembicaraan kedua orang tuanya dan Mbah Darmo dari celah pintu kamar Kemal yang belum tertutup rapat. Tapi ternyata hal itu di ketahui Mbah Darmo.

“Reina, kesini nggak usah nguping.” Sergah Mba Darmo.

Reina tersentak, dia menulan ledah hingga suara ludah di tenggorokannya terdengar. Gleeekk!!

“I-iya Mbah.”

Reina pun keluar dari kamar dan duduk di samping Bu Mirna. Wajahnya memerah, merasa malu sekaligus takut bercampur menjadi satu. Bu Mirna yang melihat anaknya menguping itu pun terlihat jengkel, dia mengerutkan dahi dan menatap Reina penuh kecewa.

“M-maaf ya, Reina nggak bermaksud seperti itu.”

“Nggak apa-apa. Wajar, kamu kan takut saya nyelakain keluarga kamu, ya kan?”

“Maksudnya apa ya, Mbah?” Tanya Pak Arya kebingungan.

“Sebenarnya ada apa, Rei?” tangan Bu Mirna memegang bahu Reina.

Kemudian Mbah Darmo menceritakan semua yang di bicarakan Reina kepada Bagas. Yang pada intinya Reina mencurigai Mbah Darmo sebagai penyebab keluarganya di ganggu iblis tu.

“Padahal itu foto zaman mereka waktu muda.” Sangkal Mbah Darmo dengan wajah sedihnya.

“Terus wanita disebelah Mbah siapa?”

“Itu adiknya nenekmu, tanyakan saja sama orang tuamu!”

Kemudian Reina lari ke kamar untuk mengambil foto itu. Reina tampak gugup.

“Ini, Ma. Mama kenal?”

Kemudian Bu Mirna dan Pak Arya memperhatikan foto itu dengan teliti.

“Ini kan Nenek Bejo, adiknya nenekmu, Rei.” Muka Bu Mirna memerah, kedua matanya melotot.

“Maaf, Ma. Reina nggak tahu.”

“Kalau kamu nggak tahu ya sudah, tidak usah ngomong macam-macam. Mbah Darmo itu yang sudah bantu kita!” tegas Pak Arya.

“I-iya, Pa. Tapi kenapa foto itu terbelah jadi dua?”

“Ya mungkin nggak sengaja kesobek, Rei. Udah kamu nggak usah bikin ulah. Minta maaf sana sama Mbah Darmo!” Bentak Pak Arya.

“Iya, Pa. Mbah, saya minta maaf sudah berburuk sangka sama Mbah.” Suara Reina lirih sedikit berat karena menahan air matanya yang sudah menggenangi mata Reina.

Mbah Darmo pun hanya mengangguk dan tersenyum sinis kepada Reina. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status