“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna.
“Ya, Ma.” Jawab mereka kompak.
“Nenek udah makan belum, Ma?”
“Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.”
Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya.
“Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.”
“Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?”
“Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.”
“Haaah?”
Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi.
“Kamu nggak salah lihat kan, Mal?”
“Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.”
Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena terheran.
“Mir-Mirna”
Suara itu terdengar dari kamar Nenek Iroh.
“Iya bu, sebentar ya.”
Bu Mirna segera menghampiri Nenek Iroh, sedangkan yang lain melanjutkan makan malamnya.
“Iya Bu ada apa?” Bu Mirna merasa terharu mendengar Nenek sudah mau berbicara.
“Darmo.”
“Iya, kenapa dengan Mbah Darmo. Ibu ingin Mirna panggil Mbah Darmo kesini?”
Mata Nenek melotot, seketika mulutnya seperti terkunci. Tidak dapat berbicara sama sekali.
“Arrrgh aarrghh.”
Tangan Nenek Iroh memegangi lehernya. Kepalanya mendongak ke atas. Lidahnya menjulur panjang keluar. Nenek terdengar merintih kesakitan.
“Papa ... Papa ... Papa.”
Bu Mirna berteriak dengan sangat kencang memanggil suaminya, dia merangkak menjauhi Nenek dan meringkuk di sudut kamar Nenek Iroh. Bulu kuduknya berdiri. Merinding, sangat merinding. Dia sangat ketakutan, mengingat baru kali ini dia mengalami kejadian seperti ini seumur hidupnya.
“As-tagh-firullah.” Bu Mirna beristigfar dengan terbata-bata.
Tubuh kurus dan kering Nenek Iroh tiba-tiba melayang dan terbanting kencang di atas ranjangnya. Berkali-kali di banting oleh iblis itu. Nenek Iroh memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya. Mengotori wajah keriput dan baju putih yang dia kenakan.
“Ya Allah ....” Tangis Bu Mirna semakin terdengar kencang.
Reina yang mendengar suara Bu Mirna langsung berlari mendekati kamar Nenek Iroh di susul Pak Arya dan Kemal.
Namun saat sampai di depan pintu kamar nenek, tiba-tiba pintu terbanting dan menutup rawat.
Membuat Reina panik dan menangis histeris. Pak Arya mencoba membuka pintu itu dengan paksa.
“Kamu yang tenang, Rei. Ajak adik kamu mundur, Papa mau dobrak pintu ini.”
“Ma, menjauh dari pintu ya.” Pinta Pak Arya.
Buuugh buugh!
“Eeh ... eehh ... ehh!”
Dengan sekuat tenaga Pak Arya berusaha mendobrak pintu itu.
“Arrrhh arrrgh.” Raung Nenek Iroh terdengar jelas.
Badan Nenek Iroh kembali melayang, urat lehernya terlihat jelas kebiruan. Kakinya mengayun ke kanan dan kekiri. Seperti orang yang sedang di gantung.
Entah dari mana angin bertiup sangat kencang, jendela terbuka dengan sendirinya membuat seisi kamar porak-poranda oleh angin besar.
Tiba-tiba Nenek Iroh hilang entah kemana, angin kencang berhenti, dan pintu kamar terbuka dengan sendirinya.
Pak Arya meminta Reina dan Kemal tetap berada di luar.
“Biar Papa aja.”
Pak Arya langsung masuk ke dalam kamar nenek dan menghampiri Bu Mirna yang masih terisak di pojok kamar. Pak Arya memeluk Bu Mirna dan membantunya untuk berdiri.
“Ibu mana, Pa?”
Mereka mencari di seluruh sudut kamar, tapi tak melihatnya. Akhirnya mereka memutuskan keluar dari kamar.
Baru 5 langkah mereka berjalan, terdengar suara ketukan pintu.
“Biar aku aja yang buka.”
Kemudian Reina berjalan menuju jendela, dia membuka gorden jendela pelan-pelan. Dia mengintip keluar.
“Heeehh.”
Reina tersentak, jantungnya berdegub kencang, tangannya mengusap dahinya yang berkeringan melihat Mbah Darmo berdiri membelakangi pintu.
Tok tok tok!!
Lagi-lagi suara ketukan pintu itu terdengar. Reina tampak kebingungan.
“Siapa Rei? Kok nggak di buka?”
“Em itu, Ma. M-mbah Darmo.”
“Lha kok terus kenapa nggak di bukain pintu.”
“I-iya, Ma.”
“Waduh gawat, dia mau ngapain kesini?” batin Reina.
Dia memutar kunci pintu ke kanan, kemudian membuka pintunya pelan-pelan.
“Heeehh!”
Reina sampai berjingkat, terkejut melihat Mbah Darmo sudah berdiri sejengkal dari pintu dengan tatapan sinisnya.
“S-silahkan masuk Mbah.”
Reina mempersilahkan Mbah Darmo masuk terlebih dahulu, dan dia kembali menutup pintu. Badannya bersandar di pintu dengan tangannya masih memegang gagang pintu. Kakinya lemas, sesekali dia menghembuskan nafasnya melalui mulut.
“Mampus gue!” Batin Reina.
Kemudian dia menyusul Mbah Darmo, berjalan tepat di belakang Mbah Darmo. Sesekali Mbah Darmo menoleh ke belakang, membuat Reina semakin ketakutan. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya.
Pak Arya dan Bu Mirna segera berdiri setelah melihat Mbah Darmo berjalan mendekati mereka.
“Mbah ....”
“Kembali lah duduk, jangan kawatir.”
“I-iya Mbah.”
“Rei, tolong bawa adikmu ke kamar, Nak.”
Pinta Pak Arya, dia mengedipkan mata kepada Reina. Reina pun paham, mungkin mereka akan membicarakan sesuatu yang penting . Reina segera membawa Kemal masuk ke dalam kamarnya.
“Apa ya yang mau mereka omongin.” Tanya Reina dalam hati, penasaran.
“Mal, kamu tidur ya. Ini udah malam.”
“Tapi Kakak temenin Kemal di sini dulu ya.”
“Iya sayang.”
Reina mengelus rambut bocah 6 tahun itu dengan lembut hingga Kemal tertidur. Setelah memastikan kemal tertidur pulas, dia memberanikan diri menguping pembicaraan kedua orang tuanya dan Mbah Darmo dari celah pintu kamar Kemal yang belum tertutup rapat. Tapi ternyata hal itu di ketahui Mbah Darmo.
“Reina, kesini nggak usah nguping.” Sergah Mba Darmo.
Reina tersentak, dia menulan ledah hingga suara ludah di tenggorokannya terdengar. Gleeekk!!
“I-iya Mbah.”
Reina pun keluar dari kamar dan duduk di samping Bu Mirna. Wajahnya memerah, merasa malu sekaligus takut bercampur menjadi satu. Bu Mirna yang melihat anaknya menguping itu pun terlihat jengkel, dia mengerutkan dahi dan menatap Reina penuh kecewa.
“M-maaf ya, Reina nggak bermaksud seperti itu.”
“Nggak apa-apa. Wajar, kamu kan takut saya nyelakain keluarga kamu, ya kan?”
“Maksudnya apa ya, Mbah?” Tanya Pak Arya kebingungan.
“Sebenarnya ada apa, Rei?” tangan Bu Mirna memegang bahu Reina.
Kemudian Mbah Darmo menceritakan semua yang di bicarakan Reina kepada Bagas. Yang pada intinya Reina mencurigai Mbah Darmo sebagai penyebab keluarganya di ganggu iblis tu.
“Padahal itu foto zaman mereka waktu muda.” Sangkal Mbah Darmo dengan wajah sedihnya.
“Terus wanita disebelah Mbah siapa?”
“Itu adiknya nenekmu, tanyakan saja sama orang tuamu!”
Kemudian Reina lari ke kamar untuk mengambil foto itu. Reina tampak gugup.
“Ini, Ma. Mama kenal?”
Kemudian Bu Mirna dan Pak Arya memperhatikan foto itu dengan teliti.
“Ini kan Nenek Bejo, adiknya nenekmu, Rei.” Muka Bu Mirna memerah, kedua matanya melotot.
“Maaf, Ma. Reina nggak tahu.”
“Kalau kamu nggak tahu ya sudah, tidak usah ngomong macam-macam. Mbah Darmo itu yang sudah bantu kita!” tegas Pak Arya.
“I-iya, Pa. Tapi kenapa foto itu terbelah jadi dua?”
“Ya mungkin nggak sengaja kesobek, Rei. Udah kamu nggak usah bikin ulah. Minta maaf sana sama Mbah Darmo!” Bentak Pak Arya.
“Iya, Pa. Mbah, saya minta maaf sudah berburuk sangka sama Mbah.” Suara Reina lirih sedikit berat karena menahan air matanya yang sudah menggenangi mata Reina.
Mbah Darmo pun hanya mengangguk dan tersenyum sinis kepada Reina.
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara
*** “Udah jam berapa ini, kok mereka belum datang juga. Kasian ibu!” Bu Mirna menyeka air matanya yang hampir menetes ke jenazah Nenek Iroh. “Sabar ya, Ma. Bentar lagi mereka pasti datang.” Bisik lirih Reina berusaha menenangkan Bu Mirna. Nampak dari kejauhan Pak Arya bersama yang lain datang, tak bisa di tampik lagi ekspresi wajah mereka kelelahan dan ketakutan. “Ada apa, Pa? Kok pada senggoyoran begitu jalannya.” Teriak Reina dari dalam rumah. Reina segera berlari menghampiri mereka yang terduduk lemas di depan pintu di ikuti Bu Mirna dan Kemal. Sedangkan Mbah Darmo tetap duduk tenang di samping jenazah Nenek Iroh. “M-nakutkan, Ya Allah ... baru kali ini saya ketemu demit.” Suara Pak Ponidi gemetar bahkan nyaris tidak bisa di dengar. “Demit? Demit apa sih? Kalian itu kenapa lho?” tanya Bu Mirna penasaran, tangannya menggoyahkan pundak Pak Arya yang berada di sampingnya. “Kita di ganggu hantu, Ma. Anehnya dia bisa beru
"Diam kata mu? Hei Mirna anak pengabdi setan! Hahaha ... harusnya kau ikut mati sama ibu kau itu!" balas Pak Amir dengan sesekali menyodorkan obor yang dia bawa ke arah Bu Mirna. "ANJING KAU YA! IBU SAYA BUKAN PENGABDI SETAN! COBA KATAKAN SEKALI LAGI, AKAN KU BUNUH KALIAN SEMUA!" ancam Bu Mirna yang semakin tidak terkontrol emosinya. Pak Arya dan Reina segera menenangkan Bu Mirna, mereka membawa Bu Mirna masuk ke dalam rumah. Hal itu mereka lakukan untuk antisipasi agar emosi warga tidak semakin tersulut. "Mama .. Mama." Tangis Kemal yang ketakutan dengan situasi saat itu. "Ayo, Nak! Ikut mama masuk." ajak Pak Arya yang masih menahan tubuh Bu Mirna yang masih melawan, memaksa untuk di lepaskan. Kemal yang mendengar ajakan PaK Arya segera berlari mengikuti kedua orangtua dan kakaknya masuk ke rumah. "Awas ya lo semua kalau bukan karena ada anak gue, lo semua udah gue bantai habis." Tandas Bu Mirna yang masih sempat berontak walaupun sudah berad
Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah joglo berusia tua. Halamannya penuh dengan daun-daun bambu kering yang telah gugur dari dahannya.Ada beberapa bagian tiang dan tembok yang terbuat dari kayu rapuh di makan oleh rayap. Rumah itu terlihat kusam, seperti tidak pernah di rawat.“Hah? Yakin ini rumahnya Ma, Pa?” celetuk Reina seakan tidak percaya.“Iya, Rei. Sudah, cepat ambil barang yang perlu di bawa masuk!” tegas Pak Arya yang sedang sibuk memarkirkan mobilnya.Tiba-tiba seorang nenek tua, rambut putih di sanggul, mengenakan kebaya hijau dan jarik motif batik parang berwarna coklat muncul dari balik jendela mobil sambil menggedor kaca jendela.“Aaaaaaaaaahhhhhh!!”Sontak Reina berteriak histeris, yang membuat semua orang dalam mobil kaget. Dan spontan mereka keluar dari mobil.“Mirna, anakku akhirnya datang!!” jerit Nenek tersebut dalam bahasa Jawa.Bu