Share

MISTERI SUMUR TUA
MISTERI SUMUR TUA
Author: Fhatia

1. Di Kucilkan Warga

Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah joglo berusia tua. Halamannya penuh dengan daun-daun bambu kering yang telah gugur dari dahannya.

Ada beberapa bagian tiang dan tembok yang terbuat dari kayu rapuh di makan oleh rayap. Rumah itu terlihat kusam, seperti tidak pernah di rawat.

“Hah? Yakin ini rumahnya Ma, Pa?” celetuk Reina seakan tidak percaya.

“Iya, Rei. Sudah, cepat ambil barang yang perlu di bawa masuk!” tegas Pak Arya yang sedang sibuk memarkirkan mobilnya.

Tiba-tiba seorang nenek tua, rambut putih di sanggul, mengenakan kebaya hijau dan jarik motif batik parang berwarna coklat muncul dari balik jendela mobil sambil menggedor kaca jendela.

“Aaaaaaaaaahhhhhh!!”

Sontak Reina berteriak histeris, yang membuat semua orang dalam mobil kaget. Dan spontan mereka keluar dari mobil.

“Mirna, anakku akhirnya datang!!” jerit Nenek tersebut dalam bahasa Jawa.

Bu Mirna menghampiri nenek itu dengan derai airmata.

“Bu. Aku kangen,” suara Bu Mirna terdengar berat, memeluk nenek dengan erat.

“Ya Tuhan, Reina itu Nenek Iroh, Nenek kalian. Kamu kira siapa?” seru Bu Mirna dengan nafas masih terengah-engah.

“Ya maaf, Ma. Reina kan nggak tahu.”

Selama ini Reina memang belum pernah bertemu dengan neneknya karena kesibukan kedua orangtuanya yang tak sempat mengajaknya pulang kampung.

“Udah-udah. Ayo, cepet masuk sini Nduk, Le.” Nenek Iroh menggandeng tangan Reina dan Kemal, menuntun mereka masuk ke dalam rumahnya.

Betapa bahagianya nenek, melihat anak, menantu serta cucu-cucunya pulang. Tangis haru mewarnai pertemuan mereka setelah 16 tahun lamanya tidak bertemu.

Tak ingat waktu, sudah lama sekali mereka mengobrol. Tiba waktunya Reina dan keluarga membereskan kamar masing-masing. Sedangkan nenek kembali untuk beristirahat di dalam kamarnya.

Kreeeeeekkkk. Bunyi pintu tua yang di buka perlahan.

“Uhuuuukk-uhuuukk!!”

Reina langsung batuk-batuk karena debu tebal yang berterbangan. Semua barang di tutupi oleh kain putih, dia membukanya satu persatu dengan hati-hati.

Terlihat semua benda di sana sudah usang. Reina sibuk menata ulang semua barang yang ada di kamar itu, memilih dan memilah barang yang sekiranya masih bisa di pakai.

Reina menemukan sebuah foto kusam di penuhi dengan debu dan jaring laba-laba. Reina membersihkannya dengan hati-hati, lalu tersenyum, ternyata itu foto Bu Mirna saat remaja.

“Mamaku ternyata udah cantik dari dulu. Hehehe.”

Setelah semuanya beres, mereka bergantian untuk mandi di kamar mandi belakang rumah.

Kamar mandi dan jamban menjadi satu tempat, tanpa atap dan hanya di kelilingi asbes sebagai penutupnya. Kain jarik menjadi sekat antara kamar mandi dan jamban.

Ada sebuah sumur kecil tepat di pojok kamar mandi sebagai sumber air untuk mandi, minum, dan memasak.

Di samping sumur kecil, juga terdapat sumur tua yang di tutup dengan papan kayu dan sebuah batu besar terletak di atas papan kayu itu sebagai pemberat.

Setelah mandi mereka makan bersama, tak lupa Nenek Iroh ikut bergabung dengan mereka. Mereka memperlakukan Nenek Iroh dengan istimewa. Terlihat begitu sangat sayang mereka kepada Nenek Iroh.

“Nenek, tidak pernah keluar rumah ya?” tanya Pak Arya penasaran.

“Tidak!” cetus Nenek Iroh singkat.

Semua yang berada di meja makan pun terdiam, tidak ada yang berani bertanya lagi kepada Nenek.

Mereka melanjutkan menyantap makanan yang telah terhidang di meja makan hingga habis.

“Emm ... Nek, Kemal makan ikannya kok kalah cepat ya sama Nenek. Padahal gigi Kemal kan masih lengkap. Sedangkan gigi Nenek udah ompong.” Pertanyaan polos Kemal memecahkan suasana saat itu.

Canda tawa mereka terdengar hingga rumah Pak Ponidi, tetangga terdekat mereka.

Teras rumah Pak Ponidi memang di gunakan untuk berjualan sembako sekaligus warkop. Setiap malam warkop Pak Ponidi ramai oleh bapak-bapak yang sedang ronda malam atau sekedar nongkrong saja.

“Gendeng ya mereka.” Celetuk Pak Amir ketua pos kampling.

“Bisa-bisanya mereka mau tinggal di rumah itu, saya takutnya malah jadi malapetaka buat warga desa kita.” Pak Narko mengerutkan dahinya karena terheran.

“Hati-hati lho, mending nggak usah ngomongin. Takutnya yang ono noh, nyamperin!” timpal Pak Amir. 

Weeeessstttt.

Angin tiba-tiba datang menyapu alas meja di depan mereka. Membuat gelas-gelas berisi kopi itu tumpah. 

“Anu mas, aku tak pulang duluan ya.” Wajah Pak Narko terlihat pucat, badannya sedikit bergetar.

“Aku juga tak pulang, kasian istriku pasti udah nunggu.” Sahut warga yang lain.

Mereka berjalan meninggalkan warung Pak Ponidi dengan raut wajah panik.

“Ya wes lah, aku tak nutup warung aja.” Pak Ponidi dengan tergesa-gesa merapikan meja dan kursi di luar warung dan menutup rapat rooling door warungnya.

“Ehh-ehh. Tunggu dulu, Pak Pon. Jangan nutup dulu!” teriak Pak Amir dari kejauhan mengagetkan Pak Ponidi.

“Ada apa lagi lho, Pak.”

“Anu, sendal ku ketinggalan yang sebelah.”

“Walah-walah. Kampret, bikin senam jantung lho Pak Amir tuh.”

“Maaf deh Pak Pon. Ya sudah ya, matur nuwun. Assalamualaikum!” pamit pak Amir yang berlari sambil mengangkat sarungnya.

***

Keesokan paginya, Bu Mirna dan Pak Arya jalan santai berkeliling desa tersebut. Hamparan sawah hijau menyegarkan mata, suara kicauan burung yang saling bersautan dan udara yang segar, membuat hati dan pikiran mereka menjadi tenang.

“Ndak bakal kita merasakan ini di Jakarta ya, Ma, hehehe.” Canda Pak Arya.

“Yo ndak lah, Pa.” Tegas Bu Mirna.

Tak sengaja mereka berpapasan dengan seorang pria paruh baya salah satu warga desa itu. Bu Mirna dan Pak Arya melemparkan senyuman kepada pria itu.

“Selamat pagi, Pak.” Tegur Pak Arya.

Namun anehnya pria itu seperti menghindar dari Bu Mirna dan Pak Arya. Pria itu berjalan secepat mungkin sampai berkali-kali hampir terjatuh karena tersandung. 

“Amit-amit jabang bayi.”

“Hiihh !!” rintih pria paruh baya itu. Dia menoleh ke arah Bu Mirna dan Pak Arya dengan raut wajah ketakutan.

“Ada apa sih Pak, kok dia melihat kita seperti itu?” tanya Bu Mirna terheran.

“Papa juga nggak tahu, Ma!”

Mereka melanjutkan perjalananan, Bu Mirna tak sengaja melihat warung nasi pecel, dia mengajak Pak Arya untuk singgah sebentar disana. 

"Pak, ada warung nasi pecel tuh, kayanya enak kalau beli nasi pecel buat sarapan."

"Oh boleh, ya sudah ayo kesana." 

“Bu, nasi pecel 2 bungkus ya.” Pinta Bu Mirna.

“Eeehhh ... anu, sudah di pesan orang. Maaf!” ibu penjual nasi pecel itu menjawab dengan tangan gemetaran, sesekali mengusap keringat di dahinya dengan siku bagian dalam tangannya.

“Oh ya sudah lah, terimakasih ya.” Mereka berjalan meninggalkan warung itu.

Namun, sayup-sayup terdengar dari jauh ada orang yang memesan nasi pecel. Dan di layani oleh Penjual.

“Lho dia boleh beli, kok kita tadi mau beli bilangnya habis, katanya udah di pesan orang lain. Aneh lho, Pa!” hela nafas Bu Mirna terdengar keras, dia sangat kesal.

“Ya mungkin nasi pecelnya memang pesanan orang itu, Ma.”  Pak Arya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam lubuk hatinya, sebernarnya dia juga tersinggung dengan para warga yang seperti sedang menjauhi mereka. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Zain losta masta
openingnya bikin gua tertarik.. cek juga novel saya ya kak, mohon pendapat dan sarannya dari kakak....
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status