Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah rumah joglo berusia tua. Halamannya penuh dengan daun-daun bambu kering yang telah gugur dari dahannya.
Ada beberapa bagian tiang dan tembok yang terbuat dari kayu rapuh di makan oleh rayap. Rumah itu terlihat kusam, seperti tidak pernah di rawat.
“Hah? Yakin ini rumahnya Ma, Pa?” celetuk Reina seakan tidak percaya.
“Iya, Rei. Sudah, cepat ambil barang yang perlu di bawa masuk!” tegas Pak Arya yang sedang sibuk memarkirkan mobilnya.
Tiba-tiba seorang nenek tua, rambut putih di sanggul, mengenakan kebaya hijau dan jarik motif batik parang berwarna coklat muncul dari balik jendela mobil sambil menggedor kaca jendela.
“Aaaaaaaaaahhhhhh!!”
Sontak Reina berteriak histeris, yang membuat semua orang dalam mobil kaget. Dan spontan mereka keluar dari mobil.
“Mirna, anakku akhirnya datang!!” jerit Nenek tersebut dalam bahasa Jawa.
Bu Mirna menghampiri nenek itu dengan derai airmata.
“Bu. Aku kangen,” suara Bu Mirna terdengar berat, memeluk nenek dengan erat.
“Ya Tuhan, Reina itu Nenek Iroh, Nenek kalian. Kamu kira siapa?” seru Bu Mirna dengan nafas masih terengah-engah.
“Ya maaf, Ma. Reina kan nggak tahu.”
Selama ini Reina memang belum pernah bertemu dengan neneknya karena kesibukan kedua orangtuanya yang tak sempat mengajaknya pulang kampung.
“Udah-udah. Ayo, cepet masuk sini Nduk, Le.” Nenek Iroh menggandeng tangan Reina dan Kemal, menuntun mereka masuk ke dalam rumahnya.
Betapa bahagianya nenek, melihat anak, menantu serta cucu-cucunya pulang. Tangis haru mewarnai pertemuan mereka setelah 16 tahun lamanya tidak bertemu.
Tak ingat waktu, sudah lama sekali mereka mengobrol. Tiba waktunya Reina dan keluarga membereskan kamar masing-masing. Sedangkan nenek kembali untuk beristirahat di dalam kamarnya.
Kreeeeeekkkk. Bunyi pintu tua yang di buka perlahan.
“Uhuuuukk-uhuuukk!!”
Reina langsung batuk-batuk karena debu tebal yang berterbangan. Semua barang di tutupi oleh kain putih, dia membukanya satu persatu dengan hati-hati.
Terlihat semua benda di sana sudah usang. Reina sibuk menata ulang semua barang yang ada di kamar itu, memilih dan memilah barang yang sekiranya masih bisa di pakai.
Reina menemukan sebuah foto kusam di penuhi dengan debu dan jaring laba-laba. Reina membersihkannya dengan hati-hati, lalu tersenyum, ternyata itu foto Bu Mirna saat remaja.
“Mamaku ternyata udah cantik dari dulu. Hehehe.”
Setelah semuanya beres, mereka bergantian untuk mandi di kamar mandi belakang rumah.
Kamar mandi dan jamban menjadi satu tempat, tanpa atap dan hanya di kelilingi asbes sebagai penutupnya. Kain jarik menjadi sekat antara kamar mandi dan jamban.
Ada sebuah sumur kecil tepat di pojok kamar mandi sebagai sumber air untuk mandi, minum, dan memasak.
Di samping sumur kecil, juga terdapat sumur tua yang di tutup dengan papan kayu dan sebuah batu besar terletak di atas papan kayu itu sebagai pemberat.
Setelah mandi mereka makan bersama, tak lupa Nenek Iroh ikut bergabung dengan mereka. Mereka memperlakukan Nenek Iroh dengan istimewa. Terlihat begitu sangat sayang mereka kepada Nenek Iroh.
“Nenek, tidak pernah keluar rumah ya?” tanya Pak Arya penasaran.
“Tidak!” cetus Nenek Iroh singkat.
Semua yang berada di meja makan pun terdiam, tidak ada yang berani bertanya lagi kepada Nenek.
Mereka melanjutkan menyantap makanan yang telah terhidang di meja makan hingga habis.“Emm ... Nek, Kemal makan ikannya kok kalah cepat ya sama Nenek. Padahal gigi Kemal kan masih lengkap. Sedangkan gigi Nenek udah ompong.” Pertanyaan polos Kemal memecahkan suasana saat itu.
Canda tawa mereka terdengar hingga rumah Pak Ponidi, tetangga terdekat mereka.
Teras rumah Pak Ponidi memang di gunakan untuk berjualan sembako sekaligus warkop. Setiap malam warkop Pak Ponidi ramai oleh bapak-bapak yang sedang ronda malam atau sekedar nongkrong saja.
“Gendeng ya mereka.” Celetuk Pak Amir ketua pos kampling.
“Bisa-bisanya mereka mau tinggal di rumah itu, saya takutnya malah jadi malapetaka buat warga desa kita.” Pak Narko mengerutkan dahinya karena terheran.
“Hati-hati lho, mending nggak usah ngomongin. Takutnya yang ono noh, nyamperin!” timpal Pak Amir.
Weeeessstttt.
Angin tiba-tiba datang menyapu alas meja di depan mereka. Membuat gelas-gelas berisi kopi itu tumpah.
“Anu mas, aku tak pulang duluan ya.” Wajah Pak Narko terlihat pucat, badannya sedikit bergetar.
“Aku juga tak pulang, kasian istriku pasti udah nunggu.” Sahut warga yang lain.
Mereka berjalan meninggalkan warung Pak Ponidi dengan raut wajah panik.
“Ya wes lah, aku tak nutup warung aja.” Pak Ponidi dengan tergesa-gesa merapikan meja dan kursi di luar warung dan menutup rapat rooling door warungnya.
“Ehh-ehh. Tunggu dulu, Pak Pon. Jangan nutup dulu!” teriak Pak Amir dari kejauhan mengagetkan Pak Ponidi.
“Ada apa lagi lho, Pak.”
“Anu, sendal ku ketinggalan yang sebelah.”
“Walah-walah. Kampret, bikin senam jantung lho Pak Amir tuh.”
“Maaf deh Pak Pon. Ya sudah ya, matur nuwun. Assalamualaikum!” pamit pak Amir yang berlari sambil mengangkat sarungnya.
***
Keesokan paginya, Bu Mirna dan Pak Arya jalan santai berkeliling desa tersebut. Hamparan sawah hijau menyegarkan mata, suara kicauan burung yang saling bersautan dan udara yang segar, membuat hati dan pikiran mereka menjadi tenang.
“Ndak bakal kita merasakan ini di Jakarta ya, Ma, hehehe.” Canda Pak Arya.
“Yo ndak lah, Pa.” Tegas Bu Mirna.
Tak sengaja mereka berpapasan dengan seorang pria paruh baya salah satu warga desa itu. Bu Mirna dan Pak Arya melemparkan senyuman kepada pria itu.
“Selamat pagi, Pak.” Tegur Pak Arya.
Namun anehnya pria itu seperti menghindar dari Bu Mirna dan Pak Arya. Pria itu berjalan secepat mungkin sampai berkali-kali hampir terjatuh karena tersandung.
“Amit-amit jabang bayi.”
“Hiihh !!” rintih pria paruh baya itu. Dia menoleh ke arah Bu Mirna dan Pak Arya dengan raut wajah ketakutan.
“Ada apa sih Pak, kok dia melihat kita seperti itu?” tanya Bu Mirna terheran.
“Papa juga nggak tahu, Ma!”
Mereka melanjutkan perjalananan, Bu Mirna tak sengaja melihat warung nasi pecel, dia mengajak Pak Arya untuk singgah sebentar disana.
"Pak, ada warung nasi pecel tuh, kayanya enak kalau beli nasi pecel buat sarapan."
"Oh boleh, ya sudah ayo kesana."
“Bu, nasi pecel 2 bungkus ya.” Pinta Bu Mirna.
“Eeehhh ... anu, sudah di pesan orang. Maaf!” ibu penjual nasi pecel itu menjawab dengan tangan gemetaran, sesekali mengusap keringat di dahinya dengan siku bagian dalam tangannya.
“Oh ya sudah lah, terimakasih ya.” Mereka berjalan meninggalkan warung itu.
Namun, sayup-sayup terdengar dari jauh ada orang yang memesan nasi pecel. Dan di layani oleh Penjual.
“Lho dia boleh beli, kok kita tadi mau beli bilangnya habis, katanya udah di pesan orang lain. Aneh lho, Pa!” hela nafas Bu Mirna terdengar keras, dia sangat kesal.
“Ya mungkin nasi pecelnya memang pesanan orang itu, Ma.” Pak Arya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam lubuk hatinya, sebernarnya dia juga tersinggung dengan para warga yang seperti sedang menjauhi mereka.
Reina terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot di badannya. Kemudian merapikan tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelah selesai, dia berpakaian rapi dan merias wajahnya dengan make up yang tipis. Reina bersiap pergi.“Tumben udah mandi jam segini, udah rapi dan wangi. ” Goda Kemal.“Sekarang kakak udah jadi kembang desa, jadi harus tetap cantik sepanjang waktu.” Jawab Reina sambil mengibaskan rambutnya.“Haah apa, Kak? Cantikan juga Nenek dari pada Kakak.” Jawab Kemal tak mau kalah dari kakaknya. Kemal tertawa terbahak-bahak.Reina menghiraukan candaan Kemal dan berjalan meninggalkan rumah.“Kemana Kak?” teriak Kemal.“Cari yang seger-seger.” Sahut Reina dengan lantang.Reina berjalan menyusuri pematang sawah. Dia sangat kagum dengan hamparan sawah yang sangat luas di kampung itu.Kompren k
Sebuah gubuk reot dengan dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu adalah satu-satunya rumah di dalam hutan itu. Gelap tanpa lampu dan listrik. Hanya sebuah obor sebagai alat penerangan.Weessssstttt weeesssttt.Angin bertiup sangat kencang. Daun-daun kering berterbangan.“Weh, ada yang tidak beres ini!”“Iroh ....” Bisik Mbah Darmo.Bibir hitam Mbah Darmo komat kamit, entah apa yang dia lantunkan, terdengar sangat cepat. Tangannya memegang erat sebuah botol kecil seukuran ibu jari.Guuubraaaaaakk!!Tiba-tiba semua sesajen yang ada di meja Mbah Darmo jatuh berserakan, seperti ada yang melemparnya.“Semprul!” muka Mbah Darmo terlihat sangat marah.Langkah kaki Pak Arya yang beradu dengan tanah dan dedaun kering terdengar semakin mendekati rumah Mbah Darmo.“Mbah, ini saya Arya. Saya mau minta tolong, Mbah!” seru Pak Arya dengan nafas terengah-engah, detak jantungny
Sosok astral itu mulai merangkak, tubuhnya mengeliat, mulutnya terbuka lebar hingga terlihat giginya yang tajam, darah hitam keluar dari mulutnya."Krekk kreeekk kreekk." Seperti suara tulang-tulang patah. Hantu itu mulai merayap ke dinding."Apa mau mu? Apa yang kau cari disini? Setelah sekian lama aku sudah mengurungmu di sumur itu, apa yang membuat mu bangkit lagi!!" gertak Mbah Darmo yang mulai tersulut emosi."Kikikikikikikikikikikik." Sosok itu hanya tertawa, lalu menghempaskan tubuhnya ke tubuh Nenek Iroh.Seketika tubuh Nenek Iroh terasuki hantu itu. Kuku-kuku tangan Nenek Iroh menghitam seperti kayu yang terbakar."Ini sudah waktunya aku mendapatkan apa yang harus aku dapatkan. Nyawa Iroh milikku." Suara Nenek Iroh yang di rasuki sosok astral itu terdengar serak, menggema mengisi ruangan."Keluar kau dari tubuh Iroh. Tidak ada alasan kau harus mengambil nyawanya!!" tegas Mbah Darmo."Ini su
“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo.Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh,
Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.Kreeekkkkk.Reina membuka jendela kamar Nenek Iro
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena