Share

7. Foto Kusam

Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan  parfum ke badannya.

"Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya.

"Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya.

"Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."

“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”

Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.

Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas dengan segera mengambil sisir dari sakunya dan bercermin di sepion motornya.

"Udah cakep. Bismillah." Hela nafas Bagas menenangkan dirinya agar tetap terlihat kalem.

"Assalamu'alaikum."

Tok tok tok.

“Waalaikumsalam.” Pak Arya membukakan pintu. Kemudian melihat dari ujung kaki sampai ujung rambut Bagas, Pak Arya merasa belum pernah bertemu dengan pemuda itu.

“Siapa ya?”

“Perkenalkan saya Bagas, Pak. Temennya Reina, Reinanya ada ndak Pak? Saya mau nawarin Reina gabung organisasi pemuda-pemudi desa kita, Pak.” Tutur Bagas, dia bersalaman dengan Pak Arya.

“Owalah iya iya. Sebentar ya, Bapak panggil Reina. Kamu duduk aja dulu.” Pak Arya memempersilahkan Bagas duduk di kursi teras rumah.

“Reina, ada temen kamu tuh, Papa suruh dia tunggu di luar. Temuin dulu, Nak.”

“Iya, Pa. Siapa emangnya, Pa?”

“Tadi sih dia bilang namanya Gas gas itu.”

“Oh Bagas.”

“Lah iya itu lah pokoknya.”

Reina pun tersenyum dan merapikan rambut serta bajunya. Kemudian dia keluar rumah untuk menghampiri Bagas.

“Eh kamu, Gas. Tumben banget kesini. Ada apa?”

“Eee ... ini aku ada buku organisasi pemuda pemudi desa kita, kamu baca-baca dulu. Kalau kamu minat, kamu boleh kok gabung di organisasi kita.”

“Wah beneran nih? Ah nggak usah baca pun aku juga tetep mau gabung kok.”

“Hehehe ... oke lah. Nanti kabarin aja. Oh ya aku boleh minta nomor HP kamu nggak? Biar aku lebih gampang kabarin kamu.”

“Sini HP kamu.” Reina menulis nomornya di HP Bagas.

“Oke deh, makasih ya, Rei.”

“Rei, aku mau ngomong sesuatu. Boleh nggak?”

“Ya ngomong tinggal ngomong aja, apa susahnya sih. Udah buruan, kamu mau ngomong apa.” Reina menatap mata Bagas dengan serius.

“Ehh anu. Soal nenekmu, Rei.” Jawab Bagas gugup, dia menjadi salah tingkah karena Reina terus menatapnya.

“Oh ... kenapa dengan nenek aku.”

“Jadi gini, Rei. Dulu ....” Ucapan Bagas terhenti, mendengar Nenek Iroh meraung.

“Aaaarrrhhggg aaarrghh aaarrrhgg.”

“Maaf, Bagas. Sebaiknya kamu pulang aja dulu. Besok kita ketemu ada di gubuk sawah milik ibumu. Nenek lagi nggak enak badan, takutnya dia keganggu.” Jelas Reina.

“Oke Rei nggak apa-apa kok. Aku yang minta maaf karena kesininya kemalaman.” Bagas melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.15 WIB.

“Aku pulang dulu ya, Rei. Bye-bye.” Bagas melambaikan tangan kepada Reina.

Reina mebalas lambaian tangan Bagas, dan segera masuk dan menutup pintu rumah.

“Ada apa, Pa.”

“Nenek mu, Rei.”

“Mana, Pa?”

Pak Arya hanya bisa mengarahkan jari telunjuknya ke langit-langit ruang tamu. Reina kaget bukan main, melihat nenek sudah berada di atas sana. Tangan dan kakinya merayap seperti laba-laba. Mulutnya menganga lebar, terlihat seisi mulutnya berlumut darah berwarna hitam. 

Sedangkan Bu Mirna menenangkan Kemal yang ketakutan di pojok ruang tamu. Suasana berubah menjadi mencekam. 

Nenek Iroh lompat dari atas langit-langit dan merangkak cepat mendekati Reina.

Pak Arya yang melihat itu langsung menarik Reina ke dalam pelukannya.

Hal itu membuat Nenek Iroh Murka, kursi dia hempaskan ke badan kekar Pak Arya yang melindungi Reina hanya dengan tatapan matanya saja.

Gubrak gubrak pyaaarrr!

Benda-benda lain pun tak luput dari pandangan Nenek Iroh, ia lemparkan semua ke arah Pak Arya dan Reina.

“Arrrrrghh.” Keluh Reina yang merasa sakit di telapak tangannya karena terkena pecahan kaca.

Rupanya Bu Mirna ingat dengan pesan Mbah Darmo. Dia segera meminta Kemal untuk tetap tenang.

“Nak, percaya sama Mama ya, nenek sayang sama Kemal. Jadi nenek nggak akan nyakitin Kemal.”

Kemal hanya mengangguk dan kembali menundukkan kepala dan menutup telinga dengan kedua tangannya.

Sementara Bu Mirna lari ke dalam kamar Nenek Iroh untuk mengambil keris kecil pemberian Mbah Darmo. Setelah itu tanpa pikir panjang Bu Mirna keluar kamar dan melemparkan keris itu ke badan nenek.

Seketika Nenek Iroh terbaring lemas di lantai.

“Bu ... Bu!!” panggil Bu Mirna, dia menepuk-nepuk pelan pipi Nenek Iroh.

Tiba-tiba mata nenek terbelalak menatap langit-langit atap, gerakan dadanya naik turun. Nafas nenek terdengar berat dan kasar. Mulutnya menganga, seperti ingin berbicara sesuatu.

“Apa , Bu. Ada apa?” Pak Arya mengelus rambut nenek, dan mendongakkan kepalanya untuk menatap ke langit-langit. Pak Arya tak melihat apa-apa.

Padahal di sisi lain nenek melihat wajah iblis itu tepat di atas wajahnya, namun tak terlihat oleh orang lain.

Kemudian mereka membawa nenek kembali ke dalam kamar untuk beristiahat.

“Pa, apa gak sebaiknya kita kalungkan saja keris ini di leher ibu, biar ibu selalu terjaga.” Usul Bu Mirna.

“Ya, ada benarnya. Papa sampai gak kepikiran.”

“Reina ambil kain dan kalung Reina yang udah nggak Reina pakai ya, Ma."

Reina segera ke kamarnya dan mencari barang itu.

“Aduh gue taruh mana sih, kok bisa lupa gini.”

Reina membuka laci demi laci di kamar itu, sampai dia membuka laci terakhir, dia menemukan foto kusam yang terbagi menjadi dua.

“Kok gw kaya kenal ini ya. Siapa ya?” Reina duduk di ujung ranjangnya dan terus mengingat siapa orang-orang di dalam foto itu.

“Ini gue kaya pernah lihat deh. Kalau nggak salah ini nenek sama kakek waktu muda. Iya bener, ini nenek sama kakek.” Kata Reina, dia memegang robekan foto sebelah kiri.

Reina ingat bahwa 2 orang di foto itu sama persis dengan 2 orang yang dia lihat di foto Bu Mirna waktu kecil dulu.

“Terus yang 2 ini siapa?”

Reina melihat sobekan foto sebelah kanan, tampak seorang laki-laki dan seorang perempuan.

“Eh kok ini kaya Mbah Darmo bukan sih. Apa mata gue yang katarak.”

“Rei ... Rei.” Panggil Bu Minten.

Reina terperanjat mendengar suara Bu Mirna memanggilnya.

“Ya, Bu? Sebentar ya belum ketemu nih.”

Reina segera menyimpan foto itu di dompetnya. Dia melanjutkan mencari kain dan kalungnya.

“Nah ini dia.” Reina menemukan kalung itu di dalam laci lemari pakaian paling bawah, dia segera kembali ke kamar nenek.

“Nih Pa, Papa yang rakit ya. Reina nggak bisa, hehehe.”

Kemudian Pak Arya merakit kalung itu, dan setelah selesai dia memakaikannya di leher Nenek Iroh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status