Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya.
"Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya.
"Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya.
"Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."
“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”
Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.
Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas dengan segera mengambil sisir dari sakunya dan bercermin di sepion motornya.
"Udah cakep. Bismillah." Hela nafas Bagas menenangkan dirinya agar tetap terlihat kalem.
"Assalamu'alaikum."
Tok tok tok.
“Waalaikumsalam.” Pak Arya membukakan pintu. Kemudian melihat dari ujung kaki sampai ujung rambut Bagas, Pak Arya merasa belum pernah bertemu dengan pemuda itu.
“Siapa ya?”
“Perkenalkan saya Bagas, Pak. Temennya Reina, Reinanya ada ndak Pak? Saya mau nawarin Reina gabung organisasi pemuda-pemudi desa kita, Pak.” Tutur Bagas, dia bersalaman dengan Pak Arya.
“Owalah iya iya. Sebentar ya, Bapak panggil Reina. Kamu duduk aja dulu.” Pak Arya memempersilahkan Bagas duduk di kursi teras rumah.
“Reina, ada temen kamu tuh, Papa suruh dia tunggu di luar. Temuin dulu, Nak.”
“Iya, Pa. Siapa emangnya, Pa?”
“Tadi sih dia bilang namanya Gas gas itu.”
“Oh Bagas.”
“Lah iya itu lah pokoknya.”
Reina pun tersenyum dan merapikan rambut serta bajunya. Kemudian dia keluar rumah untuk menghampiri Bagas.
“Eh kamu, Gas. Tumben banget kesini. Ada apa?”
“Eee ... ini aku ada buku organisasi pemuda pemudi desa kita, kamu baca-baca dulu. Kalau kamu minat, kamu boleh kok gabung di organisasi kita.”
“Wah beneran nih? Ah nggak usah baca pun aku juga tetep mau gabung kok.”
“Hehehe ... oke lah. Nanti kabarin aja. Oh ya aku boleh minta nomor HP kamu nggak? Biar aku lebih gampang kabarin kamu.”
“Sini HP kamu.” Reina menulis nomornya di HP Bagas.
“Oke deh, makasih ya, Rei.”
“Rei, aku mau ngomong sesuatu. Boleh nggak?”
“Ya ngomong tinggal ngomong aja, apa susahnya sih. Udah buruan, kamu mau ngomong apa.” Reina menatap mata Bagas dengan serius.
“Ehh anu. Soal nenekmu, Rei.” Jawab Bagas gugup, dia menjadi salah tingkah karena Reina terus menatapnya.
“Oh ... kenapa dengan nenek aku.”
“Jadi gini, Rei. Dulu ....” Ucapan Bagas terhenti, mendengar Nenek Iroh meraung.
“Aaaarrrhhggg aaarrghh aaarrrhgg.”
“Maaf, Bagas. Sebaiknya kamu pulang aja dulu. Besok kita ketemu ada di gubuk sawah milik ibumu. Nenek lagi nggak enak badan, takutnya dia keganggu.” Jelas Reina.
“Oke Rei nggak apa-apa kok. Aku yang minta maaf karena kesininya kemalaman.” Bagas melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.15 WIB.
“Aku pulang dulu ya, Rei. Bye-bye.” Bagas melambaikan tangan kepada Reina.
Reina mebalas lambaian tangan Bagas, dan segera masuk dan menutup pintu rumah.
“Ada apa, Pa.”
“Nenek mu, Rei.”
“Mana, Pa?”
Pak Arya hanya bisa mengarahkan jari telunjuknya ke langit-langit ruang tamu. Reina kaget bukan main, melihat nenek sudah berada di atas sana. Tangan dan kakinya merayap seperti laba-laba. Mulutnya menganga lebar, terlihat seisi mulutnya berlumut darah berwarna hitam.
Sedangkan Bu Mirna menenangkan Kemal yang ketakutan di pojok ruang tamu. Suasana berubah menjadi mencekam.
Nenek Iroh lompat dari atas langit-langit dan merangkak cepat mendekati Reina.
Pak Arya yang melihat itu langsung menarik Reina ke dalam pelukannya.
Hal itu membuat Nenek Iroh Murka, kursi dia hempaskan ke badan kekar Pak Arya yang melindungi Reina hanya dengan tatapan matanya saja.
Gubrak gubrak pyaaarrr!
Benda-benda lain pun tak luput dari pandangan Nenek Iroh, ia lemparkan semua ke arah Pak Arya dan Reina.
“Arrrrrghh.” Keluh Reina yang merasa sakit di telapak tangannya karena terkena pecahan kaca.
Rupanya Bu Mirna ingat dengan pesan Mbah Darmo. Dia segera meminta Kemal untuk tetap tenang.
“Nak, percaya sama Mama ya, nenek sayang sama Kemal. Jadi nenek nggak akan nyakitin Kemal.”
Kemal hanya mengangguk dan kembali menundukkan kepala dan menutup telinga dengan kedua tangannya.
Sementara Bu Mirna lari ke dalam kamar Nenek Iroh untuk mengambil keris kecil pemberian Mbah Darmo. Setelah itu tanpa pikir panjang Bu Mirna keluar kamar dan melemparkan keris itu ke badan nenek.
Seketika Nenek Iroh terbaring lemas di lantai.
“Bu ... Bu!!” panggil Bu Mirna, dia menepuk-nepuk pelan pipi Nenek Iroh.
Tiba-tiba mata nenek terbelalak menatap langit-langit atap, gerakan dadanya naik turun. Nafas nenek terdengar berat dan kasar. Mulutnya menganga, seperti ingin berbicara sesuatu.
“Apa , Bu. Ada apa?” Pak Arya mengelus rambut nenek, dan mendongakkan kepalanya untuk menatap ke langit-langit. Pak Arya tak melihat apa-apa.
Padahal di sisi lain nenek melihat wajah iblis itu tepat di atas wajahnya, namun tak terlihat oleh orang lain.
Kemudian mereka membawa nenek kembali ke dalam kamar untuk beristiahat.
“Pa, apa gak sebaiknya kita kalungkan saja keris ini di leher ibu, biar ibu selalu terjaga.” Usul Bu Mirna.
“Ya, ada benarnya. Papa sampai gak kepikiran.”
“Reina ambil kain dan kalung Reina yang udah nggak Reina pakai ya, Ma."
Reina segera ke kamarnya dan mencari barang itu.
“Aduh gue taruh mana sih, kok bisa lupa gini.”
Reina membuka laci demi laci di kamar itu, sampai dia membuka laci terakhir, dia menemukan foto kusam yang terbagi menjadi dua.
“Kok gw kaya kenal ini ya. Siapa ya?” Reina duduk di ujung ranjangnya dan terus mengingat siapa orang-orang di dalam foto itu.
“Ini gue kaya pernah lihat deh. Kalau nggak salah ini nenek sama kakek waktu muda. Iya bener, ini nenek sama kakek.” Kata Reina, dia memegang robekan foto sebelah kiri.
Reina ingat bahwa 2 orang di foto itu sama persis dengan 2 orang yang dia lihat di foto Bu Mirna waktu kecil dulu.
“Terus yang 2 ini siapa?”
Reina melihat sobekan foto sebelah kanan, tampak seorang laki-laki dan seorang perempuan.
“Eh kok ini kaya Mbah Darmo bukan sih. Apa mata gue yang katarak.”
“Rei ... Rei.” Panggil Bu Minten.
Reina terperanjat mendengar suara Bu Mirna memanggilnya.
“Ya, Bu? Sebentar ya belum ketemu nih.”
Reina segera menyimpan foto itu di dompetnya. Dia melanjutkan mencari kain dan kalungnya.
“Nah ini dia.” Reina menemukan kalung itu di dalam laci lemari pakaian paling bawah, dia segera kembali ke kamar nenek.
“Nih Pa, Papa yang rakit ya. Reina nggak bisa, hehehe.”
Kemudian Pak Arya merakit kalung itu, dan setelah selesai dia memakaikannya di leher Nenek Iroh.
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara
*** “Udah jam berapa ini, kok mereka belum datang juga. Kasian ibu!” Bu Mirna menyeka air matanya yang hampir menetes ke jenazah Nenek Iroh. “Sabar ya, Ma. Bentar lagi mereka pasti datang.” Bisik lirih Reina berusaha menenangkan Bu Mirna. Nampak dari kejauhan Pak Arya bersama yang lain datang, tak bisa di tampik lagi ekspresi wajah mereka kelelahan dan ketakutan. “Ada apa, Pa? Kok pada senggoyoran begitu jalannya.” Teriak Reina dari dalam rumah. Reina segera berlari menghampiri mereka yang terduduk lemas di depan pintu di ikuti Bu Mirna dan Kemal. Sedangkan Mbah Darmo tetap duduk tenang di samping jenazah Nenek Iroh. “M-nakutkan, Ya Allah ... baru kali ini saya ketemu demit.” Suara Pak Ponidi gemetar bahkan nyaris tidak bisa di dengar. “Demit? Demit apa sih? Kalian itu kenapa lho?” tanya Bu Mirna penasaran, tangannya menggoyahkan pundak Pak Arya yang berada di sampingnya. “Kita di ganggu hantu, Ma. Anehnya dia bisa beru