Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.
Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.
“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.
“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”
“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”
“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”
Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.
“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.
Kreeekkkkk.
Reina membuka jendela kamar Nenek Iroh.
“Emmmm emmm emmm emmm.” Gerutu Nenek Iroh tidak terdengar jelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang semenjak nenek di rasuki iblis seminggu yang lalu, nenek menjadi tidak bisa apa-apa,hanya terbaring di kasur atau hanya sekedar duduk bersandar di kursi.Tidak bisa berbicara dan beraktivitas seperti dahulu.
“Kenapa, Nek?” Reina meghampiri nenek, berharap bisa mendengar suara nenek lebih jelas.
“Eeeee ... eeee ... eeee.” Hanya itu yang keluar dari mulut nenek, telunjuknya mengarah ke jendela.
Reina segera menutup kembali jendela itu. “Udah, Nek. Kenapa Nenek nggak mau jendelanya di buka? Kan biar ada udara segar masuk.”
Pyaaaaaarrrrrrrrrrr.
Tangan Nenek Iroh menyampar gelas berisi teh itu. Wajahnya terlihat marah, seperti tidak suka dengan keberadaan Reina di situ. Reina lari terbirit keluar dari kamar nenek.
“Hah ... hah ... hah” suara kasar nafas Reina.
“Kenapa, Rei? Kok kamu ngos-ngosan gitu?”
“Nenek, Ma.”kata Reina bersandar di tembok, tangannya memegang dadanya yang bergerak naik turun akibat nafasnya yang tidak beraturan.
Bu Mirna langsung berlari ke kamar Nenek Iroh. Kebetulan Pak Arya baru keluar dari kamarnya melihat Bu Mirna berlari, ia segera menyusulnya.
“Kenapa, Bu? Ada apa?” Bu Mirna memegang tangan Nenek Iroh yang masih bergetar menunjuk ke arah pintu kamar.
Reina yang mengintip di balik tembok samping pintu kamar itu pun di minta Pak Arya untuk segera pergi menjauh.
“Reina udah Arya suruh pergi kok, Bu.”
Akhirnya nenek kembali tenang. Pak Arya dan Bu Mirna saling menatap, Bu Mirna mengerutkan dahinya, seperti bertanya ada apa. Pak Arya pun hanya bisa menaikan kedua bahunya, tanda dia tidak tahu apa-apa.
“Sini Arya suapin ya, Bu. Ibu harus makan, biar lekas sehat.” Bujuk Pak Arya, dia membantu Nenek Iroh untuk duduk dan menyuapinya.
Sementara Bu Mirna sibuk menyisir rambut putih Nenek Iroh dan menyanggulnya agar terlihat rapi.
***
Kemal menghampiri Reina. Dia memeluk Reina, sepertinya masih trauma dengan kejadian tadi malam.
“Kak, apa keluarga kita bakalan baik-baik aja?” tanya Kemal dengan polosnya.
“Kok kamu tanyanya gitu sih. Ya pasti baik-baik aja lah. Orang nggak ada apa-apa kok.”
“Kamu tenang aja, Kakak bakal jagain kamu. Mama Papa juga pasti jagain Kemal sama Nenek kok.” Imbuh Reina, dia mencoba meyakinkan Kemal.
Dahinya mengkerut, sedikit menggigit lembut bibir bawahnya sendiri, mencoba tetap tegar dan kuat, padahal dirinya sendiri tidak yakin dengan apa yang dia katakan kepada Kemal.
Tiba-tiba Reina melepaskan pelukannya dari Kemal. Perlahan dia berjalan ke arah pohon samping rumahnya.
“Perasaan tadi ada orang deh di sini, kok nggak ada. Siapa ya?” batin Reina, dia melihat sekitar tidak ada siapa-siapa.
“Nyari apa kak?”
“Eh, enggak kok. Bukan apa-apa. Masuk aja yuk.” Ajak Reina.
***
Bagas duduk di bawah pohon pinggir sawah. Dia terlihat melamun. Membayangkan saat pertemuan pertamanya dengan Reina. Mata belo, hidung sedikit mancung dan bibir kecilnya yang manis, kulitnya putih dan sosok Reina yang ceria membuat Bagas terpesona, jantungnya berdegup kencang saat bertemu dengan Reina. Membayangkan saja, Bagas sampai senyum-senyum sendiri.
“Gendeng apa gimana kamu, Le?” tanya Bu Minten, mengagetkan Bagas.
“Eh Ibu, engga lah. Masa anakmu ini gendeng to, Bu.” Jawab Bagas menggoda Bu Minten.
“Bu, Bagas boleh tau nggak sih, alasan Ibu melarang Bagas bergaul dengan gadis pindahan dari Jakarta itu?”
“Oh dari tadi kamu tu mikirin gadis itu to?”
“Enggak gitu lho, Bu.” Bagas tersipu malu.
“Gini lho, Le. Dulu warga desa kita di buat heboh karena Nenek Iroh menyidap penyakit langka. Semenjak itu warga desa takut tertular penyakit Nenek Iroh. Sampai akhirnya mereka mengusir Nenek Iroh dari desa ini. Tapi di gagalkan oleh Mbah Darmo, dukun sakti yang tinggalnya di tengah hutan itu lho. Dia menjamin bahwa penyakit Nenek Iroh tidak menular dan dia akan menyembuhkan Nenek Iroh.”
“Benar saja, Nenek Iroh sembuh. Tapi nggak di sengaja, suatu malam Pak Amir lewat rumah Nenek Iroh, waktu itu sumur di samping rumah Nenek Iroh masih seperti kebun, belum di kelilingi asbes sebagai penutup seperti sekarang. Pak Amir melihat Nenek Iroh meletakkan sesaji di atas sumur miliknya. Rumor Nenek melakukan ilmu hitam pun beredar. Semenjak itu Nenek Iroh tidak pernah keluar berbaur dengan warga. Dia juga menutup area sumur itu dengan asbes. Warga pun takut dengan kelakuan Nenek Iroh.” Imbuh Bu Minten.
“Oh jadi itu yang bikin warga juga menghindari keluarga Nenek Iroh?” tanya Bagas penasaran.
“Ya iyalah, Gas. Secara Bu Mirna tiba-tiba menjadi pengusaha kaya raya sampai sibuk dan tidak ada waktu buat pulang kampung. Mungkin waktu Nenek Iroh sakit itu karena nggak dapat tumbal. Nah sekarang keluarga Bu Mirna jadi bangkut kan, makanya mereka pindah kesini. Yakin Ibu mah, ” Celetuk Bu Minten.
“Hus ngawur Ibu tu. Kita belum tau pasti, jadi ndak berhak menghakimi begitu.”
“Iya sih, tapi kalau Ibu mah cari aman aja. Dari pada deket-deket mereka nanti malah kena sial!”
“Tapi kan ada Mbah Darmo, Bu. Ya nggak mungkin lah Nenek Iroh kaya gitu. Kalau beneran mah, Mbah Darmo pasti udah berpihak juga ke warga dan ikut mengusir Nenek Iroh.”
“Ah sudahlah. Ayo pulang aja, udah sore.” Bu Minten bangun dari duduknya dan beranjak pergi meninggalkan sawah.
“Aku harus kasih tahu Reina soal ini.” Kata Bagas dalam hati. Diapun menyusul Ibunya pulang.
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara