“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.
“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.
“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo.
Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.
“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.
“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.
Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh, ternyata Bu Mirna sudah duduk di kursi samping ranjang Nenek Iroh, membelakangi Pak Arya.
“Ma, kamu istirahat dulu aja. Biar Papa yang jagain Ibu. Nanti kamu sakit lho.” Tangan Pak Arya mengusap bahu Bu Mirna lembut.
Namun Bu Mirna hanya diam saja. Sama sekali tidak menggubris Pak Arya. Namun perlahan tangannya memegang tangan Pak Arya yang sedang mengusap bahunya. Betapa terkejutnyanya Pak Arya melihat tangan Bu Mirna putih pucat dengan kuku tangan hitam dan sedikit terluka. Tiba-tiba...
“Pa, ternyata kamu disini, Mama cariin di kamar lho.” Suara Bu Mirna terdengar sangat dekat di belakang tubuh Pak Arya.
Pak Arya terkejut, hingga badannya berjingkat dan tersentak, suara nafasnya berat. Dia memberanikan diri, perlahan memalingkan wajahnya ke belakang.
“Astagfirullahalazim.” Pak Arya dian kembali menoleh ke arah kursi tadi. Sosok tadi sudah tidak ada.
“Ada apa e ,Pak? Kok seperti kebingungan gitu?”
“Engga kok Ma, Nggak apa-apa. Cuma kaget aja Mama tiba-tiba datang.” Sangkal Pak Arya dengan mata tetap berpendar mencari sosok yang mirip dengan Bu Mirna.
“Siapa tadi itu kalau bukan Mirna?” batin Pak Arya penasaran.
“Pa, kita istirahat dulu yuk. Udah jam segini.” Bu Mirna mengarahkan jari telunjuknya ke jam dinding yang menunjukkan sudah pukul 22.50 WIB.
“Bu, Aku sama Mas Arya istirahat dulu ya.” Tangan Bu Mirna mengelus dahi Nenek Iroh.
Mereka keluar dari kamar nenek iroh, kemudian menutup pintunya dengan pelan-pelan.
***
“Reeeeinaaa-Reinaaaa.”
“Reeeiiinaaa.”
Terdengar suara sosok itu memanggilnya. Selimut Reina seperti ada yang menarik dari bawah kakinya.
“Aaarrgh.” Jerit reina tertahan, dia terbangun dari tidurnya. Jantungnya berhenti seperti sudah tidak berfungsi, dadanya sesak dan nafasnya terdengar pendek.
"Reeiiinaaaa."
Sayup-sayup suara itu kembali terdengar. Reina mengambil bantal untuk menutupi telinganya agar tidak lagi bisa mendengar suara itu, namun percuma.
Srreeeekkk sreeekk sreeeekkk!!
Ternyata suara itu berasal dari dalam selimut Reina. Reina terperanjat saat melihat selimut yang dia pakai terlihat bergelombang seperti ada yang merangkat di dalamnya.
Deg deg deg.
Suara jantung Reina terdengar kencang, nafasnya semakin tidak stabil. Dia perlahan membuka selimutnya dengan tangan gemetaran. Sesekali dia terlihat menelan ludahnya.
“Ya Tuhan, apalagi ini?” tangan Reina semakin kencang meremas selimutnya.
Tiba-tiba sosok itu keluar dari dalam selimut, tengah menatap tajam Reina, kedua bola matanya menghitam. Mulutnya terbuka lebar. Jari-jari dengan kuku panjang itu mulai menggrayangi tubuh Reina.
“Aaaaaaaaaarrrghhhhh!!” Reina berusaha teriak sekencang mungkin, tapi suara seperti tertahan, serak dan lirih, nyaris tak terdengar. Tubuhnya kaku, keringat sebesar jagung menetes deras dari dahinya.
Reina mencoba tenang, dia memejamkan matanya sebentar. Dia terus berdoa dalam hatinya.
"Aaaaaaarrrgh!" Akhirnya Reina dapat berteriak dengan kencang.
Kemal sontak terbangun mendengar teriakan itu. Dia berlari menuju kamar orang tuanya, meninggalkan Reina di kamar seorang diri.
Tok tok tok!
Kemal mengetok pintu kamar kedua orang tuanya.
"Papa ... Mama!!” Kemal memanggil kedua orangtuanya.
Bu Mirna dan Pak Arya terbangun oleh ketukan pintu kamarnya dan beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintunya. Betapa kagetnya mereka melihat Kemal sudah terduduk kaku di samping pintu. Saking ketakutannya Kemal kencing di celana yang mebuat celananya basah dan bau pesing.
“Ya Allah Nak, kamu kenapa duduk disitu. Itu basah-basah apa? Kencing kamu? Kenapa di celana kan bisa ke kamar mandi. Apa kamu lagi ketakutan?”
“iya, Kemal takut Pa, Kakak teriak-teriak dari tadi. Kemal takut sama Kakak Pa.”
Bu Mirna dan Pak Arya pun saling menatap. Mereka terheran, apa lagi yang terjadi dengan Reina.
“Nak, ayo ganti baju sama Mama ya. Biar Papa nengokin Kakak dulu di kamarnya.”
Akhirnya Bu Mirna menemani Kemal pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Sementara Pak Arya menemui Reina.
“Rei. Nak?”
Cahaya masuk dari lampu luar menyoroti wajah imut Reina yangbb. Sosok itu pun hilang bagai angin. Sontak Reina beranjak dari ranjangnya dan memeluk Pak Arya.
“Paaa ... Reina takut,Pa!” Reina menangis sesenggukan.
“Tenang Nak, udah ada Papa disini. Kamu jangan takut lagi.” Pak Arya mencoba menenangkan Reina dan membawanya duduk ke kursi ruang tamu.
Kemal dan Bu Marni menghampiri mereka. Mereka saling berpelukan. Bu Marni menangis sejadi-jadinya. Wajahnya bersandar di dada Pak Arya.
“Seandainya Mama dan Papa tidak mementingkan usaha yang kita rintis dulu sampai puluhan tahun tak menyempatkan menengok Nenekmu, tidak akan kejadian seperti ini. Kita pasti dapat mencegahnya dari awal.” Sesal Bu Mirna.
“Sudahlah, Ma. Kita perbaiki ini semua dan mencari cara untuk memusnahkan iblis itu. Kita harus selamatkan Nenek” Reina memegang tangan Bu Marni.
“Maafin Reina juga, karena Reina yang telah membuka papan penutup sumur itu, Reina juga sempat mengumpat dan meludahi sumur tua itu. Karena keteledoran Reina, keluarga kita jadi tidak tenang seperti ini.” Imbuh Reina.
Mereka semua pun kaget mendengar pengakuan Reina. Tak menyangka ternyata Reina lah yang telah membuat iblis itu bangkit. Suasana menjadi hening, seketika wajah Pak Arya dan Bu Mirna menjadi pucat, mereka ketakutan iblis itu akan mengamcam nyawa Reina. Tangan Pak Arya dan Bu Mirna saling menggenggam erat.
“Ya sudah, Nak. Mau bagaimana lagi. Semua udah terlanjut terjadi. Yang terpenting sekarang kita harus lebih hati-hati.” Pak Arya memeluk mereka bertiga.
Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.Kreeekkkkk.Reina membuka jendela kamar Nenek Iro
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe