Sosok astral itu mulai merangkak, tubuhnya mengeliat, mulutnya terbuka lebar hingga terlihat giginya yang tajam, darah hitam keluar dari mulutnya.
"Krekk kreeekk kreekk." Seperti suara tulang-tulang patah. Hantu itu mulai merayap ke dinding.
"Apa mau mu? Apa yang kau cari disini? Setelah sekian lama aku sudah mengurungmu di sumur itu, apa yang membuat mu bangkit lagi!!" gertak Mbah Darmo yang mulai tersulut emosi.
"Kikikikikikikikikikikik." Sosok itu hanya tertawa, lalu menghempaskan tubuhnya ke tubuh Nenek Iroh.
Seketika tubuh Nenek Iroh terasuki hantu itu. Kuku-kuku tangan Nenek Iroh menghitam seperti kayu yang terbakar.
"Ini sudah waktunya aku mendapatkan apa yang harus aku dapatkan. Nyawa Iroh milikku." Suara Nenek Iroh yang di rasuki sosok astral itu terdengar serak, menggema mengisi ruangan.
"Keluar kau dari tubuh Iroh. Tidak ada alasan kau harus mengambil nyawanya!!" tegas Mbah Darmo.
"Ini sudah waktunya. Kikikikikikikikik!!"
Breeekkkkk!!
Nenek Iroh terbaring lemas di lantai. Sosok astral itu telah keluar dari tubuh renta Nenek Iroh.
"Arya. Aryaaaaaaa!!" panggil Mbah Darmo dengan suara lantang.
Pak Arya yang mendengar suara Mbah Darmo langsung bergegas lari ke dalam rumah.
"Ibuuuuuu.... " Teriak Pak Arya melihat Nenek Iroh tergeletak di lantai.
"Ibu mertuamu di rasuki penunggu sumur itu, Le. Sosok itu bukan lagi hantu biasa, Le. Melainkan iblis!" tegas Mbah Darmo.
"Bagaimana bisa, Mbah?" suara Pak Arya bergetar mendengar penjelasan Mbah Darmo.
"Sudah. Lebih baik kau bawa masuk anak dan istrimu dulu. Nanti Mbah jelaskan. Ibu mertua mu juga harus segera di urus."
Pak Arya keluar rumah untuk memanggil anak dan istrinya. Reina yg masih lemas di gendong oleh Pak Arya.
"Kita bawa Ibu dan Reina ke kamar masing-masing, biarkan mereka beristirahat." Kata Pak Arya yang masih menggendong Reina menuju ke kamarnya. Sementara Mbah Darmo, Bu Mirna dan Kemal membawa Nenek Iroh masuk ke dalam kamarnya.
"Ini sebenarnya ada apa, Mbah. Kenapa Ibu seperti ini?" tangis Bu Mirna pecah melihat Nenek Iroh yang terbaring lemah, belum sadarkan diri.
Bu Mirna menyelimuti tubuh Nenek Iroh yang kurus kering itu dengan selimut putih.
"Kita bicarakan di luar saja, Mir." Jawab Mbah Darmo, matanya berkedip dan sedikit menolehkan kepalanya ke arah Kemal. Dia Memberi insyarat kepada Bu Mirna agar Kemal masuk ke kamarnya.
Bu Mirna langsung mengerti apa yang di maksud oleh Mbah Darmo. "Nak Kemal. Kamu masuk ya ke kamarmu. Istirahat, tidur ya. Ini udah malam." Bujuk Bu Mirna halus.
"Tapi Kemal takut ma. Kemal tidur sama kakak boleh nggak, Ma?"
Bu Mirna hanya mengangguk dan memberi senyuman. Setelah Kemal masuk kamar, Bu Mirna, Pak Arya dan Mbah Darmo duduk di meja bulat ruang tamu.
"Keluarga kalian dalam bahaya." Celetuk Mbah Darmo membuka perbincangan mereka.
"Apa maksudnya, Mbah? Keluarga kita kenapa?" pipi Bu Mirna yang belum kering, kembali basah oleh air matanya.
Pak Arya memegang tangan Bu Mirna, mencoba untuk menguatkan Bu Mirna. Walaupun dia sendiri sebernarnya juga terpukul, namun Pak Arya harus tetap terlihat kuat di depan istrinya.
Lalu Mbah Darmo mengajak mereka ke sumur tua di kamar mandi belakang rumah. Mbah Darmo terbelalak melihat papan kayu penutup sumur itu seperti sudah di buka.
"Sudah mati-matian aku berusaha mengurung iblis itu di dalam sumur ini. Sekarang, dengan mudahnya iblis itu bangkit! Siapa yang sudah membukanya, Mirna?" cecar Mbah Darmo yang merasa kecewa.
"Kami nggak tahu Mbah." Pak Arya merangkul pundak Bu Mirna dari belakang.
"Dulu, Ibumu sakit menahun. Sakitnya bukan sakit biasa. Tubuhnya bau busuk, kaki dan tangannya menghitam. Ibumu di santet! Waktu itu Ibumu minta tolong sama Mbah untuk mengobati sakitnya.Tetangga mu sempat mengusir Ibumu dari desa ini. Mereka takut tertular, dan membawa malapetaka. Saat mbah obati, keluarlah rambut-rambut dari mulut Ibumu yang ku simpan dalam botol kecil ini." Jelas Mbah Darmo sambil menunjukkan botol kecil kepada mereka.
"Mbah bertarung dengan iblis itu. Dan mengalahkannya. Mbah kurung energi hitam itu ke dalam sumur ini.Mbah tutup rapat berharap tidak ada yang akan membukanya." imbuh Mbah Darmo.
"Terus siapa yang mengirim iblis itu dan apa yang iblis itu mau, Mbah?" tanya Bu Mirna dengan suara lemah.
"Mbah tidak tahu, Mir. Iblis itu dikirim oleh orang berilmu tinggi lebih dari saya. Saya tidak dapat membaca siapa dan tujuannya apa iblis itu dikirim." Jawab Mbah Darmo putus asa.
Pak Arya segera memeluk Bu Mirna yang sudah sangat lemas menghawatirkan nasip ibunya.
Diam-diam Raina mendengar percakapan mereka. Wajahnya seketika berubah menjadi pucat, Reina masih membayangkan apa yang dia lihat sore tadi. Seakan tidak percaya bahwa semua itu benar-benar terjadi karena ulahnya sendiri.
Reina kembali ke kamar. Dia sangat merasa bersalah karena kecerobohan, semua malah menjadi seperti ini. Dia bingung apa yang harus dia lakukan. Dia tak mau melihat ibunya sedih dan tak mau nyawa serta keselamata neneknya terancam.
Tiba-tiba lampu di kamar Reina mati.
Ssrrrrrttttt sssrrttttt sssrrtttt.
Seperti ada yang merangkak di bawah tempat tidur Reina. Kuku-kuku panjang hitam muncul di ujung tempat tidurnya, pas di bawah kaki Reina.
"Aaaaaarrggghh." Reina berteriak kencang sambil menutupi matanya dengan bantal. Lampu tiba-tiba hidup kembali.
"Kenapa, Kak?" tanya kemal yang terbangun karena teriakan Reina.
"Ehh enggak kok. Udah kamu tidur aja lagi." jawab Reina menyembunyikan ketakutannya.
Reina mencoba menenangkan dirinya. Dan kembali tidur di samping Kemal.“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo.Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh,
Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.Kreeekkkkk.Reina membuka jendela kamar Nenek Iro
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.