Reina terbangun dari tidurnya. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot di badannya. Kemudian merapikan tempat tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai, dia berpakaian rapi dan merias wajahnya dengan make up yang tipis. Reina bersiap pergi.
“Tumben udah mandi jam segini, udah rapi dan wangi. ” Goda Kemal.
“Sekarang kakak udah jadi kembang desa, jadi harus tetap cantik sepanjang waktu.” Jawab Reina sambil mengibaskan rambutnya.
“Haah apa, Kak? Cantikan juga Nenek dari pada Kakak.” Jawab Kemal tak mau kalah dari kakaknya. Kemal tertawa terbahak-bahak.
Reina menghiraukan candaan Kemal dan berjalan meninggalkan rumah.
“Kemana Kak?” teriak Kemal.
“Cari yang seger-seger.” Sahut Reina dengan lantang.
Reina berjalan menyusuri pematang sawah. Dia sangat kagum dengan hamparan sawah yang sangat luas di kampung itu.
Kompren kompreng kompreng!
Suara orang-orangan sawah yang sedang di gerakkan.
Reina kaget, sampai-sampai kakinya terpeleset masuk ke dalam sawah.“Maaf Mbak, sudah mengagetkan Sampean. Sini Mbak saya bantu.” Ujar seorang pemuda sambil mengulurkan tangannya ke Reina.
“Iya nggak apa-apa kok. Salah ku juga jalan terlalu minggir. Terimakasih ya udah bantuin aku.” Balas Reina sambil membersihkan kakinya dari lumpur.
“Kenalin nama ku Reina. Pindahan dari Jakarta. Baru kemarin sore aku sampai di desa ini. Ngomong-ngomong ngapain kamu ngumpet di rumput liar itu?”
“Biar ndak kelihatan sama burung-burung pemakan padi Mbak. Oh ya nama saya Bagas, Mbak. Saya sudah tahu kok tentang keluarga Mbak yang jadi perbincangan hangat warga saat ini.” Jawab Bagas. Dia menjulurkan tangannya mengajak Reina bersalaman.
Reinan menerima tangan Bagas mereka pun berjabat tangan dan saling membalas senyuman.
“Tunggu ... tunggu. Kamu bilang keluarga aku jadi topik perbincangan di kampung ini?” tanya Reina kaget.
“Iya ... emm gimana ya ngomongnya. Anuuuu.” Bagas menggaruk-garuk kepala, kebingungan menjawab pertanyaan Reina.
“Gas, pulang!! Ngapain kamu dekat-dekat dengan wanita itu?” teriak seorang ibu-ibu dari kejauhan.
Tampaknya ibu itu adalah orang tua Bagas. Bagas pun segera berlari meninggalkan Reina sendirian dan menghampiri ibunya. Tangan ibu itu menarik Bagas agar cepat-cepat menjauh dari tempat itu.
Reina kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang dia berpikir apa yang sebenarnya ingin Bagas katakan tadi.
"Kenapa raut wajahnya Bagas tadi seperti ingin menyampaikan sesuatu ya? Kayanya Bagas tahu sesuatu soal keluarga aku.” Gumam Reina dalam hati.
Langkah demi langkah, akhirnya Reina sampai di rumah. Kedua orangtua Reina dan Kemal sedang bercengkrama di teras rumah.
Bu Mirna bertanya kepada Reina, dari mana dan bersama siapa.“Dari sawah, Ma. Tadi nggak sengaja ketemu teman baru, namanya Bagas. Tapi mamanya Bagas kaya nggak suka gitu, lihat aku kenalan sama Bagas.”Jawab Reina.
Bu Mirna dan Pak Arya saling menatap. Karena mereka juga merasakan warga desa itu seperti menjauhi keluarganya.
Reina dan keluarga kembali beraktifitas seperti layaknya warga kampung lain. Pak Arya mencari kayu di hutan belakang rumahnya. Reina dan Bu Mirna memasak untuk hidangan nanti malam. Dan Kemal bermain di samping rumah dekat kamar mandi.
Ssssttt-sssstttt.
Suara inang yang di gosokkan ke gigi Nenek. Sudah menjadi tradisi orang jaman dulu membersihkan gigi mengunakan inang.
“Mau nginang gak kamu, Mir?”
“Engga ah, Bu. Ndak biasa aku.” Jawab Bu Mirna sambil berjalan ke selokan kecil dekat kamar mandi, dia ingin membuang air kotor bekas untuk mencuci sayuran.
Tanpa di sengaja dia melihat Kemal sedang berbicara dengan seseorang.
“Aku nggak boleh main jauh-jauh sama Mama ku,”
“Kita main di sini aja ya, aku punya banyak mainan lho.” Ujar Kemal kepada orang tersebut.
Bu Mirna menjadi penasaran ingin tahu dengan siapa Kemal mengobrol, tapi terhalang tumpukan kayu yang sudah di susun rapih oleh Pak Arya sebelumnya.
"Wah Kemal ngobrol sama siapa to itu. Ndak kelihatan sih. Ya sudahlah, tapi aku bersyukur akhirnya ada anak desa ini yang mau berteman dengan Kemal." Bisik Bu Mirna, ia pun kembali masuk ke dapurnya.
***
“Nak, sebaiknya tunggu adzan maghrib selesai baru mandi. Pamali mandi menjelang maghrib begini,” celetuk Bu Mirna ketika melihat Reina masuk ke dalam kamar mandi dengan membawa handuk.
Namun, Reina mengabaikan nasihat mamanya. Dia sudah merasa sangat gerah setelah seharian beraktivitas.
Reina berjalan pelan sambil bersiul lirih menuju kamar mandi.
"Brengsek, kotor banget yah ni kamar mandi," Reina menyiram ubin kamar mandi itu.
Tiba-tiba perhatian Reina tertuju pada sumur tua itu, dia melihat papan penutup sumur itu bergerak-gerak seperti ada yang mau keluar. Dengan santainya dia memindahkan batu pemberat itu dan membuka papan kayu penutup sumur itu.
"Eh ayam-ayam, eh eh." Latah Reina keluar saat dia kaget melihat 2 tikus lari dari dalam sumur itu.
"Buset dah, anjing emang. Bau banget bangsat. Kenapa gak di timbun aja sih nih sumur, dari pada buat sarang tikus begini!! " umpat Reina sambil meludah ke dalam sumur itu.
Reina kembali menutup sumur tua itu. Dan melanjutkan menimba air dari sumur yang baru untuk mandi.
Perlahan dia menurunkan ember dengan tali yang terpasang pada katrol. Saat ember sudah terasa menyentuh air dan ember terisi penuh, Reina segera menarik tali tersebut pelan-pelan.
Hal tak terduga terjadi, dia merasa ember itu berat. Seperti bukan air saja yang ada di dalam ember itu. Reina terus mencoba menarik ke atas ember itu.
Braaakkkkk !!! Suara ember menyentuh permukaan air dengan sangat keras.
“Ehh .. Ehh!”
“Ampun deh. Kok berat banget, anjir!”
Reina mencoba menarik kembali ember tersebut, namun semakin berat dia rasakan. Dengan rasa penasaran Reina melihat kedalam sumur.
“Mana bisa gue lihat, gelap begini. Senter, mana senter!” Reina berinisiatif mengambil ponsel di saku celananya.
Memang hal biasa bagi Reina, saat mandi dia harus membawa ponsel untuk mendengarkan musik favoritnya.
Tangan kanan Reina masih tetap memegang tali dan tangan kiri Reina mencoba menyalakan senter di ponselnya.
Dia segera mengarahkan ponsel tersebut ke dalam sumur. Tapi ember belum juga terlihat.
“Huuuhhhhh!” dia mencoba lebih membungkukkan badannya,tangannya menjulur kedalam sumur.Dan...
“Se..se..see..seetaaaaaaannn!!”
Teriakan Reina yang sangat keras mengundang perhatian orang-orang di dalam rumah. Mereka segera berlari menuju sumber suara tersebut.
Reina sudah terduduk lemas di belakang pintu kamar mandi. Badan Reina gemetaran, matanya melotot, jari telunjuknya menunjuk ke arah sumur, giginya beradu. Keringat bercucuran, padahal waktu itu cuaca sedang dingin disana. Selang tidak lama Reina tidak sadarkan diri.
Pak Arya segera menggendong Reina masuk ke dalam kamarnya.
“Dek, tolong ambilkan kakak minum. Cepat!” seru Bu Mirna sambil menangis melihat Reina yang masih tak sadarkan diri.
Sementara Pak Arya berlari keluar, mencari pertolongan. Beliau menuju ke rumah Pak Ponidi. Belum sempat Pak Arya berbicara, Pak Ponidi segera berlari masuk kedalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
“Pak, anak saya butuh pertolongan. Dia tiba-tiba tidak sadarkan diri. Di mana klinik atau rumah sakit terdekat dari desa ini?” kata Pak Arya memohon
“Percuma! Untuk apa kamu cari dokter. Dokter pun tak akan mampu mengobati anakmu itu. Pergi sana ke rumah Mbah Darmo yang letaknya tengah hutan persis di belakang rumahmu,” sahut Pak Ponidi di balik pintu rumahnya.
Tanpa pikir panjang Pak Arya berlari menuju rumah Mbah Darmo sendirian. Menyusuri hutan lebat, tak perduli jika ada bahaya yang akan menimpanya selama perjalanan ke rumah Mbah Darmo. Yang ada dalam pikiran Pak Arya hanya kesembuhan anaknya, Reina.
Sebuah gubuk reot dengan dinding dan pintu terbuat dari anyaman bambu adalah satu-satunya rumah di dalam hutan itu. Gelap tanpa lampu dan listrik. Hanya sebuah obor sebagai alat penerangan.Weessssstttt weeesssttt.Angin bertiup sangat kencang. Daun-daun kering berterbangan.“Weh, ada yang tidak beres ini!”“Iroh ....” Bisik Mbah Darmo.Bibir hitam Mbah Darmo komat kamit, entah apa yang dia lantunkan, terdengar sangat cepat. Tangannya memegang erat sebuah botol kecil seukuran ibu jari.Guuubraaaaaakk!!Tiba-tiba semua sesajen yang ada di meja Mbah Darmo jatuh berserakan, seperti ada yang melemparnya.“Semprul!” muka Mbah Darmo terlihat sangat marah.Langkah kaki Pak Arya yang beradu dengan tanah dan dedaun kering terdengar semakin mendekati rumah Mbah Darmo.“Mbah, ini saya Arya. Saya mau minta tolong, Mbah!” seru Pak Arya dengan nafas terengah-engah, detak jantungny
Sosok astral itu mulai merangkak, tubuhnya mengeliat, mulutnya terbuka lebar hingga terlihat giginya yang tajam, darah hitam keluar dari mulutnya."Krekk kreeekk kreekk." Seperti suara tulang-tulang patah. Hantu itu mulai merayap ke dinding."Apa mau mu? Apa yang kau cari disini? Setelah sekian lama aku sudah mengurungmu di sumur itu, apa yang membuat mu bangkit lagi!!" gertak Mbah Darmo yang mulai tersulut emosi."Kikikikikikikikikikikik." Sosok itu hanya tertawa, lalu menghempaskan tubuhnya ke tubuh Nenek Iroh.Seketika tubuh Nenek Iroh terasuki hantu itu. Kuku-kuku tangan Nenek Iroh menghitam seperti kayu yang terbakar."Ini sudah waktunya aku mendapatkan apa yang harus aku dapatkan. Nyawa Iroh milikku." Suara Nenek Iroh yang di rasuki sosok astral itu terdengar serak, menggema mengisi ruangan."Keluar kau dari tubuh Iroh. Tidak ada alasan kau harus mengambil nyawanya!!" tegas Mbah Darmo."Ini su
“Saya hanya bisa mengingatkan untuk kalian saling melindungi, Saya rasa kekuatan iblis itu semakin tinggi. Saya tidak bisa menjamin dapat melindungi keluarga kalian.” Pungkas Mbah DaemeHela nafas Mbah Darmo panjang.“Letakkan benda ini di bawah bantal ibumu, semoga dapat membantu terhidar dari gangguan iblis itu.” Mbah Darmo memberikan keris kecilnya kepada Bu Mirna.“Terimakasih banyak Mbah, sudah membantu kami.” Ucap Pak Arya, dia sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada Mbah Darmo.Mbah Darmo pun berpamitan pulang, dan berpesan untuk tidak sungkan memanggilnya jika ada situasi darurat.“Mari Mbah saya antar pulang.” Tawar Pak Arya.“Ndak perlu, Le. Kamu jaga aja keluargamu saja di sini. Bahaya.” Bisik Mbah Darmo.Setelah Mbah Darmo pulang, Pak Arya langsung mengunci rapat semua pintu dan jendela. Dan bergegas menuju kamar Nenek Iroh,
Sinar matahari menembus masuk melewati sela-sela lubang jendela dan pintu menandakan hari sudah pagi.Reina terbangun karena mencium aroma masakan yang begitu menggoda. Dia beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke dapur.“Mama masak apa? Maaf ya ma, Reina nggak bantuin mama.” Tutur Reina, badannya menggelayut manja di pundak Bu Mirna.“Iya gapapa, Nak. Ini tolong kamu anterin makanan buat nenek ya, Sayang.”“Oke, Ma. Sekalian mau di bawain minum apa ma? Teh anget atau air putih aja?”“Teh anget aja. Biar enteng badannya Nenek, Rei.”Reina segera membuatkan teh hangat untuk neneknya. Kemudian mengantarkan makanan dan teh tersebut ke kamar Nenek Iroh.“Pagi Nenek, Sarapan dulu yuk. Nanti Reina suapin ya.” Sapa Reina, dia meletakkan nampan berisi makanan dan teh hangat itu di atas meja samping tempat tidur nenek.Kreeekkkkk.Reina membuka jendela kamar Nenek Iro
Malam harinya Bagas berencana ke rumah Reina. Dia bersiap-siap, memakai jaket berwarna abu-abu untuk melindungi badan dari angin malam, tak lupa dia menyemprotkan parfum ke badannya."Mau kemana, Le? Kok rapi begitu? Wuangiii tenan." tanya Bu Minten, terlihat Bu Minten sedang menjahit baju pesanan pelanggannya."Oh ini Bu, mau ke rumah Taufik, biasa Bu, nanyain uang kas pemuda-pemudi." Jawab Bagas gugup, karena dia mencoba membohongi Ibunya."Oh tak kira mau ngajak jalan cewek, hehehe. Ya sudah, jangan malam-malam. Ibu takut lho di rumah sendiri."“Cewek mana to, Bu. Ndak punya, ya udah Bagas jalan dulu. Assalamualaikum. ”Bagas pun menyalakan motor pitungnya dan pergi menuju rumah Reina. Sepanjang jalan dia memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Reina, mengenai apa yang di ceritakan Bu Minten tadi sore. Dia takut Reina tidak percaya dengannya.Sampai tak sadar, Bagas sudah sampai di depan rumah Reina. Lalu Bagas deng
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
"Diam kata mu? Hei Mirna anak pengabdi setan! Hahaha ... harusnya kau ikut mati sama ibu kau itu!" balas Pak Amir dengan sesekali menyodorkan obor yang dia bawa ke arah Bu Mirna. "ANJING KAU YA! IBU SAYA BUKAN PENGABDI SETAN! COBA KATAKAN SEKALI LAGI, AKAN KU BUNUH KALIAN SEMUA!" ancam Bu Mirna yang semakin tidak terkontrol emosinya. Pak Arya dan Reina segera menenangkan Bu Mirna, mereka membawa Bu Mirna masuk ke dalam rumah. Hal itu mereka lakukan untuk antisipasi agar emosi warga tidak semakin tersulut. "Mama .. Mama." Tangis Kemal yang ketakutan dengan situasi saat itu. "Ayo, Nak! Ikut mama masuk." ajak Pak Arya yang masih menahan tubuh Bu Mirna yang masih melawan, memaksa untuk di lepaskan. Kemal yang mendengar ajakan PaK Arya segera berlari mengikuti kedua orangtua dan kakaknya masuk ke rumah. "Awas ya lo semua kalau bukan karena ada anak gue, lo semua udah gue bantai habis." Tandas Bu Mirna yang masih sempat berontak walaupun sudah berad
*** “Udah jam berapa ini, kok mereka belum datang juga. Kasian ibu!” Bu Mirna menyeka air matanya yang hampir menetes ke jenazah Nenek Iroh. “Sabar ya, Ma. Bentar lagi mereka pasti datang.” Bisik lirih Reina berusaha menenangkan Bu Mirna. Nampak dari kejauhan Pak Arya bersama yang lain datang, tak bisa di tampik lagi ekspresi wajah mereka kelelahan dan ketakutan. “Ada apa, Pa? Kok pada senggoyoran begitu jalannya.” Teriak Reina dari dalam rumah. Reina segera berlari menghampiri mereka yang terduduk lemas di depan pintu di ikuti Bu Mirna dan Kemal. Sedangkan Mbah Darmo tetap duduk tenang di samping jenazah Nenek Iroh. “M-nakutkan, Ya Allah ... baru kali ini saya ketemu demit.” Suara Pak Ponidi gemetar bahkan nyaris tidak bisa di dengar. “Demit? Demit apa sih? Kalian itu kenapa lho?” tanya Bu Mirna penasaran, tangannya menggoyahkan pundak Pak Arya yang berada di sampingnya. “Kita di ganggu hantu, Ma. Anehnya dia bisa beru
“Kita ambil keranda dulu, nanti tinggal nebang pohon pisang di belakang rumah saya.” “Ya Pak RT.” Jawab Pak Ponidi dan Pak Arya bersamaan. Akhirnya sampai juga mereka di masjid, kemudian mereka berjalan menuju gudang di samping masjid. “Pak RT, bagaimana cara membuka pintunya, kan kuncinya di Pak Hasan, marbot kita?” “Tenang, sebelum Pak Hasan pergi, beliau kasih pesan ke saya kalau kuncinya di letakkan di atas ambang pintu. Agar sewaktu-waktu warga ada perlu tidak perlu nunggu beliau pulang.” Jelas Pak RT sambil mengarahkan jari telunjuknya ke ambang pintu di atas mereka. Pak Ponidi hanya membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengangguk-anggukan kepalanya,sedangkan Pak Arya berinisiatif mengambil kunci itu. Karena badan Pak Arya yang tinggi mempermudah dia mengambil kunci itu. “Nah ini dia kuncinya.” Ucap Pak Arya, dia menyerahkan kunci itu kepada Pak RT. “Ya sudah, saya buka dulu.” Ceklek. Kreeeekk. Suara
Kreeeekk. Pintu rumah Nenek Iroh terbuka. Pak Arya mempersilahkan Pak RT dan Pak Ponidi masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Bapak-bapak.” “I-iya, terimakasih.” Jawab Pak RT gugup, tangannya menarik baju Pak Ponidi. “Ee ja-jasadnya dimana ya, Pak?” tanya Pak Ponidi dengan suara yang bergetar. “Mari saya antar, Pak.” Pak Arya berjalan terlebih dahulu dan di susul oleh Pak RT dan Pak Ponidi. Mata Pak RT dan Pak Ponidi tak henti berpendar ke seluruh ruangan yang mereka leawati. Hawa dingin mengalahkan hawa ketakutan hingga keringat sebesar jagung mengalir di wajah mereka. “Gusti Allah, de-demit!” Teriak Pak Ponidi melihat sosok berdiri di depan pintu kamar mandi membelakangi mereka. “Ma-mana?” Pak RT yang kaget sepontan badannya loncat di pelukan Pak Ponidi. “Mana demitnya, Pak?” tanya Pak Arya yang ikut panik. “I-i-itu.” Jari telunjuk Pak Ponidi mengarah pada sosok itu. Nafas mereka bertiga sepe
“Haduh ada apa lagi itu, tiap malam kok yang tak dengar pasti pada teriak-teriak nggak jelas.” Gumam Pak Ponidi dari balik lubang kecil di jendelanya. “Ono opo to, Pak?” tanya Bu Inem penasaran, dia menghampiri Pak Ponidi yang sedang mengintip di jendela. “Itu lho Bu, Keluarganya Nenek Iroh.” “Sudahlah, Pak. Jangan ikut campur urusan mereka. Biarkan saja, berbahaya.” Srekk sreek sreeek. Suara langkah kaki seseorang mendekati rumah mereka. Mereka pun penasaran dan mencoba mengintip kembali lewat jendela. “Aku dulu, aku dulu yang lihat.” Pantat besar Bu Inem menyenggol badan Pak Ponidi yang kecil agar menyingkir. “We, kok ndak kelihatan.” Bu Inem menyipitkan matanya dan terus berusaha mencari celah untuk melihat seseorang yang mendekati rumah mereka. Tok tok tok. “Eh tok tok eh entok montok kepentok.” Latah Bu Inem sambil memukul-mukul bahu suaminya. “Permisi.” Suara orang itu dari depan pintu.
Buuugh! Badan Bu mirna tergeletak di depan pintu kamar mandi. Pak Arya bergegas bangkit dan menghampiri Bu Mirna. Dia menepuk-nepuk pipi Bu Mirna, dan memeluk tubuh Bu Mirna dalam pangkuannya. “Aaaaarrrgh!” pekik Pak Arya yang tak kuasa menahan air mata kesedihan. Mbah Darmo yang melihat semua itu hanya menggelengkan kepala dan menarik nafasnya panjang-panjang. “Sialan.” Gumam Mbah Darmo, dia membalikkan badan membelakangi Bu Mirna dan Pak Arya. Mbah Darmo menarik nafas dan tersenyum penuh teka-teki. “Arya, bawa Mirna ke dalam kamar. Kamu panggil warga untuk membantu mengevakuasi jenazah ibu mertuamu.” “Baik, Mbah.” Pak Arya menuruti perkataan Mbah Darmo. Pak Arya segera membopong Bu Mirna ke dalam kamar mereka, dan pergi keluar untuk meminta bantuan warga. Di rumah itu tinggal Mbah Darmo bersama 2 perempuan cantik yang tak sadarkan diri dan seorang wanita tua yang sudah tak bernyawa. Klek klek klek. Suara
Reina menundukkan kepala, dan mengusap air mata yang ada di pipinya dengan kasar. Kemudian dia mengepalkan tangannya, dia nampak masih menyimpan rasa curiga kepada Mbah Darmo. “Apa kamu sudah melakukan apa yang saya sarankan kemarin, Mir?” celetuk Mbah Darmo “Apa ya, Mbah? Keris?” “Ya!” “Sudah, malah kita kalungkan di leher ibu.” “Berarti, keris itu tak mampu menangkal kekuatan iblis itu. Nyatanya ibumu masih nanggung.” “Terus gimana dong, Mbah?” “Serahkan saja padaku. Boleh saya minta air minum?Saya sangat haus.” “Oh baik, Mbah. Rei, tolong ambil kan ya.” Pinta Bu Mine Reina menganggukkan kepalanya dan beranjak pergi ke dapur. Bibirnya cemberut dan keningnya berkerut. Seperti tidak ikhlas mengambilkan air minum untuk Mbah Darmo. Terlihat saat dia mengambil gelas dengan sangat kasar dan meletakkannya di meja dengan kasar. Buuuuugh! “Rempong banget sih tuh kakek-kekek, segala minta min
“Ayo semua makan dulu. Udah jam 19.00 ini.” Ajak Bu Mirna. “Ya, Ma.” Jawab mereka kompak. “Nenek udah makan belum, Ma?” “Sudah, Pa. Tadi Mama sengaja nyuapin nenek dulu.” Mereka menyantap dengan lahap hidangan yang ada di atas meja makan, mereka tampak menikmati makan malam bersama itu. Tiba-tiba Kemal bercerita tentang teman barunya kepada kedua orang tua dan kakaknya. “Pa, Kemal ada teman baru lho. Namanya Ayu. Dia seumuran lho sama aku.” “Wah, bagus dong. Ayu anak desa sini?” “Iya Pa, rumahnya di belakang kita kok. Dekat banget kan. Hehehe.” “Haaah?” Mereka pun terkejut mendengar cerita Kemal. Karena setahu mereka tidak ada tempat tinggal di belakang rumah, hanya pohon-pohon bambu yang tumbuh lebat dan mejulang tinggi. “Kamu nggak salah lihat kan, Mal?” “Nggak lah, Ma. Kemal aja dari kemarin main di rumah dia terus.” Mereka sampai berhenti makan, semua hanya saling menatap karena
Bagas yang terduduk di ujung ranjangnya terlihat memainkan jari-jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya yang berisi. Bagas mengerutkan dahinya sehingga alisnya kanan kiri yang tebal menyatu. Dia terus melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja.“Sebaiknya telfon Reina nggak ya?” tanya Bagas dalam hati.“Eh nggak usah lah, udah malam gini pasti dia juga udah tidur.”Akhirnya bagas mengurungkan niatnya menelefon Reina. Dia merebahkan badannya di ranjang untuk berisitirahat.Kreeeeeekkk.Bu Minten membuka pintu kamar Bagas dengan pelan-pelan. Kemudian menghampiri Bagas yang sudah tertidur pulas. Bu Minten membalut tubuh Bagas yang kekar itu dengan selimut tebal.Waktu Bu Minten ingin keluar kamar Bagas dan menutup pintu, Ponsel Bagas berdering.“Siapa jam segini masih menghubungi Bagas. Ah aku lihat siapa tahu ada hal penting.” Gumam Bu Minten dalam hati.“Maap ya, Le. Ibu kepo diki