Delna adalah seorang gadis manja, sifat angkuh serta egois membuatnya dijauhi oleh semua anak dikelas. Suatu hari sekolah mengadakan kegiatan PKL untuk anak tingkat dua. Bersama dengan kedua teman beda kelas, Delna menjalani kegiatan PKL disuatu desa tanpa nama. Berbagai kejadian tak mengenakan Delna alami disana, mampukah Delna mengatasi masalah yang ada?
Lihat lebih banyakMatahari sudah bersinar terang menyinari bumi, padahal jam baru menunjukkan pukul 06.03 pagi.
Seorang remaja laki laki berambut hitam terbangun karna merasakan sedikit rasa panas menerpa kulitnya yang pucat. Remaja itu terduduk sebentar untuk mengembalikan arwahnya yang berkeliaran ditengah malam.
"Masih jam 6 pagi.." gumam remaja itu masih sedikit mengantuk.
"Dion! Hari ini kamu PKL kan?" teriak wanita paruh baya dari arah bawah membuat Dion terlonjak kaget.
Dion buru buru masuk ke kamar mandi dan bersiap diri untuk pergi ke Semarang, karna pihak sekolah mengirimnya ke Apotek di desa di salah satu kota Semarang untuk melakukan kegiatan PKL bersama temannya yang lain.
"Dion!"
"Iya mamah! Ini Dion udah siap," ujar Dion membuka pintu sambil menampilkan senyum kepada mamahnya.
Mamah Dion menghela nafas lelah melihat penampilan anaknya, memang rapih namun rambut Dion berantakan.
"Baju rapih, tapi rambut gak, sama aja bohong Dion," ujar sang Mamah sabar menyisir rambut anaknya lembut dengan jari.
Setelah selesai Dion segera berpamitan pada mamahnya karna teman Dion sudah berada didepan rumah.
"Sara--"
"Di stasiun mamah!" seru Dion mengambil roti dimeja dan bergegas ke pintu depan, mamah Dion hanya menggeleng pelan melihat tingkah anaknya, ia berharap semoga Dion baik baik saja disana.
Suara gemerisik orang stasiun menghiasi pendengaran Dion dan kedua temannya.
"Duh masih sempat gak ya?" ujar remaja perempuan berambut pirang dan berkulit sawo matang khawatir.
"Pasti sempat, toh masih jam 7," jawab remaja laki laki berambut hitam seperti Dion dengan tenang.
"Kenapa kalian tenang banget sih? Kita itu mau PKL diluar kota loh, di desa lagi," ujar perempuan itu kesal.
"Ian! Delna! Ayo, keretanya udah Dateng!" potong Dion membuat Ian dan Delna berhenti bertengkar.
Mereka segera bergegas menuju tempat pemberhentian kereta yang akan membawa mereka ke Semarang.
•••
Suasana segar ala pedesaan menyambut Dion, Ian serta Delna. Pemandangan sawah yang sedang musim panen menambah kesan indah.
Dion kemudian mengecek ponsel pintarnya ketika ia dan teman-temannya keluar dari stasiun. Ian juga melakukan hal yang sama sedangkan Delna hanya menatap sekitar khawatir, gadis itu tidak terbiasa tinggal di desa.
"Apotik sa .. tu?" ujar Dion sedikit bingung kala melihat nama Apotik tempatnya PKL.
"Mungkin karna di desa jadi nama Apotik nya gitu," ujar Ian lalu mengangkat telepon yang Dion duga itu adalah telepon dari Kepala Desa.
"Iya .. heem .. baik terima kasih Pak," ujar Ian menutup telepon lantas kembali memainkan jarinya diatas layar ponsel.
"Dimana tempatnya Ian?" ujar Delna sembari menyemprotkan parfum pada tubuhnya.
"Alay," ujar Ian menyindir Delna yang menurutnya terlalu berlebihan, "ikuti aku, tadi Pak Hendra udah ngasih tau alamat Apoteknya," lanjut Ian segera berjalan di depan kedua temannya yang masih sibuk sendiri dengan dunia mereka.
***
Bangunan putih dengan ukuran tidak terlalu besar terpampang dihadapan Dion, Ian dan Delna. Diatas bangunan itu terdapat tulisan 'Apotik Satu' berukuran besar. Kaca jendela transparan menampilkan berbagai barang serta obat yang ada di dalam Apotik tersebut.
Dion berjalan mendahului kedua temannya kemudian masuk kedalam Apotik itu disertai senyuman manis.
"Permisi Kak, saya Anak PKL," ujar Dion sopan pada seorang Karyawan yang tengah menghitung uang dikasir.
"Anak PKL?" ujar Karyawan itu ketika melihat Ian dan Delna masuk.
Dion menengok kebelakang lalu kembali menghadap ke arah Karyawan.
"Iya, kami bertiga Anak PKL." Ian mengangguk membenarkan perkataan Dion.
"Baik, tunggu sebentar ya dik." Karyawan itu kemudian menaruh kembali uang yang ia hitung, mengunci kasir dan segera pergi kebelakang.
Delna melihat sekeliling, ada sedikit kekaguman terpancar dari raut wajah Delna. Apotik tempatnya PKL lumayan bagus, letak tata obatnya pun rapi, dan yang lebih penting lagi adalah tempatnya bersih. Delna pikir Apotik di desa itu kumuh dan berantakan.
Ketiganya menunggu lama, suasana canggung pun tak terelakkan. Dion yang biasanya terkenal cerewet sekarang hanya diam memainkan Handphone, Ian lebih memilih untuk berkeliling. Walaupun ia pendiam, tetapi rasa ingin tahunya sangat besar, terkadang lelaki itu bertanya pada Karyawan khasiat dari obat yang ia lihat.
"Halo, maaf menunggu lama."
Seorang wanita berkisar umur 30 tahunan datang menghampiri Dion dan Delna. Senyuman hangat wanita itu lontarkan pada Dion dan Delna serta Ian yang baru selesai berkeliling.
"Ahh iya tidak apa apa Bu," ujar Dion tersenyum kikuk.
"Mari bicara di dalam," ujar wanita itu mempersilahkan Dion dan kawan kawan masuk ke bagian belakang.
Sang wanita membuka pintu perlahan kemudian masuk diikuti oleh Dion, Delna dan Ian. Kursi tamu adalah hal pertama yang mereka lihat, disusul meja kaca serta Televisi besar. Mereka kemudian duduk di kursi panjang setelah diperbolehkan untuk duduk oleh pemilik Apotik.
"Boleh saya tau nama kalian?"
"Saya Dion Pratama, biasa dipanggil Dion," ujar Dion memperkenalkan diri disertai senyuman manis, tanpa sadar wajah Delna memerah melihat senyum Dion.
"Saya Ian," ujar Ian singkat dengan wajah datar.
"Hanya Ian?" tanya Wanita itu heran, baru pertama kali ia dengar nama seseorang hanya satu kata. Ian lalu mengangguk mengiyakan perkataan wanita itu.
Wanita itu membuang nafas kemudian kembali tersenyum, ia lalu menunjuk Delna untuk memperkenalkan diri.
"Saya Magdadelna Kumala Sari, Ibu bisa panggil Delna," ujar Delna tersenyum sombong.
"Baik. Nama Ibu, Salma Kenongo. Kalian bisa panggil Ibu Salma," ujar Ibu Salma, yang lain hanya ber-oh ria.
"Kalian bisa mulai PKL besok, untuk sekarang kalian bisa menemui Kepala Desa atau mungkin mempelajari obat di Apotik ini terlebih dahulu," jelas Bu Salma panjang lebar.
Mereka bertiga berdiri lalu pamit dan segera keluar dari ruang tamu.
"Aku mau belajar obat dulu disini, sekalian kenalan," ujar Ian sedikit gugup, ini pertama kalinya ia harus berkenalan dengan orang asing, biasanya orang asing lah yang akan berkenalan terlebih dahulu, bahkan jika kalian tau sebenarnya saat bertanya tentang obat pada salah satu Karyawan, tubuh Ian berkeringat dingin.
"Baiklah, aku dan Delna akan bertemu dengan Kepala Desa," ujar Dion tanpa bertanya Delna setuju atau tidak untuk ikut dengannya.
"Ckk, baiklah aku ikut," balas Delna sebal tetapi tetap memilih untuk ikut Dion.
Mereka pun berpisah untuk melakukan rencana mereka.
Kini Dion sampai di rumah Kepala Desa, lelaki itu masuk terlebih dahulu karna pintu tidak di kunci.
"Permisi .. pak Hendra?" tanya Dion sopan kala melihat seorang pria tua berjalan keluar dari kamar.
"Dion ya? Mari, silahkan masuk," ujar pak Hendra mempersilahkan Dion serta Delna untuk duduk.
"Ingin minum apa?" tanya pak Hendra kemudian memanggil anaknya untuk membuatkan minum.
Dion menggeleng, "tidak perlu pak, kami tidak haus, benarkan Delna?"
Delna awalnya terlihat senang karna ia akan mendapat minum, namun setelah Dion menanyakan hal itu, rasa senangnya menghilang dan terpaksa menolak tawaran pak Hendra.
"Kalian ingin cepat cepat mengetahui tempat tinggal kalian ya?" ujar Kepala Desa seakan mengerti bahwa sebenarnya Dion ingin beristirahat.
Dion hanya terkekeh sambil menganggukkan kepala pelan.
"Kalau begitu bapak ini alamat tempat tinggal kalian." Pak Hendra lalu menyerahkan secarik kertas berisi jalan serta ciri ciri rumah yang akan mereka tinggali.
"Terima kasih Pak." Dion melangkah keluar diikuti Delna dibelakang.
Setelah keluar Delna bergumam tidak jelas, "nanti kubelikan minum," ujar Dion seakan mengerti isi hati Delna.
"Ian gimana?" tanya Delna mensejajarkan langkahnya dengan Dion, "udah ku kirim ke Ian."
Di tempat Ian ..
Tring!
Ponsel Ian berdering menandakan pesan masuk. Ian lantas membuka pesan itu lalu tersenyum tipis, ia lalu berpamitan pada Karyawan disana dan segera beranjak pergi menyusul Dion serta Delna.
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna membuka mata cepat, nafasnya terengah engah, keringat membasahi hampir seluruh tubuhnya. Netra hitam dengan buru buru memeriksa sekitar, memastikan keberadaannya saat ini."Untuk sekarang kita aman," ujar Henri dari arah samping, kondisi pria itu juga tak jauh berbeda dari Delna.Keadaan hening, Delna masih berusaha menenangkan diri, begitu juga dengan Henri. Pria berambut hitam legam itu juga syok, ia tak pernah mengalami kejadian supernatural seperti ini."Ini kali pertama untukku," lirih Henri menutup sebagian wajahnya menggunakan tangan.Delna tak menyahut, tatapan matanya kosong, gadis itu merasa sedikit de'javu dengan keadaan ini. Seperti saat PKL dulu, pikirnya mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak sekarang, suara isakan kecil menyelimuti ruangan, membuat Henri menatap Delna bingung."Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Henri mengelus kepala Delna, berniat menenangkan gadis itu."Aku gagal," lirih Delna memukul lantai dengan tangan kanan. "Aku gagal!" lanjut De
Potongan tangan manusia tergeletak begitu saja dilantai, walau mengetahui itu bukan tubuh asli, Delna tetap saja merasa ketakutan saat melihatnya. Air mata memenuhi penglihatan si gadis hingga pandangannya memburam. Rasa mual terasa satu detik kemudian, membuat Delna tak nyaman."Hm .. ?"Sautan pelan dengan suara serak membuat Delna tersentak, buru buru ia melihat ke atas, tepat ke arah wajah yang menyahutinya.Sosok hitam besar itu menyeringai ketika melihat Delna ketakutan, tubuh manusia ditangannya ia jatuhkan, bagai mainan yang sudah tak berguna lagi. Sosok itu lalu berjalan mendekat ke arah Delna, menatap si gadis dengan pandangan mengejek."Kau terlambat, gadis kecil!"Si sosok tertawa keras, semakin menakuti Delna. Perlahan, Delna memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi sosok menyeramkan itu. Namun usahanya terhenti kala sosok hitam kembali berbicara."Sia sia saja kau kemari, tetapi apakah kau tidak ingin melihat temanmu untuk terak
"Tak bisa memantuku? Kenapa?" tanya Delna mulai merasa panik, jantungnya berdebar secara perlahan.Henri menghela nafas pelan, melipat kaki sebelum berbicara."Maksudku adalah, aku tak bisa membantu secara keseluruhan, aku hanya bisa membantumu sebisaku," jelas Henri langsung mendapat jitakan agak kuat dari Delna.Henri mengerang sedangkan Delna mendengus kesal, "ck! Harusnya kau bilang dari awal!""Maaf, maaf, kuakui kata kataku sulit dipahami," ujar Henri menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari tertawa canggung."Baiklah, sekarang langkah apa yang harus kuambil agar bisa menyelamatkan mereka?" Delna kembali membawa topik serius, ia tidak mau basa basi.Henri juga memasang tampang serius. Berbekal ilmu yang selama ini ia pelajari secara otodidak, pria itu mulai berfikir.Beberapa detik kemudian suara jentikan jari terdengar, wajah Delna langsung sumringah mendengar suara itu. Artinya Henri telah menemukan jalan yang akan mem
Ian menghembuskan nafas lelah, baru pertama kali ia meragasukma seperti ini, wajar jika lelaki itu merasa kelelahan.Adengan ini adalah saat dimana Ian menghilang tanpa kabar di desa, sudah pasti temannya khawatir, pikir Ian sembari menatap sekeliling."Jadi seperti ini tempat para arwah?" gumam Ian mengangguk kecil, menatap posisi kacamata kemudian mulai berjalan ke arah depan.Baru beberapa langkah, Ian terhenti. Manik hitam bergulir ke bawah, melihat tangan. Bercahaya merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi tangan remaja itu."Kenapa bercahaya? Aku sungguh tak mengerti," gumam Ian lagi tak menatap tangannya, ia lanjut berjalan.Berjalan setapak demi setapak, Ian mulai melihat cahaya kebiruan dari lebatnya daun pohon. Remaja itu langsung bernafas lega, setidaknya ia tak akan menatap kegelapan lagi.Tangan kanan Ian gunakan untuk menyingkirkan ranting serta daun pohon, penglihatan sang remaja langsung terasa jelas.
Sintia melepaskan kedua tangannya dari pundak Delna, menatap sahabatnya kosong kemudian berjalan pergi meninggalkan gadis itu."Sintia?" panggil Delna memiringkan kepala, pikirannya sedikit tenang setelah Sintia meninggalkannya."Tunggu!" seru Delna langsung mengejar Sintia sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh.Sintia menoleh kebelakang, dimana Delna tengah mengejarnya sambil terengah. Keringat dingin terlihat mengucur dari dahi gadis itu, namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Sintia simpatik."Sudah tenang?" tanya Sintia setelah melihat nafas Delna mulai terlihat tenang.Delna mengangguk, "kau mau pergi?" tanya Delna menegakkan tubuh setelah beberapa menit membungkukan badan."Menurutmu?" tanya Sintia dingin, ia benar benar sudah tak peduli pada Delna.Menurut Sintia, Delna terlalu berlebihan menanggapi suatu hal, dan itu membuat Sintia terganggu."Pantas saja kau dijauhi," batin Sintia masih menatap Delna, melihhat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen