Suasana pagi hari ini sangat ramai, penduduk desa berbondong-bondong membeli bahan pokok di pasar.
Hari ini adalah hari minggu, apotek tempat mereka PKL tetap buka, hanya saja anak PKL akan diliburkan.
Dion menguap kala matahari menyinari kamarnya, rambut hitam berkilau terkena cahaya matahari. Selimut Dion angkat sebagai tanda bahwa semua nyawa telah berkumpul ditubuh sang remaja.
Suara depakan selimut bisa Ian dengar, namun remaja itu lebih memilih untuk mengabaikan dan kembali melanjutkan tidur di bawah selimut.
Lenguhan keluar dari mulut Dion, seluruh ototnya benar benar terasa kaku, seperti ada sesuatu yang menindih Dion semalam.
"Hari ini libur kan, Ian?" ujar Dion membuka secara paksa selimut yang menutupi seluruh tubuh temannya itu.
Ian membuka mata, netra hitam masih terlihat lesu, tak ada semangat disana.
"Hah?" tanya Ian balik karna tak mendengar pertanyaan Dion.
"Hari ini libur kan?" ujar Dion lagi dengan menekan kalimat yang ia tanyakan.
Ian mengangguk pelan dan kembali berbaring. Semalaman ia tak bisa tidur karna suatu hal.
"Ian? Nanti siang jalan jalan bentar yuk? Mumpung libur," kata Dion mengguncang tubuh Ian.
Dion adalah tipe orang yang mudah bosan, tubuhnya selalu aktif bergerak, begitu juga dengan mulut.
"Iya .. mandi dulu sana, kalau dah selesai bangunin aku lagi," jawab Ian dengan nada malas kemudian mengusir Dion secara halus.
Dion berdecak sebal melihat reaksi Ian, Dion angkat kaki keluar kamar, otak mengajak Dion untuk pergi ke kamar mandi. Lagipula dari kemarin ia belum mandi dikarenakan sakit.
***
Bau mint menyeruak ketika Dion selesai mandi, Delna yang mencium bau Dion lantas memalingkan wajah, enggan menatap wajah manis remaja itu.
"Ngapa, Del? Aku gak sejelek itu tau," ujar Dion mengusapkan handuk pada rambutnya yang basah.
"Hilih! Mukamu kan emang jelek," bantah Delna, padahal sebenarnya saat ini jantung Delna sedang berdetak sangat cepat melihat Dion dengan kondisi seperti itu.
"Serah deh, kalau sampai jatuh hati, aku gak mau tanggung jawab." Dion melenggang masuk kedalam kamar, meninggalkan Delna yang sedang memakan roti selai coklat.
Aku gak suka Dion, aku gak suka Dion! Batin Delna kembali merasakan jantungnya berdetak cepat.
"Del? Udah mandi?" Kepala Ian melongok dari dalam kamar, wajahnya lesu dan pucat, netra hitam memancarkan kekosongan.
Delna hanya mengangguk sebagai jawaban, perempuan itu lalu mengambil gawai disaku celana karna sedari tadi terus bergetar.
"Ian?" Netra hitam gadis itu memandang layar ponsel dengan takut.
"H-Halo?" Karna penasaran, Delna memutuskan untuk mengangkat telpon itu, tangannya sedikit bergetar akibat gugup.
Suara teriakan banyak orang muncul setelah beberapa saat tak ada jawaban, Delna menjauhkan sedikit gawai dari telinganya.
Delna lantas mematikan telpon dengan cepat begitu teriakan semakin keras terdengar.
Jantung Delna kembali berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipis gadis itu. Wajahnya pucat, dada terasa semakin sesak.
"Del?" tanya Ian mengelus punggung Delna agar gadis itu bisa tenang.
"T-Tadi, ada suara aneh," ujar Delna dengan gugup, rasa takut masih menghantuinya.
Ian hanya diam, ia juga mendengar suara teriakan yang dimaksud Delna.
"Kalian kenapa?"
Dion muncul dari balik tembok, rambutnya masih sedikit basah, bau parfum menyengat dari kaos merah yang Dion gunakan.
"Bukan apa apa, iya kan, Del?"
Delna mengangguk sembari tersenyum kecil, perempuan itu berusaha terlihat seperti biasa didepan Dion.
Dion sempat curiga awalnya, namun laki laki itu tak memusingkan hal tersebut dan lebih memilih untuk mengajak Delna serta Ian berkeliling.
"Boleh aja sih, bentar, aku mau ambil sepatu dulu biar kakiku gak kotor." Delna bangkit dan berlari kecil menuju kamar.
***
Suasana siang di desa tidak begitu panas hari ini, pepohonan serta tanah yang masih subur menutupi panas matahari.
Angin semilir bertiup dari segala arah, membuat suasana menjadi sejuk.
"Wah .. gila sih, di desa adem banget," komentar Dion yang hanya ditanggapi 'hm' dari Ian.
"Tapi kok, hari ini sepi banget?" gumam Delna melihat desa begitu sepi, hanya ada beberapa warga yang lewat.
"Malah bagus dong, jadi kita bisa jalan dengan bebas," ujar Dion menunjuk kearah hutan.
Ian memandang Dion heran, "kamu baru aja ngalamin hal gak enak loh disana, serius kamu mau ke sana?"
Pertanyaan Ian Dion abaikan, remaja itu lebih memilih untuk pergi kedalam hutan, senyum aneh terpampang diwajah Dion.
"A-Aku pergi aja ya? Aku gak mau masuk kedalam hutan." Delna bergegas pergi, meninggalkan Ian yang sedang kebingungan.
"Delna atau Dion?" gumam Ian bertanya pada dirinya sendiri.
Satu sisi Ian takut masuk kedalam hutan, namun disisi lain Ian juga tidak ingin Dion terluka.
"Dion ngerepotin."
***
Sinar matahari sudah tak nampak, hanya remang remang. Dion bersiul melihat sekitarnya, benar benar indah, batin Dion kagum.
Srak srak
Semak semak terlihat bergerak, membuat Dion waspada, ia merasa de'javu akan hal ini.
"Kali ini aku gak kabur," gumam Dion sembari berjalan mundur.
Atmosfer di hutan tiba tiba saja berubah. Suasana mencekam serta menyeramkan adalah dua kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana hutan saat ini.
Semakin Dion berjalan mundur, semakin keras semak semak bergerak. Saking takutnya Dion, ia tak sadar jika dibelakangnya ada jurang kecil.
"A-ah .. !"
Terlambat untuk Dion. Saat ia sadar dibelakangnya ada jurang, dirinya telah terjatuh kedalam jurang tersebut.
"Aw .. "
Dion merasakan sakit disekujur tubuhnya, terutama dibagian tengkuk serta punggung.
"Dimana sih ini? Kok banyak batu .. "
Gelap serta pengap merupakan hal yang dilihat dan dirasakan Dion kedua setelah rasa sakit.
Beberapa menit terdiam mengamati, Dion akhirnya memutuskan untuk bangkit. Kiri dan kanan terlihat sama, hanya ada tanah miring serta pohon lebat.
"Kenapa tiba tiba bau anyir?" Dion melangkah maju, benda kenyal yang Dion injak ia hiraukan. Toh, disini gelap, sulit untuk melihat keadaan sekitar.
"HALO!" teriak Dion setelah sampai di tebing jurang.
"ADA ORANG?" teriak Dion sekali lagi, ia tak mau terjebak disini selamanya.
"Aku tuh nyari orang ya, bukan hantu!" seru Dion kesal manakala bau menyengat tadi semakin terasa.
"Khi .. khi .. "
Bulu kuduk Dion berdiri tiba tiba saat mendengar suara tawa perempuan, namun rasa takut hilang begitu Dion ingat jika dirinya sedang terjebak di dalam jurang.
"Oy, br*ngsek! Kalau mau nakutin itu yang bener napa! Jangan cuman ketawa aja."
Dion langsung membekap mulut sendiri begitu sadar dengan apa yang diucapkannya, panik melanda dirinya tadi hingga tanpa sadar mengucapkan hal yang tidak tidak.
Hawa dingin tiba tiba menyergap, bulu kuduk Dion kembali berdiri.
"Maaf, a-aku gak sengaja, m-maklum lah, orang p-panik kadang suka k-keceplosan," ujar Dion gugup ketika merasakan sesuatu menyentuh bahunya.
Tanah becek tak Dion hiraukan, fokus utamanya adalah lari dari kuburan ini.Benar, Dion sedang berada di sebuah pemakaman. Dion baru sadar setelah tadi tersandung sebuah batu nisan putih."Khi .. khi .. "Suara tawa perempuan semakin terdengar keras, dengan tubuh bergetar Dion berusaha bangkit dan kembali berlari."Ya Allah .. selamatkan Dion," gumam Dion sambil membaca doa doa pendek.Keringat dingin membasahi seluruh pelipis serta tubuh Dion, luka lecet di kaki menjadi penghalang kecepatan berlari Dion, pohon dengan daun lebat menghalangi pandangan remaja itu."Sial! Sial!" umpat Dion ketika kembali dititik awal, sekarang ia tak tau arah jalan pulang."Hahaha!"Suara tawa kembali terdengar, kali ini tercampur suara laki laki.Dion menutup telinganya erat, tak ingin mendengar suara tawa yang saling menyaut satu sama lain."Berhenti! Kumohon berhenti!" seru Dion frustasi ketika merasakan sesuatu mendekati dirinya.Tap
Sinar mentari menyinari bumi pagi ini, kehangatan membuat Delna terbangun lebih awal.Namun bukannya kesegaran yang ia dapat, rasa sakit justru datang menghampiri. Otot-otot Delna renggangkan untuk menghilangkan rasa sakit, bunyi tulang membuat gadis itu merasa sedikit lega.Delna terdiam di atas kasur, kejadian kemarin masih terpatri jelas dalam ingatan, berputar bagai film horror.*Saat itu, suasana rumah benar benar terlihat sepi, bahkan Delna bisa mendengar deru nafas dirinya sendiri. Kaki Delna pijakan pada lantai kayu yang sudah usang, ia sampai lupa melepas sepatu.Lampu tiba tiba saja padam, membuat Delna terlonjak kaget. Gebrakan pintu menjadi penambah rasa takut pada diri Delna.Kegelapan menyelimuti, hanya ada remang cahaya orange dari balik jendela dengan pembatas berukiran kuno."Tenang Delna, ini bukan apa apa," gumam Delna pelan sembari melihat sekitar. Jujur saja, ia takut dengan suasana seperti ini.Hawa dingin tiba t
"Delna kenapa sih? Akhir akhir ini sering banget marah gak jelas," ujar Dion sembari memakan es krim yang diberikan Ian.Ian mengangkat bahu acuh, "mungkin lagi dapet? Bisa juga yang lain," ungkap Ian lirih pada akhir kalimat.Dion mengangguk pelan dan lanjut memakan es krim. Suasana hening menghampiri dalam beberapa menit, baik Dion maupun Ian tidak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama sibuk dengan dunia sendiri.Ian sibuk dengan gawai sedangkan Dion sibuk menghabiskan es krim, remaja itu belum sarapan dari tadi pagi."Habis ini makan makanan berisi ya? Kamu belum makan apa-apa kan Dion?" ujar Ian tahu jika Dion belum sarapan.Dion tertawa canggung lalu mengangguk, potongan terakhir Dion makan sebelum stik kayu ia buang kesembarang arah."Aduh!" seru seorang pria dibelakang mereka, stik es krim Dion mengenai seseorang ternyata.Dion lantas berbalik untuk melihat seseorang yang terkena lemparan stik es krimnya. Ian hanya melirik sekila
Mendengar peringatan yang diberikan Diego tak membuat Dion takut, remaja itu justru tertawa."Hantu? Pfft, omong kosong," ujar Dion seakan melupakan kejadian yang kemarin ia alami."Kamu .. gak percaya?" ujar Diego dengan ekspresi takut diwajahnya.Dion menggeleng sebagai jawaban, senyum remeh hadir diwajahnya yang chabi itu."Kalau .. kamu?" tanya Diego menunjuk Ian.Ian mengangguk, ketakutan tiba tiba saja menghampiri ketika Ian melihat bayangan hitam dibelakang Dion."Kalian kenapa sih? Percaya banget sama yang namanya hantu," ujar Dion menambah rasa takut pada Diego dan Ian, sepertinya Diego juga melihat bayangan itu batin Ian."Dion, kayanya kamu perlu ketemu langsung deh sama mereka." Setelah mengatakan hal itu, Diego merangkul Ian, membawa anak itu pergi meninggalkan Dion sendirian."Bagus, sekarang gak ada yang mau temenan sama aku," gumam Dion berjalan keliling apotik, ia tidak tau harus melakukan apa sekarang.***
"IAN!"Sesosok bayangan hitam adalah hal pertama yang Ian lihat. Sosok itu kemudian berjalan masuk. Ingin rasanya Ian berlari meninggalkan rumah, namun apa daya tubuhnya tak mau menuruti perintah otak.Ian menengguk ludah kasar ketika sosok hitam itu berjalan semakin dekat.DAR!Kilatan petir membuat Ian dapat melihat jelas siapa sosok didepannya, walau samar karna kilatan petir hanya memberi sedikit penerangan."M-Manusia ternyata .. " gumam Ian menghela nafas lega, tangan Ian gunakan untuk mengelus dada agar degup jantung tak kian mengencang."S-Siapa?" tanya Ian mendongak keatas untuk melihat dengan jelas sosok didepannya.Orang itu hanya diam, tak merespon pertanyaan yang dilontarkan Ian.Kilatan petir kembali menyambar bumi, kali ini Ian dapat melihat ekspresi yang dipancarkan diwajah orang itu.Marah dan kesal adalah dua kata yang tepat untuk mendeskripsikan wajah orang didepan Ian. Oh, bagus, sekarang rasa takut muncul lag
Delna bergegas pergi keluar, caranya untuk keluar pun mainstream, yaitu melompat keluar dari jendela.Melihat hal itu tentu saja membuat Dion terkejut, ia tak menyangka jika Delna akan melakukan tindakan bodoh seperti itu."Delna?!" seru Dion yang dimana panggilan itu Delna hiraukan, sang gadis masih saja terus berlari ke tempat dimana para warga berada."Ckk, merepotkan," gumam Dion kesal dan pergi menyusul Delna, tentu saja dengan cara yang normal.***Suara aneh warga mulai terdengar jelas, mereka seperti membacakan suatu mantra yang Delna dan Dion tak mengerti.Ketika dilihat dari dekat, beberapa warga ada yang membawa suatu sesajen berupa kepala kerbau."Mereka ngapain sih?" tanya Delna heran, baru pertama kali ia melihat hal yang seperti ini.Dion mengangkat bahu tanda ia tak mengerti. Dion memang sering melihat hal seperti ini, namun difilm. Remaja itu tidak menyangka akan melihat secara langsung.Semua warga terlihat sang
"Hantu .. ? Hmm gak tau juga, antara percaya gak percaya sih," ucap Riski tak menoleh sama sekali, bahkan nada bicaranya jadi berbeda.Delna hanya ber-oh ria, lalu mulai menceritakan kejadian yang ia dan temannya alami akhir akhir ini.Riski terlihat serius saat mendengarkan cerita Delna, Riski bahkan melambatkan laju motornya agar Delna bisa leluasa bercerita."Pokoknya kejadian aneh selalu menimpa kami kak, dan sosok sosok yang kami jumpa selalu menyebut kata 'mati' dan 'Dion'," jelas Delna melihat kearah gedung putih, apalagi jika bukan apotik satu, tempatnya PKL."Lanjut cerita didalam ya? Mumpung ada Diego hari ini," ujar Riski turun dari motor setelah Delna turun terlebih dahulu."Diego?" tanya Delna bingung karna merasa asing dengan nama tersebut.Riski mengangguk, "iya, karyawan baru, aku dengar dia tau soal dunia perhantuan gitu."Lagi lagi Delna hanya ber-oh ria, semangatnya hilang entah kemana."Memang sejak awal aku semanga
Delna langsung terdiam begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Nissa, raut wajah Delna langsung berubah drastis."Del?" panggil Nissa merasa heran dengan perubahan Delna."Ceritanya panjang sih Nis. Tapi intinya mereka diganggu?" jelas Riski menggunakan nada tanya, toh dirinya juga masih tidak terlalu percaya dengan Delna."Ian hilang, Dion kaya orang gila," lanjut Riski setengah berbisik karna tiba tiba saja bu Salma lewat, Riski langsung memasang tubuh didepan Delna agar bu Salma tak melihatnya."Riski? Anak PKL belum berangkat?" tanya bu Salma sedikit merapikan rambut, kentara sekali kalau wanita itu baru saja bangun dari dunia mimpi."Sepertinya mereka terlambat bu, kalau satu jam juga mereka gak dateng saya bakal jemput," ujar Riski sembari memberi isyarat pada Delna untuk tidak keluar dari balik tubuh Riski.Bu Salma menggeleng heran, "baru beberapa hari saja mereka terlambat," gumamnya kemudian berjalan kembali ke ruangan bu Salma
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna membuka mata cepat, nafasnya terengah engah, keringat membasahi hampir seluruh tubuhnya. Netra hitam dengan buru buru memeriksa sekitar, memastikan keberadaannya saat ini."Untuk sekarang kita aman," ujar Henri dari arah samping, kondisi pria itu juga tak jauh berbeda dari Delna.Keadaan hening, Delna masih berusaha menenangkan diri, begitu juga dengan Henri. Pria berambut hitam legam itu juga syok, ia tak pernah mengalami kejadian supernatural seperti ini."Ini kali pertama untukku," lirih Henri menutup sebagian wajahnya menggunakan tangan.Delna tak menyahut, tatapan matanya kosong, gadis itu merasa sedikit de'javu dengan keadaan ini. Seperti saat PKL dulu, pikirnya mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak sekarang, suara isakan kecil menyelimuti ruangan, membuat Henri menatap Delna bingung."Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Henri mengelus kepala Delna, berniat menenangkan gadis itu."Aku gagal," lirih Delna memukul lantai dengan tangan kanan. "Aku gagal!" lanjut De
Potongan tangan manusia tergeletak begitu saja dilantai, walau mengetahui itu bukan tubuh asli, Delna tetap saja merasa ketakutan saat melihatnya. Air mata memenuhi penglihatan si gadis hingga pandangannya memburam. Rasa mual terasa satu detik kemudian, membuat Delna tak nyaman."Hm .. ?"Sautan pelan dengan suara serak membuat Delna tersentak, buru buru ia melihat ke atas, tepat ke arah wajah yang menyahutinya.Sosok hitam besar itu menyeringai ketika melihat Delna ketakutan, tubuh manusia ditangannya ia jatuhkan, bagai mainan yang sudah tak berguna lagi. Sosok itu lalu berjalan mendekat ke arah Delna, menatap si gadis dengan pandangan mengejek."Kau terlambat, gadis kecil!"Si sosok tertawa keras, semakin menakuti Delna. Perlahan, Delna memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi sosok menyeramkan itu. Namun usahanya terhenti kala sosok hitam kembali berbicara."Sia sia saja kau kemari, tetapi apakah kau tidak ingin melihat temanmu untuk terak
"Tak bisa memantuku? Kenapa?" tanya Delna mulai merasa panik, jantungnya berdebar secara perlahan.Henri menghela nafas pelan, melipat kaki sebelum berbicara."Maksudku adalah, aku tak bisa membantu secara keseluruhan, aku hanya bisa membantumu sebisaku," jelas Henri langsung mendapat jitakan agak kuat dari Delna.Henri mengerang sedangkan Delna mendengus kesal, "ck! Harusnya kau bilang dari awal!""Maaf, maaf, kuakui kata kataku sulit dipahami," ujar Henri menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari tertawa canggung."Baiklah, sekarang langkah apa yang harus kuambil agar bisa menyelamatkan mereka?" Delna kembali membawa topik serius, ia tidak mau basa basi.Henri juga memasang tampang serius. Berbekal ilmu yang selama ini ia pelajari secara otodidak, pria itu mulai berfikir.Beberapa detik kemudian suara jentikan jari terdengar, wajah Delna langsung sumringah mendengar suara itu. Artinya Henri telah menemukan jalan yang akan mem
Ian menghembuskan nafas lelah, baru pertama kali ia meragasukma seperti ini, wajar jika lelaki itu merasa kelelahan.Adengan ini adalah saat dimana Ian menghilang tanpa kabar di desa, sudah pasti temannya khawatir, pikir Ian sembari menatap sekeliling."Jadi seperti ini tempat para arwah?" gumam Ian mengangguk kecil, menatap posisi kacamata kemudian mulai berjalan ke arah depan.Baru beberapa langkah, Ian terhenti. Manik hitam bergulir ke bawah, melihat tangan. Bercahaya merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi tangan remaja itu."Kenapa bercahaya? Aku sungguh tak mengerti," gumam Ian lagi tak menatap tangannya, ia lanjut berjalan.Berjalan setapak demi setapak, Ian mulai melihat cahaya kebiruan dari lebatnya daun pohon. Remaja itu langsung bernafas lega, setidaknya ia tak akan menatap kegelapan lagi.Tangan kanan Ian gunakan untuk menyingkirkan ranting serta daun pohon, penglihatan sang remaja langsung terasa jelas.
Sintia melepaskan kedua tangannya dari pundak Delna, menatap sahabatnya kosong kemudian berjalan pergi meninggalkan gadis itu."Sintia?" panggil Delna memiringkan kepala, pikirannya sedikit tenang setelah Sintia meninggalkannya."Tunggu!" seru Delna langsung mengejar Sintia sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh.Sintia menoleh kebelakang, dimana Delna tengah mengejarnya sambil terengah. Keringat dingin terlihat mengucur dari dahi gadis itu, namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Sintia simpatik."Sudah tenang?" tanya Sintia setelah melihat nafas Delna mulai terlihat tenang.Delna mengangguk, "kau mau pergi?" tanya Delna menegakkan tubuh setelah beberapa menit membungkukan badan."Menurutmu?" tanya Sintia dingin, ia benar benar sudah tak peduli pada Delna.Menurut Sintia, Delna terlalu berlebihan menanggapi suatu hal, dan itu membuat Sintia terganggu."Pantas saja kau dijauhi," batin Sintia masih menatap Delna, melihhat