Mawar hidup di sebuah desa yang jauh dari pusat kota. Ibunya bekerja menjadi pelayan di rumah saudagar kaya. Hingga saat dia sudah lulus sekolah, ternyata dia sudah di jodohkan dengan pemuda kaya yang berasal dari kota. Mawar akan melakukan apapun supaya pria itu mau menikahinya, dia berharap dengan menikahi pria itu hidup keluarganya akan terpenuhi kebutuhannya, dia berharap ibunya tidak lagi menjadi seorang pelayan dan adiknya bisa bersekolah sampai ke jenjang tertinggi. Nico Geraldi Sadlers, anak tunggal dari Harryantara Sadlers. Keluarga Sadler merupakan keluarga yang terpandang dan berpengaruh, tentu saja dengan harta dan kekuasaan yang mereka milik. Nico adalah salah satu keturunan Sadlers yang meraih kesuksesan saat usianya masih muda, tak heran orang-orang sering memanggilnya, 'tuan muda dari keluarga Sadlers'. Karena ketampanan dan kesuksesannya banyak wanita berparas cantik yang berasal dari keluarga terpandang menginginkan dirinya, tapi Nico terpaksa harus menerima perjodohan yang berdalih perjanjian masa lalu. Di dalam darahnya mengalir darah Sadlers yang selalu memegang teguh setiap janji nya, maka Nico tidak bisa menolak perjodohan itu. Tak disangka gadis yang akan dijodohkan denganya adalah gadis yang culun, memakai kacamata tebal dan udik. Tapi kenapa saat pertemuan pertama, Nico langsung ingin menikahinya? Sementara Mawar dia bersyukur karena tanpa melakukan usaha apapun pria itu sudi menikahi gadis kampung dan miskin seperti dirinya.
view more"Pak Tejo, kenapa gerbangnya di kunci?"
"Maaf nyonya. Tuan Nico yang memerintahkan."
Kening Mawar mengernyit heran. "Tolong buka, pak."
Tejo merapatkan kedua tangannya, meminta maaf, lalu kembali ke pos dengan perasaan tidak tega.
Mawar menghembuskan nafas pelan, memilih duduk lesehan di atas paving block. Entah sampai kapan harus menunggu.
Mawar menengadahkan wajahnya ke atas memandangi langit yang sudah lama berubah warna. Matanya berkaca-kaca, dia mengigit bibirnya lalu tangannya bergerak mengusap perutnya, merasakan lapar yang tak kunjung hilang sejak tadi.
Dengan badan lemah, Mawar perlahan bangkit dari posisi duduknya, berjalan menyusuri hutan dengan di temani sinar bulan sebagai penerang setiap langkahnya.
Dulu saat kabur dari amukan Nico, Mawar pernah melihat pohon jambu di dekat danau, dia menengok ke segala arah lalu merasa kecewa, karena pohon jambu itu tidak berbuah, jangankan pohon jambu, buah beracun pun tidak ada di sini.
Sudah lelah mencari sesuatu untuk di makan tapi tidak dapat menemukannya akhirnya Mawar memutuskan untuk beristirahat di tepi danau atau mungkin bermalam di sini lebih baik pikirnya. Hutan di dekat mansion memang tidak berbahaya, Nico membangun pagar tinggi sepanjang puluhan hektar sebagai pembatas dengan hutan berbahaya di kedalaman yang ditinggali oleh banyak binatang buas.
Mawar duduk di atas rumput, menekuk kedua lututnya dan satu tangannya menopang dagu menatap lurus ke arah mansion mewah yang terlihat jelas dari tempatnya sekarang, dia sengaja mengambil tempat terjauh dari danau karena tidak ingin terlalu dekat dengan tempat menakutkan itu.
Mansion itu berjarak sangat jauh dari penglihatannya, tapi kilaunya sangat mengagumkan, seperti istana yang sering Mawar lihat di buku dongengnya waktu kecil. Dia termasuk orang yang beruntung karena bisa tinggal di dalamnya. Ya! Sangat beruntung. Raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi sendu.
Tangan Mawar bergerak, melepas kacamata tebalnya agar bisa menghapus air matanya yang entah sejak kapan membasahi pipinya, lalu dia merebahkan dirinya di atas rumput.
Senyumnya perlahan mengembang saat matanya dapat melihat bintang dan bulan yang terlihat indah di langit. Lalu matanya mulai tertutup, mencoba tertidur walaupun kulitnya sedikit menggigil merasakan dingin karena saat ini dia hanya di temani oleh hembusan angin saja.
Angin bertiup kencang, menabrak rimbunnya daun di pepohonan. Tapi tidak membangunkan seorang gadis yang tengah terlelap dalam tidurnya dengan keadaan meringkuk tampak seperti anak kecil.
Tidak berselang lama, hujan pun turun membasahi semua benda yang di laluinya dan membangunkan seorang gadis yang tengah tertidur di atas dinginnya rumput hijau yang menjadi alas satu-satunya.
Mawar mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, dia langsung terduduk saat merasakan badannya basah kuyup.
"Dingin." ucapnya Parau.
Mawar memeluk tubuhnya yang menggigil, merasa dingin sekaligus ketakutan karena angin bertiup kencang.
Duaaaar!
Mawar terlonjak kaget, dia menjadi panik lantas berdiri dan langsung berlari masuk ke dalam hutan. Menangis dan menangis, hanya itu yang bisa dia lakukan.
Mawar kesusahan melihat karena kacamata nya memburam terkena air hujan, lalu cahaya bulan pun telah hilang di gantikan dengan kilatan guntur yang sesekali muncul. Ternyata semua itu masih belumlah cukup, kini air hujan turun dengan deras dan mulai menyakiti kulitnya, menambah penderitaanya malam ini.
"Pak! Tolong buka gerbangnya!" Teriaknya, kedua tangannya selalu setia memeluk tubuhnya.
Kepala Mawar bergerak menengok ke atas, matanya melihat ujung pagar yang meruncing seperti anak panah membuatnya merinding ngeri.
Tidak ada yang bisa di lakukannya selain menunggu dengan duduk di bawah guyuran hujan, tidak ada tempat untuknya kembali selain mansion ini maka dari itu dia harus menunggu sampai ada seseorang yang sudi membukakan pintu gerbang untuknya.
Mawar memilih duduk dengan menekuk kedua lututnya dan wajahnya di tenggelamkan disana.
Tak lama hujan pun reda, Mawar yang masih terjaga mendengar bunyi gesekan dari pintu gerbang. Ingin melihat, tapi kepalanya serasa di timpa oleh beban yang sangat berat, kepalanya berdenyut nyeri sehingga untuk mendongak pun susah. Tapi dia mencoba sekuat tenaga, memaksakan dirinya agar bisa mengangkat kepalanya dan dia melihat Bik Enah, seorang wanita paruh baya yang berprofesi sebagai kepala pelayan di mansion.
"Ya ampun, nyonya!" Enah terpekik. Lalu dengan sigap Enah membantu Mawar berdiri, dia ingin menangis melihat keadaan majikannya sekarang.
Mawar berjalan tertatih-tatih di bantu oleh Enah, badan nya begitu lemas, kepalanya sangat pening dan badannya menggigil kedinginan.
"Bagaimana, Bibi bisa tahu aku ada di sini?" Mawa terus memaksakan kakinya melangkah.
"Sebenarnya Bibi dan Sarah sedang menunggu nyonya di pos," tunjuknya ke arah pos yang tidak jauh darinya."tapi kami malah ketiduran," lanjutnya, menyesal. Kedua tangannya setia menuntun Mawar sampai duduk di dalam golpcar, lalu menjalankan golpcar tersebut dengan perlahan.
"Sarah dimana sekarang?" Tanya Mawar dengan suara lirih, tak kuasa menahan lemas di tubuhnya.
"Sedang tidur di pos." ucapnya merasa tidak enak.
Mawar hanya mengangguk, dia memejamkan matanya karena sakit di kepalanya semakin menjadi.
"Terimakasih, Bik."
Enah hanya mengangguk perihatin, tega sekali tuannya membiarkan istrinya sendiri menderita sampai seperti ini. Meskipun begitu, dia tidak bisa melakukan apa-apa, untuk membela pun tidak bisa.
Enah menutup pintu kamar mandi setelah sebelumnya pamit agar dirinya tidak mengganggu Mawar yang hendak membersihkan diri.
Langit sudah terang, karena matahari sudah menampakkan sinarnya. Seorang gadis belia yang tengah bergelung di dalam selimut tipis mengerjapkan kedua matanya.
"Jam berapa sekarang?" Tanyanya, tapi hanya keheningan yang menjawabnya.
Mawar menyingkapkan selimut tipis yang membungkus tubuhnya, mendudukkan dirinya mencoba meraih penuh kesadarannya. Tiba-tiba kepalanya merasakan pening hingga membuat pandangannya menjadi gelap.
Setelah penglihatannya sudah membaik, dia menurunkan kedua Kakinya perlahan, mengernyit ngilu dikala merasakan dingin pada lantai yang dipijak.
Matanya mengedarkan pandangan kesegala arah, 'gelap' hanya ada dua bilah cahaya yang berasal dari lubang ventilasi udara yang letaknya di atas pintu.
Mawar melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu, memutar handle pintu lalu perlahan pintu itu terbuka, sehingga matanya bisa melihat cahaya yang lebih terang. Kepalanya menoleh ke sebelah kanan ingin melihat cahaya yang menerobos masuk lewat kaca kecil dan satu satunya sumber cahaya yang menerangi terowongan ini.
Tangannya bergerak mengusap tenggorokannya merasakan haus, berjalan dengan sempoyongan menuju dapur khusus pelayan, dia ingin mengambil air minum.
Sementara itu, di ruang utama mansion, para pelayan berbaris dan menunduk di hadapan Nico, tidak ada siapapun yang berani mengangkat kepala mereka.
"SIAPA YANG MEMBERIKAN IZIN KALIAN UNTUK MEMBAWA DIA MASUK KE DALAM MANSION?!" Teriaknya murka, rahangnya mengeras.
Nico melangkah mendekati seorang wanita paruh baya yang terlihat ketakutan, dia bisa melihat dari tubuhnya yang bergetar.
"Tuan!" Sarah berteriak histeris saat Nico mengangkat kerah baju Enah dan melemparkan tubuh renta itu ke lantai tanpa perasaan.
Nico mengencangkan rahangnya, dia kembali murka mendengar seseorang berani berteriak padanya. "Bawa dia keruang bawah tanah!" titahnya pada dua orang pria bersetelan hitam yang merupakan penjaga gerbang kedua mansion.
Mereka mengangguk patuh, lalu membawa Sarah yang berteriak histeris minta di lepaskan.
Mata tajam Nico menyorot mengancam kepada semua pelayannya, dia mendekati Enah kembali, mengangkat kerah baju pelayan itu sehingga membuatnya berdiri."Tahu kesalahanmu?"
Enah mengangguk menahan suara isakannya dengan susah payah, karena dia tahu majikannya ini akan semakin murka jika mendengar suara isakan yang tidak berguna.
"Maafkan saya, tuan." ucapnya memohon, kepalanya masih menunduk takut.
"N-ico?"
Nico mengernyit tidak suka saat mendengar suara yang tidak ingin dia dengar. Tangannya melepaskan cengrkramannya, membuat Enah menarik nafas lega.
Nico memutar tubuhnya, lalu tersenyum sinis melihat Mawar yang berdiri ketakutan di sana.
Meskipun setengah mati ketakutan, Mawar memberanikan diri melangkah mendekati Nico. Kemarahan Nico memang kesalahannya, tidak seharusnya semua pelayan yang menanggung akibat dari kesalahan yang telah dia perbuat.
"Mereka tidak bersalah, jika mereka tidak membiarkan aku masuk, mungkin aku akan mati semalam," Melihat kilatan kebencian di mata Nico, kepalanya kembali menunduk dengan perasaan was-was.
"Sial! Memang aku perduli!" Kedua tangan Nico mengepal sehingga menampilkan urat lengannya dengan sangat mengerikan, membuat Mawar meringis tanpa sadar saat melihat urat yang mengerikan itu.
"Aku tahu kau tidak pernah perduli, siksa aku saja, jangan mereka," Mawar menatap sedih para pelayan yang sedang menunduk ketakutan, dia menghembuskan nafasnya lelah, lalu menoleh kembali pada Nico.
Nico melangkah semakin mendekat, sorot matanya menajam sarat akan kebencian. Kedua tangannya di angkat hingga bertengger di leher Mawar, mencekik wanita itu seperti hendak mematahkan nya.
Mawar terkesiap, dia memegang tangan Nico dan mencoba melepaskan cekikan yang amat menyakitinya itu.
"Lepaskan tangan kotormu dariku, jalang!" titahnya dengan sebuah geraman.
"S-sakit," Ucap Mawar terbata menahan sesak, tapi dia menuruti perintah Nico.
Nico tersenyum miring, perlahan tangannya mengangkat tubuh Mawar dengan menguatkan cekikan di leher jenjang itu, sehingga mengalirkan rasa kepuasan dalam denyut nadinya.
"Ni-co, le-pas." Ucapnya terputus-putus. Matanya terpejam kuat, mencoba menghalau rasa sesak yang mulai dirasakannya.
Brak!
Para pelayan terpekik, menyaksikan Nyonya mereka di banting ke tembok hingga tubuh kurus itu terpental jatuh ke lantai. Tidak ada yang berani menolong karena mereka semua masih menyayangi nyawa dan pekerjaan mereka.
Setelah membanting Mawar, Nico menghampirinya dan tanpa perasaan menarik pergelangan tangannya dengan kasar, memaksanya agar berdiri, tidak menghiraukan Mawar yang masih terbatuk-batuk dan kakinya terseok-seok mengikuti langkah lebarnya. Nico tersenyum sinis melihatnya kesakitan. Tapi kesenangannya masih belum cukup saat melihat tidak ada air mata di sana.
Mawar tak kuasa menyamai langkah Nico, kakinya sungguh lemas dan pergelangan tangannya pun sangat panas dan terasa perih, dia yakin sebentar lagi akan muncul warna biru disana. Tubuhnya ambruk dilantai, matanya menatap lantai dengan tatapan kosong saat Nico akhirnya berhenti menyiksanya.
Tapi itu hanya harapannya saja, karena selanjutnya, pria itu malah menarik lengannya dengan amat kasar sehingga membuatnya berdiri kembali. Memaksa berjalan mengikuti langkah lebar pria itu lalu mendorong tubuh kurusnya ke dalam kolam renang.
Byur!
Tubuh Mawar terlempar begitu saja, rasa sakit di hatinya sangat kentara saat matanya menangkap sosok pria yang menjadi suaminya berbalik meninggalkannya.
Dia pasrah, membiarkan dirinya tenggelam hingga tanpa terasa tubuhnya sudah berada di dasar kolam.
Enah menangis tersedu, dengan tubuh gemetar dia menghampiri Nico yang sedang duduk santai sedang menikmati pemandangan di depannya. "Tuan, tolong nyonya tidak bisa berenang tuan." Enah bersimpuh di hadapan Nico, meminta belas kasih.
"SIAPA YANG KAU PANGGIL NYONYA HUH?!" Nico melotot tajam pada Enah.
Tidak perduli dengan teriakan tuannya yang membuat tubuhnya gemetar, Enah tetap bersimpuh, memohon dengan air mata yang terus mengalir. Dia panik saat menyadari tidak ada lagi gelembung yang menyembul dari dalam kolam.
Mulutnya terus meminta pertolongan pada tuannya agar berbaik hati menolong nyonya yang mungkin sedang sekarat disana.
Akhirnya Nico berdiri, semua pelayan yang melihat tubuh besar yang menjulang tinggi itu menahan nafasnya tanpa mereka sadari. Mereka melangkah mundur, takut salah satu dari mereka menjadi pelampiasan berikutnya.
"Joan!" Teriak Nico, lalu seorang pria bertubuh kekar yang merupakan tangan kanannya menghadap.
"Iya, tuan?"
"Selamatkan dia, aku tidak ingin dia mati terlalu cepat."
Joan berlari ke arah kolam dan langsung menceburkan dirinya, dia berenang secepat yang dia bisa, supaya bisa menyelamatkan wanita malang itu.
Nico menggeram marah melihat Joan memeluk Mawar dengan erat, dia segera berjalan mendekati mereka setelah Joan berhasil membawa Mawar ke pinggir kolam."HEY KAU! ENYAH DARI SANA!!"
Joan yang akan memberikan bantuan dengan cara menekan dada Mawar menghentikan aksinya, dia mengangguk patuh, lalu segera menyingkir.
Kilatan amarah di mata Nico semakin menyeramkan saat matanya malah melihat kaos putih yang di kenakan Mawar ternyata tembus pandang, memperlihatkan bra berwarna pink yang membukus dadanya.
"ARRRGH... APA YANG KALIAN LIHAT HUH?! ENYAH SEMUANYA!!" Geramnya marah.
Para pelayan disana saling menatap satu sama lain dengan tatapan bingung.
"TUNGGU APA LAGI?!"
Semua orang langsung berlari menyelamatkan hidup mereka, tapi sebelum mereka pergi beberapa dari mereka sempat memberikan tatapan prihatin kepada nyonya-nya dan berdoa di dalam hati semoga nyonya mereka baik-baik saja.
"Cih, menyusahkan saja!" desisnya.
Nico menekan dada Mawar lalu memberikannya nafas buatan, dia tersenyum miring saat Mawar terbatuk mengeluarkan air, lalu tak lama perempuan itu tak sadarkan diri kembali.
Setelah memberikan bantuan dan berhasil, kini kedua tangannya diletakan di belakang kepala dan satunya lagi di belakang lutut Mawar. Menggendongnya ala bridal, lalu membawanya menuju sofa yang tak jauh dari kolam. Dia melihat dari sudut matanya seorang pelayan wanita mendekat sambil membawakan handuk.
"Suruh semua orang keluar dari ruangan ini, jangan ada satupun yang terlihat berkeliaran jika mereka masih ingin hidup!"
Pelayan wanita itu mengangguk patuh dan mengundurkan diri dari hadapan Nico. Lalu tangan Nico bergerak mengambil handuk itu, mengelap wajah Mawar dengan hati-hati.
"Dia memiliki mata yang indah jika tidak memakai kacamata." ucapnya pelan, tangannya bergerak mengusap bibir Mawar yang tampak memucat tapi terlihat menggoda di matanya.
Nico menggelengkan kepalanya, dia berdecih dan melempar handuk itu hingga mengenai wajah Mawar.
"Pelayan!"
Seorang wanita tua berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nico.
"Keringkan dia dan ganti bajunya!"
Enah menatap Nico dengan binar tidak menyangka, kemudian tersentak saat melihat tatapan tajam dari Nico, dia segera berlari ke arah gudang, dimana kamar Mawar berada untuk mengambil baju ganti.
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments