"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi.
Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar.
Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia.
Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri.
"Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga,"
Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan.
"Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku.
"Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya masih menunduk menyembunyikan wajahnya.
Aku mengernyitkan keningku, aku tahu dia tidak sebodoh itu meskipun dia berasal dari desa, jelas kartu ini adalah kartu paling mudah yang bisa di gunakan. Mungkin dia belum terbiasa dan merasa asing dengan kartu ini.
Aku menjadi gemas melihat tingkahnya itu. "Baiklah, ini kartu ATM ku," aku memberikan kertu itu kepadanya. "Gunakanlah untuk berbelanja kebutuhanmu,"
Dia mengangkat kepalanya perlahan, lalu langsung mengambil kartu itu dan mengucapkan terimakasih setelah aku mengatakan nomor PIN nya.
"Kalau begitu, aku akan langsung berangkat kerja." aku berdiri dan mendekatinya, mencium kening dan terakhir mencium pipi istriku ini dengan gemas. Aku terkekeh melihat wajah dia yang seketika memerah dan menunduk malu. Dengan gemas aku mengacak rambutnya lalu berpamitan dengan mencuri satu kecupan di bibir manisnya, membuat matanya membelalak dan seketika rautnya menjadi kesal.
Seharusnya aku menghabiskan waktu disini dengannya, tapi pekerjaan menungguku dan nampaknya Mawar juga tidak merasa nyaman aku berada di dekatnya.
Setelah lama berkutat di komputer untuk mengecek beberapa email dan melakukan beberapa pemeriksaan lainnya, akhirnya aku bisa beristirahat sejenak.
Perutku sangat keroncongan, aku beranjak dari tempat duduk menuju sofa yang mana di atas meja sudah tersedia makanan yang telah di siapkan oleh sekretarisku, sekitar lima menit yang lalu.
Sekitar dua suap makanan yang masuk kedalam perutku, tiba-tiba telingaku mendengar suara pintu yang dibuka dari luar. Aku melarikan mataku kepada seseorang yang kurang ajarnya berani masuk keruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Aku meringis setelahnya karena telah menyebut Papa ku sendiri kurang ajar. Aku hampir lupa bahwa orang yang berani masuk tanpa ijin keruanganku hanya Papaku seorang.
"Hey, Son," sapa Papa dengan suara riang khasnya.
Aku menatap jengah Papaku yang selalu ceria setiap harinya, tidak bisakah aku menyamakan sifat Papaku itu seperti seorang perempuan yang sangat cerewet dan sedikit mengesalkan. Berbanding terbalik dengan sifat ibuku yang pendiam dan cool, mereka memang meliliki jiwa yang tertukar sepertinya.
"Ada urusan apa Papa kemari?" Tanyaku lalu mulai melanjutkan makan kembali.
"Tidak ada," dia mengambil tempat duduk disebelahku, lalu menatapku dengan cengiran khas orang bodoh.
Aku menatap Papaku dengan curiga. "Apa yang papa inginkan?" Aku menggeser sedikit posisi duduku karena risih jika terlalu menempel dengannya, "Ayolah, aku sudah mengenal Papa sejak dulu," lanjutku.
Tiba-tiba Papa menepak bahuku, membuatku hampir tersedak makanan yang kebetulan sedang aku telan. Aku mencoba bersabar, aku yakin dia sengaja ingin membuatku kesal.
"Papa bangga padamu nak," ucapnya, lalu merebahkan bahunya di sofa. Aku memperhatikan wajahnya, papapku masih tampak tampan walaupun di usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Jadi begini, nanti malam papa diundang ke pesta relasi salah satu investor Papa. Papa tidak bisa hadir karena Mama mu sedang tidak enak badan," ucapnya terdengar lirih.
Aku menghentikan kunyahanku, lalu menoleh kearah Papa dengan raut khawatir. "Mama sakit?"
Papa menggaruk tengkuknya. "Sebenarnya Mama mu hamil lagi,"
"Apa?!" Mataku melotot tidak percaya, beruntung aku sedang tidak menelan makanan, jika iya mungkin makanan itu akan terselip di tenggorokanku.
"Pah! usia kalian kan sudah tua," aku menggelengkan kepalaku tidak habis fikir. "Bukan waktunya lagi bagi kalian memiliki anak, apa aku tidak cukup untuk kalian?" Tanyaku dengan kening mengkerut dalam.
"Kau tidak boleh berbicara begitu Nic, sebenarnya Papa tidak mau, tapi mamamu itu yang memaksa ingin mempunyai anak perempuan,"
Aku menghembuskan nafas kasar. "Sudah tua tapi benihnya tetap unggul, cih" cicitku.
"Apa Son? Kau bicara sesuatu?"
"Tidak!" Jawabku sinis.
"Tenang saja, walaupun kami nanti mempunyai anak lagi, kasih sayang kami masih akan tetap sama. Hey! bahkan adikmu masih belum lahir tidak usah cemburu begitu," ucapnya diiringi kekehan yang membuat aku semakin muak ingin menendang kejantanan milik pria tua itu.
Aku menjauhkan makanan yang tengah ku santap, aku sudah tidak berselera makan setelah mendengar kabar buruk itu.
"Baiklah, bersenang-senanglah kalian nanti malam ya, Papa pergi dulu," pamitnya
Aku hanya diam saja sambil memijit keningku, tiba-tiba kepalaku rasanya seperti di timpa beban yang sangat berat. Orang tua itu bahkan tidak memikirkan masa depan calon anaknya.
Aku hanya takut sebelum anak itu dewasa, dia sudah kehilangan orang tuanya nanti. Bayangkan saja umur ayah dan ibuku sudah tidak muda lagi, bahkan aku mengira ibuku itu sudah monopous dan tidak bisa hamil lagi, tapi ternyata? Aku mengakui papaku itu sungguh hebat dan benihnya itu sangat langka!
"Kenapa lagi, Pah?" Tanyaku saat melihat pintu di buka lagi dan memunculkan wahah Papaku yang menatap diriku jenaka, membuat perasaanku tidak enak.
"Papa hanya bercanda Son, ibumu tidak hamil lagi," dia tertawa terbahak-bahak, sementara aku hanya menatapnya dengan datar, tidak berselera ikut tertawa. "Jadi jangan takut tidak mendapatkan kasih sayang dari kami," ucapnya disela tawanya.
Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku, jika ada kamera disini aku memilih mengangkat kedua tanganku tanda menyerah dengan kelakuan pria tua itu, sudah bau tanah tapi masih bisa membuat lelucon yang tidak beradab.
"Papa hanya ingin menikmati banyak waktu bersama Mama mu, dia memang sedikit kurang sehat kau harus menengoknya sebelum ke pesta ya, ajaklah istrimu kesana," Papa menyenderkan badannya di pintu, lalu melanjutkan perkataannya. "Papa tidak akan mengecewakanmu Nic, Papa akan berusaha supaya kau mempunyai adik lagi, sebenarnya Papa ingin mempunyai anak perempuan agar papa bisa menikahkannya nanti,"
Aku langsung memberikan tatapan tajam kepada papaku, "jangan coba-coba Pah, kalian sudah tua. Bahkan aroma tubuhmu mengingatkan ku kepada tanah kuburan kakek dan nenek saat aku mengunjunginya," kataku sinis.
Papa menutup mulutnya dengan kedua tangannya secara dramatis."Tidak baik menyumpahi ayahmu mati Son, nanti kau bisa kualat,"
Aku menghembuskan nafasku pasrah, lalu aku mendekatkan kembali makananku berniat melanjutkan makan kembali. "Ya, maafkan aku Pah, kau tahu aku hanya bercanda."
Papa hanya menggaguk-nganggukan kepalnya. Tidak nampak tersinggung sedikitpun dengan ucapanku tadi. "Baiklah, selamat besenang-senang dengan istrimu Son." ucapnya lalu kembali menutup pintu dengan suara kekehan yang masih terdengar di telingaku.
"Dasar Pak tua! tidak ada yang menyangka jika sikapnya yang terkesan bodoh dan idiot yang selalu ia tunjukan adalah kamuflase untuk menjatuhkan lawannya." Aku tersenyum sinis.
kini Pak tua itu menunjukkan sifat mengesalkan nya kepadaku, aku tahu itu hanya untuk menghukumku karena telah meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan lamanya. Aku sudah yakin itu, dan sialnya Pak tua itu berhasil. Hampir saja aku terkena serangan jantung ketika mendengar kabar Mama ku hamil lagi.
Sekali lagi otak Pak tua itu memang sangat cerdas, dia sengaja membiarkan diriku menghadiri acara yang sebelumnya telah ku tolak untuk aku hadiri. Entah apa yang Papaku rencanakan kali ini. Sial! Papaku memang cerdik.
Setelah selesai makan, tiba-tiba ponselku berbunyi menampilkan sebuah notifikasi yang berisi penarikan sejumlah uang dalam rekeningku, aku tersenyum lebar karena Mawar sudah menggunakan uangku. Semoga saja gadis itu cepat luluh dan membiarkan diriku untuk memilki tubuh indah itu. Ah! Membayangkannya saja membuat badanku terasa gerah.
Banyak perempuan cantik dan bertubuh indah yang pernah aku tiduri sebelumnya, akan tetapi saat pertama kali aku bertemu dengannya, entah mengapa aku langsung tertarik kepadanya, bukan karena paras cantik yang ditutupi oleh kacamata tebalnya atau tubuhnya yang sintal itu.
Entah lah, aku tidak mengerti perasanku, tapi aku meraskan desiran aneh dalam hatiku saat melihat tidak ada reaksi berlebih dari perempuan itu saat pertama kali melihat diriku. Ayolah, aku adalah anak emas dari keluarga sadlers. Menempati urutan no 18 keluarga terkaya di majalah Forbes sesuatu yang harus dibanggakan karena dengan uang, aku bisa memiliki apapun di dunia ini.
Terlalu banyak berfikir membuatku sadar bahwa aku masih punya pekerjaan yang masih harus aku selesaikan.
Aku mengangkat kepalaku ke arah pintu saat mendengar ketukan.
"Maaf Pak. Pak Dion, dia ingin-"
"Nic?" Dion menyela ucapan sekretarisku.
Aku memberikan kode kepada sekretarisku -Mauren, untuk keluar. Mauren mengangguk dan berbalik melangkah pergi tapi sebelum itu aku melihat Dion mengedipkan sebelah matanya dengan cengiran lebarnya kepada sekretarisku, "Jangan mengganggunya, dia sekretarisku dan jangan pernah berani merayunya." ucapku memperingati, karena aku tahu kebiasaan Dion, jika dia tertarik dengan wanita maka dia akan merayunya dan meniduri nya.
"Untuk apa kau kemari?" Tanyaku. Hari ini adalah hari yang sial untukku karena bertemu dengan dua orang yang selalu membuatku darah tinggi.
Entahlah, karakter Dion dan Ayahku itu sangat mirip, mungkin Dion adalah saudara kandungku yang sengaja di buang oleh ayahku karena malu memiliki anak geger otak sepertinya.
"Tidak ada hal penting sebenarnya," Dion duduk di sofa yang tadi ku tempati.
Aku memilih diam tidak perduli maksud kedatangannya menemuiku, ingatkan diriku untuk mengunci pintunya agar tidak ada yang menggangguku saat bekerja nanti.
"Kau mengetik? Seriosly? Bukankah kau memiliki banyak pegawai? seharusnya mereka saja yang mengerjakan, kau kan bos. Tidak usah cape-cape mengetik seperti itu,"
Aku mengedikkan bahuku tidak ingin menanggapi omongan tidak penting Dion, toh aku memang suka bekerja sendiri karena aku selalu merasa puas dengan hasil kerjaku.
Aku memang tidak suka kesalahan dalam bekerja, tapi jika masih tahap bisa diperbaiki olehku, aku tidak usah repot-repot mengeluarkan suaraku hanya untuk menyuruh orang lain memperbaikinya, paling aku langsung memecat orang itu dan mencari penggantinya yang lebih baik lagi.
Tentu saja karena kesalahannya sedikit, maka aku akan berbaik hati dengan memberikannya pesangon, berbeda dengan orang yang sudah membuatku kesal, aku akan langsung menendangnya keluar dari perusahaanku.
"Dito bilang istrimu itu sangat cantik," aku mengangkat satu alisku, dan jengah melihat cengiran yang berniat untuk mengusikku itu. "Dan dia mengatakan kepadaku bahwa dia menyukai istrimu pada pandangan pertama,"
Jari-jariku berhenti bergerak di atas tuts-tuts komputer. " Oh benarkah? Lalu dia mau menusuk sahabatnya begitu?" Tanyaku sarkas dengan kekehanku bermaksud mengejek perkataan Dion, lalu aku melanjutkan ketikanku di komputer.
"Sepertinya Iya," Dion membalas pertanyaanku dengan kekehan juga.
"Sebelum itu terjadi aku yang akan menusuknya menggunakan pisau dapur yang biasa di gunakan istriku untuk memasak, hingga membuatnya meregang nyawa di tempat,"
Dion seketika meringis."Kau sangat kejam Dude,"
"Tentu saja setelahnya aku juga akan membunuhmu jika kau juga menyukai istriku,"
"Apa kau bilang?" Dion tertawa "maaf saja, meskipun tubuhnya itu menggiurkan, tapi aku tidak suka dengan kacamata tebalnya. Aku akan malu jika membawanya ke pesta relasi ku nanti,"
Aku memejamkan mataku, entah kenapa aku jadi tersulut emosi saat mendengar perkataan Dion, tapi aku masih bisa menahan emosiku.
"Apa kau tidak marah, aku mengejek isterimu?"
"Tentu saja, tidak."
"Wah... kau memang masih Nico yang kukenal, ku kira kau sudah beneran hilang akal kerena menikahi gadis culun seperti itu."
Aku mengangkat bahu acuh dan benar saja setelah di abaikan oleh diriku, mulut sampah Dion akhirnya bisa diam juga.
Mauren masuk keruanganku dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat cangkir bening berisi susu cokelat tentu saja. Dion memang geger otak sudah tua tetap saja minumannya susu cokelat, dimana pun dan kapanpun ketika berkunjung dia akan meminta di buatkan susu cokelat.
"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya. Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya. "Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu. Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal. Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan. "Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"
Aku melangkahkan kakiku dengan santai menuju lift. Lalu tiba-tiba ponsel di saku celanku berdering, aku mengambilnya dan melihat nama mertuaku yang tertera disana. Bunyi ting terdengar, pintu lift pun terbuka bertepatan saat sambungan telponku sudah dimatikan di sebrang sana, menampilkan lorong yang hanya berisi satu pintu saja, aku menekan kode apartemenku dan langsung masuk kedalam. Berjalan kearah sofa dan langsung mendudukkan diriku disana, menyandarkan tubuhku yang terasa lelah. Apakah Mawar sudah tidak marah lagi padaku? Mengingat aku tidak pulang semalam dan siang ini baru menginjakan kaki di sini. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenagaku, semalam aku minum terlalu banyak sehingga pada saat pagi hari badanku menjadi lemas dan kepalaku pusing, untungnya aku masih bisa pergi ke kantor dan mengikuti rapat, setelah selesai rapat dengan kolegaku aku bersyukur tidak ada pekerjaan penting yang harus aku tangani siang ini, sehingga aku memilih untu
Nico tengah termenung duduk bersandar di sofa kamarnya, tatapannya kosong. Sesekali dia tersadar oleh suara petir lalu kembali melamun. Matanya terpejam dalam, keningnya mengkerut merasakan rasa sakit di hatinya. Flashback "Ayo cepat!" Teriaknya kesal, sebab wanita di belakangnya berjalan sangat lamban. Bruk "Aww... Hiks" Nico menghembuskan nafas kasar, dia turun dari golpcar dan menghampiri wanita lemah yang sedang menangis tersedu-sedu. Nico mengangkat satu alisnya ketika wanita itu mendongak, "Ck, jangan manja," ucapnya menatap Mawar dengan pandangan jijik. "Cepat berdiri atau kau ku usir dari sini," suaranya terdengar sinis dan tajam, membuat Mawar semakin mengeraskan isakan nya. "Kau sungguh ingin ku usir dari sini ya?" Mawar memejamkan mata, dia menggeleng. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Keningnya mengkerut, bibirnya dia gigit supaya isak tangis nya
Keluar dari lift kedua matanya langsung di manjakan dengan kemegahan mansion. Kedua kakinya berjalan santai lalu berbelok ke kanan menuju ruang makan yang berada di sayap kanan lantai satu. Nico selalu suka pemandangan di ruang makan, apalagi matahari bersinar cerah pagi ini, sinarnya menerobos masuk lewat jendela kaca besar menambah keindahan ruangan. Nico mengambil tempat di kursi yang biasa dia duduki. Dari kursi paling ujung, matanya bisa melihat danau dan banyaknya tanaman bunga Mawar yang memperindah pemandangannya pagi ini. Suara kicauan burung pun terdengar karena setiap pagi semua jendela kaca akan di buka, menambah udara segar yang masuk ke dalam ruang makan. Taman bunga Mawar, taman itu sengaja di buat Nico untuk Mawar, istrinya. Semenjak mengetahui Mawar pobia dengan danau, dia berin
"Apa kau sudah ingat? Itu benar dia, ya?" Farrel mengangkat kedua alisnya meminta jawaban dari Nico. Nico membulatkan matanya, dia menggeram rendah. "Kau sendiri, bagaiaman bisa mengingatnya?!" "Kau mencintainya," ucap Farrel dengan wajah serius. Nico memalingkan wajahnya enggan menatap Farrel. Dia bergerak gelisah di tempatnya. Farrel menggelengkan kepala, sudah jelas bahwa pria itu mencintainya tapi masih saja gengsi. "Aku tidak tahu Nic, saat melihatnya aku langsung bisa mengingatnya, aneh bukan?" Nico mendengus tidak suka. "Tidak aneh untuk seorang pedofil sepertimu," tiba-tiba Nico berdehem, karena tenggorokannya terasa kering. Seorang pedofil rasanya lebih cocok untuk pria seperti dirinya. Tapi dia hanya tertarik pada gadis remaja itu saja. Lagipula kejadian itu sudah lama, bahkan dia sudah melupakan gadis itu. Tapi siapa sangka ternyata dimasa depan gadis itu menjadi istrinya. "Haha, i'am not," Nico memicingk
Nico kembali ke mansion pada saat malam, memang selain di puncak, Bogor dan Bali dia mempunyai mansion di Surabaya, sengaja membelinya karena beberapa bisnis hotelnya terdapat di kota ini. Selama satu tahun menetap di indonesia, Nico sudah sukses mendirikan beberapa hotel mewah berbintang dan sedikit kewalahan karena dia juga memiliki banyak hotel dan kantor pusat yang bergerak di bidang real estat yang berada di Norwegia. Sesampainya di mansion, Nico berdecak jengah melihat ketiga temannya yang tengah bersantai seakan berada di rumah sendiri. "Jika kalian tidak ingin ku usir sekarang, bawalah pelacur itu pergi dari mansionku." Nico melanjutkan langkahnya, meninggalakan mereka. Empat wanita yang sedang memanjakan mangsanya itu mendongak dan matanya langsung melebar tampak kaget sekaligus tidak menyangka bisa bertemu dengan Nico, tuan muda dari keluarga Sadlers. "Cih! Kau ini mengganggu saja!" Farrel berdecih tidak suka saat wanita jalang itu menghenti
Nico merasa sedikit jengkel karena sejak tadi ketiga pria itu hanya diam, mereka seperti kehilangan fungsi mulutnya untuk berbiacara. "Ekem.."Nico meninggikan suara dehemannnya dan sukses membuat ketiga pria itu mendongakan kepalanya dan menatap ke arahnya. "Nic, aku-- awshh" Farrel yang berada di sebelah Dion menendang kecil kaki Dion, sedangkan Dito melototkan mata, memberi peringatan kepada Dion agar diam, jangan mencari keributan lagi. "Apa? Aku hanya ingin meminta maaf," ucap Dion kesal dengan suara berbisik agar tidak terdengar oleh Nico. "Jangan sekarang bodoh, atau kita akan di tendang dari mansion ini," peringat Farrel. "Cih, kalian seperti orang miskin saja. Aku akan menyewa Mansion yang lebih bagus dari milik Nico ini," "Dasar bodoh! Bukan itu maksud Farrel. Jika kita di usir, jelas Nico sedang marah. Kita tahu bagaimana jika dia seda
"Apa kalian akan terus saling menatap seperti itu?" Tanya Farrel, suaranya sedikit bergema karena sejak tadi ruangan makan yang sedang dia tempati hanya berisi keheningan saja. Dua perempuan itu menoleh kearahnya dan menatap sinis, membuat Farrel menelan ludahnya paksa. "Apa?" Tanyanya heran. Kemudiam Nico datang dengan pakaian yang biasa digunakan oleh pria itu untuk pergi ke kantor. Tanpa sadar, Farrel menghembuskan nafas leganya, bisa mati berdiri jika dia harus bertahan diantara dua macan betina yang sedang perang melalui tatapan maut mereka. "Kau punya istri lagi, Nic?" Tanya Farrel heran. "Siapa yang kau maksud?" Nico menatap Farrel heran lalu matanya memperhatikan pekerjaan pelayan yang tengah memindahkan sarapan keatas piringnya. "Biar aku saja." Dua perempuan itu kompak berbicara, lalu sama-sama berdiri mendekati Nico, mereka menatap satu sama lain dengan pandangan sinis. "Duduk saja." perintah Nico, merek
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa