Dua bulan kemudian....
Aku tengah berada di bandara, selama dua bulan ini aku terpaksa harus ke Norwegia demi mengurus perusahaanku yang sedang mengalami permasalahan, merasa sedikit bersalah karena meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan setelah hari pernikahan kami.
Aku memasuki mobil perusahaan yang sengaja di panggil untuk menjemputku, karena mobilku sendiri berada di apartemenku yang cukup jauh dari bandara. Setelah pesta pernikahan kami berakhir waktu lalu, aku langsung memboyong Mawar tinggal di Apartmentku untuk sementara waktu.
Hal Pertama yang aku lihat setelah memasuki Apartment adalah ruang tamu sekaligus tempat bersantai untuk menonton televisi. Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah tapi tidak dapat menemukan dimana keberadaan istriku.
Langkahku terhenti saat melihat istriku tengah berada di ruang makan bersama seorang lelaki, aku mengerutkan kening nampak tidak asing dengan lelaki tersebut.
Mawar terkejut saat matanya menangkap sosok diriku yang sedang memperhatikan interaksi mereka, dia langsung berdiri dan menghampiriku saat tidak ada pergerakan dariku untuk mendekat ke arahnya.
"Nic? Kamu sudah pulang?" Tanyanya sambil tersenyum manis lalu memperbaiki letak kacamatanya, tampak gugup.
Lelaki yang sedari tadi membelakangiku langsung menoleh, aku bisa melihat matanya yang sedikit melebar terkejut, tapi tidak lama lelaki itu ikut berdiri dan menghampiriku.
"Sejak kapan kau kembali?" Tanyanya menggaruk kepala, dia berdehem karena sejak tadi aku tidak menjawab pertanyaannya ataupun pertanyaan dari Mawar. "Tadinya aku ingin mampir sebentar bertemu denganmu. Kebetulan sekarang kau sudah tiba, ada yang ingin aku bahas dengan mu, Nic."
Aku menatap Mawar sekilas. "Kita bicara di ruang kerjaku." aku berbalik dan berjalan meninggalkan dapur, Dito mengikutiku dari belakang.
"Apa yang mau kau bicarakan?" Ucapku setelah aku duduk di sofa yang berada di ruang kerja bersebelahan dengan Dito, senagaja membawa pria itu kesini karena aku tidak ingin Mawar mendengar percakapan kami.
"Aku sangat suka masakan istrimu, sangat lezat," Dito mengacungkan dua jempolnya sebagai apresiasi. " Istrimu itu sangat culun ya, tapi saat pesta pernikahanmu aku tidak bisa membohongi diriku bahwa dia wanita paling cantik yang pernah aku temui. Aku rasa kau sangat beruntung memilikinya," ucap Dito menepuk pundak ku.
"Bisakah kau langsung to the point saja?" Tanyaku sinis, aku merasa tidak suka dengan ucapannya yang terlalu memuji istriku.
Dito menyeringai sampai giginya terlihat dengan jelas. "Baiklah suami pencemburu. Jadi kedatanganku ke sini, aku berniat berinvestasi di hotel mu yang di Bali dan-"
"Ck! ku kira ada hal yang penting, kita bicarakan saja di kantor besok," ucapku tidak sabar, aku hendak berdiri tapi Dito mencegahku.
"Tunggu dulu kawan. Mantan kekasihmu kau masih ingat? Dia mendatangiku dan terus-menerus menanyakan mu,"
"Laura?" Tanyaku memastikan.
"Tunggu..tunggu, memangnya kau mempunyai mantan berapa? Setahuku hanya wanita itu saja,"
"Aku hanya memastikannya bodoh! Aku bukan pemain wanita seperti dirimu,"
Bukannya tersinggung, Dito malah terkekeh membenarkan. "Dia menanyakan dimana kau tinggal dan aku memberitahunya,"
Mataku langsung menajam memberikan peringatan kepada Dito. "Apa kau sudah gila huh? Aku sudah menikah dan-"
"Dan aku tidak memberikan alamatnya, aku hanya mengatakan kau tinggal di sebuah apartemen." Ucap Dito sambil memposisikan tubuhnya untuk bersandar di sofa dengan kakinya yang di angkat ke atas meja, aku langsung menendang kaki itu agar segera diturunkan kembali. "Apa aku boleh melanjutkan makan? Sebenarnya aku masih lapar," ucapnya dengan memelas.
"Boleh saja. Satu suap, satu tinju," Aku bangkit lalu melepas jas dan di letakan di lengan sebelah kiriku,"Sebaiknya kau keluar sekarang, ck! mengganggu saja!" Ucapku sinis lalu meninggalkan Dito yang terkekeh di disana.
Aku menuruni tangga, lalu berjalan ke ruang makan ingin menemui istriku, setelah sampai di ruang makan aku melihat dia sedang menungguku lalu dia tersenyum saat melihatku melangkah mendekatinya. "Apa kau sudah selesai?" Tanya Mawar.
Aku tidak menjawab tapi langsung duduk bersebelahan dengannya, menyampaikan jas di kursi sebelah. "Kau masak apa? Aku lapar,"
Aku melihat dia menyunggingkan senyumnya. "Aku masak oreg kangkung, sayur asem dan bakwan jagung,"
Aku mengerutkan kening."Apa?" Tanyaku heran, aku hanya tahu bakwan jagung saja, karena Mamaku pernah membuat itu.
Mawar juga mengerutkan keningnya dan berkata, "Jangan bilang kau tidak pernah memakan makanan ini ya?"
Aku meregangkan dasi yang terasa mencekik leherku. "Aku pernah mencoba beberapa kali dan lupa dengan rasanya," jawabku jujur, makanan ini memang tidak asing tapi aku sudah lupa dengan rasanya, karena tidak pernah memakannya lagi saat aku tinggal di Norwegia.
Mawar tersenyum manis kearahku, "Kalau begitu, kau harus mencobanya lagi, aku jamin kau akan suka." ucapnya riang.
Aku menaikkan alisku,"Biar ku coba."
Mawar mengangguk dengan senyum lebar nya, dia langsung sigap berdiri mendekatiku dan menyendok nasi serta lauknya, memindahkannya ke piringku.
Aku memejamkan mata, diam-diam hidungku menghirup aroma strawberi dan wangi apel, entahlah tapi yang jelas istriku ini sangat wangi. Aku membuka mata dan menoleh ke samping, menyunggingkan senyum dikala melihat wajahnya dari jarak sedekat ini, sangat dekat hingga membuat jantungku berdebar.
"Kau mau minum air putih atau yang ini?" tanyanya lalu menoleh kearahku.
Dia terkejut tapi aku segera menahan tangannya saat dia akan menjauh, kami saling memandang dalam jarak yang dekat, tak lama tanganku bergerak menyentuh tengkuknya, mataku terpaku, memperhatikan bibirnya yang terlihat menggoda.
Lalu kedua ibu jariku mengelus pipi Mawar dan semakin naik ke atas, mengusap kedua alisnya sebentar lalu melepas kacamata tebalnya itu.
"So beautiful." ucapku dengan suara serak.
Mawar membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu tapi aku yang sudah tidak tahan ingin merasakan bibir itu langsung menarik tengkuknya dan membungkam bibirnya dengan bibirku.
Aku melumat bibir atas nya dengan sangat lembut menggoda lalu lidahku langsung masuk ke dalam karena sejak tadi mulutnya sudah terbuka, dia pasti terkejut, sehingga membuatku lebih mudah melancarkan aksiku.
Tanganku tidak tinggal diam, aku memeluk pinggangnya dan menariknya hingga dia duduk di pangkuanku dengan keadaan menyamping. Tanganku berpindah menyentuh pahanya yang terbungkus celana joger panjang lalu mengelusnya perlahan, sentuhanku cukup breaksi untuknya. Dia menggeliat, tangannya mencengkram kaus di dadaku.
Ketika tanganku bergerak menuju pangkal pahanya ingin menyentuh lebih dalam, dia memberontak minta di lepaskan, dengan sangat terpaksa aku menghentikan ciumaku.
"Tidak sekarang, ku mohon," pintanya dengan nafas terengah-engah.
Rasanya aku hampir gila hanya karena mencecap mulutnya saja milikku sudah bereaksi. Sial! Sial! Sangat murahan sekali diriku.
Saat Mawar akan beranjak dari pangkuanku tidak sengaja pantat sekal itu menekan milikku, membuatku repleks menahannya agar tidak terlalu banyak bergerak.
Sepertinya Mawar panik saat merasakan miliku yang mengeras, hingga tanpa sadar pantat itu malah melakukan banyak gerakan. Sadarkan dia bahwa kelakuannya itu membuat milikku memberontak di dalam sana. Aku menahan nafasku, ini sangat menyiksa.
Apakah dia senagaja ingin menggodaku heh? Sialan!
Aku menarik tangan Mawar sampai dada besarnya itu bertubrukan dengan dadaku dan aku langsung melahap bibirnya dengan penuh nafsu.
"Mmmppphh" Mawar mendorong bahu ku, tapi aku bergeming dan malah semakin memperdalam ciumanku. Ciuman kami baru aku hentikan saat Mawar memberontak hampir kehabisan nafas. "Aku mohon tunggu aku sampai aku siap!" ucapnya memohon dengan setengah berteriak.
Aku memandang istriku dengan pandangan sayu dengan jarak kami yang sangat dekat sehingga lagi-lagi aku bisa mencium aroma apel yang memabukan. "Kapan kau siap?" Tanyaku semakin mengertakan pelukanku di pinggang Mawar sehingga dadanya yang besar itu menempel di dada bidangku membuat milikku yang dibawah sana semakin sakit.
Mawar sedikit menjauhkan wajahnya karena bibirnya hampir menempel dengan bibirku, lalu dia menundukkan kepalnya. "Aku tidak tahu, aku...masih ragu dengan mu," ucapnya dengan memainkan bagian kemejaku yang mencuat keluar.
Aku membawanya ke pelukan, kudekap dengan sangat erat sungguh terasa nyaman dan aku sangat menyukainya. Aku sedikit menundukkan wajahku, meletakannya di dada Mawar lalu dengan tidak tahu malunya menghirup aroma gadis itu sampai mengeluarkan suara yang membuat Mawar gelisah di atas milikku. Sial! Pantat sekal itu sungguh nakal! "Kau wangi dan membuatku ingin menidurimu sekarang juga," Setelah mengatakan itu dengan berat hati aku melepaskan pelukanku dan membiarkan Mawar beranjak dari pangkuanku.
Mawar menatap bingung saat melihatku bangkit dan melangkah menjauh. "kau mau kemana, bukankah tadi ingin makan?"
"Biarkan saja makanannya disana, aku akan mandi terlebih dahulu." ucapku sambil menunjukan wajah kecewa dengan sengaja, berharap dia menyadarinya dan merasa bersalah karena telah menolak ku.
Mawar hanya mengangguk, ia memegang dadanya dan terduduk lemas di kursi.
"Kau tidak bertanya padaku kemana aku pergi selama dua bulan ini?" Tanyaku saat kami tengah berada di sofa tempat yang biasa ku pakai untuk bersantai dengan makanan yang tersaji di atas meja, tepat di depanku.
"Kau bekerja, ke Norwegia," jawabnya.
Aku mengerutkan keningku heran, aku tidak memberitahu siapapun ketika aku berangkat ke Norwegia. "Siapa yang memberitahu mu?"
"Papa" dia menoleh ke arahku dengan raut yang tidak bisa ku baca, mungkin dia marah karena aku tidak memberinya kabar. Tentu saja, aku memang bodoh!
"Setelah bangun dan tidak menemukan mu dimana pun, aku mengira kau pergi bekerja. Tapi setelah seminggu kau tidak ada kabar aku menelpon papa untuk menanyakan keberadaan mu. Aku pikir kau kabur dan meninggalkan aku disini,"
Aku terkekeh mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan olehnya. "Tidak mungkin aku meninggalkanmu," Lalu aku menyendokkan kembali makanan ke dalam mulutku, ternyata rasanya tidak seburuk yang terlintas dalam pikiranku.
"Aku minta maaf," ucapku sungguh-sungguh.
Mawar menunjukan raut tertekuk, seperti tidak puas terhadap permintaan maafku. "Aku ingin membangunkan mu tapi aku tak tega, aku tahu kau lelah karena malam pertama kita yang sangat panas itu,"
Aku langsung bisa melihat semburat merah di wajahnya, lalu aku terkekeh gemas.
"Kau menyindirku?" Tanyanya.
"Sebenarnya, iya," jawabku dengan jujur.
"Maafkan aku, aku hanya belum siap. Kau tahu aku masih ...mmm..."
"Ya aku tahu, aku akan menunggumu sampai kau siap nanti,"
Mawar menunduk, lalu tiba-tiba dia mengangkat kepalanya kembali. "Mmm... Apa kau pernah melakukan itu?"
Aku mengangkat kedua alisku. "Melakukan apa?"
"Kau tahu maksudku,"
Aku terkekeh, aku tidak tahu bahwa ekspresinya sangat menggemaskan jika perempuan itu sedang malu. "Tentu saja, aku ini seorang pria,"
Mawar mencebikkan bibirnya, "Ya, pria memang susah menahan nafsunya," ucapnya sinis, membuatku mengulum senyum.
Aku berdehem lalu meminum air karena aku sudah selesai makan. "Sepertinya kau paham," ucapku lalu berpindah posisi duduk agar lebih dekat dengannya.
Mawar yang menyadari telah salah berbicara, segera menjauhkan diri dan mendorong dada bidangku menggunakan kedua tangannya. "Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan muka memerah, membuatku sangat gemas ingin mengulum pipi merona itu.
"Tentu saja karena pria memang susah menahan nafsunya bukan?" Aku menarik pinggangnya, agar menempel kepadaku. Dia hanya menunduk tampak malu. Aku jadi ingin menggodanya, hanya sebentar saja, aku janji.
"Aku sungguh tidak tahan," ucapku berbisik di telinga Mawar dengan seduktip.
"T-unggu, kau-"
"Apa kau mau beralasan kau masih belum siap? Sampai kapan, Mawar?" Aku mengangkat tanganku perlahan, sesekali mengelus pipinya itu yang merona, lalu melepas kacamatanya. "Namamu sangat indah," ucapku berbisik di telinganya. "Seperti wajahmu. Sangat cantik." aku mengecup singkat telinganya, membuat wanita itu menjauhkan telinganya.
Aku tersenyum melihat semburat merah di pipinya semakin terlihat berwarna merah. Aku mendekatkan wajahku denan perlahan, ingin merasakan bibir itu kembali, tapi dia malah memalingkan wajahnya ke samping, alhasil aku hanya berhasil mencium pipinya saha. Lalu tiba-tiba dia bangkit dan aku geram dibuatnya. Penolakan lagi!
"Aku sungguh tidak bisa, bukan kah melakukan itu harus dasar suka sama suka? Aku sungguh belum siap," ucapnya sedikit gemetar.
Aku menghembuskan nafas kasar, lalu menarik tangan Mawar sedikit kasar membuat dia terjengkang dan berakhir duduk di pangkuanku.
Tanganku menyentuh rambutnya, mengelusnya perlahan, lalu bergerak turun mengusap punggungnya dengan gerakan pelan.
"Baiklah, aku tidak akan melakukannya. Tapi aku ingin menciumu, hanya ciuman. Aku janji." pintaku dengan penuh harap.
Melihat keterdiaman Mawar, aku langsung menerjang bibir itu. Setidaknya saat aku mencecap bibir manisnya, tidak ada penolakan darinya meskipun dia hanya diam saja seperti patung, tapi tidak masalah bagiku.
Aku semakin memperdalam ciumanku, lidahku menerobos masuk mencari pasangannya, saat aku menemukannya aku langsung menghisap lidahnya dengan keras, hingga telingaku mendengar desahan yang keluar dari mulutnya.
Aku bersorak riang dalam hati saat Mawar tak berdaya dengan ciumanku, perlahan aku mendorong bahunya agar dia tertidur di atas sofa. Mengangkat kedua tangannya lalu ku letakan di atas kepalanya.
Aku langsung menerjang lehernya, memberikan kecupan dan jilatan disana. Tapi aksiku terhenti saat merasakan tubuhnya yang menegang dan terasa kaku.
"Hanya ciuman," ucapnya memperingati.
Aku menggigit leher Mawar seperti vampir sehingga membuatnya tertawa karena kegelian. "Tidak bisakah kita melanjutkannya?" Tanyaku yang masih menikmati leher putih mulus miliknya.
Mawar menggeleng kuat. "Tidak untuk sekarang, aku belum yakin kepadamu,"
"Baiklah, satu ciuman lagi bagaimana?"
"Tidak,"
"Pliss."
"Tidak, Nico,"
Aku merengek dan langsung menyembunyikan kepalaku semakin dalam di leher Mawar, sesekali mencium leher itu lalu tanganganku dengan nakal meremas dada sebelah kanan miliknya yang terasa lembut dan sedikit kebesaran digenggaman tanganku. Aku menelan ludahku susah payah, aku sangat menginginkan ini. Aku ingin menghisapnya dan
Plak
"Hentikan ku bilang,"
Aku memanyunkan bibirku dan mengusap bahuku yang kena tampar olehnya."Baiklah," aku bangkit dan duduk seperti semula, membiarkannya lepas dari Kungkungan ku.
"Aku mengantuk, aku duluan ya," Mawar bangkit dari duduknya, lalu dia mengambil piring beserta gelas kotor yang sehabis aku gunakan tadi.
"Selamat malam." ucapku. Saat aku melihatnya tengah berjalan menaiki tangga.
Mawar mengehetikan langkahnya, dia menoleh dan tersenyum ke arahku tampak tidak merasa bersalah sama sekali. "Selamat malam." ucapnya, Lalu pergi dari sana meninggalkanku dalam kesendirian dan lipatan gairah yang selalu tertahan.
"Ck, jika tahu akan begini lebih baik tidak usah menikah saja." gerutuku kesal, pasalnya ketika aku belum menikah, aku bebas berhubungan dengan wanita mana saja. Sekarang aku sudah terikat dengan pernikahan dan tidak mungkin bisa bebas seperti dulu lagi.
Aku harus dapat jatah dari istriku, jika dia menolak terus menerus mungkin meniduri wanita lain tidak masalah.
Aku bangkit dari sofa, lalu berjalan ke kamar yang bersebelahan dengan kamarnya, tidak mungkin aku memaksa masuk kedalam kamar milikiku yang sekarang di tempati Mawar, aku tidak bisa menahan nafsuku lagi jika harus tidur di ranjang yang sama dengannya.
"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi. Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar. Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia. Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri. "Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga," Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan. "Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku. "Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya mas
"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya. Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya. "Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu. Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal. Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan. "Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"
Aku melangkahkan kakiku dengan santai menuju lift. Lalu tiba-tiba ponsel di saku celanku berdering, aku mengambilnya dan melihat nama mertuaku yang tertera disana. Bunyi ting terdengar, pintu lift pun terbuka bertepatan saat sambungan telponku sudah dimatikan di sebrang sana, menampilkan lorong yang hanya berisi satu pintu saja, aku menekan kode apartemenku dan langsung masuk kedalam. Berjalan kearah sofa dan langsung mendudukkan diriku disana, menyandarkan tubuhku yang terasa lelah. Apakah Mawar sudah tidak marah lagi padaku? Mengingat aku tidak pulang semalam dan siang ini baru menginjakan kaki di sini. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenagaku, semalam aku minum terlalu banyak sehingga pada saat pagi hari badanku menjadi lemas dan kepalaku pusing, untungnya aku masih bisa pergi ke kantor dan mengikuti rapat, setelah selesai rapat dengan kolegaku aku bersyukur tidak ada pekerjaan penting yang harus aku tangani siang ini, sehingga aku memilih untu
Nico tengah termenung duduk bersandar di sofa kamarnya, tatapannya kosong. Sesekali dia tersadar oleh suara petir lalu kembali melamun. Matanya terpejam dalam, keningnya mengkerut merasakan rasa sakit di hatinya. Flashback "Ayo cepat!" Teriaknya kesal, sebab wanita di belakangnya berjalan sangat lamban. Bruk "Aww... Hiks" Nico menghembuskan nafas kasar, dia turun dari golpcar dan menghampiri wanita lemah yang sedang menangis tersedu-sedu. Nico mengangkat satu alisnya ketika wanita itu mendongak, "Ck, jangan manja," ucapnya menatap Mawar dengan pandangan jijik. "Cepat berdiri atau kau ku usir dari sini," suaranya terdengar sinis dan tajam, membuat Mawar semakin mengeraskan isakan nya. "Kau sungguh ingin ku usir dari sini ya?" Mawar memejamkan mata, dia menggeleng. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Keningnya mengkerut, bibirnya dia gigit supaya isak tangis nya
Keluar dari lift kedua matanya langsung di manjakan dengan kemegahan mansion. Kedua kakinya berjalan santai lalu berbelok ke kanan menuju ruang makan yang berada di sayap kanan lantai satu. Nico selalu suka pemandangan di ruang makan, apalagi matahari bersinar cerah pagi ini, sinarnya menerobos masuk lewat jendela kaca besar menambah keindahan ruangan. Nico mengambil tempat di kursi yang biasa dia duduki. Dari kursi paling ujung, matanya bisa melihat danau dan banyaknya tanaman bunga Mawar yang memperindah pemandangannya pagi ini. Suara kicauan burung pun terdengar karena setiap pagi semua jendela kaca akan di buka, menambah udara segar yang masuk ke dalam ruang makan. Taman bunga Mawar, taman itu sengaja di buat Nico untuk Mawar, istrinya. Semenjak mengetahui Mawar pobia dengan danau, dia berin
"Apa kau sudah ingat? Itu benar dia, ya?" Farrel mengangkat kedua alisnya meminta jawaban dari Nico. Nico membulatkan matanya, dia menggeram rendah. "Kau sendiri, bagaiaman bisa mengingatnya?!" "Kau mencintainya," ucap Farrel dengan wajah serius. Nico memalingkan wajahnya enggan menatap Farrel. Dia bergerak gelisah di tempatnya. Farrel menggelengkan kepala, sudah jelas bahwa pria itu mencintainya tapi masih saja gengsi. "Aku tidak tahu Nic, saat melihatnya aku langsung bisa mengingatnya, aneh bukan?" Nico mendengus tidak suka. "Tidak aneh untuk seorang pedofil sepertimu," tiba-tiba Nico berdehem, karena tenggorokannya terasa kering. Seorang pedofil rasanya lebih cocok untuk pria seperti dirinya. Tapi dia hanya tertarik pada gadis remaja itu saja. Lagipula kejadian itu sudah lama, bahkan dia sudah melupakan gadis itu. Tapi siapa sangka ternyata dimasa depan gadis itu menjadi istrinya. "Haha, i'am not," Nico memicingk
Nico kembali ke mansion pada saat malam, memang selain di puncak, Bogor dan Bali dia mempunyai mansion di Surabaya, sengaja membelinya karena beberapa bisnis hotelnya terdapat di kota ini. Selama satu tahun menetap di indonesia, Nico sudah sukses mendirikan beberapa hotel mewah berbintang dan sedikit kewalahan karena dia juga memiliki banyak hotel dan kantor pusat yang bergerak di bidang real estat yang berada di Norwegia. Sesampainya di mansion, Nico berdecak jengah melihat ketiga temannya yang tengah bersantai seakan berada di rumah sendiri. "Jika kalian tidak ingin ku usir sekarang, bawalah pelacur itu pergi dari mansionku." Nico melanjutkan langkahnya, meninggalakan mereka. Empat wanita yang sedang memanjakan mangsanya itu mendongak dan matanya langsung melebar tampak kaget sekaligus tidak menyangka bisa bertemu dengan Nico, tuan muda dari keluarga Sadlers. "Cih! Kau ini mengganggu saja!" Farrel berdecih tidak suka saat wanita jalang itu menghenti
Nico merasa sedikit jengkel karena sejak tadi ketiga pria itu hanya diam, mereka seperti kehilangan fungsi mulutnya untuk berbiacara. "Ekem.."Nico meninggikan suara dehemannnya dan sukses membuat ketiga pria itu mendongakan kepalanya dan menatap ke arahnya. "Nic, aku-- awshh" Farrel yang berada di sebelah Dion menendang kecil kaki Dion, sedangkan Dito melototkan mata, memberi peringatan kepada Dion agar diam, jangan mencari keributan lagi. "Apa? Aku hanya ingin meminta maaf," ucap Dion kesal dengan suara berbisik agar tidak terdengar oleh Nico. "Jangan sekarang bodoh, atau kita akan di tendang dari mansion ini," peringat Farrel. "Cih, kalian seperti orang miskin saja. Aku akan menyewa Mansion yang lebih bagus dari milik Nico ini," "Dasar bodoh! Bukan itu maksud Farrel. Jika kita di usir, jelas Nico sedang marah. Kita tahu bagaimana jika dia seda
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa