"Nic!" Dion memanggil Nico ingin memberitahukan bahwa Dito sudah dilarikan kerumah sakit. Nico tidak sengaja melemparkan kucing kepada Dito, membuat Dito pingsan di tempat.
Dion meringis melihat wajah Nico yang berang saat melihat dirinya, lalu berjengkit kaget ketika melihat Mawar tak sadarkan diri dalam gendongan Nico.
"KAU GILA, BRENGSEK!!" Nico meraung frustrasi.
Nico segera meletakan Mawar di tepi danau, lalu menekan dadanya, memberinya pertolongan pertama. "Brengsek!" Makinya marah Karena tidak ada pergerakan apapun pada gadis itu, Nico mendekatkan mulutnya, tanpa ragu dia memberikan nafas buatan. "SHIT!"
Tidak berhasil!
Nico menangkap tubuh kurus itu ke dalam pelukannya, wajahnya terlihat sangat panik. "PANGGIL DOKTER BODOH!!" Teriaknya penuh dengan amarah.
Dengan panik Dion langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, dia mengumpat karena ponselnya sempat terjatuh. Dion panik karena Nico seperti orang kesetanan, bahkan pria itu tak hentinya memberi nafas buatan pada Mawar, padahal cara itu tidak berhasil sejak tadi.
Sial! Dokter mana yang harus dia hubungi.
Nico mengacak rambutnya frustasi, tanpa menunggu lagi dia langsung menggendong Mawar ala bridal dan berlari secepat yang dia bisa.
"Nic, aku sudah memanggil Dokter. Sebentar lagi dia akan kemari" ucap Dion ikut berlari di samping Nico.
"Aku tidak bermaksud seperti itu Nic, aku tidak tahu jika dia tidak bisa bere-"
"DIAM, BODOH!!" Dion tersentak kaget, lalu mengusap dadanya, membiarkan Nico memasuki mansion.
"SIAPKAN MOBIL!" Raung Nico saat sudah memasuki ruang utama mansion.
Para pelayan yang sedang bekerja tersentak kaget mendengar teriakan Nico, mereka menatap khawatir ke arah Mawar yang berada di dalam gendongan Nico.
Setelah sampai di luar, Nico langsung memasuki mobil yang sudah di siapkan oleh pelayan. Dia akan membawa Mawar langsung ke rumah sakit, jika menunggu dokter tiba ke rumahnya, dia takut dokter itu terlambat dan Nico tidak mau Mawar mati, dia masih belum puas membuatnya menderita, jadi Mawar tidak boleh mati sekarang.
"SIAL, DION!" Raungnya.
Nico menelan salivanya, setelah melewati gerbang kedua yang dijaga oleh empat orang penjaga, sebentar lagi dia akan memasuki jalan raya yang penuh dengan kendaraan. Nico menajamkan matanya bersiap menyalip mobil apa saja yang menghalanginya.
Nico bersorak dalam hati karena jalanan tidak seramai biasanya, dia semakin menambah kecepatan mobilnya, tidak perduli jika nanti ada polisi yang mengejarnya.
"Uhuk...Uhuk"
Nico menoleh ke samping, perasaanya menjadi sedikit lega saat Mawar batuk dan mengeluarkan air, lalu gadis itu tidak sadarkan diri kembali. "Bangun bodoh! Kau tidak boleh mati! Sial! Sial!" Nico panik, kakinya semakin menancap gas menambah kecepatan mobilnya.
Pintu itu sudah lama tertutup, dan tidak ada tanda akan segera dibuka. Nico masih bergeming duduk di kuris, bajunya yang basah karena menolong Mawar tidak dia perdulikan. Dia tidak perduli jika nanti akan sakit, dia hanya butuh kabar Mawar secepatnya.
"Bagaimana Dok, keadaannya?" Tanya Nico, menghampiri Dokter yang baru saja keluar dari ruangan dimana Mawar sedang ditangani.
Dokter itu menunjukkan wajah muram. "Dia, koma,"
Nico mencengkram kerah seragam dokter dengan erat sehingga membuat Dokter itu hampir tercekik. "Bagaimana bisa? Dia hanya tenggelam, tidak mungkin sampai koma!" Teriaknya menatap Dokter itu dengan berang.
"Anda tenanglah," Dokter mencoba melepas cengkraman Nico di kerah bajunya.
Nico mengacak rambutnya frustasi. "Tidak mungkin istriku koma!"
"Sebaiknya hal ini kita bicarakan di ruangan saya," Dokter menatap Nico perihatin. "Mari."
Nico memukul kepalanya seperti orang bodoh, dia jatuh tersungkur di lantai. Separuh jiwanya kini telah lenyap saat mendengar kenyataan itu, Nico bangkit dengan tubuh yang terasa lemas dan mengikuti Dokter menuju ruangannya.
"Jadi begini tuan, paru-paru istri anda mengalami kerusakan. Ini di sebabkan karena paru-parunya menampung begitu banyak air dan terlambat untuk di keluarkan," Dokter itu memberi jeda, keningnya mengernyit menatap Nico dengan tatapan curiga. "Apa istri anda mencoba untuk bunuh diri sebelumnya?" Jedanya. "Kerusakan itu tidak akan terjadi jika paru-paru istri anda hanya sekali atau dua kali terkena air,"
Nico menumpu kepala dengan kedua tangannya di atas meja, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian tadi pagi saat dia membiarkan Mawar tenggelam di kolam, dia mengacak rambutnya frustasi. Bodoh! Bodoh! "Aku membiarkannya tenggelam tadi pagi, lalu pada siang harinya dia tenggelam di danau karena ada orang bodoh yang sengaja mendorongnya,"
Dokter itu sedikit terkejut. Seharusnya dia langsung melaporkan kejadian ini pada polisi, ini sudah jelas kasus tindak penyiksaan, tapi dia takut untuk melaporkannya, siapa yang tidak kenal kelaurga Sadlers?
Keluarganya jelas masih butuh makan dan dia tidak mungkin bertindak gila dengan melaporka Nico pada polisi, bisa miskin tujuh turunan jika dia nekat melakukan itu.
"Apakah dia menderita aquaphobia sebelumnya? Itu Istilah untuk orang yang mempunyai ketakutan berlebih terhadap kolam, danau atau sungai dan sejenisnya,"
Nico mengangguk lemah. Entah sudah berapa kali kata umpatan dalam hatinya dia sebut untuk dirinya sendiri. Dia tahu Mawar memiliki fobia itu tapi sengaja mengabaikannya dengan beralasan sebagai hukuman untuk perempuan itu.
"Secara keseluruhan keadaannya baik, kerusakan di dalam paru-parunya perlahan akan membaik karena itu tidak terlalu parah, tapi tidak dalam jangka waktu yang sebentar,"
Nico menghembuskan nafas lega, setidaknya paru-paru itu masih berfungsi dan akan pulih. Nico mengira dirinya akan kehilangan Mawar, jika itu terjadi dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
"Lalu, bagaimana dia bisa koma?"
"Istri anda dalam keadaan koma bukan karena ada masalah dengan paru-parunya, dia sedang terjebak dengan jiwanya sendiri. Seperti tidak mempunyai hasrat untuk bangun kembali, saya rasa itu juga dipengaruhi karena pobia nya," Dokter menjeda. "Keadaan ini lebih berbahaya dari pada orang yang mengidap kanker sekalipun, jika penderita kanker bisa di sembuhkan dengan melakukan berbagai operasi, tapi keadaan istri anda yang kehilangan semangat untuk hidup tidak bisa saya prediksi kapan dia akan sadar kembali, bisa jadi istri anda akan selamanya seperti itu. Itulah mengapa keadaannya lebih buruk daripada pasien penderita kanker sekalipun,"
"Teruslah mengajaknya berbicara, karena hal tersebut akan membantu memancing kesadarannya, istri anda butuh seseorang yang berarti dalam hidupnya untuk terus berada di sampingnya dan kita harus percaya bahwa keajaiban itu ada." Dokter meyakinkan Nico karena sedari Nico hanya diam memandangi meja dengan tatapan kosong. Dokter itu merasa heran dengan sikap Nico yang berbanding terbalik dengan pengakuan jahatnya barusan.
Nico keluar dari ruangan dokter dengan perasaan hampa, apakah ini balasan atas semua perlakuannya kepada istrinya? Rasanya begitu tidak adil! Kenapa sesakit ini? Ini tidak benar, Nico menggelengkan kepalanya.
Seharusnya dia tidak boleh sesakit ini, seharsunya dia tidak boleh menyesal mengetahui wanita sialan itu koma. Nico menggeleng kuat, meremas rambutnya kasar, kakinya terus melangkah menuju pintu keluar rumah sakit.
Tangannya mencengkram kuat kemudi dan pandangannya yang tajam lurus menatap jalan, dia memelenkan laju kendaraannya saat hujan deras turun dengan tiba-tiba.
Lalu karena terbawa suasana, pikirannya berkelana kemasa satu tahun lalu.
FLASHBACK
Nico Pov
Ibukota memang tidak pernah mati aktivitas meskipun hujan badai petir sekalipun, terbukti dengan banyaknya kendaraan yang masih memadati ibu kota Indonesia tersebut.
Aku merasa lelah karena baru saja menyelesaikan sebuah meeting dengan kolegaku, membahas pembangunan hotel kesekian yang akan di bangun di pulau dewata Bali.
Nada suara panggilan rock and roll dari ponselku memenuhi keheningan di dalam mobil, aku langsung meminggirkan mobil berniat menerima panggilan dari papa, kebetulan aku tidak membawa earphone.
"Halo Pa?"
"Nic, Kamu masih dimana?"
Aku sedikit membungkukkan kepalaku untuk melihat ke sekitar, aku hapal jalan ke arah mansion, akan tetapi aku sangat bodoh menghapal nama tempat yang aku lalui.
Aku hidup di negeri orang hampir setengah hidupku, sejak remaja aku tinggal dan bersekolah disana. Sebelum lima bulan yang lalu Papa memutuskan untuk tinggal di Negara kelahiran Mama -Indonesia, dan memaksa diriku untuk ikut tinggal, aku menyetujuinya karena kebetulan aku berencana membangun proyek lebih banyak di Indonesia.
"Entah lah Pa, sebentar lagi aku akan sampai," aku melihat jam tangan sekilas. "Mungkin 20 menit lagi paling lama pa."
Terdengar helaan nafas disebrang sana. "Jika tahu akan begini, Papa tidak akan mengijinkanmu bekerja tadi. Yasudah, cepatlah pulang ya."
Tanpa menunggu jawaban dariku Papa sudah mematikan sambungan telponnya secara sepihak. Aku menghidupkan kembali mesin mobil kemudian menjalankannya perlahan.
Tujuh belas menit kemudian, aku sudah sampai di depan mansion milik papa yang berada di pusat kota, aku sebenarnya heran kepada mereka karena lebih memilih tinggal di pusat kota penuh dengan polusi.
Seharusnya mereka menikmati masa tua di tempat yang sehat untuk mereka tinggali bukan di kota yang tingkat polusinya tinggi ini. Aku sudah menawarkannya untuk tinggal di mansion ku yang berada di tengah hutan dengan udara yang sangat segar, tapi mereka menolak dengan berdalih jauh dari keramaian.
Aku melangkah masuk ke dalam mansion yang mana pintunya sudah dibukakan terlebih dahulu. Karena hari masih sore, maka pelayan akan berjaga di luar bertugas menyambut tamu atau siapapun nanti yang akan masuk ke dalam mansion. itu sudah menjadi kebiasaan keluarga sadlers. Memiliki banyak pelayan sayang jika harus dianggurkan.
Aku melangkah ke ruang makan, beruntungnya mereka belum menyelesaikan makan malam.
Papa yang menunggu kepulangan ku dengan tidak sabar sejak tadi pun langsung menyunggingkan senyum tampak lega saat melihat aku berjalan menghampiri meja makan.
"Halo semuanya, maaf saya sedikit terlambat." Aku menyapa mereka semua dengan sopan dan langsung mengambil tempat duduk di samping papa.
Salah satu pelayan menghampiri ku untuk mengambilkan lauk pauk ke atas piring, sementara itu aku memperhatikan seorang gadis dengan kening mengkerut. Gadis di depanku ini sangat culun, memakai kacamata tebal dan rambutnya di kucir kuda, lalu aku beralih menatap baju milik gadis itu, dia menggunakan dress hitam polos yang menunjukkan kesan sederhana tapi sangat cocok untuknya.
Papa berdehem, senyum kecil muncul diwajah tampannya meskipun usianya yang sudah melewati setengah abad itu. "Perkenalkan, ini anak kebanggaan kami, Nico. "
Semua orang menatap ku dengan segan, kecuali gadis yang katanya akan menjadi calon istriku.
Aku kembali memperhatikan gadis itu dengan kening mengkerut, sepertinya gadis itu pemalu karena sejak tadi yang dia lakukan hanya menunduk dan fokus dengan makanannya saja, tidak sekalipun dia mendongakan kepalnya untuk melihatku meskipun ayahku sudah memperkenalkanku.
Aku membalas senyuman seorang wanita paruh baya yang tersenyum kepadaku, dia seorang wanita yang aku tebak berumur sama dengan Mama, lalu gadis kecil cantik juga terlihat imut tengah menatapku dengan mata bulatnya.
"Perkenalkan Nic, dia Mawar, calon istrimu. Dia baru lulus Sekolah Menengah Atas bulan lalu." tunjuk Papa ke arah gadis berkacamata yang duduk di sebelah Mamaku.
Aku sedikit kaget dengan kalimat terakhir yang papa ucapkan, itu berarti dia masih berusia 18 tahun terlalu muda untukku yang sudah berumur 28 tahun.
Aku menatap papaku penuh selidik, pasalnya papa tidak mengatakan apapun sebelumnya tentang gadis itu, dia hanya mengatakan nama dan dari mana gadis itu berasal.
Gadis itu mendongakan kepalanya, dia melihatku dan tersenyum tanpa mengatakan apapun lalu tertunduk kembali.
Aku merasakan desiran aneh dihatiku saat melihat senyuman itu, juga sedikit takjub dengan mata gadis itu yang terlihat indah meskipun terhalangi oleh kacamata tebalnya.
"Dan wanita itu bernama Shinta, calon mertuamu, lalu gadis cantik itu anaknya yang kedua, namanya Nadin, dia baru berusia 8 tahun, masih Sekolah Dasar." tunjuknya kepada dua orang yang tengah memperhatikanku.
Aku mengangguk dan tersenyum, aku tidak menanyakan keberadaan ayah Mawar, karena aku tahu dia sudah meninggal.
Lalu tiba-tiba kedua tangan ibu Mawar bergerak, seperti tengah memainkan tangannya hingga membentuk sebuah bahasa isyarat yang tidak aku mengerti.
"Saya tidak menyangka, nak Nico ini anaknya sangat tampan dan sopan terutama kepada orang yang lebih tua." Ucap Mawar, lalu dia menunduk kembali.
Aku mengernyitkan kening heran, lalu meminta penjelasan pada Papa dengan kode melalui tatapan yang kuberi.
Papa tampak berdehem sebentar sebelum menjawab, "Papa lupa memberitahumu bahwa ibunya Mawar memang tidak bisa berbicara sejak beliau dilahirkan, jadi untuk berkomunikasi di kesehariannya beliau selalu menggunakan bahasa isyarat,"
Aku mengangguk mengerti, walaupun masih merasa syok. Semoga mereka tidak menyadarinya karena aku tidak ingin mereka salah persepsi terhadapku.
"Terimakasih, Tante." ucapku tersenyum, lalu aku mengambil gelas berisi air putih yang tadi sudah di siapkan oleh pelayan, aku meminumnya dengan tenang.
"Jadi, kapan pernikahannya di langsungkan?" Tanyaku menatap Papa.
Semua orang menatapku terkejut, lalu Papa terkekeh menatap diriku dengan tatapan penuh arti. "Menurut Papa tidak usah terlalu buru-buru, ada baiknya kalian saling mengenal lebih jauh."
Aku mengalihkan tatapanku pada gadis yang akan menjadi calon istriku "Bagaimana menurutmu, Mawar?"
Gadis itu mendongak dan menatap ku dengan terkejut, aku mengernyitkan keningku heran dengan reaksinya.
"Aku terserah kalian saja, lebih cepat lebih baik." ucapnya pelan, matanya bergerak menatap ku lalu menatap kedua orang tuaku secara bergantian.
Aku menaikan satu alis, aku kira gadis ini akan menolak tapi Jawabannya berbeda sekali dengan tingkahnya. Sungguh menarik!
"Bagaimana dengan anda, nyonya Shinta?" Tanya Papa, bermaksud meminta pendapat kepada calon besan nya itu.
Lalu aku melihat adegan itu lagi, adegan yang sedikit mengiris hatiku. Aku jadi membayangkan bagaimana mereka menjalani hidup selama ini, pasti sangat sulit. Karena Papa bilang, ibunya Mawar lah yang menjadi tulang punggung saat ayah Mawar meninggal.
"Tidak apa-apa Ibu, jika mereka setuju dengan pernikahan ini maka lebih cepat akan lebih baik. Masalah saling mengenal setelah kami menikah pun itu bisa dilakukan." Ucap Mawar, dia tersenyum pada ibunya.
"Memangnya apa yang dibicarakan oleh ibumu?" Tanya ibuku, dia angkat bicara setelah sejak tadi hanya diam saja memilih menyaksikan.
"Ibuku bilang, lebih baik aku dan Nico saling mengenal lebih dulu." Mawar menejda sebentar. "Tapi bukankah lebih cepat lebih baik? Jika kalian setuju aku siap menikah kapan pun,"
Aku menyunggingkan senyum, sepertinya aku salah menilai gadis itu dengan sebutan gadis pemalu, keputusanku tidak salah menerima perjodohan ini. Aku suka gadis yang misterius, seperti gadis di depanku ini. Aku pikir gadis itu adalah gadis yang pemalu tapi nyatanya dia gadis yang unik dan sedikit agresif.
"Baiklah, masalah saling mengenal bisa di lakukan setelah menikah, kami tidak masalah dengan itu, benar kan sayang?" Tanya Papa kepada Mama, yang hanya dibalas anggukan tanda setuju.
Papa tersenyum bangga kepadaku, mungkin dalam hatinya dia bersyukur telah membesarkanku sebagai anaknya. Karen aku yakin papa mengira aku akan menolak perjodohan ini dengan sekali melihat gadis itu. Akan tetapi semua di dugaanku, aku malah langsung ingin menikahnya, entah ada apa dengan diriku.
Dan setelah itu, ruang makan hanya di isi oleh obrolan ku dengan papa yang membahas tentang pembangunan hotel baru di daerah Bali dan obrolan Mama dengan calon menantu dan besan nya. Sesekali aku melihat ke arah Mawar dan kadang kami saling beradu pandang tapi gadis itu hanya tersenyum menanggapiku lalu fokus kembali dengan makanannya.
"Kau gadis yang pemalu, ya?" Tanyaku saat kami sedang mengobrol di taman, rasanya sangat kaku sekali karena aku tidak biasa mengobrol dengan gadis belia seperti ini.
Mawar menolehkan wajahnya dan tersenyum manis kepadaku. "Aku tidak tahu, tapi kata tetangga di kampung ku aku orang yang galak,"
Aku sedikit terkekeh mendengar penuturannya barusan, "Aku sedikit meragukan itu," balasku.
Mawar hanya mengedikkan bahunya, lalu dia kembali menatap ke bawah.
Kita mau kemana, om?" Tanya nya kemudian.
Aku meringis mendengar panggilan itu. "Panggil aku Nico saja, om terlalu tua untukku,"
"Bukannya-" aku mengangkat tanganku untuk memotong ucapannya. "Tidakkah kau lihat diriku? Apa aku seperti om-om tua?"
Mawar memperhatikanku, dia menggelengkan kepala, lalu mengulum senyumnya yang membuatku kesal. "Tidak sama sekali," ucapnya, lalu dia menunduk kembali. "Kita akan kemana?" Tanyanya lagi.
Aku menunjuk sebuah kursi yang berada tidak jauh dari jarak kami mengobrol. "Kesana,"
Mawar hanya mengangguk saja, dia berjalan beriringan denganku.
Aku sesekali menatap Mawar, dilihat dari samping gadis ini sangat cantik, dia memiliki hidung yang kecil dan Bangir sangat cocok dengan karakter wajahnya yang terkesan lembut dan matanya yang bulat serta di tumbuhi bulu yang tidak terlalu lentik tapi menambah kesan kecantikan alaminya.
Mawar mengambil tempat duduk di sebelahku, dia menoleh dan tersenyum menatapku. "Aku senang calon suamiku sangat baik dan sopan seperti dirimu," ucapnya menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona malu, tapi masih bisa terlihat olehku. Sangat menggemaskan.
Aku hanya diam sambil memperhatikan nya.
Mawar mengangkat kepalanya, hingga kami saling berada pandang. "Kenapa kau ingin menikah denganku?"
Aku mengerutkan kening, sedang memilah jawaban yang tepat untuk disampaikan. "Aku hanya mengikuti perintah Papa, perjodohan ini tidak bisa ditolak karena setiap anggota keluarga sadlers selalu memegang teguh janjinya." Ucapku menjeda saat aku melihat raut muram dari gadis itu."Tapi tenang saja, pernikahan adalah hubungan yang di agungkan di keluarga Sadlers dan akupun akan menjamin hidupmu dan keluargamu,"
Aku bisa melihat ekspresinya yang berbinar bahagia.
"Apa kau tidak masalah denganku? Umur kita memiliki perbedaan yang sangat jauh," tanyaku, aku memang tidak keberatan menikah dengannya apalgi dia ini tipe perempuan idamanku, memiliki wajah cantik dan tubuh sintal yang nantinya akan bisa memuaskan hasratku tentu saja.
Dia menatapku lama, lalu kepalanya mengangguk. "Aku tidak keberatan," ucapnya.
Lalu tiba-tiba dia bersuara."Aku ingin pernikahan satu kali seumur hidup." Aku mendengar nada keraguan disana, mungkin dia masih ragu padaku.
Aku memperhatikan gadis itu dengan lekat, lalu kata-kata yang tidak aku sadari sebelumnya meluncur begitu saja dengan mudah."Tentu saja, aku hanya berniat menikah satu kali seumur hidupku." Biar bagaimanapun Sadlers memang memiliki prinsip aneh dengan pernikahan, jadi sebagai bagian dari keluarga itu, aku terpaksa harus mengikuti prinsip itu.
Mawar tersenyum, kami saling berpandangan cukup lama menyelami kedalam bola mata masing-masing untuk mencari sebuah ketertarikan disana, sampai hembusan angin menyadarkan kami dan dia mengalihkan tatapannya dariku.
Dua bulan kemudian.... Aku tengah berada di bandara, selama dua bulan ini aku terpaksa harus ke Norwegia demi mengurus perusahaanku yang sedang mengalami permasalahan, merasa sedikit bersalah karena meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan setelah hari pernikahan kami. Aku memasuki mobil perusahaan yang sengaja di panggil untuk menjemputku, karena mobilku sendiri berada di apartemenku yang cukup jauh dari bandara. Setelah pesta pernikahan kami berakhir waktu lalu, aku langsung memboyong Mawar tinggal di Apartmentku untuk sementara waktu. Hal Pertama yang aku lihat setelah memasuki Apartment adalah ruang tamu sekaligus tempat bersantai untuk menonton televisi. Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah tapi tidak dapat menemukan dimana keberadaan istriku. Langkahku terhenti saat melihat istriku tengah berada di ruang makan bersama seorang lelaki, aku mengerutkan kening nampak tidak asing dengan lelaki tersebut. Mawar terkejut saat matan
"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi. Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar. Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia. Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri. "Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga," Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan. "Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku. "Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya mas
"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya. Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya. "Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu. Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal. Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan. "Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"
Aku melangkahkan kakiku dengan santai menuju lift. Lalu tiba-tiba ponsel di saku celanku berdering, aku mengambilnya dan melihat nama mertuaku yang tertera disana. Bunyi ting terdengar, pintu lift pun terbuka bertepatan saat sambungan telponku sudah dimatikan di sebrang sana, menampilkan lorong yang hanya berisi satu pintu saja, aku menekan kode apartemenku dan langsung masuk kedalam. Berjalan kearah sofa dan langsung mendudukkan diriku disana, menyandarkan tubuhku yang terasa lelah. Apakah Mawar sudah tidak marah lagi padaku? Mengingat aku tidak pulang semalam dan siang ini baru menginjakan kaki di sini. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenagaku, semalam aku minum terlalu banyak sehingga pada saat pagi hari badanku menjadi lemas dan kepalaku pusing, untungnya aku masih bisa pergi ke kantor dan mengikuti rapat, setelah selesai rapat dengan kolegaku aku bersyukur tidak ada pekerjaan penting yang harus aku tangani siang ini, sehingga aku memilih untu
Nico tengah termenung duduk bersandar di sofa kamarnya, tatapannya kosong. Sesekali dia tersadar oleh suara petir lalu kembali melamun. Matanya terpejam dalam, keningnya mengkerut merasakan rasa sakit di hatinya. Flashback "Ayo cepat!" Teriaknya kesal, sebab wanita di belakangnya berjalan sangat lamban. Bruk "Aww... Hiks" Nico menghembuskan nafas kasar, dia turun dari golpcar dan menghampiri wanita lemah yang sedang menangis tersedu-sedu. Nico mengangkat satu alisnya ketika wanita itu mendongak, "Ck, jangan manja," ucapnya menatap Mawar dengan pandangan jijik. "Cepat berdiri atau kau ku usir dari sini," suaranya terdengar sinis dan tajam, membuat Mawar semakin mengeraskan isakan nya. "Kau sungguh ingin ku usir dari sini ya?" Mawar memejamkan mata, dia menggeleng. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Keningnya mengkerut, bibirnya dia gigit supaya isak tangis nya
Keluar dari lift kedua matanya langsung di manjakan dengan kemegahan mansion. Kedua kakinya berjalan santai lalu berbelok ke kanan menuju ruang makan yang berada di sayap kanan lantai satu. Nico selalu suka pemandangan di ruang makan, apalagi matahari bersinar cerah pagi ini, sinarnya menerobos masuk lewat jendela kaca besar menambah keindahan ruangan. Nico mengambil tempat di kursi yang biasa dia duduki. Dari kursi paling ujung, matanya bisa melihat danau dan banyaknya tanaman bunga Mawar yang memperindah pemandangannya pagi ini. Suara kicauan burung pun terdengar karena setiap pagi semua jendela kaca akan di buka, menambah udara segar yang masuk ke dalam ruang makan. Taman bunga Mawar, taman itu sengaja di buat Nico untuk Mawar, istrinya. Semenjak mengetahui Mawar pobia dengan danau, dia berin
"Apa kau sudah ingat? Itu benar dia, ya?" Farrel mengangkat kedua alisnya meminta jawaban dari Nico. Nico membulatkan matanya, dia menggeram rendah. "Kau sendiri, bagaiaman bisa mengingatnya?!" "Kau mencintainya," ucap Farrel dengan wajah serius. Nico memalingkan wajahnya enggan menatap Farrel. Dia bergerak gelisah di tempatnya. Farrel menggelengkan kepala, sudah jelas bahwa pria itu mencintainya tapi masih saja gengsi. "Aku tidak tahu Nic, saat melihatnya aku langsung bisa mengingatnya, aneh bukan?" Nico mendengus tidak suka. "Tidak aneh untuk seorang pedofil sepertimu," tiba-tiba Nico berdehem, karena tenggorokannya terasa kering. Seorang pedofil rasanya lebih cocok untuk pria seperti dirinya. Tapi dia hanya tertarik pada gadis remaja itu saja. Lagipula kejadian itu sudah lama, bahkan dia sudah melupakan gadis itu. Tapi siapa sangka ternyata dimasa depan gadis itu menjadi istrinya. "Haha, i'am not," Nico memicingk
Nico kembali ke mansion pada saat malam, memang selain di puncak, Bogor dan Bali dia mempunyai mansion di Surabaya, sengaja membelinya karena beberapa bisnis hotelnya terdapat di kota ini. Selama satu tahun menetap di indonesia, Nico sudah sukses mendirikan beberapa hotel mewah berbintang dan sedikit kewalahan karena dia juga memiliki banyak hotel dan kantor pusat yang bergerak di bidang real estat yang berada di Norwegia. Sesampainya di mansion, Nico berdecak jengah melihat ketiga temannya yang tengah bersantai seakan berada di rumah sendiri. "Jika kalian tidak ingin ku usir sekarang, bawalah pelacur itu pergi dari mansionku." Nico melanjutkan langkahnya, meninggalakan mereka. Empat wanita yang sedang memanjakan mangsanya itu mendongak dan matanya langsung melebar tampak kaget sekaligus tidak menyangka bisa bertemu dengan Nico, tuan muda dari keluarga Sadlers. "Cih! Kau ini mengganggu saja!" Farrel berdecih tidak suka saat wanita jalang itu menghenti
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa