Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
"Pak Tejo, kenapa gerbangnya di kunci?" "Maaf nyonya. Tuan Nico yang memerintahkan." Kening Mawar mengernyit heran. "Tolong buka, pak." Tejo merapatkan kedua tangannya, meminta maaf, lalu kembali ke pos dengan perasaan tidak tega. Mawar menghembuskan nafas pelan, memilih duduk lesehan di atas paving block. Entah sampai kapan harus menunggu. Mawar menengadahkan wajahnya ke atas memandangi langit yang sudah lama berubah warna. Matanya berkaca-kaca, dia mengigit bibirnya lalu tangannya bergerak mengusap perutnya, merasakan lapar yang tak kunjung hilang sejak tadi. Dengan badan lemah, Mawar perlahan bangkit dari posisi duduknya, berjalan menyusuri hutan dengan di temani sinar bulan sebagai penerang setiap langkahnya. Dulu saat kabur dari amukan Nico, Mawar pernah melihat pohon jambu di dekat danau, dia menengok ke segala arah lalu merasa kecewa, karena pohon jambu itu tidak berbuah, jangankan pohon jambu, buah beracun p
"Tuan, apakah anda masih akan duduk di sana?" Enah bernafas lega saat mulutnya mengeluarkan suara, tapi setelahnya merasa takut saat Nico menoleh ke arahnya padahal Nico hanya menatapnya dengan tatapan biasa, mata tajamnya memang terlihat menakutkan. "Tentu saja, memangnya kenapa? Ini rumahku!" Ucap Nico sedikit meninggikan suaranya, lalu fokus kembali kepada majalahnya, tidak menghiraukan bajunya yang basah atau pelayan yang mencoba mengusirnya. Cih! Ini mansionnya, terserah dirinya ingin berada dimana saja. "Saya akan mengganti baju nyonya, tuan." Nico berdecak, tampak kesal."Lalu apa masalahnya?" Enah menelan ludahnya, apa yang harus dia katakan agar Nico tidak marah. Sebenarnya dia hanya ingin meminta tolong untuk memindahkan Mawar ke dalam. Dia agak beban jika harus menelanjangi Mawar di ruangan terbuka seperti ini. "Lakukan saja, DI DEPAN KU!" Ucap
Dito berjalan gontai menuju mobil mewahnya yang diparkir di basmant, tepat saat keluar dari basmant dia melihat seorang perempuan yang memakai kacamata tebal tengah berjalan gontai. Dito menghentikan laju mobilnya, dari balik kaca mobil matanya memperhatikan perempuan itu dengan lekat. Mawar sungguh cantik meskipun mata indahnya dihalangi oleh kacamata tebal. Setelah Mawar sudah agak jauh barulah Dito keluar dari mobil, mengikutinya secara diam-diam. "Halo, kalian!" Sapa Mawar dengan ceria, bibirnya tersungging lebar. "Ohh Tidaaaak! Kenapa kau mati?" Sementara di kejauhan tampak seorang lelaki bersembunyi di balik tembok sedang memperhatikan Mawar yang sedang berada di taman penuh dengan bunga Mawar. Dito menyunggingkan senyumnya, meskipun suara Mawar tidak terlalu terdengar olehnya, dia cukup terhibur dengan eskpresi keceriaan perempuan itu. Tapi hanya sementara karena setelahnya, dia melihat raut sedih dari
"Nic!" Dion memanggil Nico ingin memberitahukan bahwa Dito sudah dilarikan kerumah sakit. Nico tidak sengaja melemparkan kucing kepada Dito, membuat Dito pingsan di tempat. Dion meringis melihat wajah Nico yang berang saat melihat dirinya, lalu berjengkit kaget ketika melihat Mawar tak sadarkan diri dalam gendongan Nico. "KAU GILA, BRENGSEK!!" Nico meraung frustrasi. Nico segera meletakan Mawar di tepi danau, lalu menekan dadanya, memberinya pertolongan pertama. "Brengsek!" Makinya marah Karena tidak ada pergerakan apapun pada gadis itu, Nico mendekatkan mulutnya, tanpa ragu dia memberikan nafas buatan. "SHIT!" Tidak berhasil! Nico menangkap tubuh kurus itu ke dalam pelukannya, wajahnya terlihat sangat panik. "PANGGIL DOKTER BODOH!!" Teriaknya penuh dengan amarah. Dengan panik Dion langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, dia mengumpat karena ponselnya sempat terjatuh. Dion panik karena Nico seperti orang
Dua bulan kemudian.... Aku tengah berada di bandara, selama dua bulan ini aku terpaksa harus ke Norwegia demi mengurus perusahaanku yang sedang mengalami permasalahan, merasa sedikit bersalah karena meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan setelah hari pernikahan kami. Aku memasuki mobil perusahaan yang sengaja di panggil untuk menjemputku, karena mobilku sendiri berada di apartemenku yang cukup jauh dari bandara. Setelah pesta pernikahan kami berakhir waktu lalu, aku langsung memboyong Mawar tinggal di Apartmentku untuk sementara waktu. Hal Pertama yang aku lihat setelah memasuki Apartment adalah ruang tamu sekaligus tempat bersantai untuk menonton televisi. Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah tapi tidak dapat menemukan dimana keberadaan istriku. Langkahku terhenti saat melihat istriku tengah berada di ruang makan bersama seorang lelaki, aku mengerutkan kening nampak tidak asing dengan lelaki tersebut. Mawar terkejut saat matan
"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi. Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar. Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia. Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri. "Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga," Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan. "Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku. "Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya mas
"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya. Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya. "Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu. Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal. Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan. "Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa