"Tentu saja, memangnya kenapa? Ini rumahku!" Ucap Nico sedikit meninggikan suaranya, lalu fokus kembali kepada majalahnya, tidak menghiraukan bajunya yang basah atau pelayan yang mencoba mengusirnya. Cih! Ini mansionnya, terserah dirinya ingin berada dimana saja.
"Saya akan mengganti baju nyonya, tuan."
Nico berdecak, tampak kesal."Lalu apa masalahnya?"
Enah menelan ludahnya, apa yang harus dia katakan agar Nico tidak marah. Sebenarnya dia hanya ingin meminta tolong untuk memindahkan Mawar ke dalam. Dia agak beban jika harus menelanjangi Mawar di ruangan terbuka seperti ini.
"Lakukan saja, DI DEPAN KU!" Ucap Nico penuh penekanan di akhir kalimat.
Brak!
Nico membanting majalahnya ke lantai, mengejutkan Enah yang akan membuka bra milik Mawar, dia menatap Nico heran.
"Sialan!" Setelah mengumpat, Nico mendekati Mawar, menggendongnya ala bridal."Ikuti aku," perintahnya, yang segera dipatuhi oleh Enah.
Nico menggelemutukan giginya, tidak di sangka melihat tubuh Mawar yang setenagh polos bisa dengan mudah membangkitkan gairahnya. Sial! Sial!
Miliknya sudah bereakasi saat dia memberikan pertolongan pertama tadi, dia hanya menguji dirinya sampai mana wanita sialan itu bisa mempengaruhi nya.
Lalu saat melihat kedua dada itu hampir ter ekspos, dia sudah tidak bisa menahan nafsunya lagi. Jadi, daripada bertindak di luar nalar lebih baik dia segera memindahkan wanita sialan itu.
Setelah sampai di kamar, Nico langsung membaringkan tubuh Mawar di atas kasur kecil yang berada di ujung ruangan. Kasur itu tampak usang, Kasur yang biasa di tempati Mawar selama tinggal di mansion ini.
"Ganti bajunya." Titahnya, lalu beranjak dari ruangan minim cahaya tersebut.
Enah mengangguk patuh, dia membungkukan badan dikala Nico melewati dirinya.
"Nghh.."
Kedua kelopak mata yang berbentuk indah itu mengejap, perlahan terbuka hingga menampilkan sepasang mata indah bermanik cokelat. Mawar menarik nafasnya saat merasakan sesak di rongga dadanya, keningnya mengkerut dalam lalu cairan bening meluncur begitu saja dari pelupuk matanya. Menangis adalah satu hal yang di bencinya, karena dia tahu dirinya lemah, dengan menangis dia malah terlihat semakin lemah. Dia sangat benci air mata.
"Shhh"
Ketika hendak bangun, Mawar merasakan sakit yang teramat pada bagian dada dan pinggangnya, tapi tetap memaksakan diri untuk bangun.
Air matanya kembali turun saat mengingat kejadian sebelum dirinya hampir mati di dalam kolam. Kapan semua ini akan berakhir? Dia sangat lelah.
Mawar menoleh ke samping kiri dan mendapati nampan berisi makanan yang di letakan di atas lantai, dia tidak bisa memastikannya karena ruangan ini sedikit gelap. lalu setelah membukanya, matanya melihat semangkok sup dan obat. Sepertinya sup itu sudah lama disana sehingga saat dia memakannya, sup itu sudah dingin.
Ceklek
Mawar mengangkat kepalanya ke arah pintu, matanya menyipit ingin memperjelas penglihatanya.
"Nyonya, sudah sadar?"
Mawar tersenyum semringah mendengar suara Enah yang tersirat akan ke khawatiran, lalu dia mengangguk sebagai jawaban.
Tatapannya kini terarah pada nampan yang dibawa Enah.
"Itu apa, Bik?" Tanyanya setelah Enah berada di hadapannya.
"Ini sup ayam, badan nyonya terasa hangat, bibi takut nyonya nanti sakit,"
Mawar memegang keningnya, dia merasakan suhu yang tidak biasa disana.
"Lah...Lah... Nyonya jangan di makan, itu sudah dingin,"
"Tapi ini-"
" Ini saja," Enah memberikan semangkuk sup hangat pada Mawar.
Mawar mengangguk, menaruh kembali sup yang sudah dingin tadi ke lantai dan menerima sup yang baru."Makasih Bik," ucapnya dengan senyum mengembang.
Mawar mulai menyendokkan kuah sup itu ke dalam mulutnya, rasanya memang tidak usah diragukan lagi, sangat enak.
"Sekarang jam berapa, Bik?"
"Jam 2 sore, Nyonya,"
Mata Mawar membulat. "Apa?!"
"Nyonya sudah pingsan setengah hari," jelas Enah.
"Apa Nico tidak memarahi kalian lagi? Bagaimana Sarah? Dia masih di kurung?" Tanya Mawar khawatir.
Mawar tidak menyangka hidupnya akan berjalan seperti ini, menikah dengan Nico memang pilihannya tapi kalau bisa mengulang masa lalu, dia akan menolak pernikahan ini dan lebih memilih bekerja untuk menghidupi adik dan ibunya di kampung.
Dia sendiri pun heran, ada orang yang bisa berubah secepat itu. Nico ibarat iblis yang tidak punya belas kasihan, setelah membiarkannya diguyur hujan tadi malam, rasanya belum cukup bagi pria itu jika tidak melihat penderitaanya lagi tadi pagi.
"Tuan tidak ada di mansion, Sarah masih di ruang bawah tanah, nyonya,"
Mawar menerawang jauh. Andai, andai saja penyesalannya berarti.
"Kalau saja aku menurut padanya, mungkin kita tidak akan melihat sisi lain darinya ya? Ini semua salah aku Bik, maaf menyusahkan kalian," Mawar menunduk dan mengaduk-ngaduk sup yang ada di atas pangkuannya.
Mawar merasa sangat bersalah, sebab baru pertama kalinya semua pelayan melihat Nico marah sampai seperti itu, biasanya pria itu tenang-tenang saja. Ini semua salahnya. Nico sudah memperingatinya, jangan meninggalkan mansion. Tapi bagaimana dia sudi terus di mansion sedangkan lelaki itu setiap datang ke mansion selalu membawa wanita yang berbeda, salahnya juga yang tidak becus melayani suami, yang terjadi pada lelaki itu memang kesalahannya.
"Tidak nyonya, itu bukan kesalahan Nyonya," ucap Enah sambil mengelus lengan atas Mawar, mencoba menenangkan.
"Saya pikir nyonya tidak akan kembali lagi ke mansion ini, bukankah nyonya telah menemukan lelaki yang tepat, siapa namanya? Neto?" Ucapnya berpura-pura lupa, padahal lelaki itu sering mengunjungi nyonya -nya ke mansion ini.
Mawar tergelak. "Dito, Bik,"
Tapi seketika raut wajah Mawar berubah menjadi sedih. "Dia lelaki berengsek!" Tangannya meremas kain sprai dengan erat, "Dia hampir memprokosa ku," matanya mulai berkaca-kaca saat ingatannya kembali pada kejadian kemarin siang, Dito malah membawanya ke dalam hotel dan memaksanya disana.
"Astaga!" Enah membungkam mulutnya tidak percaya.
Satu bulir air mata turun melewati pipi mulusnya. "Aku sangat menyesal, setidaknya meskipun di kurung, tapi Nico tidak pernah melecehkan ku," ucapnya penuh penyesalan akan kebodohannya yang tidak pernah bersyukur memiliki suami seperti Nico.
"Nyonya harus mengadukannya kepada tuan, lelaki itu harus di beri pelajaran, lancang sekali dia," ucap Enah berapi-api.
Mawar menarik nafas dan menghembuskanya, hatinya terasa sakit karena pada saat itu dia sendiri yang memilih kabur dari Nico, dia yang salah telah menggali lubangnya sendiri.
"Tidak apa, Bik," Mawar menyendokan kembali supnya. "Lagipula itu tidak terjadi,"
"Laporkan saja kepada polisi-"
Mawar terkekeh. "Polisi mungkin takut kepadanya,"
"Kenapa begitu?"
Mawar mengedikkan bahunya, "Uang yang berkuasa, Bik." selama tinggal dimansion ini, Mawar hanya tahu Nico memiliki dua orang teman dan mereka sangat berpengaruh di negara ini, Dito yang mengatakannya.
Dito sering mengajak Mawar mengobrol membagi banyak hal dengannya, hingga Mawar sedikit menaruh rasa kepercayaan kepada lelaki tersebut. Dito pun tahu bahwa Mawar tidak bahagia dengan pernikahannya, mungkin lelaki itu mengira Mawar bisa dimanfaatkan.
Untung saja saat kejadian nahas tersebut, Dito membiarkan Mawar kabur tidak mengejarnya setelah Mawar berhasil menendang kejantanannya sebanyak dua kali tanpa ampun.
"Oh ya Bik, jangan panggil aku nyonya. Panggil nama saja,"
"Tidak bisa begitu, bibik tidak enak, nyonya adalah istri tuan," tolaknya.
Mawar tersenyum, dari semua pelayan di mansion ini. Bik Enah yang sangat baik kepadanya, wanita ini sudah seperti ibu baginya.
"Bukankah Nico juga selalu memarahi kalian jika memanggilku nyonya, sudahlah sebutan tidak terlalu penting, aku tidak mau kalian dimarahi terus olehnya,"
"Tapi nyonya.."
"Sudahlah, mau dipanggil apapun aku baik-baik saja." Mawar tersenyum tapi tidak bisa menghilangkan raut kesedihan yang terpancar dari wajahnya.
Enah bungkam melihat ekspresi sedih dari Nyonya nya, dia jadi ikut bersedih.
Mawar terkekeh. "Kenapa Bibi seperti ingin menangis?"
"Saya tidak tega nyonya diperlakukan seperti itu, kenapa kalian tidak saling berbaikan saja, menyelesaikan masalah kalian,"
"Tidak semudah itu, Bik" Mawar membuka mulutnya dengan ragu. "Aku menikahinya karena uang," dia tersenyum kaku melihat reaksi keterkejutan dari Enah.
"Dengan kata lain pernikahan ini terpaksa, tidak untukku tapi untuk Nico. Itulah kenapa aku mencoba bertahan dengan semua sikap buruk Nico. Karena aku membutuhkannya." Mawar menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "dulu Nico tidak seperti itu, dia sangat amat baik dan -" Mawar menggelengkan kepalanya tidak kuat ketika mengingat masa lalu.
"Cih!"
Dua orang yang berada di ruangan itu menoleh, ternyata ada seseorang yang sedang mendengarkan mereka berbicara sedari tadi.
"Bik, siapa?" Tanya Mawar.
"Anu nyonya, itu.."
"Dito?" Tanya Mawar memastian.
Dito terkekeh, terkesan meremehkan. Kakinya bergerak melangkah mendekati Mawar, langkahnya terhenti dikala matanya mengedar tampak menilai ruangan yang menjadi kamar Mawar.
Tidak ada lampu, cahaya satu-satunya berasal dari pintu saja, dia pastikan jika pintunya di tutup, maka ruangan ini akan terasa sangat pengap dan gelap. Ruangan ini jelas tidak pantas disebut kamar, lebih tepatnya mirip seperti penjara, bahkan penjara saja lebih bagus dari ruangan ini.
Dito berdiri menjulang, kontras sekali dengan tubuh Mawar yang kecil dan kurus. Dia mengelus rambut Mawar sayang dan langsung mendapat tepisan kasar dari wanita itu.
"Ada urusan apa kau kemari?" mata Mawar melebar penuh kemarahan berharap Dito segera pergi dari kamarnya.
"Santai, cantik." ucap Dito mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Bik, dimana kacamataku?" Tanya Mawar meraba-raba kasur di sampingnya, telinganya mendengar kekehan dari pria brengsek itu tapi Mawar menghiraukannya.
"Ini, nyonya." Enah memberikan kacamata yang ditemukannya di ujung kasur.
"Ayo Bik, kita pergi." Mawar berniat menghindar, tidak ingin mencari keributan apalagi sampai mengundang Nico datang ke kamarnya, jika Dito berada disini, berati Nico pun sedang berada di mansion.
Mawar menggenggam tangan Enah dengan erat, merasa ketakutan saat bayangan Dito mencoba memprokosanya terlintas kembali.
Saat sudah keluar kamar, Mawar merasa sangat lega karena Dito tidak mengikutinya apalagi menahannya."Bik, aku ingin tidur di kamar Bibi saja."
Kamar Enah dua kali lipat lebih besar daripada kamar Mawar, bukan hanya Enah saja, tapi semua pelayan di mansion memiliki kamar yang sama, hanya kamar dirinya saja yang berbeda.
Tentu saja milik Mawar bukan kamar tetapi gudang yang dimodifikasi oleh Nico menjadi kamar, bahkan Nico rela mengeluarkan uangnya hanya untuk membangun kamar mandi di dalamnya dari pada harus repot-repot membiarkan Mawar menempati salah satu kamar pelayan.
Meskipun begitu, Mawar tetap bersyukur selama tinggal di mansion hidupnya berkecukupan, bisa makan dan tidur dengan nyaman dan tentunya Nico selalu mengirimkan uang untuk adik dan ibunya dikampung, itu adalah tujuannya menikahi Nico. Membuat keluarganya dikampung terpenuhi kebutuhannya, agar ibunya tidak lagi bekerja menjadi pelayan dan adiknya bisa tenang bersekolah disana.
Mawar merebahkan dirinya dikasur empuk milik Enah, dia menatap sendu ke arah jendela yang berukuran sedikit besar itu, sinar muncul dari sana dan matanya bisa melihat langit lalu pepohonan berwarna hijau yang tampak tentram dipandang mata.
Mawar menipiskan bibirnya ke dalam, dia juga ingin memiliki jendela seperti itu agar bisa melihat sinar matahari dikala pagi. Mawar tersenyum miris, menggelengkan kepala dan memejamkan matanya mencoba tertidur agar rasa sakit di kepala dan tubuhnya menghilang.
"Dari mana saja, kau?" Tanya Dion, dia menoleh sekilas kearah Dito setelah itu kembali fokus pada permainanya di layar.
"Biasalah," ucapnya santai, menyandarkan punggungnya di sofa lalu menghembuskan nafasnya lelah.
Nico hanya mengedikkan bahunya acuh, lalu mematikan layar saat permainan masih berlangsung.
"Kenapa di matikan sih, layarnya? Kau ada masalah apa hah?!" Tanya Dion melotot, Dito hanya terkekeh melihat ekspresi tak terima Dion karena layarnya di matikan sehingga permainannya pun ikut mati.
Nico mengedikkan bahunya acuh. "Sana kalian pergi, mengganggu saja!"
Dion menggeleng tidak percaya. "Cih, kami kesini karena meindukanmu," tunjukknya pada Nico, membuat Nico bergidik ngeri." Sejak kau menikah dengan si cupu, buruk rupa itu kau menjadi lupa dengan kami." ucapnya, mengeluarkan uneg-uneg nya selama satu tahun ini.
Bugh
Dion meringis sakit ketika mendapatkan tendangan di kepalanya. "Kau kenapa sih?!" Dia menunjukan raut tidak terima pada Dito yang menjadi pelaku utama.
"Berisik!" Ucap Dito dengan suara yang tak kalah tinggi dari Dion.
Dion memicing curiga "Ck. Kau suka dengan perempuan itu?"
Dito memberikan tatapan tajamnya pada Dion, lalu menoleh pada Nico yang hanya diam saja. Dito tersenyum sinis melihat sikap tidak perduli Nico.
"Jika iya, memangnya kenapa? Ayolah kita tahu dia wanita jalang, tapi dia sok jual mahal saat aku akan menyentuhnya. Cih!"
Dion terkekeh. "Cocok kalian, yang satu brengsek yang satu bego!"
"Shut up!"
Dion dan Dito menjadi cengo, mereka memandang satu sama lain dan mengerutkan keningnya bersamaan.
"Kau mau kemana?" Tanya mereka bersamaan, lalu memandang satu sama lain, meringis jijik.
"Bukan urusan kalian, sebaiknya kalian segera pergi dari sini atau aku terpaksa memanggil penjaga untuk mengusir kalian." ucap Nico tak acuh.
Nico melangkahkan kakinya memasuki lift, menekan tombol angka empat yang merupakan lantai paling atas dari mansion.
"Kau sih!" Dito melempar kaleng minuman kosong dan berhasil mengenai kepala Dion.
Dion memberikan tatapan tajam, merasa tidak terima.
"Mulutmu seperti perempuan saja, cerewet!" Ucap Dito kesal, lalu dia bangkit mengikuti Nico yang sudah menaiki lift.
Bugh
Bugh
Dion tersenyum puas saat dua kaleng minuman kosong mendarat di kepala Dito.
Dito masuk kedalam lift tidak menghiraukan kaleng yang mengenai kepalanya, tangannya menekan nomor lantai yang sama dengan Nico.
Bunyi ting terdengar lalu pintu lift terbuka, Dito langsung melangkah ke luar dari lift, mengedarkan pandangannya dan langsung menemukan sahabatnya yang sedang duduk di bar mini.
Dito menepuk punggung Nico, lalu pria itu menoleh. "Why?" Tanya Nico lalu meneguk kembali minumannya.
"Kenapa Mawar masih disana?" Tanya Dito, lalu ikut menuangkan minuman ke gelasnya.
Nico mengangkat satu alisnya."Itu tempatnya"
Dito menatap Nico tidak suka. "Ceraikan dia,"
Nico hampir saja tersedak minumannya."What?" Dia merasa mungkin telinganya sedikit bermasalah.
"Bukannya kau menikahinya karena terpaksa? Aku tahu Mawar menikah dengan mu karena uang dan dia juga telah-"
"Fuck!" Nico mengumpat, memperingati Dito agar tidak melanjutkan ucapannya.
"Perlakukan dia seperti manusia minimal," ucapnya tak takut dengan tatapan tajam Nico dan jari telunjuk Nico yang mengacung di depan wajahnya untuk memperingatkannya.
"Aku tadi ke kamarnya," lanjutnya, dia tersenyum miring saat melihat rahang Nico mulai mengeras."kamar itu lebih mirip seperti ruang tahanan, dan dia sedang sakit jika kau belum tahu,"
Dito menepuk bahu Nico. "Aku menginginkannya dan aku tidak bisa melakukan apapun saat dia masih berstatus sebagai istrimu," ucapnya sungguh-sungguh.
Nico memutar-mutar gelasnya lalu meminumnya dengan sekali tegak sampai tak bersisa.
"Aku serius dengannya. Kau tahu?" Dito juga menuangkan minuman ke gelasnnya."Aku tidak percaya dia perempuan jalang yang selalu kau ucapkan, dia terlalu polos dan lugu,"
Sebuah kekehan keluar dari mulut Nico. "Percayalah, akupun sama denganmu saat pertama kali melihatnya,"
"Aku sudah mengenalnya selama beberapa bulan ini dan dia adalah perempuan baik-baik," sanggah Dito.
Nico menoleh sinis. "Lalu kenapa kau berniat memprakosanya brengsek?!" Tangannya kini berpindah mencengkram kerah kaos yang di kenakan Dito.
"Sudah kubilang aku menginginkan nya dan aku tidak bisa melakukan apapun saat dia masih menjadi istrimu."
"Fuck! Tunggu sampai ibuku sembuh dari penyakitnya, maka kau boleh mencicipi tubuhnya sepuasmu," Nico tersenyum puas melihat Dito mencengkram gelas, tampak kesal. "Karena saat itu aku akan menceraikannya."
Dito berjalan gontai menuju mobil mewahnya yang diparkir di basmant, tepat saat keluar dari basmant dia melihat seorang perempuan yang memakai kacamata tebal tengah berjalan gontai. Dito menghentikan laju mobilnya, dari balik kaca mobil matanya memperhatikan perempuan itu dengan lekat. Mawar sungguh cantik meskipun mata indahnya dihalangi oleh kacamata tebal. Setelah Mawar sudah agak jauh barulah Dito keluar dari mobil, mengikutinya secara diam-diam. "Halo, kalian!" Sapa Mawar dengan ceria, bibirnya tersungging lebar. "Ohh Tidaaaak! Kenapa kau mati?" Sementara di kejauhan tampak seorang lelaki bersembunyi di balik tembok sedang memperhatikan Mawar yang sedang berada di taman penuh dengan bunga Mawar. Dito menyunggingkan senyumnya, meskipun suara Mawar tidak terlalu terdengar olehnya, dia cukup terhibur dengan eskpresi keceriaan perempuan itu. Tapi hanya sementara karena setelahnya, dia melihat raut sedih dari
"Nic!" Dion memanggil Nico ingin memberitahukan bahwa Dito sudah dilarikan kerumah sakit. Nico tidak sengaja melemparkan kucing kepada Dito, membuat Dito pingsan di tempat. Dion meringis melihat wajah Nico yang berang saat melihat dirinya, lalu berjengkit kaget ketika melihat Mawar tak sadarkan diri dalam gendongan Nico. "KAU GILA, BRENGSEK!!" Nico meraung frustrasi. Nico segera meletakan Mawar di tepi danau, lalu menekan dadanya, memberinya pertolongan pertama. "Brengsek!" Makinya marah Karena tidak ada pergerakan apapun pada gadis itu, Nico mendekatkan mulutnya, tanpa ragu dia memberikan nafas buatan. "SHIT!" Tidak berhasil! Nico menangkap tubuh kurus itu ke dalam pelukannya, wajahnya terlihat sangat panik. "PANGGIL DOKTER BODOH!!" Teriaknya penuh dengan amarah. Dengan panik Dion langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, dia mengumpat karena ponselnya sempat terjatuh. Dion panik karena Nico seperti orang
Dua bulan kemudian.... Aku tengah berada di bandara, selama dua bulan ini aku terpaksa harus ke Norwegia demi mengurus perusahaanku yang sedang mengalami permasalahan, merasa sedikit bersalah karena meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan setelah hari pernikahan kami. Aku memasuki mobil perusahaan yang sengaja di panggil untuk menjemputku, karena mobilku sendiri berada di apartemenku yang cukup jauh dari bandara. Setelah pesta pernikahan kami berakhir waktu lalu, aku langsung memboyong Mawar tinggal di Apartmentku untuk sementara waktu. Hal Pertama yang aku lihat setelah memasuki Apartment adalah ruang tamu sekaligus tempat bersantai untuk menonton televisi. Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah tapi tidak dapat menemukan dimana keberadaan istriku. Langkahku terhenti saat melihat istriku tengah berada di ruang makan bersama seorang lelaki, aku mengerutkan kening nampak tidak asing dengan lelaki tersebut. Mawar terkejut saat matan
"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi. Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar. Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia. Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri. "Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga," Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan. "Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku. "Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya mas
"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya. Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya. "Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu. Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal. Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan. "Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"
Aku melangkahkan kakiku dengan santai menuju lift. Lalu tiba-tiba ponsel di saku celanku berdering, aku mengambilnya dan melihat nama mertuaku yang tertera disana. Bunyi ting terdengar, pintu lift pun terbuka bertepatan saat sambungan telponku sudah dimatikan di sebrang sana, menampilkan lorong yang hanya berisi satu pintu saja, aku menekan kode apartemenku dan langsung masuk kedalam. Berjalan kearah sofa dan langsung mendudukkan diriku disana, menyandarkan tubuhku yang terasa lelah. Apakah Mawar sudah tidak marah lagi padaku? Mengingat aku tidak pulang semalam dan siang ini baru menginjakan kaki di sini. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenagaku, semalam aku minum terlalu banyak sehingga pada saat pagi hari badanku menjadi lemas dan kepalaku pusing, untungnya aku masih bisa pergi ke kantor dan mengikuti rapat, setelah selesai rapat dengan kolegaku aku bersyukur tidak ada pekerjaan penting yang harus aku tangani siang ini, sehingga aku memilih untu
Nico tengah termenung duduk bersandar di sofa kamarnya, tatapannya kosong. Sesekali dia tersadar oleh suara petir lalu kembali melamun. Matanya terpejam dalam, keningnya mengkerut merasakan rasa sakit di hatinya. Flashback "Ayo cepat!" Teriaknya kesal, sebab wanita di belakangnya berjalan sangat lamban. Bruk "Aww... Hiks" Nico menghembuskan nafas kasar, dia turun dari golpcar dan menghampiri wanita lemah yang sedang menangis tersedu-sedu. Nico mengangkat satu alisnya ketika wanita itu mendongak, "Ck, jangan manja," ucapnya menatap Mawar dengan pandangan jijik. "Cepat berdiri atau kau ku usir dari sini," suaranya terdengar sinis dan tajam, membuat Mawar semakin mengeraskan isakan nya. "Kau sungguh ingin ku usir dari sini ya?" Mawar memejamkan mata, dia menggeleng. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Keningnya mengkerut, bibirnya dia gigit supaya isak tangis nya
Keluar dari lift kedua matanya langsung di manjakan dengan kemegahan mansion. Kedua kakinya berjalan santai lalu berbelok ke kanan menuju ruang makan yang berada di sayap kanan lantai satu. Nico selalu suka pemandangan di ruang makan, apalagi matahari bersinar cerah pagi ini, sinarnya menerobos masuk lewat jendela kaca besar menambah keindahan ruangan. Nico mengambil tempat di kursi yang biasa dia duduki. Dari kursi paling ujung, matanya bisa melihat danau dan banyaknya tanaman bunga Mawar yang memperindah pemandangannya pagi ini. Suara kicauan burung pun terdengar karena setiap pagi semua jendela kaca akan di buka, menambah udara segar yang masuk ke dalam ruang makan. Taman bunga Mawar, taman itu sengaja di buat Nico untuk Mawar, istrinya. Semenjak mengetahui Mawar pobia dengan danau, dia berin
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa