Dito berjalan gontai menuju mobil mewahnya yang diparkir di basmant, tepat saat keluar dari basmant dia melihat seorang perempuan yang memakai kacamata tebal tengah berjalan gontai.
Dito menghentikan laju mobilnya, dari balik kaca mobil matanya memperhatikan perempuan itu dengan lekat.
Mawar sungguh cantik meskipun mata indahnya dihalangi oleh kacamata tebal. Setelah Mawar sudah agak jauh barulah Dito keluar dari mobil, mengikutinya secara diam-diam.
"Halo, kalian!" Sapa Mawar dengan ceria, bibirnya tersungging lebar.
"Ohh Tidaaaak! Kenapa kau mati?"
Sementara di kejauhan tampak seorang lelaki bersembunyi di balik tembok sedang memperhatikan Mawar yang sedang berada di taman penuh dengan bunga Mawar.
Dito menyunggingkan senyumnya, meskipun suara Mawar tidak terlalu terdengar olehnya, dia cukup terhibur dengan eskpresi keceriaan perempuan itu. Tapi hanya sementara karena setelahnya, dia melihat raut sedih dari perempuan itu.
"Meow...meow"
Kening Dito mengernyit, lalu menoleh dia ke samping kirinya, matanya melotot mendapati seekor kucing yang tengah menatap ke arahnya.
Dito menggelengkan kepala dan mengangkat jari telunjuknya, memperingati agar kucing itu tetap diam di tempat. Dito tersenyum lega melihat kucing itu menurut padanya.
Saat Mawar akan mencabut satu tangkai bunga Mawarnya yang sudah mati, dia tersentak ketika mendengar teriakan seseorang. Matanya mengedar dan terkejut saat matanya melihat Dito dari kejauhan.
"Bangsat! Pergi! Anjing!" Dito menggeleng frustasi, kucing itu malah berjalan kembali mendekatinya. Ekor milik kucing itu yang selalu bergoyang membuatnya ingin menghabisi kucing itu segera.
"Itu kucing, bukan anjing," Mawar menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
Mawar mendekati kucing itu lalu menatap Dito dengan tatapan penuh kebencian, sekaligus tersiksa karena harus menahan tawanya saat melihat wajah Dito yang memucat.
"Pus..pus.. kemari," Kucing berwarna oranye itu menghampiri Mawar. "Aw pintar sekali." ucapnya senang.
Dito bergidik ngeri melihatnya. "Jadi itu kucing punyamu? Pantas saja jelek, seperti pemiliknya," ucapnya mencemooh.
Mawar memberikan tatapan tajam, dia berdiri dengan tangannya yang menggendong kucing tersebut.
"Kalo iya, kenapa?" Tanya Mawar menantang.
Dito mengernyitkan kening tidak suka. "Aku alergi kucing, Culun!"
Mawar tersenyum semringah, kakinya malah melangkah mendekati Dito.
"Mawar, jangan coba-coba," Dito memperingati.
Seakan tuli dengan peringatan Dito, Mawar malah semakin melangakah mendekati pria itu, menjulurkan kedua tangannya yang tengah menggendong kucing tersebut. "Kau takut?" Tanya Mawar dengan wajah jenaka.
Dito menggeleng, "Tidak, siapa yang takut huh?"
Mawar mendelikkan matanya, tersenyum penuh arti.
"Bawa kucing itu pergi, sialan!"
"Ini lucu tahu, coba saja pegang." Dito menggeleng kuat, membuat Mawar semakin bersemangat lalu dia berpura-pura melemparkan kucing itu ke arah Dito, ingin memberikan pelajaran kepada pria brengsek tersebut.
"Meow!!"
Bruk
Mawar tergelak, Dito jatuh tersungkur karena menghindari kucing yang meloncat kearahnya. Sebenarnya Mawar tidak bermaksud seperti itu, saat hendak berpura-pura melemparkannya tadi, kucing itu malah meloncat sungguhan.
Sayangnya tawa itu tidak berlangsung lama.
Dito bangkit, dia menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan, ekspresi pria itu sangat cabul, membuat Mawar waspada.
"Meow....Meow." Mawar langsung melarikan matanya ke bawah.
Lalu segera mengambil kucing itu ke dalam gendongannya, tersenyum puas mendapatkan senjata andalannya lagi, dengan ini Dito tidak akan pernah berani berbuat macam-macam kepadanya.
Tapi senyuman di wajahnya perlahan luntur saat matanya melihat seseorang dari kejauhan, ketika objek semakin mendekat, Mawar melebarkan kedua matanya.
Dito pun menoleh kebelakang, dia menyunggingkan senyum mencemooh saat melihat Nico berjalan menghampiri.
Dito menoleh kembali pada perempuan yang sudah berhasil mempermalukan dirinya, membuatnya jatuh tersungkur dengan sangat tidak elegan, sungguh memalukan martabatnya sebagai seorang lelaki.
Mawar meringis ngeri melihat ekspresi Dito yang seperti ingin memakan dirinya hidup-hidup.
Setidaknya Mawar merasa lega karena Nico tidak akan membiarkan Dito berbuat macam-macam kepadanya, tidak mungkin pria itu tega membiarkan istrinya diperlakukan tidak baik oleh sahabatnya sendiri.
Mawar tersentak kaget saat kucing yang berada di dalam gendongannya melompat, keningnya mengkerut melihat kucing itu berlari kearah Nico.
"Mau kemana, kau?" Dion berhasil mencengkram pergelangan lengan Mawar, sehingga Mawar yang hendak melarikan diri gagal.
Mawar encoba melepaskan lengannya yang berada di cengkraman kuat Dito, dia meringis karena cengkramannya terlampau erat. Padahal lengannya masih sakit akibat cengkraman Nico tadi pagi.
Tapi perlahan cengkraman Dito di lengannya mengendur, lalu Mawar memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya.
Dadanya berdetak kencang, melihat tatapan itu, tatapan penuh kebencian dan mencemooh sekan Nico sangat Jijik kepadanya.
"Kau masih istriku. Perhatikanlah sikapmu," ucap Nico datar.
Mawar menarik lengannya dengan paksa, lalu mengusap lengan itu. "Aku tidak melakukan apa-apa," Mawar menggeleng, menepis fikiran buruk Nico terhadapnya.
"Lalu apa yang sedang kalian berdua lakukan disini?" Tatapannya kini beralih pada Dito yang tengah tersenyum miring, seakan mengejeknya. Brengsek!
"Aku hanya ingin melihat bungaku lalu pria itu tiba-tiba ada disini." tunjuknya pada Dito yang sedang memperhatikannya dengan diam seperti sedang mengamati interaksi dirinya dengan Nico.
"Ck, aku juga menyukai Mawar," ucap Dito.
"Tapi aku tidak menyukaimu, kau pria brengsek. Aku benci padamu,"
Dito terkekeh. "Aku suka bunga Mawar, jangan terlalu percaya diri. Wanita jelek seperti dirimu tidak mungkin bisa membuat pria tampan sepertiku menaruh hati padamu,"
Hati Mawar bagai di remas, malu sekali dia telah menganggap pria brengsek itu menyukainya.
"Aku kasihan padamu Nic, selain jelek dia juga sangat percaya diri ternyata," ucap Dito pada Nico.
"Kau pikir, kau tampan? Dari pada kau, Si Juno lebih tampan darimu," ucap Mawar tidak terima.
"What?! Juno? Who is he?" Tanya Dito penasaran.
"Anjingku," ucap Nico datar.
Nico melangakah hendak pergi tidak ingin terlibat lebih lama dengan obrolan tidak bermutu tersebut, tapi teriakan Dito yang tiba-tiba, membuat otak Nico mendapatkan ide untuk menakuti pria itu.
"Nic! Jauh-jauh!" Dito berteriak histeris.
"Aku tak perduli." ucapnya datar.
Dito menggelengkan kepalanya saat dadanya perlahan menjadi sesak. Sial! Nico memang tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Dulu saat mereka masih bersekolah di high school, Nico pernah menjerumuskan nya kedalam kamar yang berisi penuh dengan kucing, tentu saja sebagai hukuman karena Dito dengan tak tahu diri telah meniduri wanita yang menjadi teman tidur Nico.
Apes memang, Dito yang selalu tidak tahan saat melihat wanita cantik malah tergoda hingga akhirnya berhasil merayu wanita tersebut, tentu saja dengan wajahnya yang tampan dia berhasil menidurinya. Tapi sebagai balasannya, dia mendapatkan perawatan di rumah sakit selama tiga bulan lamanya.
Dito menggelengkan kepalanya, merasa ngeri mengingat kejadian itu.
Tangan Nico perlahan terulur dengan seringaian jahat diwajahnya.
Dito segera berlari mengindar, tak disangka Nico malah berlari mengejarnya. Dito semakin histeris. Jika bulu kucing itu terhirup olehnya, dadanya akan sesak dan badannya menjadi gatal atau bahkan dia bisa mati jika bulu kucing itu banyak mengendap di paru-parunya. Dito sangat alergi dan fobia dengan kucing lalu ekor sialannya itu yang paling di bencinya, membuat penglihatannya sakit!
Mawar menatap datar ke arah dua lelaki yang sedang bermain kejar-kejaran itu, tingkahnya mirip seperti dua bocah yang kehilangan masa kecilnya. Ingin tertawa tapi tidak bernafsu, akhirnya Mawar melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.
Mawar melambaikan tangannya kepada bunga Mawar yang berjejer indah dengan hati senang mengucapkan selamat tinggal, tidak salah ibunya memberinya nama Mawar karena sejak kecil dia memang sangat menyukai bunga itu.
Mawar menyusuri tepi danau, setelah tenggelam di kolam tadi pagi, rasa takutnya terhadap danau semakin berkurang. Sekarang dia menjadi lebih berani menatap Danau luas di depannya. Pemandangannya sangat indah apalagi disekitar danau terdapat taman bunga yang menjadi kesukaannya. Tapi dia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa masih ada sedikit rasa takut terhadap danau itu.
"Hai, culun?"
Mawar menoleh, satu lagi orang berengsek ketika berkunjung ke mansion selalu mengincar Mawar untuk di jadikan bahan tindasan. Memang, temannya Nico tidak jauh-jauh dari orang berengsek.
"Sendirian saja? Tidak ikut bergabung dengan mereka?" Tunjuknya pada dua bocah yang masih saling kejar-kejaran.
Mawar mengabaikan Dion, dia terus berjalan walau dengan perasaan risih di hatinya, takut jika Dion melakukan hal yang tidak baik kepadanya. Misal menyeburkannya ke danau.
Menyadari itu, Mawar segera berlari menjauhi danau, tapi terlambat karena Dion sudah berhasil mendorongnya terlampau kuat hingga tubuhnya yang kurus tercebur ke danau.
Byur!
Mawar mencoba berenang, tapi seberapa keras pun mencoba hanya kesia-siaan yang dia dapat. Akhirnya dia hanya memejamkan mata menghalau rasa takutnya. Memang dirinya terlahir hanya untuk di jadikan lelucon, bahkan nyawanya pun akan menjadi lelucon yang sangat membahagiakan jika dia mati nanti.
Andai, andai saja dia bukan perempuan dari desa. Andai, Andai saja dia berasal dari keluarga kaya sama seperti mereka, mungkin mereka akan sedikit lebih berbelas kasihan kepadanya.
Mawar menekan dadanya dengan kedua tangannya, dia sudah siap jika harus mati.
Tapi bagaimana dengan keluarganya di kampung? mereka hidup dari hasil uang yang rutin di berikan Nico setiap bulan, jika dia mati maka keluarganya akan kembali kesusahan dan ibunya akan kembali menjadi pelayan. Tidak! Tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Mawar membuka kedua matanya, dia tidak boleh mati sekarang. Keluarganya masih membutuhkannya, apalagi ibunya yang selalu menjadi semangat nya.
Raut tua itu tetap cantik meski usianya hampir memasuki setengah abad, lalu wajah adiknya yang selalu ceria menyambut kedatangannya ketika berkunjung, meskipun dia jarang berkunjung kesana. Mawar menangis, sesak itu semakin memenuhi rongga dadanya.
Dengan seluruh tenaga, Mawar mencoba berenang lagi ke atas, tapi itu hanya sia-sia saja. Kini tubuhnya malah semakin terjun kebawah dan kesadarannya semakin menghilang, lalu perlahan matanya tertutup.
Tapi sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, dia merasakan seseorang mendekap tubuhnya. Matanya ingin terbuka tapi sesak di dadanya tidak tertahankan, tubuhnya lemas, lalu dia merasakan perlahan air masuk kedalam hidungnya menyumbat pernapasannya hingga membuat dadanya kian terasa sesak.
"Nic!" Dion memanggil Nico ingin memberitahukan bahwa Dito sudah dilarikan kerumah sakit. Nico tidak sengaja melemparkan kucing kepada Dito, membuat Dito pingsan di tempat. Dion meringis melihat wajah Nico yang berang saat melihat dirinya, lalu berjengkit kaget ketika melihat Mawar tak sadarkan diri dalam gendongan Nico. "KAU GILA, BRENGSEK!!" Nico meraung frustrasi. Nico segera meletakan Mawar di tepi danau, lalu menekan dadanya, memberinya pertolongan pertama. "Brengsek!" Makinya marah Karena tidak ada pergerakan apapun pada gadis itu, Nico mendekatkan mulutnya, tanpa ragu dia memberikan nafas buatan. "SHIT!" Tidak berhasil! Nico menangkap tubuh kurus itu ke dalam pelukannya, wajahnya terlihat sangat panik. "PANGGIL DOKTER BODOH!!" Teriaknya penuh dengan amarah. Dengan panik Dion langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, dia mengumpat karena ponselnya sempat terjatuh. Dion panik karena Nico seperti orang
Dua bulan kemudian.... Aku tengah berada di bandara, selama dua bulan ini aku terpaksa harus ke Norwegia demi mengurus perusahaanku yang sedang mengalami permasalahan, merasa sedikit bersalah karena meninggalkan istriku tanpa kabar selama dua bulan setelah hari pernikahan kami. Aku memasuki mobil perusahaan yang sengaja di panggil untuk menjemputku, karena mobilku sendiri berada di apartemenku yang cukup jauh dari bandara. Setelah pesta pernikahan kami berakhir waktu lalu, aku langsung memboyong Mawar tinggal di Apartmentku untuk sementara waktu. Hal Pertama yang aku lihat setelah memasuki Apartment adalah ruang tamu sekaligus tempat bersantai untuk menonton televisi. Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah tapi tidak dapat menemukan dimana keberadaan istriku. Langkahku terhenti saat melihat istriku tengah berada di ruang makan bersama seorang lelaki, aku mengerutkan kening nampak tidak asing dengan lelaki tersebut. Mawar terkejut saat matan
"Aku mau izin keluar, ingin berbelanja ke supermaket," ucap Mawar setelah kami sudah selesai sarapan pagi. Aku melap mulutku menggunakan tisu yang selalu tersedia dimeja makan. Setelah itu mengeluarkan dompet di balik jasku lalu mengambil Black card dari sekian banyak kartu yang berada disana, memberikannya kepada Mawar. Selama ini memang aku menyuruh sekretarisku yang memenuhi kebutuhan Mawar, selama aku berada di Norwegia. Lalu aku tenggelam dengan banyaknya pekerjaan disana, Sampai lupa menanyakan kabar istriku sendiri. "Ini, gunakanlah untuk berbelanja kebutuhan mu juga," Mawar menerimanya dengan senyum semringah, tapi seketika keningnya mengkerut lalu dia menggeleng. " Maaf, tapi aku tidak bisa menggunakannya," ucapnya dengan suara pelan. "Kenapa? bukankah kau bilang ingin berbelanja tadi," tanyaku. "Maksudku, aku tidak bisa menggunakan kartu ini. Aku hanya tahu kartu ATM karena ibuku hanya memiliki kartu itu." ucapnya mas
"Selamat datang Nic, terimakasih sudah menghadiri acara ini. Bagaimana kabar mu?" Sambutnya, kami memang memiliki hubungan yang baik mengingat putrinya adalah mantan kekasihku jadi saat memanggilku dia tidak memakai nama belakang keluargaku, aku tidak mempermasalahkannya. Aku menerima uluran tangan itu. "Baik, tentu saja," Sementara tanganku yang satunya meraih pinggang Mawar semakin mendekat, karena sejak tadi pria di samping Alex -pria paruh baya yang menyapaku sekaligus yang mempunyai acara, tidak mengalihkan tatapannya barang sedetikpun dari istriku sehingga membuatku ingin mencolok matanya supaya tidak bisa melihat lagi selamanya. "Ini Fabio, anak saya," ucapnya memperkenalkan pria itu. Aku mengangkat alisku, setahuku Laura tidak mempunyai saudara, dia adalah anak tunggal. Lalu pria yang bernama Fabio itu, menjabat tanganku dan tangan istriku, aku membiarkannya untuk dalih kesopanan. "Yang saya tahu, anda hanya mempunyai satu anak saja,"
Aku melangkahkan kakiku dengan santai menuju lift. Lalu tiba-tiba ponsel di saku celanku berdering, aku mengambilnya dan melihat nama mertuaku yang tertera disana. Bunyi ting terdengar, pintu lift pun terbuka bertepatan saat sambungan telponku sudah dimatikan di sebrang sana, menampilkan lorong yang hanya berisi satu pintu saja, aku menekan kode apartemenku dan langsung masuk kedalam. Berjalan kearah sofa dan langsung mendudukkan diriku disana, menyandarkan tubuhku yang terasa lelah. Apakah Mawar sudah tidak marah lagi padaku? Mengingat aku tidak pulang semalam dan siang ini baru menginjakan kaki di sini. Pekerjaan hari ini sungguh menguras tenagaku, semalam aku minum terlalu banyak sehingga pada saat pagi hari badanku menjadi lemas dan kepalaku pusing, untungnya aku masih bisa pergi ke kantor dan mengikuti rapat, setelah selesai rapat dengan kolegaku aku bersyukur tidak ada pekerjaan penting yang harus aku tangani siang ini, sehingga aku memilih untu
Nico tengah termenung duduk bersandar di sofa kamarnya, tatapannya kosong. Sesekali dia tersadar oleh suara petir lalu kembali melamun. Matanya terpejam dalam, keningnya mengkerut merasakan rasa sakit di hatinya. Flashback "Ayo cepat!" Teriaknya kesal, sebab wanita di belakangnya berjalan sangat lamban. Bruk "Aww... Hiks" Nico menghembuskan nafas kasar, dia turun dari golpcar dan menghampiri wanita lemah yang sedang menangis tersedu-sedu. Nico mengangkat satu alisnya ketika wanita itu mendongak, "Ck, jangan manja," ucapnya menatap Mawar dengan pandangan jijik. "Cepat berdiri atau kau ku usir dari sini," suaranya terdengar sinis dan tajam, membuat Mawar semakin mengeraskan isakan nya. "Kau sungguh ingin ku usir dari sini ya?" Mawar memejamkan mata, dia menggeleng. Kedua tangannya bergerak menghapus air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Keningnya mengkerut, bibirnya dia gigit supaya isak tangis nya
Keluar dari lift kedua matanya langsung di manjakan dengan kemegahan mansion. Kedua kakinya berjalan santai lalu berbelok ke kanan menuju ruang makan yang berada di sayap kanan lantai satu. Nico selalu suka pemandangan di ruang makan, apalagi matahari bersinar cerah pagi ini, sinarnya menerobos masuk lewat jendela kaca besar menambah keindahan ruangan. Nico mengambil tempat di kursi yang biasa dia duduki. Dari kursi paling ujung, matanya bisa melihat danau dan banyaknya tanaman bunga Mawar yang memperindah pemandangannya pagi ini. Suara kicauan burung pun terdengar karena setiap pagi semua jendela kaca akan di buka, menambah udara segar yang masuk ke dalam ruang makan. Taman bunga Mawar, taman itu sengaja di buat Nico untuk Mawar, istrinya. Semenjak mengetahui Mawar pobia dengan danau, dia berin
"Apa kau sudah ingat? Itu benar dia, ya?" Farrel mengangkat kedua alisnya meminta jawaban dari Nico. Nico membulatkan matanya, dia menggeram rendah. "Kau sendiri, bagaiaman bisa mengingatnya?!" "Kau mencintainya," ucap Farrel dengan wajah serius. Nico memalingkan wajahnya enggan menatap Farrel. Dia bergerak gelisah di tempatnya. Farrel menggelengkan kepala, sudah jelas bahwa pria itu mencintainya tapi masih saja gengsi. "Aku tidak tahu Nic, saat melihatnya aku langsung bisa mengingatnya, aneh bukan?" Nico mendengus tidak suka. "Tidak aneh untuk seorang pedofil sepertimu," tiba-tiba Nico berdehem, karena tenggorokannya terasa kering. Seorang pedofil rasanya lebih cocok untuk pria seperti dirinya. Tapi dia hanya tertarik pada gadis remaja itu saja. Lagipula kejadian itu sudah lama, bahkan dia sudah melupakan gadis itu. Tapi siapa sangka ternyata dimasa depan gadis itu menjadi istrinya. "Haha, i'am not," Nico memicingk
Matahari bahkan belum menampilkan secercah sinarnya, tapi mansion yang letaknya berada di tengah hutan itu tengah di sibuk kan dengan kedatangan tamu yang membuat para penghuninya sibuk setengah mati. "Sudah, kau puas sekarang?" Mawar mendelik, "cih, kembalikan aku kepada keluargaku, Nico sialan." Semua orang yang menyaksikan pertarungan sengit itu menahan nafas, lalu mereka sontak terpekik saat nyonya mereka melemparkan sebuah panci yang berisi sup ke arah majikannya. Sup yang sudah hampir dingin itu berceceran di lantai. Mawar menelan ludah, sungguh dia tidak sengaja melakukannya, itu bukan keinginannya melainkan tangan sialan yang tidak bisa dia kontrol. Matilah kau Mawar! Suasana hening nan mencekam langsung menyelimuti ruang makan itu. Lalu tiba-tiba, para pelayan tersentak dan refleks melangkah mundur mendengar sebuah kekehan yang terasa mematikan di telinga mereka. Mawar meringis ngeri melihat ekspresi semua pelayan. "Apa kau gila Nic, kau menakuti semua orang," ucap Mawar
Nico mengalihkan pandangannya ketika Laura menatap dirinya seakan memintanya untuk mematikan telepon."Urus saja olehmu," ucap Nico akhirnya pada seseorang di seberang telepon.Laura mengembangkan senyumnya ketika mendengar Nico mengakhiri panggilannya, itu tandanya pria itu sudah mulai menerima dirinya dan juga putra semata wayang mereka."Fred makan yang banyak agar kamu cepat tumbuh besar," ucap Laura, tangannya sibuk menambahkan berbagai jenis sayuran dan lauk pauk kedalam piring Fred."Aku sudah besar mommy," ucap Fred menanggapi, matanya mengikuti setiap gerakan Laura yang dengan cekatan memindahkan lauk pauk dan juga sayuran ke dalam piringnya.Laura terkekeh, "ya, maksud mommy biar kau lebih besar lagi dari dirimu yang sekarang, kau lihat..." Laura menggerakan dagunya terarah pada Nico yang ternyata masih sibuk berbicara di telepon."Ya, itu Daddy, kenapa dengan dia Mom?""Cepatlah besar agar kau bisa membantu ayahmu bekerja, tidakkah kau lihat Fred? Dia terlalu sibuk sampai m
Nico mengikuti arah pandang Laura, dimana Fred sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. Tatapan Laura sendu menatap anaknya, "Kau tidak ingin bermain dengannya, Nic?" Perasaan Laura mendadak pilu, mengingat akhir-akhir ini Nico kembali menjadi Nico yang dulu, lebih mengutamakan pekerjaannya ketimbang dirinya, kini anaknya pun mengalami hal serupa dengannya. Nico mengerutkan keningnya saat menatap Laura, lalu dia berdeham pelan, "ya, kurasa aku masih punya waktu lima menit sebelum pergi ke kantor," ucapnya sembari melirik arloji ditangannya. Laura menipiskan bibirnya, senyum kecil tercetak di sana. "Terimakasih, Nic" dengan perasaan ragu, Laura mengulurkan tangannya, ingin menyentuh lengan Nico. "Daddy!" Fred berteriak girang, tangan mungilnya melambai lalu setelah itu dia menarik jari telunjuk Nico agar Nico mengikuti langkahnya, "Daddy lihat ini," Fred menunjukkan sebuah buku warna yang sebelumnya berada di tangan pengasuhnya. Nico mengambil buku itu dan membukanya lembar demi l
"sialan!" Nico mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya. "Pak tua itu..." Dia menggeram rendah, matanya memerah dan pandangan tajamnya lurus menatap kedepan.Tak lama suara tawa terdengar, lalu Nico menyingkirkan habis semua benda yang berada di atas meja kerjanya. "Dia terlalu meremehkan ku, kita lihat saja apa yang bisa pria ini lakukan!"Joan langsung mendekati Nico dan merentangkan kedua tangannya saat Nico akan membanting sebuah laptop yang biasa di pakai Nico untuk bekerja, menjadikan dirinya tameng agar Nico tidak mengancurkan laptop yang berisi data peting itu,"Kendalikan amarahmu tuan, taruh kembali laptop itu jika tidak ingin perusahaan mu hancur dalam sekejap," wajah Joan terlihat serius, nafasnya kembang kempis raut panik terlihat jelas di wajahnya.Prank!Laptop itu sudah terbelah menjadi dua bagian saat beradu dengan ubin, dia memberikan smirk dan berdecih di depan Joan. "Kau pikir aku bisa tenang di situasi seperti ini, Joan?!" Mata Nico melotot, merasa kesal men
Mawar sejak tadi masih berdiam diri di teras mansion menunggu mobil yang di tumpangi oleh ibunya hilang dari pandangan, senyum semringah sedari tadi tak hilang dari wajah cantiknya tatkala dia mengingat kembali senyuman tulus ibunya sebelum berpamitan.Semenjak ayahnya meninggal dunia dia tidak pernah melihat senyum itu lagi, kini senyum itu telah kembali, membuatnya merasakan perasaan bahagia yang teramat.Mawar menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan cepat, senyum lebar terpatri di wajah cantiknya, perasaanya kini terasa lega, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.Tapi senyum indah itu perlahan memudar lalu tiba-tiba tatapan Mawar meredup, wajahnya terlihat sedih, "Kenapa aku tiba-tiba merasa merindukan pria brengsek itu?" ucapnya dengan kepala menunduk dalam, kini yang dia lihat hanya lantai yang beralaskan keramik polos, sama dengan perasaannya yang kian hari mulai terasa hampa.Lalu kepala Mawa
Nico mengetuk-ngetuk jari telunjuk dan jari tengahnya di atas meja, tatapan tajamnya lurus menatap Joan. "Dia kabur?" tanya Nico akhirnya setelah sekian lama bungkam.Joan mengusap belakang tengkuknya sebelum mengangguk dengan gerakan pelan.Nico berdecih, "apa tidak ada yang ingin kau jelaskan padaku, Joan?"Joan semakin menunduk bagai anak kucing yang tengah ketakutan. "Maaf tuan, ini kelalaian kami, " ucapnya, dia segera waspada saat melihat Nico bangkit dan mendekatinya.Bugh!Kepala Joan tertoleh ke samping saat pukulan hebat Nico mendarat tepat di sebelah pipinya dan hampir mengenai matanya jika saja dia tidak repleks menoleh."Bukan jawaban itu yang aku inginkan, Joan," Nico mengangkat satu alisnya, menatap Joan dengan sorot tajam.Joan menunduk, "ada penyusup masuk tadi malam tuan," ucap Joan dengan jujur.Joan langsung melangkah mundur saat Nico akan kembali menghajarnya.Nico terkekeh, "ah.. sudahlah, aku
Laura menangis di pelukan Nico, matanya menatap kaca yang menampilkan sosok Fred yang tengah di tangani oleh banyak dokter di dalam sana. "Bagaimana keadaanya?" Suara Laura terdengar sangat lirih, kedua tangannya saling meremas satu sama lain sedangkan air matanya terus mengalir, kepalanya dia tenggelamkan di dada bidang Nico karena sedari tadi pria itu tidak pernah membiarkan dirinya lepas dari dekapan hangatnya. "Aku tidak ingin kehilangannya, sungguh. Lebih baik aku mati saja," tangisan Laura semakin menjadi dikala kepalanya membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putranya. Nico menghembuskan nafasnya, lalu satu tangannya bergerak mengelus rambut Laura mencoba untuk menenangkan. Laura mendongakan kepalanya, menatap Nico dengan air mata yang bersimbah, "bagaimana jika aku kehilangannya," Nico menatap Laura untuk sesaat sebelum membuka mulutnya. "Tidak akan," ucap Nico. Laura tersenyum tulus, hanya dua kata saja yang keluar d
"Ini dimana?" Mawar mengedarkan pandangannya, dia mengernyit heran sekaligus kesal pada Nico karena pria itu memaksanya ikut serta dalam kunjungan kerjanya keluar kota, pria brengsek itu juga mengancamnya akan terus mengurung Fabio di ruang bawah tanah tanpa perawatan jika dia tidak menuruti keinginannya."Rumah kita yang baru." Ucap Nico. " Mungkin lebih tepatnya, rumahmu," koreksinya sambil merangkulkan sebelah lengan kekarnya di pundak istrinya.Mawar melepas paksa tangan itu dan melotot pada Nico. "Aku tidak mau berada disini,"Nico langsung berdecak tidak suka, dia benci penolakan. "Aku tidak menerima penolakan, sayang,"Mawar menghindar saat kedua tangan Nico yang kekar dan lebih besar darinya itu akan meraih pinggangnya. "Kau!"tunjuk Mawar tepat di hidung Nico, "jangan menyentuhku!" Sembur Mawar.Nico mengangkat satu alisnya, "apa kau bercanda?" tanya Nico sembari terkekeh. "Aku bahkan sudah pernah menyentuh setiap inci kulit mulusmu ini," N
Mawar menelan sarapannya dengan susah payah, dia merasa risih karena terus mendapatkan tatapan dari pria keparat itu. Prank! Mawar membanting sendok, lalu dia bersedekap tangan, memberanikan diri ikut membalas tatapan pria itu dengan tatapan sinis. Nico mengulum senyumnya, lalu tak lama kekehan terdengar dari mulut pria itu. "Habiskanlah sarapanmu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat hari ini," Mawar masih diam bergeming, masih menatap Nico dengan sinis. Nico mengangkat kedua tangannya, kedua kakinya yang tadi di silangkanpun dia turunkan. "Baiklah-baiklah... Aku akan menunggumu di luar." Nico memilih mengalah, dia bangkit dari sofa yang tak jauh dari posisi Mawar berada, sebelum keluar dia berjalan mendekati Mawar Menyempatkan untuk mengecup singkat kening Mawar. Mata Mawar mengikuti kepergian Nico sampai lelaki itu hilang di balik pintu. Setelah memastikan Nico sudah pergi, Mawar langsung meloncat turun dari kasur menghiraukan sarapa