Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Kusebut dia malaikat karena bagi ayah dia adalah malaikat. Dia memujanya dan sangat mencintainya bahkan mementingkan yang lebih dari Bunda. Wanita cantik yang umurnya berbeda 5 tahun lebih muda dari ibuku itu, terlihat sangat istimewa di mata ayah. Wanita bernama Priska itu profesinya adalah seorang pegawai di instansi yang berdekatan dengan kantor ayah. Jangan tanya bagaimana perasaanku sebagai anak, tentu sangat hancur, bingung dan dilema. Ingin kuberitahu Bunda yang sebenarnya tapi aku khawatir Bunda akan syok dan menangis lalu terjadi dalam pertengkaran dan akhirnya kedua orang tuaku bercerai. Tapi jika tidak ku beritahu maka Bunda akan selamanya dibodohi, adikku yang selama ini sangat mencintai Ayah juga akan sangat kecewa kalau tahu orang yang sangat dicintainya telah mencintai wanita lain dan hidup bahagia. Awalnya aku tidak menyangka, karena kehidupan kami sehari-hari di rumah sangat bahagia. Ayah tipikal orang yang disiplin dan selalu pulang tepat waktu, tidak pernah ada
Priska yunita namanya, malaikat maut yang sudah mencuri hati Ayah. ** Aku menangis sedih di hadapan ibuku, air mataku meluncur, nyaris jatuh ke mangkuk bakso yang kugenggam di tangan, entah kenapa selera makan dan rasa antusias tadi langsung menguap, terlebih mengingat ekspresi ayah yang seolah tak berdosa Memandangku tenggelam dalam kesedihan, Bunda hanya menghela napas, dia mendekat lalu mengusap air mataku dengan senyum tulus sambil menggeleng pelan dan memberi isyarat bahwa aku tak perlu membuang buang air mata. “Jangan nangis ya, Bunda aja tenang kok, semuanya akan baik baik saja di antara kita, tenanglah…” "Bagaimana Bunda bisa setenang ini ?" "Bunda harus bagaimana selain bersabar?" "Bunda bisa kok marah atau memberi ayah hukuman." "Dia adalah imam, dia juga berhak memutuskan jalan hidup dan pasangan yang dia inginkan." Aku terperangah mendengar jawaban Bunda, aku tak habis pikir, akalku tak sampai ke level di mana bunda berprinsip bahwa ayah berhak melakukan apa sa
Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah. Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya. Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya. Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa. Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan pen
Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan. Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu? “Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak. “Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya. Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya. “Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai. Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia me
"Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja. Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan.Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah. Aku bukan saja ak
"Aku tidak akan keberatan mengantarmu, tapi aku hanya heran mengapa tiba tiba?" "Entahlah, jalan saja, lampunya sudah hijau," jawabku sambil tersenyum tipis. Terpaksa wanita itu mengajakku, memboncengku dengan diam saja. Aku tahu arah kantornya berlawanan, kulihat ia pegawai dinas pendidikan, arah kantornya jauh dari sekolahku. Lima kilo meter berikutnya setelah meluncur, motor melaju pelan. "Aku turunkan kamu di halte ya, kamu lanjut naik ojek aja karena aku harus buru buru rapat." "Ayah pasti sedih mengetahui bahwa Ibu tiriku memperlakukanku seperti ini," ujarku santai. "Maaf, tapi saya harus rapat," jawabnya lirih. Wanita itu menghentikan motornya, memaksaku turun sambil menatapku dengan wajah penuh permohonan. "Saya tahu kamu sangat kecewa dan benci saya, kamu ingin marah dan memukuli saya, tapi tolong beri waktu agar kita bisa saling bicara dan saling menerima," ujarnya "Hah, saling menerima?" Aku langsung tertawa. "Semua akar dari masalah ini adalah ayahmu, dialah yang h
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku