Kututup pintu lalu menumpahkan air mataku yang sejak berminggu minggu kutahan. Kupikir, setelah ayah mengetahui bahwa aku tahu rahasia terbesarnya, lelaki paruh baya itu akan berhenti dengan kegiatan perselingkuhannya, tapi ternyata, makin hari makin parah saja. Oh ya, itu bukan perselingkuhan, ayah sudah menikah dan itu fakta yang sulit diganggu meski di lain sisi sulit diterima.
Malam harinya ayah pulang. Lelaki berbaju kemeja biru dengan wajah penuh wibawa dan tutur bahasa yang selalu lembut itu, kini berubah total di mataku. Aku membencinya, rasa simpati dan cintaku sebagai anak menguap jadi rasa kecewa yang bertubuh tubi. Bukan tentang hatiku, tapi tentang perasaan ibuku yang terluka. Wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia itu ... Rasanya aku tak tega menyaksikan penderitaannya. Mengetahui bahwa ia sudah bertahan sejauh ini membuatku makin remuk redam, hancur dalam rasa bersalah karena tidak mampu meringankan luka orang tua. "Bun, kamu masak apa, aku lapar." Itu suara ayah yang terdengar dari kamarku. Bisa bisanya setelah berkencan dan jalan dengan wanita lain Ayah kini minta makan dari ibuku, yang meski itu adalah istrinya, tapi dia jelas-jelas sudah menyakitinya. "Ada Yah, aku sudah masak, dan itu sudah tersedia di meja. Cucilah tangan, nanti aku buatkan kopi." Ya Tuhan ... Aku hanya bisa memejamkan mata mendengar Bunda mengatakan itu. Sungguh besar kesabaran bunda menahan perasaannya.Jika aku yang sebagai anak saja merasa sangat kecewa dan terluka, lalu bagaimana dengan ibuku yang merupakan istrinya,? Wanita yang sudah mendampinginya selama hampir 20 tahun, wanita yang telah menemaninya berjuang dari tidak memiliki apa-apa sampai punya rumah dan mobil. Wanita yang sudah melahirkan anak-anaknya lalu telah mendidik kami dengan penuh kasih sayang dan memastikan bahwa kami selalu menghormati ayah.
Di bagian mana Ibuku telah membuat kesalahan dan kekurangan, Mengapa ayah tega sekali menyakitinya?
"Kamu bawakan air dingin ya Bun, aku haus sekali." "Iya Mas," jawab Bunda dengan segera. Buru-buru Bunda melepas pekerjaannya yang sedang sibuk mencuci piring dan langsung meraih gelas air lalu menuangkannya dari dispenser yang sebenarnya dekat jaraknya dari ayah. Astaghfirullah, Kenapa ayah tidak mengambil sendiri? Tidak punya rasa malukah dia setelah tadi sore bunda melihat dia berkencan dengan wanita lain?!Dan Bunda, kenapa Bunda tetap diam saja. Apakah itu adalah bukti betapa berbaktinya Bunda? Kenapa kesannya terlihat bahwa Bunda bodoh sekali ya....
"Ini ayamnya alot sekali, kamu harus merebusnya terlebih dahulu." "Iya Mas, maaf aku tadi terburu-buru khawatir terlambat masak dan kamu pulang dalam keadaan lapar," jawab wanita itu sambil tersenyum dengan tulus, tapi aku bisa menangkap rasa sakit dari bola matanya. Ya Tuhan, hatiku makin perih. Mengapa Ayah masih mengoreksi hal-hal yang seharusnya tidak perlu dikoreksi tanpa memikirkan perasaan Bunda, tidakkah ia menimbang kesalahannya sendiri. Inginku merangsek keluar dari kamarku lalu menyemprot Ayah dengan kalimat kalimat menohok, ingin kucaci maki dia karena sudah mengkhianati kami, tapi tetap saja aku tak mampu, itu perbuatan yang tidak sopan pada orang tua sekaligus itu akan mengundang keributan dan adikku yang lagi fokus belajar akan tahu. Ya Allah, semakin ditahan semakin berontak rasanya hati ini semakin sakit menyaksikan ibuku yang harus berpura-pura tersenyum dan menahan luka di hatinya. Tetap sama dengan bakti dan ketulusannya. Mungkin Bunda berpikir bahwa kami anak-anak akan bahagia kalau melihat ayah dan ibu yang baik-baik saja padahal mereka menyembunyikan sesuatu, sesungguhnya itu lebih menyakitkan dibanding dipukuli. Ah, hatiku resah, kesal, kecewa, pengen sekali pulang biarkan hati itu kepada ayah atau minimal aku bertanya padanya mengapa ia tega melakukan itu.Mengapa tidak sedikitpun terbesit atau terlihat di wajahnya rasa bersalah dan minta maaf kepada Bunda. Ataukah diri ini yang memang tak tahu apa apa?
Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah. Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya. Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya. Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa. Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan pen
Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan. Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu? “Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak. “Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya. Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya. “Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai. Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia me
"Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja. Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan.Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah. Aku bukan saja ak
"Aku tidak akan keberatan mengantarmu, tapi aku hanya heran mengapa tiba tiba?" "Entahlah, jalan saja, lampunya sudah hijau," jawabku sambil tersenyum tipis. Terpaksa wanita itu mengajakku, memboncengku dengan diam saja. Aku tahu arah kantornya berlawanan, kulihat ia pegawai dinas pendidikan, arah kantornya jauh dari sekolahku. Lima kilo meter berikutnya setelah meluncur, motor melaju pelan. "Aku turunkan kamu di halte ya, kamu lanjut naik ojek aja karena aku harus buru buru rapat." "Ayah pasti sedih mengetahui bahwa Ibu tiriku memperlakukanku seperti ini," ujarku santai. "Maaf, tapi saya harus rapat," jawabnya lirih. Wanita itu menghentikan motornya, memaksaku turun sambil menatapku dengan wajah penuh permohonan. "Saya tahu kamu sangat kecewa dan benci saya, kamu ingin marah dan memukuli saya, tapi tolong beri waktu agar kita bisa saling bicara dan saling menerima," ujarnya "Hah, saling menerima?" Aku langsung tertawa. "Semua akar dari masalah ini adalah ayahmu, dialah yang h
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m