Share

2. Priska

Priska yunita namanya, malaikat maut yang sudah mencuri hati Ayah.

**

Aku menangis sedih di hadapan ibuku, air mataku meluncur, nyaris jatuh ke mangkuk bakso yang kugenggam di tangan, entah kenapa selera makan dan rasa antusias tadi langsung menguap, terlebih mengingat ekspresi ayah yang seolah tak berdosa

Memandangku tenggelam dalam kesedihan, Bunda hanya menghela napas, dia mendekat lalu mengusap air mataku dengan senyum tulus sambil menggeleng pelan dan memberi isyarat bahwa aku tak perlu membuang buang air mata.

“Jangan nangis ya, Bunda aja tenang kok, semuanya akan baik baik saja di antara kita, tenanglah…”

"Bagaimana Bunda bisa setenang ini ?"

"Bunda harus bagaimana selain bersabar?"

"Bunda bisa kok marah atau memberi ayah hukuman."

"Dia adalah imam, dia juga berhak memutuskan jalan hidup dan pasangan yang dia inginkan."

Aku terperangah mendengar jawaban Bunda, aku tak habis pikir, akalku tak sampai ke level di mana bunda berprinsip bahwa ayah berhak melakukan apa saja sementara Bunda tidak bisa melakukan apa apa. Menurut pemikiranku, apakah ayah yang boleh bahagia sementara Bunda tak boleh? Ya Allah konsep adil dari mana itu.

"Ayo pulang, jangan menangis di sini ya, nggak enak dilihat orang," ujar Bunda pelan. Kukemas air mata lalu mengikuti beliau bangkit dan beranjak dari tempat itu.

*

Sepanjang perjalanan pulang aku tak kuasa terus meneteskan air mata. Aku kasihan kepada ibuku juga sedih membayangkan kalau adikku, Indira tahu yang sebenarnya. Dia sangat mencintai ayah dan manja padanya. Bagaimana kalau dia tahu ayah ternyata punya wanita lain? Tentu akan sangat syok adikku itu.

Aku bersyukur dia tidak ikut makan bakso dengan kami karena sore ini bertepatan dengan jadwal lesnya yang sebentar lagi akan lulus SMP.

Kami yang sudah sampai di rumah langsung menepikan motor, meletakkannya di pinggir garasi lalu masuk ke dalam rumah. Indira adikku terlihat berguling di sofa ruang tamu sambil membaca buku. Mungkin karena melihat mataku yang sembab dia langsung mengernyit heran dan bertanya.

"Kamu kenapa Kak?"

"Gak ada, kelilipan."

"Masak sih, separah itu?"

"Iya," jawabku sambil segera masuk ke kamar.

Kututup pintu lalu menumpahkan air mataku yang sejak berminggu minggu kutahan. Kupikir, setelah ayah mengetahui bahwa aku tahu rahasia terbesarnya, lelaki paruh baya itu akan berhenti dengan kegiatan perselingkuhannya, tapi ternyata, makin hari makin parah saja. Oh ya, itu bukan perselingkuhan, ayah sudah menikah dan itu fakta yang sulit diganggu meski di lain sisi sulit diterima.

Malam harinya ayah pulang. Lelaki berbaju kemeja biru dengan wajah penuh wibawa dan tutur bahasa yang selalu lembut itu, kini berubah total di mataku. Aku membencinya, rasa simpati dan cintaku sebagai anak menguap jadi rasa kecewa yang bertubuh tubi. Bukan tentang hatiku, tapi tentang perasaan ibuku yang terluka. Wanita yang sudah melahirkan aku ke dunia itu ... Rasanya aku tak tega menyaksikan penderitaannya. Mengetahui bahwa ia sudah bertahan sejauh ini membuatku makin remuk redam, hancur dalam rasa bersalah karena tidak mampu meringankan luka orang tua.

"Bun, kamu masak apa, aku lapar." Itu suara ayah yang terdengar dari kamarku. Bisa bisanya setelah berkencan dan jalan dengan wanita lain Ayah kini minta makan dari ibuku, yang meski itu adalah istrinya, tapi dia jelas-jelas sudah menyakitinya.

"Ada Yah, aku sudah masak, dan itu sudah tersedia di meja. Cucilah tangan, nanti aku buatkan kopi."

Ya Tuhan ... Aku hanya bisa memejamkan mata mendengar Bunda mengatakan itu. Sungguh besar kesabaran bunda menahan perasaannya.

Jika aku yang sebagai anak saja merasa sangat kecewa dan terluka, lalu bagaimana dengan ibuku yang merupakan istrinya,? Wanita yang sudah mendampinginya selama hampir 20 tahun, wanita yang telah menemaninya berjuang dari tidak memiliki apa-apa sampai punya rumah dan mobil. Wanita yang sudah melahirkan anak-anaknya lalu telah mendidik kami dengan penuh kasih sayang dan memastikan bahwa kami selalu menghormati ayah.

Di bagian mana Ibuku telah membuat kesalahan dan kekurangan, Mengapa ayah tega sekali menyakitinya?

"Kamu bawakan air dingin ya Bun, aku haus sekali."

"Iya Mas," jawab Bunda dengan segera.

Buru-buru Bunda melepas pekerjaannya yang sedang sibuk mencuci piring dan langsung meraih gelas air lalu menuangkannya dari dispenser yang sebenarnya dekat jaraknya dari ayah. Astaghfirullah, Kenapa ayah tidak mengambil sendiri? Tidak punya rasa malukah dia setelah tadi sore bunda melihat dia berkencan dengan wanita lain?!

Dan Bunda, kenapa Bunda tetap diam saja. Apakah itu adalah bukti betapa berbaktinya Bunda? Kenapa kesannya terlihat bahwa Bunda bodoh sekali ya....

"Ini ayamnya alot sekali, kamu harus merebusnya terlebih dahulu."

"Iya Mas, maaf aku tadi terburu-buru khawatir terlambat masak dan kamu pulang dalam keadaan lapar," jawab wanita itu sambil tersenyum dengan tulus, tapi aku bisa menangkap rasa sakit dari bola matanya.

Ya Tuhan, hatiku makin perih. Mengapa Ayah masih mengoreksi hal-hal yang seharusnya tidak perlu dikoreksi tanpa memikirkan perasaan Bunda, tidakkah ia menimbang kesalahannya sendiri.

Inginku merangsek keluar dari kamarku lalu menyemprot Ayah dengan kalimat kalimat menohok, ingin kucaci maki dia karena sudah mengkhianati kami, tapi tetap saja aku tak mampu, itu perbuatan yang tidak sopan pada orang tua sekaligus itu akan mengundang keributan dan adikku yang lagi fokus belajar akan tahu. Ya Allah, semakin ditahan semakin berontak rasanya hati ini semakin sakit menyaksikan ibuku yang harus berpura-pura tersenyum dan menahan luka di hatinya. Tetap sama dengan bakti dan ketulusannya.

Mungkin Bunda berpikir bahwa kami anak-anak akan bahagia kalau melihat ayah dan ibu yang baik-baik saja padahal mereka menyembunyikan sesuatu, sesungguhnya itu lebih menyakitkan dibanding dipukuli. Ah, hatiku resah, kesal, kecewa, pengen sekali pulang biarkan hati itu kepada ayah atau minimal aku bertanya padanya mengapa ia tega melakukan itu.

Mengapa tidak sedikitpun terbesit atau terlihat di wajahnya rasa bersalah dan minta maaf kepada Bunda. Ataukah diri ini yang memang tak tahu apa apa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status