Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah.
Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya. Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya.Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa.
Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan penekanan. "Ayah yang harusnya sadar dan berhenti untuk pura pura biasa saja padahal ayah yang bejat," jawabku sambil melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku dengan kasar. Tak mampu dipungkiri, kenyataan bahwa aku kini sangat membenci ayah mungkin adalah sesuatu yang sulit ayah terima. Tapi aku tak peduli, masa bodoh dengannya. Usai makan kulihat ayah dan adikku sedang bercengkrama di ruang tengah. Mereka mengobrol seperti biasa, adikku asyik menceritakan keseharian dan tentang sahabat sahabatnya yang belagu banyak tingkah. Dan seperti biasa pun ayah akan merangkulnya lalu memberinya pengertian dan nasehat yang terdengar bijak agar adikku tidak terpengaruh dengan pergaulan yang salah atau mengikuti tingkah-tingkah yang menyimpang. Sebenarnya itu baik, tapi menyadari kesalahan ayah, aku jadi jijik padanya. * "Bunda, sampai kapan bunda akan diam saja seperti ini?" Begitu tanyaku suatu hari. "Bunda akan diam selamanya, sampai masalah yang ada terlupakan dengan sendirinya." "Apakah bunda pikir, dengan menganggap itu akan hilang dengan sendirinya kami yang di sini akan baik-baik saja? Kenapa Bunda bodoh sekali." "Ayahmu sudah telanjur menikah, meminta seorang lelaki untuk menceraikan istrinya demi keegoisan agar dia mencukupi kasih sayang padaku dan isi piringku adalah tindakan buruk dan dosa. Bunda ini hanya wanita, hanya istri yang harus menurut pada suami dan aturan agama." "Tapi bagaimana dengan hati Bunda? Mengapa Bunda tidak sekalipun protes atau memperingatkan Ayah minimal memberinya ultimatum bahwa kalau Ayah terus melakukan perbuatannya, maka bunda akan memberikan ganjaran?!" "Terlalu mahal kata-kata yang akan aku ucapkan kepada lelaki yang sudah bebal hati dan jiwanya." Kalimat dari Bunda seketika membuatku terdiam. Aku terkejut, apakah ini maksudnya bahwa ibuku sudah kehilangan rasa? Apakah dia hanya menjalani rumah tangga sebagai formalitas dan memaksa penderitaannya demi melihat kami anak-anak tumbuh dengan baik dan terjamin masa depan kami? "Sungguhkah ini demi kami?" tanyaku dengan rasa tenggorokan yang hampir kering. "Iya Alana, Bunda mohon ya, demi kalian, demi Adek Indira yang masih membutuhkan ayah. Bunda mohon, jangan buat keributan," ujar Bunda sambil menyentuh tanganku. Tetap aja ada rasa 'mangkel' dalam hatiku. Tetap ada rasa keberatan atas sikap bunda yang hanya mengalah saja. Ya Allah, aku sesak sekali. * Tok tok .... Aku yang sedang sibuk mengerjakan tugas tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu kamar. Adikku yang selalu ceria memanggil lalu menyembulkan kepalanya dari balik pintu dengan senyum yang riang. "Ayah memanggil." "Untuk apaa?" tanyaku dingin, mendengar dia mengatakan kata ayah saja membuatku muak. "Mungkin seperti biasa .... akan membagikan uang jajan." Biasanya momen membagikan uang jajan bulanan adalah hal yang menyenangkan antara Aku dan Indira. Kami biasanya akan bersaing tentang pengeluaran sekolah agar Ayah memberikan kami uang lebih. Setelah diberi uang kami anak-anaknya akan tertawa bahagia dan merasa puas. Namun kali ini, aku benar-benar malas menemui ayah. Rasanya persetan dengan uang sekolah. Aku ingin menolaknya sebagai bentuk kebencian dan protesku. Aku akan mencari kerja paruh waktu dan bertahan hidup tanpa bantuan ayah, tapi tetap saja, itu adalah konsep yang sulit diwujudkan bagiku yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. "Ayo Kak, kenapa diam saja?" "Ada bunda gak?" "Iya, ada." Deg. Hatiku mulai merasa tidak tenang dan tidak karuan. Apakah sekarang ayah akan mengungkapkan kejujuran pada semua orang? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Indira. "Emangnya ayah mau apa?" tanyaku dengan malas. "Gak tahu, ayo dong kak buruan turun ke bawah." "Iya iya ...." Dengan malas kututup buku catatan dan segera turun ke ruang tengah. Di sana ada ayah, ibu dan adikku yang asyik dengan makanan ringan dan tontonan TV. Ayah dan Bunda tidak duduk berdekatan melainkan selalu ada jarak diantara mereka. Aku baru memahami kenapa ayah dan ibuku tidak pernah duduk berdekatan dan saling merangkul seperti layaknya suami istri yang lain. Mungkin ibuku sudah kehilangan rasa dan benci, tapi dia tetap menunjukkan kebaikannya di hadapan kami. "Ayah ingin mengatakan sesuatu," ucap ayah membuka percakapan. "Ayah... Aku pikir ayah akan membagikan uang bulanan kami?" tanyaku dengan isyarat mencegah. "Betul, tapi sebelumnya aku ingin bicara...." "Jika bicara akan menyakiti kami, sebaiknya jangan diungkapkan sekarang. Kami tidak akan siap dengan hal hal yang menyakitkan," jawabku dengan wajah tegas. Tentu saja ucapanku membuat adikku mengernyit heran dan tidak paham. "Kakak ngomong apa sih?" "Gak ada, kamu coba ke kamar deh, ambilkan laptopmu, aku mau pinjam," suruhku pada Indira. "Tumben...." "Laptopku ngehang." Padahal aku ingin mencari alasan saja agar aku bisa menjauhkan adikku dari ruang tengah. Setelah dia pergi aku segera mengalihkan tatapanku kepada ayah dan bertanya apa sebenarnya yang akan dia katakan. "Apa mau ayah? Apa ayah mau jujur dan membunuh kami perlahan?" "Justru karena kamu sudah tahu, aku ingin adikmu juga tahu," jawab ayah dengan dingin. Kali ini aku melihat ekspresi wajahnya, terlihat liar dan asing sekali bukan seperti ayah yang kukenal. "Lalu apa setelahnya." "Karena kalian sudah tahu aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Aku tidak bisa selamanya menyimpan Priska. Kami ingin mengadakan resepsi pernikahan setelah bertahun-tahun menyembunyikan segalanya." Apa?! Pernikahan yang disembunyikan saja sudah sakit, apalagi sekarang dia ingin merencanakan sebuah resepsi! Kurang ajar sekali ayahku ini, tidakkah dia memikirkan Ibuku dan beban ekonomi yang sedang kita hadapi? Ah, rasanya aku ingin membanting kursi.Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan. Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu? “Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak. “Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya. Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya. “Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai. Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia me
"Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja. Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan.Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah. Aku bukan saja ak
"Aku tidak akan keberatan mengantarmu, tapi aku hanya heran mengapa tiba tiba?" "Entahlah, jalan saja, lampunya sudah hijau," jawabku sambil tersenyum tipis. Terpaksa wanita itu mengajakku, memboncengku dengan diam saja. Aku tahu arah kantornya berlawanan, kulihat ia pegawai dinas pendidikan, arah kantornya jauh dari sekolahku. Lima kilo meter berikutnya setelah meluncur, motor melaju pelan. "Aku turunkan kamu di halte ya, kamu lanjut naik ojek aja karena aku harus buru buru rapat." "Ayah pasti sedih mengetahui bahwa Ibu tiriku memperlakukanku seperti ini," ujarku santai. "Maaf, tapi saya harus rapat," jawabnya lirih. Wanita itu menghentikan motornya, memaksaku turun sambil menatapku dengan wajah penuh permohonan. "Saya tahu kamu sangat kecewa dan benci saya, kamu ingin marah dan memukuli saya, tapi tolong beri waktu agar kita bisa saling bicara dan saling menerima," ujarnya "Hah, saling menerima?" Aku langsung tertawa. "Semua akar dari masalah ini adalah ayahmu, dialah yang h
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m
"Berbagi suami maksudmu?" Di momen itu Bunda terlihat sangat marah dan tidak bisa mengendalikan diri tangan Bunda yang masih memegang indira terlihat gemetar dan dia nampak sekali ingin mengendalikan emosinya."Iya Mbak, Izinkan saya menjadi bagian keluarga ini, menjadi bagian yang bisa berbagi kasih sayang, bantuan dan pengabdian. Saya ingin turut serta berkontribusi untuk kenyamanan dan kebahagiaan kalian Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya yang telah merebut Mas hafiz sehingga saya ingin sekali mencuci semua dosa-dosa itu agar saya tidak terlalu hidup dalam beban."Ya Tuhan, apakah dia pikir mudah saja semua hal yang dihadapi Bunda? Mendapati suami berselingkuh hingga sudah menikah saja sudah merupakan hal yang menyakitkan, apalagi ditambah sekarang wanita itu ingin bergabung dalam keluarga dengan benar, ini sungguh beban mental yang memberatkan."Maaf saya harus masuk ke dalam, aku harus mengurus putriku yang sakit, kau pulanglah.""Tapi ...." Wanita berjilbab itu nam
Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b
"Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j
"Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali
Aku menelpon ayah dalam perjalanan pulang dari persidangan Bunda. Aku ingin tahu Ayah sedang apa. Apakah dia sudah sampai di rumah atau belum. Kalau belum Aku ingin sekalian pergi menjemputnya karena Ayah tidak membawa motor melainkan dia menggunakan ojek online."Halo assalamualaikum ayah...""Ya, walaikum salam."Suasana di sekitar Ayah terdengar sangat ramai dan lalu lalang orang serta keriuhan yang sulit kujelaskan, aku tidak bisa berasumsi kalau dia sedang di kantor karena tidak mungkin suasana di kantor sampai seperti pasar. Ada suara jeritan orang yang menangis dan beberapa yang lain terdengar bicara dan sulit dimengerti Apa yang sedang mereka katakan."Ayah di mana sekarang, apa yang sedang Ayah lakukan?""Ayah sedang di rumah sakit, Tante Priska menelpon ayah dan meminta ayah datang ke sini," jawabnya dengan suara pelan.Tadinya aku ingin menceritakan tentang keadaan Bunda dan putusan apa yang bunda dapatkan tapi mendengar nama tante Priska disebutkan aku jadi kesal dan mengu
"Lalu apa pilihan Ayah, apa Ayah akan pulang dengan kami atau kembali ke Tante Priska?"Pertanyaanku itu cukup membuat ayah terhenyak dan diam saja. Dia menggeleng lalu mendesah pelan."Tidak keduanya." Ayah mendesah dan memilih beranjak dari tempat duduknya, ia trtatih pelan dengan tongkatnya menuju ke kamar.Dari belakang siluet tubuh ayah terlihat kurus, sedikit bungkuk, hilang semua wibawa dan ketegapan dirinya sejak musibah yang menimpa. Pun Tante Priska yang kini babak belur dihujam masalah demi masalah. Kasihan, tapi harus bagaimana lagi.Kini, yang harus kufokuskan adalah tentang ibuku yang menjalani hukumannya, entah berapa tahun dia di penjara aku tak tahu. Semoga hakim mempertimbangkan ketidak stabilan mentalnya agar ibuku bisa diampuni dan diberi keringanan. Meski menurut orang lain egois bahwa aku berharap ibuku yang seorang pembunuh berencana tidak dihukum berat karena gangguan jiwa, tapi aku tetap berharap itu terjadi. Semoga ada keajaiban.*Seminggu kemudian.Pagi se
Sepanjang malam Ayah Hanya duduk di depan rumah sambil membiarkan tubuhnya ditiupkan angin malam yang datang dari lautan, libur ombak yang membentur pantai seakan seperti perasaan ayah yang saat ini merasa sangat sedih dan bersalah.Dari jendela kamar aku melihat tatapan Ayah yang menerawang, sesekali ia mengusap air matanya, sekali ia menangis sampai bahunya terguncang dan akhirnya ia kembali terdiam dalam lamunan panjang.Apa yang beliau katakan memang benar, kalau ada orang yang paling pantas menanggung kesalahan maka dialah orangnya, dialah penyebab semua masalah dan petaka yang terjadi. Kedua istrinya harus mengalami gangguan kejiwaan dan mental karena terlalu depresi memikirkan kehidupan mereka yang hancur karena ayah. Satu dikecewakan karena cintanya dan satu kecewa karena kehilangan anaknya. Puncak dari semua itu ayahlah penyebab utamanya. Anak tante Priska tidak akan mati kalau bukan disebabkan oleh ibuku yang mengalami gangguan kejiwaan dan tega berbuat hal yang nekat. Tapi
Hal yang paling mengejutkan dan tidak pernah kuduga adalah ternyata Ibu tiriku ada di antara mereka, kupikir dia tidak ikut tapi saat ku dengar dia lama-lamat menangis dan terus merintis saat diangkat oleh orang-orang maka pahamlah aku kalau dia sudah ikut.Kulihat wajahnya yang pucat karena syok serta tangannya yang berdarah karena pecahan kaca, aku jadi merasa miris sekaligus kasihan tapi lebih banyak puasnya. Aku ingin tertawa karena pelakor itu selalu mendapatkan kesialan dan kemalangan setiap kali berkendara di jalan raya. Baru saja ia sembuh dari cedera tulang yang berkepanjangan. Kini ia harus tabrakan dan malah lebih mengenaskan lagi."Siapa yang meninggal Pak, keponakanku?" tanyanya lemas, saat ia ditandu oleh empat orang, wanita itu sempat berpapasan denganku. Ia membulatkan mata tepat saat tatapan bola mata kami saling bertautan. Aku yang masih mengenakan helm dan tidak sadar kalau tidak pakai masker segera menghindar dari wanita itu, karena aku tidak mau hal itu menimbulka
Hari demi hari kulalui dengan penuh perjuangan yang cukup berat. Sisa uang yang ditinggalkan oleh Bunda mati-matianku kuperjuangkan untuk tetap cukup membeli bahan baku dan mengelola kedai. Aku berusaha hidup hemat dan prihatin tidak membeli kecuali sesuatu yang sangat kuperlukan. Pagi aku pergi mengambil kursus komputer dan coding, sementara sore hari aku akan sibuk di kedai untuk melayani para tamu.Sekarang Ayah tinggal bersamaku tapi aku tidak mau terlalu akrab dengannya, dia kerap menyapa dan mengajakku bercanda tapi aku menanggapinya dengan ekspresi datar dan memilih untuk menyibukkan diri dan kembali ke pekerjaanku. Jika sudah begitu, maka ayah akan dia, kemudian pergi mengerjakan apa saja yang rasa mampu ia kerjakan.Aku tetap memasak dan menyediakan makanan untuk ayah, aku tetap mencuci pakaian dan membersihkan kamarnya, tapi aku tidak banyak mengatakan apa-apa. Sesekali aku menjenguk Bunda, Tapi itu tidak terlalu sering karena bunda sendiri melarangku untuk selalu datang. B