Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah.
Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya. Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya.Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa.
Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan penekanan. "Ayah yang harusnya sadar dan berhenti untuk pura pura biasa saja padahal ayah yang bejat," jawabku sambil melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku dengan kasar. Tak mampu dipungkiri, kenyataan bahwa aku kini sangat membenci ayah mungkin adalah sesuatu yang sulit ayah terima. Tapi aku tak peduli, masa bodoh dengannya. Usai makan kulihat ayah dan adikku sedang bercengkrama di ruang tengah. Mereka mengobrol seperti biasa, adikku asyik menceritakan keseharian dan tentang sahabat sahabatnya yang belagu banyak tingkah. Dan seperti biasa pun ayah akan merangkulnya lalu memberinya pengertian dan nasehat yang terdengar bijak agar adikku tidak terpengaruh dengan pergaulan yang salah atau mengikuti tingkah-tingkah yang menyimpang. Sebenarnya itu baik, tapi menyadari kesalahan ayah, aku jadi jijik padanya. * "Bunda, sampai kapan bunda akan diam saja seperti ini?" Begitu tanyaku suatu hari. "Bunda akan diam selamanya, sampai masalah yang ada terlupakan dengan sendirinya." "Apakah bunda pikir, dengan menganggap itu akan hilang dengan sendirinya kami yang di sini akan baik-baik saja? Kenapa Bunda bodoh sekali." "Ayahmu sudah telanjur menikah, meminta seorang lelaki untuk menceraikan istrinya demi keegoisan agar dia mencukupi kasih sayang padaku dan isi piringku adalah tindakan buruk dan dosa. Bunda ini hanya wanita, hanya istri yang harus menurut pada suami dan aturan agama." "Tapi bagaimana dengan hati Bunda? Mengapa Bunda tidak sekalipun protes atau memperingatkan Ayah minimal memberinya ultimatum bahwa kalau Ayah terus melakukan perbuatannya, maka bunda akan memberikan ganjaran?!" "Terlalu mahal kata-kata yang akan aku ucapkan kepada lelaki yang sudah bebal hati dan jiwanya." Kalimat dari Bunda seketika membuatku terdiam. Aku terkejut, apakah ini maksudnya bahwa ibuku sudah kehilangan rasa? Apakah dia hanya menjalani rumah tangga sebagai formalitas dan memaksa penderitaannya demi melihat kami anak-anak tumbuh dengan baik dan terjamin masa depan kami? "Sungguhkah ini demi kami?" tanyaku dengan rasa tenggorokan yang hampir kering. "Iya Alana, Bunda mohon ya, demi kalian, demi Adek Indira yang masih membutuhkan ayah. Bunda mohon, jangan buat keributan," ujar Bunda sambil menyentuh tanganku. Tetap aja ada rasa 'mangkel' dalam hatiku. Tetap ada rasa keberatan atas sikap bunda yang hanya mengalah saja. Ya Allah, aku sesak sekali. * Tok tok .... Aku yang sedang sibuk mengerjakan tugas tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu kamar. Adikku yang selalu ceria memanggil lalu menyembulkan kepalanya dari balik pintu dengan senyum yang riang. "Ayah memanggil." "Untuk apaa?" tanyaku dingin, mendengar dia mengatakan kata ayah saja membuatku muak. "Mungkin seperti biasa .... akan membagikan uang jajan." Biasanya momen membagikan uang jajan bulanan adalah hal yang menyenangkan antara Aku dan Indira. Kami biasanya akan bersaing tentang pengeluaran sekolah agar Ayah memberikan kami uang lebih. Setelah diberi uang kami anak-anaknya akan tertawa bahagia dan merasa puas. Namun kali ini, aku benar-benar malas menemui ayah. Rasanya persetan dengan uang sekolah. Aku ingin menolaknya sebagai bentuk kebencian dan protesku. Aku akan mencari kerja paruh waktu dan bertahan hidup tanpa bantuan ayah, tapi tetap saja, itu adalah konsep yang sulit diwujudkan bagiku yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. "Ayo Kak, kenapa diam saja?" "Ada bunda gak?" "Iya, ada." Deg. Hatiku mulai merasa tidak tenang dan tidak karuan. Apakah sekarang ayah akan mengungkapkan kejujuran pada semua orang? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Indira. "Emangnya ayah mau apa?" tanyaku dengan malas. "Gak tahu, ayo dong kak buruan turun ke bawah." "Iya iya ...." Dengan malas kututup buku catatan dan segera turun ke ruang tengah. Di sana ada ayah, ibu dan adikku yang asyik dengan makanan ringan dan tontonan TV. Ayah dan Bunda tidak duduk berdekatan melainkan selalu ada jarak diantara mereka. Aku baru memahami kenapa ayah dan ibuku tidak pernah duduk berdekatan dan saling merangkul seperti layaknya suami istri yang lain. Mungkin ibuku sudah kehilangan rasa dan benci, tapi dia tetap menunjukkan kebaikannya di hadapan kami. "Ayah ingin mengatakan sesuatu," ucap ayah membuka percakapan. "Ayah... Aku pikir ayah akan membagikan uang bulanan kami?" tanyaku dengan isyarat mencegah. "Betul, tapi sebelumnya aku ingin bicara...." "Jika bicara akan menyakiti kami, sebaiknya jangan diungkapkan sekarang. Kami tidak akan siap dengan hal hal yang menyakitkan," jawabku dengan wajah tegas. Tentu saja ucapanku membuat adikku mengernyit heran dan tidak paham. "Kakak ngomong apa sih?" "Gak ada, kamu coba ke kamar deh, ambilkan laptopmu, aku mau pinjam," suruhku pada Indira. "Tumben...." "Laptopku ngehang." Padahal aku ingin mencari alasan saja agar aku bisa menjauhkan adikku dari ruang tengah. Setelah dia pergi aku segera mengalihkan tatapanku kepada ayah dan bertanya apa sebenarnya yang akan dia katakan. "Apa mau ayah? Apa ayah mau jujur dan membunuh kami perlahan?" "Justru karena kamu sudah tahu, aku ingin adikmu juga tahu," jawab ayah dengan dingin. Kali ini aku melihat ekspresi wajahnya, terlihat liar dan asing sekali bukan seperti ayah yang kukenal. "Lalu apa setelahnya." "Karena kalian sudah tahu aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Aku tidak bisa selamanya menyimpan Priska. Kami ingin mengadakan resepsi pernikahan setelah bertahun-tahun menyembunyikan segalanya." Apa?! Pernikahan yang disembunyikan saja sudah sakit, apalagi sekarang dia ingin merencanakan sebuah resepsi! Kurang ajar sekali ayahku ini, tidakkah dia memikirkan Ibuku dan beban ekonomi yang sedang kita hadapi? Ah, rasanya aku ingin membanting kursi.Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan. Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu? “Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak. “Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya. Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya. “Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai. Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia me
"Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja. Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan.Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah. Aku bukan saja ak
"Aku tidak akan keberatan mengantarmu, tapi aku hanya heran mengapa tiba tiba?" "Entahlah, jalan saja, lampunya sudah hijau," jawabku sambil tersenyum tipis. Terpaksa wanita itu mengajakku, memboncengku dengan diam saja. Aku tahu arah kantornya berlawanan, kulihat ia pegawai dinas pendidikan, arah kantornya jauh dari sekolahku. Lima kilo meter berikutnya setelah meluncur, motor melaju pelan. "Aku turunkan kamu di halte ya, kamu lanjut naik ojek aja karena aku harus buru buru rapat." "Ayah pasti sedih mengetahui bahwa Ibu tiriku memperlakukanku seperti ini," ujarku santai. "Maaf, tapi saya harus rapat," jawabnya lirih. Wanita itu menghentikan motornya, memaksaku turun sambil menatapku dengan wajah penuh permohonan. "Saya tahu kamu sangat kecewa dan benci saya, kamu ingin marah dan memukuli saya, tapi tolong beri waktu agar kita bisa saling bicara dan saling menerima," ujarnya "Hah, saling menerima?" Aku langsung tertawa. "Semua akar dari masalah ini adalah ayahmu, dialah yang h
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m
"Berbagi suami maksudmu?" Di momen itu Bunda terlihat sangat marah dan tidak bisa mengendalikan diri tangan Bunda yang masih memegang indira terlihat gemetar dan dia nampak sekali ingin mengendalikan emosinya."Iya Mbak, Izinkan saya menjadi bagian keluarga ini, menjadi bagian yang bisa berbagi kasih sayang, bantuan dan pengabdian. Saya ingin turut serta berkontribusi untuk kenyamanan dan kebahagiaan kalian Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya yang telah merebut Mas hafiz sehingga saya ingin sekali mencuci semua dosa-dosa itu agar saya tidak terlalu hidup dalam beban."Ya Tuhan, apakah dia pikir mudah saja semua hal yang dihadapi Bunda? Mendapati suami berselingkuh hingga sudah menikah saja sudah merupakan hal yang menyakitkan, apalagi ditambah sekarang wanita itu ingin bergabung dalam keluarga dengan benar, ini sungguh beban mental yang memberatkan."Maaf saya harus masuk ke dalam, aku harus mengurus putriku yang sakit, kau pulanglah.""Tapi ...." Wanita berjilbab itu nam