Share

3. setengah jam

Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah.

Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya.

Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya.

Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa.

Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan penekanan.

"Ayah yang harusnya sadar dan berhenti untuk pura pura biasa saja padahal ayah yang bejat," jawabku sambil melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku dengan kasar.

Tak mampu dipungkiri, kenyataan bahwa aku kini sangat membenci ayah mungkin adalah sesuatu yang sulit ayah terima. Tapi aku tak peduli, masa bodoh dengannya.

Usai makan kulihat ayah dan adikku sedang bercengkrama di ruang tengah. Mereka mengobrol seperti biasa, adikku asyik menceritakan keseharian dan tentang sahabat sahabatnya yang belagu banyak tingkah. Dan seperti biasa pun ayah akan merangkulnya lalu memberinya pengertian dan nasehat yang terdengar bijak agar adikku tidak terpengaruh dengan pergaulan yang salah atau mengikuti tingkah-tingkah yang menyimpang. Sebenarnya itu baik, tapi menyadari kesalahan ayah, aku jadi jijik padanya.

*

"Bunda, sampai kapan bunda akan diam saja seperti ini?"

Begitu tanyaku suatu hari.

"Bunda akan diam selamanya, sampai masalah yang ada terlupakan dengan sendirinya."

"Apakah bunda pikir, dengan menganggap itu akan hilang dengan sendirinya kami yang di sini akan baik-baik saja? Kenapa Bunda bodoh sekali."

"Ayahmu sudah telanjur menikah, meminta seorang lelaki untuk menceraikan istrinya demi keegoisan agar dia mencukupi kasih sayang padaku dan isi piringku adalah tindakan buruk dan dosa. Bunda ini hanya wanita, hanya istri yang harus menurut pada suami dan aturan agama."

"Tapi bagaimana dengan hati Bunda? Mengapa Bunda tidak sekalipun protes atau memperingatkan Ayah minimal memberinya ultimatum bahwa kalau Ayah terus melakukan perbuatannya, maka bunda akan memberikan ganjaran?!"

"Terlalu mahal kata-kata yang akan aku ucapkan kepada lelaki yang sudah bebal hati dan jiwanya."

Kalimat dari Bunda seketika membuatku terdiam. Aku terkejut, apakah ini maksudnya bahwa ibuku sudah kehilangan rasa? Apakah dia hanya menjalani rumah tangga sebagai formalitas dan memaksa penderitaannya demi melihat kami anak-anak tumbuh dengan baik dan terjamin masa depan kami?

"Sungguhkah ini demi kami?" tanyaku dengan rasa tenggorokan yang hampir kering.

"Iya Alana, Bunda mohon ya, demi kalian, demi Adek Indira yang masih membutuhkan ayah. Bunda mohon, jangan buat keributan," ujar Bunda sambil menyentuh tanganku. Tetap aja ada rasa 'mangkel' dalam hatiku. Tetap ada rasa keberatan atas sikap bunda yang hanya mengalah saja. Ya Allah, aku sesak sekali.

*

Tok tok ....

Aku yang sedang sibuk mengerjakan tugas tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu kamar. Adikku yang selalu ceria memanggil lalu menyembulkan kepalanya dari balik pintu dengan senyum yang riang.

"Ayah memanggil."

"Untuk apaa?" tanyaku dingin, mendengar dia mengatakan kata ayah saja membuatku muak.

"Mungkin seperti biasa .... akan membagikan uang jajan."

Biasanya momen membagikan uang jajan bulanan adalah hal yang menyenangkan antara Aku dan Indira. Kami biasanya akan bersaing tentang pengeluaran sekolah agar Ayah memberikan kami uang lebih. Setelah diberi uang kami anak-anaknya akan tertawa bahagia dan merasa puas.

Namun kali ini, aku benar-benar malas menemui ayah. Rasanya persetan dengan uang sekolah. Aku ingin menolaknya sebagai bentuk kebencian dan protesku. Aku akan mencari kerja paruh waktu dan bertahan hidup tanpa bantuan ayah, tapi tetap saja, itu adalah konsep yang sulit diwujudkan bagiku yang masih duduk di bangku kelas dua SMA.

"Ayo Kak, kenapa diam saja?"

"Ada bunda gak?"

"Iya, ada."

Deg.

Hatiku mulai merasa tidak tenang dan tidak karuan. Apakah sekarang ayah akan mengungkapkan kejujuran pada semua orang? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Indira.

"Emangnya ayah mau apa?" tanyaku dengan malas.

"Gak tahu, ayo dong kak buruan turun ke bawah."

"Iya iya ...." Dengan malas kututup buku catatan dan segera turun ke ruang tengah. Di sana ada ayah, ibu dan adikku yang asyik dengan makanan ringan dan tontonan TV.

Ayah dan Bunda tidak duduk berdekatan melainkan selalu ada jarak diantara mereka. Aku baru memahami kenapa ayah dan ibuku tidak pernah duduk berdekatan dan saling merangkul seperti layaknya suami istri yang lain. Mungkin ibuku sudah kehilangan rasa dan benci, tapi dia tetap menunjukkan kebaikannya di hadapan kami.

"Ayah ingin mengatakan sesuatu," ucap ayah membuka percakapan.

"Ayah... Aku pikir ayah akan membagikan uang bulanan kami?" tanyaku dengan isyarat mencegah.

"Betul, tapi sebelumnya aku ingin bicara...."

"Jika bicara akan menyakiti kami, sebaiknya jangan diungkapkan sekarang. Kami tidak akan siap dengan hal hal yang menyakitkan," jawabku dengan wajah tegas. Tentu saja ucapanku membuat adikku mengernyit heran dan tidak paham.

"Kakak ngomong apa sih?"

"Gak ada, kamu coba ke kamar deh, ambilkan laptopmu, aku mau pinjam," suruhku pada Indira.

"Tumben...."

"Laptopku ngehang." Padahal aku ingin mencari alasan saja agar aku bisa menjauhkan adikku dari ruang tengah. Setelah dia pergi aku segera mengalihkan tatapanku kepada ayah dan bertanya apa sebenarnya yang akan dia katakan.

"Apa mau ayah? Apa ayah mau jujur dan membunuh kami perlahan?"

"Justru karena kamu sudah tahu, aku ingin adikmu juga tahu," jawab ayah dengan dingin. Kali ini aku melihat ekspresi wajahnya, terlihat liar dan asing sekali bukan seperti ayah yang kukenal.

"Lalu apa setelahnya."

"Karena kalian sudah tahu aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Aku tidak bisa selamanya menyimpan Priska. Kami ingin mengadakan resepsi pernikahan setelah bertahun-tahun menyembunyikan segalanya."

Apa?! Pernikahan yang disembunyikan saja sudah sakit, apalagi sekarang dia ingin merencanakan sebuah resepsi! Kurang ajar sekali ayahku ini, tidakkah dia memikirkan Ibuku dan beban ekonomi yang sedang kita hadapi? Ah, rasanya aku ingin membanting kursi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status