Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran.
“Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku pergi secepatnya dari kantor itu sebelum semuanya jadi makin heboh. “Pulang yuk….” “Dengar Priska … hentikan merusak hidup keluarga kami, minimal kamu punya perasaan atau solidaritas sebagai sesama wanita pada ibuku, jadi hentikan semua ini, dan ya … aku tahu kamu pasti akan mengadu pada ayahku, jika sampai itu terjadi aku juga akan mengadukanmu pada atasan yang lebih berwenang!” Ucapa anak sma sepertiku terdengar seperti ucapan bocah kecil yang tidak ada apa apanya, tapi aku bersumpah akan melakukan itu kalau sampai Priska jalang itu mengadukan perbuatanku pada ayah. Usai mempermalukan seseorang tanpa penyelesaian dan berhasil merusak acara rapat, aku pergi begitu saja melenggang seperti bocah yang tidak bersalah. Aku tahu ayah akan menghukumku, wanita itu pasti mengadu, dengan air mata berurai dia akan cari muka dan pembelaan dari ayahku. * Aku sudah pulang ke rumah tepat di pukul setengah empat sore. Tidak ada yang terjadi meski aku sendiri menunggu bom waktu itu akan meledak.Dengan hati berdebar kutunggu ayahku untuk memanggil diri ini secara pribadi dan memarahiku. Aku tahu, ketika seseorang sudah dibutakan cinta mereka hanya melihat kebenaran versi dirinya saja. Dia akan lakukan mana yang menurutnya terbaik bagi maslahat dia saja, jadi kemungkinan aku akan dipukuli sangat besar, aku harus siapkan mental dan badan untuk itu..
Aku juga tidak akan menceritaakan pada ibuku yang terjadi, beliau bisa panik dan mencari cara untuk melindungiku, aku tidak mau dia tahu karena aku ingin melihat ayah kehilangan akalnya. “Alana!” Itu dia teriakan ayah, dia memanggilku dengan suara lantang dan itu artinya aku harus segera pergi ke ruang kerja ayah. Aku turun dari lantai dua dengan hati pasrah, kudapati ibuku dan Indira sedang duduk di ruang TV, mereka kebingungan melihatku dipanggil dengan nada yang sangat sangar. “Ada apa, Kak?” tanya Indira. Aku hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu, sebenarnya tahu, hanya pura pura tidak tahu. Sewaktu aku masuk ke ruang kerja ayah, beliau terlihat tengah menelpon seseorang, raut wajah ayah terlihat resah dan gusar, ayah mengacak rambut sambil mengesap rokok. Begitu melihatku masuk ayah langsung buru buru mematikan ponsel dan memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat padanya. "Apa yang telah kau lakukan?" tanyanya setengah mendesis. "Apa?" tanyaku sambil mengangkat bahu dan pura pura polos. "Kenapa kau datang ke kantor Priska dan membuat kehebohan di sana?" "Oh itu ... aku hanya iseng pengen kenalan," jawabku cuek. "Kehebohan apa yang kau lakukan, Priska sangat malu dan menangis di depan semua orang." "Aku hanya memintanya untuk menjauhi ayah," jawabku jujur. Brak! Ayah langsung menggebrak meja dan melotot padaku. Beliau berdiri dengan napas menderu, andai tidak ada meja di antara kami, mungkin dia sudah menerjang diri ini. "Kenapa ayah begitu marah? Andai wanita itu posisinya adalah Bunda, apakah ayah akan membelanya dan semarah ini? Ayah sungguh aneh dan jahat," jawabku sambil menahan rasa takut. "Apakah kamu mau aku mencongkel matamu dan memotong bibirmu yang lancang?" "Apa Ayah sedang sibuk memikirkan biaya resepsi sehingga ayah melampiaskan semua kepusingan itu padaku?" "Lancang kamu!" Ayah berteriak hingga membuat adik dan Bunda menyusul ke ruang kerja. "Ada apa Mas Hafiz?" "Keluar kalian berdua!" Bentak ayah! "Apakah karena wanita itu kamu sampai berteriak dan menggila seperti ini?" tanya Bunda dengan tatapan tajam. Kali Bunda menarik tanganku dan membuatku berada di belakang punggungnya. Dengan tatapan tajam dia menatap ayah dengan kilatan sorot mata penuh kekecewaan. "Jangan karena dia, kamu sampai bertindak sekasar ini pada putri kita, dia anak kita Mas ...." "Dia sudah lancang mencampuri urusanku!" "Tapi tetap saja...." "Kalian bicara apa sih, wanita apa maksudnya?" "Diamlah kamu, menjauh dari ruang ini!" Adikku pucat mendapat bentakan dari ayah, dia gemetar dan bersurut takut. "Mas, apa-apaan kamu, sudah tahu anak mudah sakit, kenapa kamu arogan sekali, tolong sakiti aku saja, jangan anak-anak, kok kamu tega sekali Mas?" "Wanita apa maksudnya Bund?" Melihat adikku yang penasaran dan terlanjur menggigil dengan tangisan, aku dan Bunda tentu saja panik. Kami dekati Indira dan kami bujuk, kuberitahu padanya bahwa ini hanya masalah aku dan dia. "Tapi wanita apa? Apa Ayah selingkuh?" Bukan selingkuh lagi, tapi ayah sudah menikah, pertanyaannya sekarang, bagaimana caraku memberi tahu Indira kalau semua itu sudah terjadi. "Ayah, katakan yang sebenarnya!" Indira tiba-tiba tersungkur sambil menjerit. Kami makin panik, khawatir bahwa sesak napasnya akan kumat. "Apa Ayah selingkuh, kenapa situasi keluarga kita memanas? Aku lihat ayah dan kakak tidak akur, juga hubungan ayah dan bunda yang kaku, ada apa ini?" "Katakan saja dengan benar, biar semuanya jelas," ucap ayah dingin, tatapan nyalang serta ayah hanya berdiri sambil mencengkeram tangan. "Apa kenyataan itu," Tanya adikku sambil mencengkeram bahu Bunda. "Katakan Bund!" Sekali lagi adikku menangis sedih. "Iya betul, aku sudah menikahi wanita lain!" Jawab ayah sambil menjauh, adikku terbelalak, napasnya tersengal seketika dan dia langsung ambruk pingsan. "Indira!" Aku dan Bunda langsung menjerit.Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m
"Berbagi suami maksudmu?" Di momen itu Bunda terlihat sangat marah dan tidak bisa mengendalikan diri tangan Bunda yang masih memegang indira terlihat gemetar dan dia nampak sekali ingin mengendalikan emosinya."Iya Mbak, Izinkan saya menjadi bagian keluarga ini, menjadi bagian yang bisa berbagi kasih sayang, bantuan dan pengabdian. Saya ingin turut serta berkontribusi untuk kenyamanan dan kebahagiaan kalian Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya yang telah merebut Mas hafiz sehingga saya ingin sekali mencuci semua dosa-dosa itu agar saya tidak terlalu hidup dalam beban."Ya Tuhan, apakah dia pikir mudah saja semua hal yang dihadapi Bunda? Mendapati suami berselingkuh hingga sudah menikah saja sudah merupakan hal yang menyakitkan, apalagi ditambah sekarang wanita itu ingin bergabung dalam keluarga dengan benar, ini sungguh beban mental yang memberatkan."Maaf saya harus masuk ke dalam, aku harus mengurus putriku yang sakit, kau pulanglah.""Tapi ...." Wanita berjilbab itu nam
"mungkinkah kita beritahu saja nenek atas perbuatan Ayah yang diam-diam menikah lagi," tanyaku saat bunda membantu adikku tertidur di ranjangnya."Jangan dulu, akan terjadi kehebohan.""Biar saja, biar nenek yang bicara pada anaknya, biar nenek yang menegur ayah dan memarahinya.""Tapi itu tidak akan membuat priska dan ayahmu berpisah. Malah mungkin ayahmu akan minta restu dari orang tua dan keluarganya karena pada akhirnya mereka pun tahu.""Ya Tuhan, menyebalkan sekali.""Saat ini, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah bersabar dan berdoa. Percayalah, Allah bersama orang orang yang sabar," balas Bunda sambil menepuk bahuku dan beliau beranjak dari kamar Indira. Tinggallah aku di sini dengan pikiran dan berbagai anggapan rumit tentang hari esok. Adikku terdiam menatap diri ini dan jendela kamarnya, angin yang bertiup menggoyangkan tabir penutup jendela dan itu menimbulkan suasana sedih tersendiri."Indi, kakak ke kamar dulu ya Dik," balasku."Iya Kak, jangan lupa tutup pintu
Aku terbelalak, lemas, terjatuh dalam posisi duduk, kepalaku langsung pusing, persendianku seakan dicopot dari badan, aku gak bisa berkata apa apa, selain hanya bisa berteriak dan menangis."Bundaaaa...." Mendengarku berteriak, Ibuku tergopoh-gopoh keluar, melihatku yang sudah lemas di teras bunda segera menyambangi."Ada apa Nak..."Belum selesai bertanya, Bunda menoleh pada Indira yang sudah terkapar dengan posisi kepala membentur sisi pembatas tanaman bunga dan mengalirkan darah yang banyak, matanya terbuka dan air matanya itu masih mengalir di sana. Bunda berteriak dan langsung berlari memeluk Indira, bunda mengguncang adikku, tapi sayang, dia tak sadar. Sungguh pemandangan yang membuat trauma sekaligus sangat tragis."Anakku ... ya Allah, indi, kenapa begini..." Tangan bunda menyentuh bagian belakang kepala Indira, tangan bunda langsung berlumuran darah kental yang bau anyirnya langsung menyeruak.Mendengar raungan Bunda para tetangga mulai berdatangan dan mereka juga tidak kala
"Alana Nafisa, ayah minta dengan segala hormat, kau jangan main main, katakan dengan jujur kalau kau hanya mempermainkan ayah!" ucap ayah dengan wajah yang langsung pucat dan syok luar biasa."A-apa aku terlihat bercanda?" tanyaku dengan air mata berderai, "ayah bukan saja menghancurkan hidup dan hubungan kita, ayah merenggut nyawa seseorang!" Aku berteriak pada ayah dengan geram."Mas ...." Priska hanya memandangi aku dan ayah dengan bingung. "Kita harus bagaimana Mas?""Kau masih bertanya harus bagaimana setelah kelakuanmu, gara gara kau adikku bunuh diri," ucapku dengan tangis yang menyesakkan dada."Tapi aku tidak pernah mendorongnya untuk melakukan itu!" Bantah wanita itu sambil menatapku, ayah sendiri hanya tertunduk lesu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan."Ayah asyik bercinta sementara di rumah terjadi musibah yang sangat besar, adikku melempar dirinya dari lantai dua dan jatuh dengan mengenaskan karena dia tidak terima dengan perbuatan ayah. Apa Ayah tidak malu deng
"Ayah mohon jangan bicara begitu Nak, ayah minta maaf." Ayah memelas di hadapanku dan keluarga kami."Jadi ayah baru menemukan kelembutan setelah salah satu dari kami meninggal dunia? Selama ini ayah kasar dan arogan, egois dan menang sendiri, apa ayah baru saja tercerahkan?""Alana, ayo minggirlah Nak.""Tidak Bunda, aku tahu bahkan Indira tak akan sudi disentuh ayah, menjauhlah ayah!" Aku berteriak dan itu membuat orang orang kaget, aku tahu itu tidak dewasa, tapi kekecewaan dan kesedihan mendalam ini membuatku tak bisa mengendalikan diri."Ayah hanya ingin minta maaf dan berpamitan," ucap ayah sambil berlutut di hadapanku, melihat ayah melempem seperti itu Bunda hanya menatapnya dengan penuh kebencian. "Shalatkan saja anak saya Pak, Bu, hari makin sore, khawatir nanti hujan," ujar Bunda dengan tatapan dingin pada ayah."Iya, baiklah kalau begitu," jawab Pak RT dan paman tertua dari keluarga Ibu."Ayo Indira, ayo bangun, menjauhlah karena adikmu akan disalatkan.""Baik," jawabku pe