Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran.
“Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku pergi secepatnya dari kantor itu sebelum semuanya jadi makin heboh. “Pulang yuk….” “Dengar Priska … hentikan merusak hidup keluarga kami, minimal kamu punya perasaan atau solidaritas sebagai sesama wanita pada ibuku, jadi hentikan semua ini, dan ya … aku tahu kamu pasti akan mengadu pada ayahku, jika sampai itu terjadi aku juga akan mengadukanmu pada atasan yang lebih berwenang!” Ucapa anak sma sepertiku terdengar seperti ucapan bocah kecil yang tidak ada apa apanya, tapi aku bersumpah akan melakukan itu kalau sampai Priska jalang itu mengadukan perbuatanku pada ayah. Usai mempermalukan seseorang tanpa penyelesaian dan berhasil merusak acara rapat, aku pergi begitu saja melenggang seperti bocah yang tidak bersalah. Aku tahu ayah akan menghukumku, wanita itu pasti mengadu, dengan air mata berurai dia akan cari muka dan pembelaan dari ayahku. * Aku sudah pulang ke rumah tepat di pukul setengah empat sore. Tidak ada yang terjadi meski aku sendiri menunggu bom waktu itu akan meledak.Dengan hati berdebar kutunggu ayahku untuk memanggil diri ini secara pribadi dan memarahiku. Aku tahu, ketika seseorang sudah dibutakan cinta mereka hanya melihat kebenaran versi dirinya saja. Dia akan lakukan mana yang menurutnya terbaik bagi maslahat dia saja, jadi kemungkinan aku akan dipukuli sangat besar, aku harus siapkan mental dan badan untuk itu..
Aku juga tidak akan menceritaakan pada ibuku yang terjadi, beliau bisa panik dan mencari cara untuk melindungiku, aku tidak mau dia tahu karena aku ingin melihat ayah kehilangan akalnya. “Alana!” Itu dia teriakan ayah, dia memanggilku dengan suara lantang dan itu artinya aku harus segera pergi ke ruang kerja ayah. Aku turun dari lantai dua dengan hati pasrah, kudapati ibuku dan Indira sedang duduk di ruang TV, mereka kebingungan melihatku dipanggil dengan nada yang sangat sangar. “Ada apa, Kak?” tanya Indira. Aku hanya mengendikkan bahu tanda tak tahu, sebenarnya tahu, hanya pura pura tidak tahu. Sewaktu aku masuk ke ruang kerja ayah, beliau terlihat tengah menelpon seseorang, raut wajah ayah terlihat resah dan gusar, ayah mengacak rambut sambil mengesap rokok. Begitu melihatku masuk ayah langsung buru buru mematikan ponsel dan memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat padanya. "Apa yang telah kau lakukan?" tanyanya setengah mendesis. "Apa?" tanyaku sambil mengangkat bahu dan pura pura polos. "Kenapa kau datang ke kantor Priska dan membuat kehebohan di sana?" "Oh itu ... aku hanya iseng pengen kenalan," jawabku cuek. "Kehebohan apa yang kau lakukan, Priska sangat malu dan menangis di depan semua orang." "Aku hanya memintanya untuk menjauhi ayah," jawabku jujur. Brak! Ayah langsung menggebrak meja dan melotot padaku. Beliau berdiri dengan napas menderu, andai tidak ada meja di antara kami, mungkin dia sudah menerjang diri ini. "Kenapa ayah begitu marah? Andai wanita itu posisinya adalah Bunda, apakah ayah akan membelanya dan semarah ini? Ayah sungguh aneh dan jahat," jawabku sambil menahan rasa takut. "Apakah kamu mau aku mencongkel matamu dan memotong bibirmu yang lancang?" "Apa Ayah sedang sibuk memikirkan biaya resepsi sehingga ayah melampiaskan semua kepusingan itu padaku?" "Lancang kamu!" Ayah berteriak hingga membuat adik dan Bunda menyusul ke ruang kerja. "Ada apa Mas Hafiz?" "Keluar kalian berdua!" Bentak ayah! "Apakah karena wanita itu kamu sampai berteriak dan menggila seperti ini?" tanya Bunda dengan tatapan tajam. Kali Bunda menarik tanganku dan membuatku berada di belakang punggungnya. Dengan tatapan tajam dia menatap ayah dengan kilatan sorot mata penuh kekecewaan. "Jangan karena dia, kamu sampai bertindak sekasar ini pada putri kita, dia anak kita Mas ...." "Dia sudah lancang mencampuri urusanku!" "Tapi tetap saja...." "Kalian bicara apa sih, wanita apa maksudnya?" "Diamlah kamu, menjauh dari ruang ini!" Adikku pucat mendapat bentakan dari ayah, dia gemetar dan bersurut takut. "Mas, apa-apaan kamu, sudah tahu anak mudah sakit, kenapa kamu arogan sekali, tolong sakiti aku saja, jangan anak-anak, kok kamu tega sekali Mas?" "Wanita apa maksudnya Bund?" Melihat adikku yang penasaran dan terlanjur menggigil dengan tangisan, aku dan Bunda tentu saja panik. Kami dekati Indira dan kami bujuk, kuberitahu padanya bahwa ini hanya masalah aku dan dia. "Tapi wanita apa? Apa Ayah selingkuh?" Bukan selingkuh lagi, tapi ayah sudah menikah, pertanyaannya sekarang, bagaimana caraku memberi tahu Indira kalau semua itu sudah terjadi. "Ayah, katakan yang sebenarnya!" Indira tiba-tiba tersungkur sambil menjerit. Kami makin panik, khawatir bahwa sesak napasnya akan kumat. "Apa Ayah selingkuh, kenapa situasi keluarga kita memanas? Aku lihat ayah dan kakak tidak akur, juga hubungan ayah dan bunda yang kaku, ada apa ini?" "Katakan saja dengan benar, biar semuanya jelas," ucap ayah dingin, tatapan nyalang serta ayah hanya berdiri sambil mencengkeram tangan. "Apa kenyataan itu," Tanya adikku sambil mencengkeram bahu Bunda. "Katakan Bund!" Sekali lagi adikku menangis sedih. "Iya betul, aku sudah menikahi wanita lain!" Jawab ayah sambil menjauh, adikku terbelalak, napasnya tersengal seketika dan dia langsung ambruk pingsan. "Indira!" Aku dan Bunda langsung menjerit.Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m
"Berbagi suami maksudmu?" Di momen itu Bunda terlihat sangat marah dan tidak bisa mengendalikan diri tangan Bunda yang masih memegang indira terlihat gemetar dan dia nampak sekali ingin mengendalikan emosinya."Iya Mbak, Izinkan saya menjadi bagian keluarga ini, menjadi bagian yang bisa berbagi kasih sayang, bantuan dan pengabdian. Saya ingin turut serta berkontribusi untuk kenyamanan dan kebahagiaan kalian Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya yang telah merebut Mas hafiz sehingga saya ingin sekali mencuci semua dosa-dosa itu agar saya tidak terlalu hidup dalam beban."Ya Tuhan, apakah dia pikir mudah saja semua hal yang dihadapi Bunda? Mendapati suami berselingkuh hingga sudah menikah saja sudah merupakan hal yang menyakitkan, apalagi ditambah sekarang wanita itu ingin bergabung dalam keluarga dengan benar, ini sungguh beban mental yang memberatkan."Maaf saya harus masuk ke dalam, aku harus mengurus putriku yang sakit, kau pulanglah.""Tapi ...." Wanita berjilbab itu nam
"mungkinkah kita beritahu saja nenek atas perbuatan Ayah yang diam-diam menikah lagi," tanyaku saat bunda membantu adikku tertidur di ranjangnya."Jangan dulu, akan terjadi kehebohan.""Biar saja, biar nenek yang bicara pada anaknya, biar nenek yang menegur ayah dan memarahinya.""Tapi itu tidak akan membuat priska dan ayahmu berpisah. Malah mungkin ayahmu akan minta restu dari orang tua dan keluarganya karena pada akhirnya mereka pun tahu.""Ya Tuhan, menyebalkan sekali.""Saat ini, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah bersabar dan berdoa. Percayalah, Allah bersama orang orang yang sabar," balas Bunda sambil menepuk bahuku dan beliau beranjak dari kamar Indira. Tinggallah aku di sini dengan pikiran dan berbagai anggapan rumit tentang hari esok. Adikku terdiam menatap diri ini dan jendela kamarnya, angin yang bertiup menggoyangkan tabir penutup jendela dan itu menimbulkan suasana sedih tersendiri."Indi, kakak ke kamar dulu ya Dik," balasku."Iya Kak, jangan lupa tutup pintu
Aku terbelalak, lemas, terjatuh dalam posisi duduk, kepalaku langsung pusing, persendianku seakan dicopot dari badan, aku gak bisa berkata apa apa, selain hanya bisa berteriak dan menangis."Bundaaaa...." Mendengarku berteriak, Ibuku tergopoh-gopoh keluar, melihatku yang sudah lemas di teras bunda segera menyambangi."Ada apa Nak..."Belum selesai bertanya, Bunda menoleh pada Indira yang sudah terkapar dengan posisi kepala membentur sisi pembatas tanaman bunga dan mengalirkan darah yang banyak, matanya terbuka dan air matanya itu masih mengalir di sana. Bunda berteriak dan langsung berlari memeluk Indira, bunda mengguncang adikku, tapi sayang, dia tak sadar. Sungguh pemandangan yang membuat trauma sekaligus sangat tragis."Anakku ... ya Allah, indi, kenapa begini..." Tangan bunda menyentuh bagian belakang kepala Indira, tangan bunda langsung berlumuran darah kental yang bau anyirnya langsung menyeruak.Mendengar raungan Bunda para tetangga mulai berdatangan dan mereka juga tidak kala
"Alana Nafisa, ayah minta dengan segala hormat, kau jangan main main, katakan dengan jujur kalau kau hanya mempermainkan ayah!" ucap ayah dengan wajah yang langsung pucat dan syok luar biasa."A-apa aku terlihat bercanda?" tanyaku dengan air mata berderai, "ayah bukan saja menghancurkan hidup dan hubungan kita, ayah merenggut nyawa seseorang!" Aku berteriak pada ayah dengan geram."Mas ...." Priska hanya memandangi aku dan ayah dengan bingung. "Kita harus bagaimana Mas?""Kau masih bertanya harus bagaimana setelah kelakuanmu, gara gara kau adikku bunuh diri," ucapku dengan tangis yang menyesakkan dada."Tapi aku tidak pernah mendorongnya untuk melakukan itu!" Bantah wanita itu sambil menatapku, ayah sendiri hanya tertunduk lesu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan."Ayah asyik bercinta sementara di rumah terjadi musibah yang sangat besar, adikku melempar dirinya dari lantai dua dan jatuh dengan mengenaskan karena dia tidak terima dengan perbuatan ayah. Apa Ayah tidak malu deng
"Ayah mohon jangan bicara begitu Nak, ayah minta maaf." Ayah memelas di hadapanku dan keluarga kami."Jadi ayah baru menemukan kelembutan setelah salah satu dari kami meninggal dunia? Selama ini ayah kasar dan arogan, egois dan menang sendiri, apa ayah baru saja tercerahkan?""Alana, ayo minggirlah Nak.""Tidak Bunda, aku tahu bahkan Indira tak akan sudi disentuh ayah, menjauhlah ayah!" Aku berteriak dan itu membuat orang orang kaget, aku tahu itu tidak dewasa, tapi kekecewaan dan kesedihan mendalam ini membuatku tak bisa mengendalikan diri."Ayah hanya ingin minta maaf dan berpamitan," ucap ayah sambil berlutut di hadapanku, melihat ayah melempem seperti itu Bunda hanya menatapnya dengan penuh kebencian. "Shalatkan saja anak saya Pak, Bu, hari makin sore, khawatir nanti hujan," ujar Bunda dengan tatapan dingin pada ayah."Iya, baiklah kalau begitu," jawab Pak RT dan paman tertua dari keluarga Ibu."Ayo Indira, ayo bangun, menjauhlah karena adikmu akan disalatkan.""Baik," jawabku pe
Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b
"Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j
"Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali
Aku menelpon ayah dalam perjalanan pulang dari persidangan Bunda. Aku ingin tahu Ayah sedang apa. Apakah dia sudah sampai di rumah atau belum. Kalau belum Aku ingin sekalian pergi menjemputnya karena Ayah tidak membawa motor melainkan dia menggunakan ojek online."Halo assalamualaikum ayah...""Ya, walaikum salam."Suasana di sekitar Ayah terdengar sangat ramai dan lalu lalang orang serta keriuhan yang sulit kujelaskan, aku tidak bisa berasumsi kalau dia sedang di kantor karena tidak mungkin suasana di kantor sampai seperti pasar. Ada suara jeritan orang yang menangis dan beberapa yang lain terdengar bicara dan sulit dimengerti Apa yang sedang mereka katakan."Ayah di mana sekarang, apa yang sedang Ayah lakukan?""Ayah sedang di rumah sakit, Tante Priska menelpon ayah dan meminta ayah datang ke sini," jawabnya dengan suara pelan.Tadinya aku ingin menceritakan tentang keadaan Bunda dan putusan apa yang bunda dapatkan tapi mendengar nama tante Priska disebutkan aku jadi kesal dan mengu
"Lalu apa pilihan Ayah, apa Ayah akan pulang dengan kami atau kembali ke Tante Priska?"Pertanyaanku itu cukup membuat ayah terhenyak dan diam saja. Dia menggeleng lalu mendesah pelan."Tidak keduanya." Ayah mendesah dan memilih beranjak dari tempat duduknya, ia trtatih pelan dengan tongkatnya menuju ke kamar.Dari belakang siluet tubuh ayah terlihat kurus, sedikit bungkuk, hilang semua wibawa dan ketegapan dirinya sejak musibah yang menimpa. Pun Tante Priska yang kini babak belur dihujam masalah demi masalah. Kasihan, tapi harus bagaimana lagi.Kini, yang harus kufokuskan adalah tentang ibuku yang menjalani hukumannya, entah berapa tahun dia di penjara aku tak tahu. Semoga hakim mempertimbangkan ketidak stabilan mentalnya agar ibuku bisa diampuni dan diberi keringanan. Meski menurut orang lain egois bahwa aku berharap ibuku yang seorang pembunuh berencana tidak dihukum berat karena gangguan jiwa, tapi aku tetap berharap itu terjadi. Semoga ada keajaiban.*Seminggu kemudian.Pagi se
Sepanjang malam Ayah Hanya duduk di depan rumah sambil membiarkan tubuhnya ditiupkan angin malam yang datang dari lautan, libur ombak yang membentur pantai seakan seperti perasaan ayah yang saat ini merasa sangat sedih dan bersalah.Dari jendela kamar aku melihat tatapan Ayah yang menerawang, sesekali ia mengusap air matanya, sekali ia menangis sampai bahunya terguncang dan akhirnya ia kembali terdiam dalam lamunan panjang.Apa yang beliau katakan memang benar, kalau ada orang yang paling pantas menanggung kesalahan maka dialah orangnya, dialah penyebab semua masalah dan petaka yang terjadi. Kedua istrinya harus mengalami gangguan kejiwaan dan mental karena terlalu depresi memikirkan kehidupan mereka yang hancur karena ayah. Satu dikecewakan karena cintanya dan satu kecewa karena kehilangan anaknya. Puncak dari semua itu ayahlah penyebab utamanya. Anak tante Priska tidak akan mati kalau bukan disebabkan oleh ibuku yang mengalami gangguan kejiwaan dan tega berbuat hal yang nekat. Tapi
Hal yang paling mengejutkan dan tidak pernah kuduga adalah ternyata Ibu tiriku ada di antara mereka, kupikir dia tidak ikut tapi saat ku dengar dia lama-lamat menangis dan terus merintis saat diangkat oleh orang-orang maka pahamlah aku kalau dia sudah ikut.Kulihat wajahnya yang pucat karena syok serta tangannya yang berdarah karena pecahan kaca, aku jadi merasa miris sekaligus kasihan tapi lebih banyak puasnya. Aku ingin tertawa karena pelakor itu selalu mendapatkan kesialan dan kemalangan setiap kali berkendara di jalan raya. Baru saja ia sembuh dari cedera tulang yang berkepanjangan. Kini ia harus tabrakan dan malah lebih mengenaskan lagi."Siapa yang meninggal Pak, keponakanku?" tanyanya lemas, saat ia ditandu oleh empat orang, wanita itu sempat berpapasan denganku. Ia membulatkan mata tepat saat tatapan bola mata kami saling bertautan. Aku yang masih mengenakan helm dan tidak sadar kalau tidak pakai masker segera menghindar dari wanita itu, karena aku tidak mau hal itu menimbulka
Hari demi hari kulalui dengan penuh perjuangan yang cukup berat. Sisa uang yang ditinggalkan oleh Bunda mati-matianku kuperjuangkan untuk tetap cukup membeli bahan baku dan mengelola kedai. Aku berusaha hidup hemat dan prihatin tidak membeli kecuali sesuatu yang sangat kuperlukan. Pagi aku pergi mengambil kursus komputer dan coding, sementara sore hari aku akan sibuk di kedai untuk melayani para tamu.Sekarang Ayah tinggal bersamaku tapi aku tidak mau terlalu akrab dengannya, dia kerap menyapa dan mengajakku bercanda tapi aku menanggapinya dengan ekspresi datar dan memilih untuk menyibukkan diri dan kembali ke pekerjaanku. Jika sudah begitu, maka ayah akan dia, kemudian pergi mengerjakan apa saja yang rasa mampu ia kerjakan.Aku tetap memasak dan menyediakan makanan untuk ayah, aku tetap mencuci pakaian dan membersihkan kamarnya, tapi aku tidak banyak mengatakan apa-apa. Sesekali aku menjenguk Bunda, Tapi itu tidak terlalu sering karena bunda sendiri melarangku untuk selalu datang. B