Aku terbelalak, lemas, terjatuh dalam posisi duduk, kepalaku langsung pusing, persendianku seakan dicopot dari badan, aku gak bisa berkata apa apa, selain hanya bisa berteriak dan menangis."Bundaaaa...." Mendengarku berteriak, Ibuku tergopoh-gopoh keluar, melihatku yang sudah lemas di teras bunda segera menyambangi."Ada apa Nak..."Belum selesai bertanya, Bunda menoleh pada Indira yang sudah terkapar dengan posisi kepala membentur sisi pembatas tanaman bunga dan mengalirkan darah yang banyak, matanya terbuka dan air matanya itu masih mengalir di sana. Bunda berteriak dan langsung berlari memeluk Indira, bunda mengguncang adikku, tapi sayang, dia tak sadar. Sungguh pemandangan yang membuat trauma sekaligus sangat tragis."Anakku ... ya Allah, indi, kenapa begini..." Tangan bunda menyentuh bagian belakang kepala Indira, tangan bunda langsung berlumuran darah kental yang bau anyirnya langsung menyeruak.Mendengar raungan Bunda para tetangga mulai berdatangan dan mereka juga tidak kala
"Alana Nafisa, ayah minta dengan segala hormat, kau jangan main main, katakan dengan jujur kalau kau hanya mempermainkan ayah!" ucap ayah dengan wajah yang langsung pucat dan syok luar biasa."A-apa aku terlihat bercanda?" tanyaku dengan air mata berderai, "ayah bukan saja menghancurkan hidup dan hubungan kita, ayah merenggut nyawa seseorang!" Aku berteriak pada ayah dengan geram."Mas ...." Priska hanya memandangi aku dan ayah dengan bingung. "Kita harus bagaimana Mas?""Kau masih bertanya harus bagaimana setelah kelakuanmu, gara gara kau adikku bunuh diri," ucapku dengan tangis yang menyesakkan dada."Tapi aku tidak pernah mendorongnya untuk melakukan itu!" Bantah wanita itu sambil menatapku, ayah sendiri hanya tertunduk lesu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan."Ayah asyik bercinta sementara di rumah terjadi musibah yang sangat besar, adikku melempar dirinya dari lantai dua dan jatuh dengan mengenaskan karena dia tidak terima dengan perbuatan ayah. Apa Ayah tidak malu deng
"Ayah mohon jangan bicara begitu Nak, ayah minta maaf." Ayah memelas di hadapanku dan keluarga kami."Jadi ayah baru menemukan kelembutan setelah salah satu dari kami meninggal dunia? Selama ini ayah kasar dan arogan, egois dan menang sendiri, apa ayah baru saja tercerahkan?""Alana, ayo minggirlah Nak.""Tidak Bunda, aku tahu bahkan Indira tak akan sudi disentuh ayah, menjauhlah ayah!" Aku berteriak dan itu membuat orang orang kaget, aku tahu itu tidak dewasa, tapi kekecewaan dan kesedihan mendalam ini membuatku tak bisa mengendalikan diri."Ayah hanya ingin minta maaf dan berpamitan," ucap ayah sambil berlutut di hadapanku, melihat ayah melempem seperti itu Bunda hanya menatapnya dengan penuh kebencian. "Shalatkan saja anak saya Pak, Bu, hari makin sore, khawatir nanti hujan," ujar Bunda dengan tatapan dingin pada ayah."Iya, baiklah kalau begitu," jawab Pak RT dan paman tertua dari keluarga Ibu."Ayo Indira, ayo bangun, menjauhlah karena adikmu akan disalatkan.""Baik," jawabku pe
"Astagfirullah," ucap nenek yang terhenyak kaget dengan kejadian yang baru saja berlangsung di depan matanya, dia ternganga melihat tante priska yang sudah terkapar ditendang olehku, sementara aku yang masih memakai gamis dan jilbab yang kusampirkan di bahu sudah tidak kuasa menahan kemarahan yang sangat menmbuncah."Menangkan dirimu pergilah ke kamarmu dan ambillah segelas air," ucap tante sambil menghalangi diri ini sementara yang satu lagi membangunkan Tante Riska dan mengajaknya untuk minggir dari hadapan nenek."Aku memang sudah menahan diriku selama beberapa minggu terakhir, aku menahan diri demi Bunda yang selalu berusaha sabar dan tenang tapi lama kelamaan puncak dari semua luka dan kejadian yang tak mengenakkan akhirnya terjadi, adikku bunuh diri," ucapku sambil mencengkram tangan. "Jadi Priska ... Bisakah kau kembalikan adikku yang sudah bunuh diri gara-gara perbuatanmu.""Tapi itu bukan salahku, meski secara tidak langsung aku memberi luka pada hati adikmu tapi aku tidak m
"Keluarlah dari rumahku sebelum aku menghajarmu," usir ibuku dengan kemarahan yang membuncah."Kenapa aku harus keluar kalau ini juga rumah suamiku?!" tanyanya dengan wajah menantang!"Apa kau tidak sadar, ada banyak orang di sini yang akan membantuku untuk menghajarmu.""Aku yakin tidak akan dihajar karena aku tahu kalian semua pasti paham hukum dan adab," jawabnya."Kalau kau mau diterima dengan adab, maka jadilah wanita yang beradab, kami dalam posisi berduka dan seenaknya saja kau datang untuk mengacaukan semua perasaan yang ada, kami alam kesedihan mendalam setelah kehilangan anak, kini kau seolah menambahkan garam di atas luka yang sudah ada. Kenapa begitu, beritahu aku.""Kan aku sudah tidak mampu bertahan dalam keadaan disembunyikan, aku juga manusia yang punya perasaan sama seperti dirimu meski aku datangnya lebih akhir darimu, tapi tetap saja aku adalah, istri," jawab wanita itu sambil mengedarkan pandangan ke semua orang.Mendengar jawabannya yang sangat nekat tentu saja ka
Usia tujuh hari kematian adikku yang benar-benar adalah hari panjang yang begitu melelahkan serta menguras perasaan bagi kami, akhirnya rumah pun dibereskan, tenda dibongkar, para kerabat yang datang dari jauh juga mulai pulang ke rumah masing masing. Rumah mulai lengang, kekosongan itu mulai menyadarkan kami bahwa setelah ini rumah akan terasa sepi. Biasanya selalu ada panggilan, canda, tawa dan rengekan manja adikku saat minta sesuatu pada ayah dan Ibu.Sekarang keadaannya benar benar berubah jadi menyedihkan, hampa dan kehilangan, kami perlahan-lahan harus bangkit dari luka yang ada dari kesepian yang mengguncang dada. Aku dan Bunda, terutama Bunda, kami harus bangkit dari luka luka yang ada.Kucari ibuku ke seluruh sudut rumah, tak kutemukan beliau di sana hingga aku menuju taman samping yang ditumbuhi rerumputan hijau dan sebuah air mancur mini."Bunda ...." Bunda terlihat duduk menyendiri dan murung sekali. Dia menoleh padaku sambil berusaha menyunggingkan senyum dan mengulurka
Seminggu kemudian. Nenek datang menyambangiku ke rumah, kami berjumpa di ruang tamu dan nenek langsung memberi isyarat agar aku ikut dengannya."Mau ikut dengan nenek?""Kemana?""Ke rumah Priska.""Menurut nenek ini akan berhasil? Apakah Tante Priska bisa menerima nenek tinggal di sana dan melayani nenek.""Aku juga ingin tahu perlakuan dia pada mertuanya, aku ingin tahu sekali," jawab Nenek sambil mengangguk pelan."Kalau aku ikut, Tante Priska tak akan setuju, terlebih hubungan kami kurang baik.""Dia tak akan berdaya di bawah kendaliku, mari kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya," balas Nenek dengan nada meyakinkan.Demi mengikuti keinginan dari Ibu ayahku, maka kuminta izin pada Bunda agar beliau mengizinkanku pergi ke rumah Tante Priska dan menemani nenek. Tadinya beliau agak keberatan, tapi setelah kuyakinkan ibuku akhirnya menyetujui."Aku janji tidak akan membuat masalah.""Bukannya kepergian kalian memang untuk bikin masalah?""Aku tidak akan ikut campur dengan urus
"Ibu, Dia mungkin tidak sengaja menjatuhkan piringnya, aku akan membantunya membereskan semua itu.""Kenapa kau membantunya, biar saja dia bereskan sendiri, kau duduk saja di sini dengan kami," ujar Nenek sambil menatap ayah dan memberi isyarat dengan ekor mata agar ayah duduk. Tanpa merasa punya pilihan lain, lelaki yang dulu adalah cinta pertamaku itu mendekat pada nenekku dan membisikinya."Ibu, aku tidak mau Priska merasa kalau kita membabukan dia, aku mohon Ibu....""Rupanya kau sangat khawatir akan keutuhan hubunganmu yang rapuh, mengesankan sekali," ujar Nenek dengan senyum sinis."Jika ibu datang kemari hanya untuk memperkeruh suasana maka aku mohon dengan penuh hormat agar ibu bisa pergi saja....""Beraninya kau!" ucap Nenek sambil mengangkat tangan, hampir saja nenek menampar ayah andai beliau tidak mengelak dan nenek tak merasa malu pada Priska.Tak lama setelah Tante Priska membereskan piring pecah, wanita itu segera memanggil kami untuk bergabung ke meja makan. "Ibu mert