"Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali
"Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j
Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b
Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang
Kusebut dia malaikat karena bagi ayah dia adalah malaikat. Dia memujanya dan sangat mencintainya bahkan mementingkan yang lebih dari Bunda. Wanita cantik yang umurnya berbeda 5 tahun lebih muda dari ibuku itu, terlihat sangat istimewa di mata ayah. Wanita bernama Priska itu profesinya adalah seorang pegawai di instansi yang berdekatan dengan kantor ayah. Jangan tanya bagaimana perasaanku sebagai anak, tentu sangat hancur, bingung dan dilema. Ingin kuberitahu Bunda yang sebenarnya tapi aku khawatir Bunda akan syok dan menangis lalu terjadi dalam pertengkaran dan akhirnya kedua orang tuaku bercerai. Tapi jika tidak ku beritahu maka Bunda akan selamanya dibodohi, adikku yang selama ini sangat mencintai Ayah juga akan sangat kecewa kalau tahu orang yang sangat dicintainya telah mencintai wanita lain dan hidup bahagia. Awalnya aku tidak menyangka, karena kehidupan kami sehari-hari di rumah sangat bahagia. Ayah tipikal orang yang disiplin dan selalu pulang tepat waktu, tidak pernah ada
Priska yunita namanya, malaikat maut yang sudah mencuri hati Ayah. ** Aku menangis sedih di hadapan ibuku, air mataku meluncur, nyaris jatuh ke mangkuk bakso yang kugenggam di tangan, entah kenapa selera makan dan rasa antusias tadi langsung menguap, terlebih mengingat ekspresi ayah yang seolah tak berdosa Memandangku tenggelam dalam kesedihan, Bunda hanya menghela napas, dia mendekat lalu mengusap air mataku dengan senyum tulus sambil menggeleng pelan dan memberi isyarat bahwa aku tak perlu membuang buang air mata. “Jangan nangis ya, Bunda aja tenang kok, semuanya akan baik baik saja di antara kita, tenanglah…” "Bagaimana Bunda bisa setenang ini ?" "Bunda harus bagaimana selain bersabar?" "Bunda bisa kok marah atau memberi ayah hukuman." "Dia adalah imam, dia juga berhak memutuskan jalan hidup dan pasangan yang dia inginkan." Aku terperangah mendengar jawaban Bunda, aku tak habis pikir, akalku tak sampai ke level di mana bunda berprinsip bahwa ayah berhak melakukan apa sa
Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah. Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya. Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya. Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa. Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan pen
Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan. Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu? “Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak. “Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya. Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya. “Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai. Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia me