Share

4. aku yakin

Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan.

Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu?

“Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak.

“Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya.

Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya.

“Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai.

Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia menghentikan semua kata kata dan rencananya.

Adikku yang punya sakit asma akan langsung tersengal begitu tahu ayah yang sangat ia idolakan akan mengadakan resepsi pernikahan dengan wanita lain. 

"Apa yang kalian bicarakan, mengapa semua orang diam begitu aku datang?" tanya Indira dengan heran.

"Kami sedang membicarakan rencana hadiah apa yang kami berikan di ulang tahunmu, Ayah ingin membelikan motor agar kamu bisa berangkat sekolah tanpa repot-repot lagi naik angkutan umum atau diantar," jawabku enteng.

"Hei, apa? Kamu bicara apa?" tanya ayah dengan ekspresi terkejut.

"Iya Kan Yah, dibanding ayah membuat acara yang tidak diperlukan, sebaiknya ayah belikan kami motor atau sepeda listrik tercanggih agar kami bisa ke mana-mana tanpa menyusahkan orang," jawabku dengan senyum sinis.

Ayah memicingkan mata dengan kesal sementara Bunda hanya diam dan menggeleng pelan.

"Ayah dan Kakak aneh deh, kalian berdua ucapannya kayak orang yang lagi saling sindir, ada apa sih dengan kalian?" tanyanya.

"Gak ada, aku akan kembali ke kamar dan kerjain tugas aku," balasku yang sudah tak tahan lagi ingin beranjak dari tempat itu.

"Tapi kita belum selesai bicara!"

"Biarkan saja Mas," ucap Bunda yang tiba tiba buka suara.

Tatapan mata bunda kali ini sangat berbeda dan cukup tajam. Dia menatap ayah sambil balas memicingkan mata seperti yang Ayah lakukan.

Ah, keluarga macam ini.

*

Pagiku menjelang dengan kicauan burung dan udara segar yang berhembus dari jendela. Seperti biasa, bunda selalu membuka pintu dan jendela rumah bahkan sebelum kami terbangun.

Kukerjabkan mata lalu mencoba mengumpulkan nyawa, mengumpulkan kesadaran sambil memaksa diri agar aku segera bangkit untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Biasanya selama ini aku selalu antusias dengan kegiatan di pagi hari tapi entah kenapa setelah tahu Ayah berselingkuh aku jadi benci keadaan yang ada di rumah ini.

Jadi selama ini orang tuaku hidup dalam kepura-puraan? Keceriaan apa yang mereka tunjukkan di pagi hari dengan penuh canda? Di hadapan kami, ayah dan bunda selalu terlihat harmonis, saling memberikan kasih sayang dan menggenggam tangan dengan mesra. Aku tah habis pikir, bisa-bisanya Bunda bersandiwara dengan sempurna. Bisa-bisanya Ia menutupi luka di hadapan kami berdua dengan cara bersikap sangat manis kepada lelaki yang sudah menyakitinya.

Kalau begini, Bunda seakan-akan mengajarkan kami bahwa wanita itu tidak apa apa terluka, yang penting keluarganya baik-baik saja. Tapi di sisi lain, kami sebagai anak sangat terluka mengetahui bahwa Bunda yang kami sayangi terzalimi selama bertahun-tahun. Ini tidak adil untuknya.

Aku turun dan melewati teras samping. Kudengarkan ayah dan ibuku sedang bicara. Seperti biasa Ayah sedang memberi makan ikan koi kesayangannya sementara Bunda duduk saja di daerah sambil menatap ke arah tanaman hias yang ia susun sedemikian rupa.

"Sampai kapan aku akan bertahan dalam luka seperti ini, kamu sendiri tahu bahwa aku sangatlah tersakiti. Kamu pun tidak hendak meninggalkan wanita itu atau melepaskan diriku, aku lelah dengan semua ini," ucap Bunda dengan kalimat rendah.

Ayah hanya diam saja sambil tetap sibuk memberi makan ikan koi kesayangannya, seakan apa yang diucapkan Bunda bukanlah sesuatu yang pantas diperhatikan.

"Bertahanlah seperti biasa, karena ... bukankah selama ini kita baik-baik saja? Selama aku masih memberimu nafkah dan juga memberikan kasih sayang pada anak-anak, tidak ada yang perlu diperdebatkan."

Enteng sekali Ayah mengatakan itu ke hadapan Bunda. Dia menyuruh Bunda bertahan sementara dia sendiri enak-enakan. Seseorang hanya membenarkan perbuatannya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Sepertinya Ayah memang sudah dibutakan oleh cintanya kepada Wanita yang bernama Priska Yunita.

Kalau ditimbang dan dipikir-pikir lagi, wanita yang jadi istri simpanannya itu tidaklah lebih cantik dari bunda. Hanya saja kulitnya putih dan tubuhnya langsing, wajahnya kinclong karena sering diberi perawatan bahkan Bunda pun akan sangat cantik jika diberi perawatan rutin seperti dia.

Mungkin karena Wanita itu tumbuh dengan kemandirian finansial, sehingga dia punya daya tarik tersendiri di mata ayah. Sementara Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang dua puluh empat jam di dalam rumah. Ia lebih memilih menyimpan cadangan uang belanja untuk keperluan tidak terduga, dibandingkan menghambur-hamburkannya dengan membeli pakaian baru dan pergi ke salon. Ibuku adalah wanita yang mulia dan penuh pengorbanan. Di bagian mana lagi kurangnya? Mengapa ayah tidak bersyukur?

"Ayah ...." Aku mau manggil aja dari Abang pintu kaca sliding, sementara beliau langsung menoleh. "Maaf kalau aku terkesan lancang dan ikut campur karena sebelumnya aku tidak pernah melakukan hal itu. Teganya Ayah meminta bunda bertahan dengan semua rasa sakit yang ayah berikan?! Bisakah kalau posisinya diubah saja, biar bunda yang poliandri sementara ayah bertahan dan berpura-pura baik-baik saja demi kami, bisa?!"

"Kamu ya!" Tiba-tiba Ayah membanting plastik makanan ikan hingga plastik itu pecah dan pur-nya berhamburan.

Baru saja Ayah hendak berteriak tapi tiba-tiba saja Indira datang, melihat ayah yang melotot pada aku, sementara aku hanya berdiri dengan ekspresi datar dengan tangan ditopang di bagian dada, adikku makin heran saja dengan apa yang terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status