Aku yakin ayah sudah gila begitu mengucapkan kata bahwa ia ingin mengadakan resepsi untuk acara pernikahan yang sudah ia rahasiakan.
Oh ya, bilang apa ayah tadi, sudah menikah selama bertahun-tahun? sejak kapan itu, kenapa kami baru menyadarinya? kenapa Tuhan baru memperlihatkan pada kami kejadian yang sebenarnya ya? kenapa bisa begitu? “Apa?” tanyaku dengan mata terbelalak. “Ya, ibumu tidak keberatan juga kok. Dia selama ini diam karena menunggu momen yang tepat, kalian akan sadar dengan sendirinya,” jawabnya. Sungguhkah, jadi ibuku sekonyol itu. Aku tak percaya ibu bisa mengalah tanpa bicara apapun. Bisa jadi, ibu memang bertahan karena aku dan Indira atau bisa jadi juga karena ayah mengancamnya. “Benarkah?” tanyaku dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku hampir mati mendengar pengakuan frontal yang diucapkan ayah dengan santai.Sebelum aku sempat mengatakan apa apa lagi, adikku sudah datang dari kamarnya membawa laptop yang aku minta. Kuberi isyarat pada ayah agar ia menghentikan semua kata kata dan rencananya.
Adikku yang punya sakit asma akan langsung tersengal begitu tahu ayah yang sangat ia idolakan akan mengadakan resepsi pernikahan dengan wanita lain. "Apa yang kalian bicarakan, mengapa semua orang diam begitu aku datang?" tanya Indira dengan heran. "Kami sedang membicarakan rencana hadiah apa yang kami berikan di ulang tahunmu, Ayah ingin membelikan motor agar kamu bisa berangkat sekolah tanpa repot-repot lagi naik angkutan umum atau diantar," jawabku enteng. "Hei, apa? Kamu bicara apa?" tanya ayah dengan ekspresi terkejut. "Iya Kan Yah, dibanding ayah membuat acara yang tidak diperlukan, sebaiknya ayah belikan kami motor atau sepeda listrik tercanggih agar kami bisa ke mana-mana tanpa menyusahkan orang," jawabku dengan senyum sinis.Ayah memicingkan mata dengan kesal sementara Bunda hanya diam dan menggeleng pelan.
"Ayah dan Kakak aneh deh, kalian berdua ucapannya kayak orang yang lagi saling sindir, ada apa sih dengan kalian?" tanyanya. "Gak ada, aku akan kembali ke kamar dan kerjain tugas aku," balasku yang sudah tak tahan lagi ingin beranjak dari tempat itu. "Tapi kita belum selesai bicara!" "Biarkan saja Mas," ucap Bunda yang tiba tiba buka suara.Tatapan mata bunda kali ini sangat berbeda dan cukup tajam. Dia menatap ayah sambil balas memicingkan mata seperti yang Ayah lakukan.
Ah, keluarga macam ini. * Pagiku menjelang dengan kicauan burung dan udara segar yang berhembus dari jendela. Seperti biasa, bunda selalu membuka pintu dan jendela rumah bahkan sebelum kami terbangun. Kukerjabkan mata lalu mencoba mengumpulkan nyawa, mengumpulkan kesadaran sambil memaksa diri agar aku segera bangkit untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Biasanya selama ini aku selalu antusias dengan kegiatan di pagi hari tapi entah kenapa setelah tahu Ayah berselingkuh aku jadi benci keadaan yang ada di rumah ini. Jadi selama ini orang tuaku hidup dalam kepura-puraan? Keceriaan apa yang mereka tunjukkan di pagi hari dengan penuh canda? Di hadapan kami, ayah dan bunda selalu terlihat harmonis, saling memberikan kasih sayang dan menggenggam tangan dengan mesra. Aku tah habis pikir, bisa-bisanya Bunda bersandiwara dengan sempurna. Bisa-bisanya Ia menutupi luka di hadapan kami berdua dengan cara bersikap sangat manis kepada lelaki yang sudah menyakitinya.Kalau begini, Bunda seakan-akan mengajarkan kami bahwa wanita itu tidak apa apa terluka, yang penting keluarganya baik-baik saja. Tapi di sisi lain, kami sebagai anak sangat terluka mengetahui bahwa Bunda yang kami sayangi terzalimi selama bertahun-tahun. Ini tidak adil untuknya.
Aku turun dan melewati teras samping. Kudengarkan ayah dan ibuku sedang bicara. Seperti biasa Ayah sedang memberi makan ikan koi kesayangannya sementara Bunda duduk saja di daerah sambil menatap ke arah tanaman hias yang ia susun sedemikian rupa. "Sampai kapan aku akan bertahan dalam luka seperti ini, kamu sendiri tahu bahwa aku sangatlah tersakiti. Kamu pun tidak hendak meninggalkan wanita itu atau melepaskan diriku, aku lelah dengan semua ini," ucap Bunda dengan kalimat rendah.Ayah hanya diam saja sambil tetap sibuk memberi makan ikan koi kesayangannya, seakan apa yang diucapkan Bunda bukanlah sesuatu yang pantas diperhatikan.
"Bertahanlah seperti biasa, karena ... bukankah selama ini kita baik-baik saja? Selama aku masih memberimu nafkah dan juga memberikan kasih sayang pada anak-anak, tidak ada yang perlu diperdebatkan." Enteng sekali Ayah mengatakan itu ke hadapan Bunda. Dia menyuruh Bunda bertahan sementara dia sendiri enak-enakan. Seseorang hanya membenarkan perbuatannya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Sepertinya Ayah memang sudah dibutakan oleh cintanya kepada Wanita yang bernama Priska Yunita. Kalau ditimbang dan dipikir-pikir lagi, wanita yang jadi istri simpanannya itu tidaklah lebih cantik dari bunda. Hanya saja kulitnya putih dan tubuhnya langsing, wajahnya kinclong karena sering diberi perawatan bahkan Bunda pun akan sangat cantik jika diberi perawatan rutin seperti dia.Mungkin karena Wanita itu tumbuh dengan kemandirian finansial, sehingga dia punya daya tarik tersendiri di mata ayah. Sementara Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang dua puluh empat jam di dalam rumah. Ia lebih memilih menyimpan cadangan uang belanja untuk keperluan tidak terduga, dibandingkan menghambur-hamburkannya dengan membeli pakaian baru dan pergi ke salon. Ibuku adalah wanita yang mulia dan penuh pengorbanan. Di bagian mana lagi kurangnya? Mengapa ayah tidak bersyukur?
"Ayah ...." Aku mau manggil aja dari Abang pintu kaca sliding, sementara beliau langsung menoleh. "Maaf kalau aku terkesan lancang dan ikut campur karena sebelumnya aku tidak pernah melakukan hal itu. Teganya Ayah meminta bunda bertahan dengan semua rasa sakit yang ayah berikan?! Bisakah kalau posisinya diubah saja, biar bunda yang poliandri sementara ayah bertahan dan berpura-pura baik-baik saja demi kami, bisa?!" "Kamu ya!" Tiba-tiba Ayah membanting plastik makanan ikan hingga plastik itu pecah dan pur-nya berhamburan. Baru saja Ayah hendak berteriak tapi tiba-tiba saja Indira datang, melihat ayah yang melotot pada aku, sementara aku hanya berdiri dengan ekspresi datar dengan tangan ditopang di bagian dada, adikku makin heran saja dengan apa yang terjadi."Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja. Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan.Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah. Aku bukan saja ak
"Aku tidak akan keberatan mengantarmu, tapi aku hanya heran mengapa tiba tiba?" "Entahlah, jalan saja, lampunya sudah hijau," jawabku sambil tersenyum tipis. Terpaksa wanita itu mengajakku, memboncengku dengan diam saja. Aku tahu arah kantornya berlawanan, kulihat ia pegawai dinas pendidikan, arah kantornya jauh dari sekolahku. Lima kilo meter berikutnya setelah meluncur, motor melaju pelan. "Aku turunkan kamu di halte ya, kamu lanjut naik ojek aja karena aku harus buru buru rapat." "Ayah pasti sedih mengetahui bahwa Ibu tiriku memperlakukanku seperti ini," ujarku santai. "Maaf, tapi saya harus rapat," jawabnya lirih. Wanita itu menghentikan motornya, memaksaku turun sambil menatapku dengan wajah penuh permohonan. "Saya tahu kamu sangat kecewa dan benci saya, kamu ingin marah dan memukuli saya, tapi tolong beri waktu agar kita bisa saling bicara dan saling menerima," ujarnya "Hah, saling menerima?" Aku langsung tertawa. "Semua akar dari masalah ini adalah ayahmu, dialah yang h
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m
"Berbagi suami maksudmu?" Di momen itu Bunda terlihat sangat marah dan tidak bisa mengendalikan diri tangan Bunda yang masih memegang indira terlihat gemetar dan dia nampak sekali ingin mengendalikan emosinya."Iya Mbak, Izinkan saya menjadi bagian keluarga ini, menjadi bagian yang bisa berbagi kasih sayang, bantuan dan pengabdian. Saya ingin turut serta berkontribusi untuk kenyamanan dan kebahagiaan kalian Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya yang telah merebut Mas hafiz sehingga saya ingin sekali mencuci semua dosa-dosa itu agar saya tidak terlalu hidup dalam beban."Ya Tuhan, apakah dia pikir mudah saja semua hal yang dihadapi Bunda? Mendapati suami berselingkuh hingga sudah menikah saja sudah merupakan hal yang menyakitkan, apalagi ditambah sekarang wanita itu ingin bergabung dalam keluarga dengan benar, ini sungguh beban mental yang memberatkan."Maaf saya harus masuk ke dalam, aku harus mengurus putriku yang sakit, kau pulanglah.""Tapi ...." Wanita berjilbab itu nam
"mungkinkah kita beritahu saja nenek atas perbuatan Ayah yang diam-diam menikah lagi," tanyaku saat bunda membantu adikku tertidur di ranjangnya."Jangan dulu, akan terjadi kehebohan.""Biar saja, biar nenek yang bicara pada anaknya, biar nenek yang menegur ayah dan memarahinya.""Tapi itu tidak akan membuat priska dan ayahmu berpisah. Malah mungkin ayahmu akan minta restu dari orang tua dan keluarganya karena pada akhirnya mereka pun tahu.""Ya Tuhan, menyebalkan sekali.""Saat ini, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah bersabar dan berdoa. Percayalah, Allah bersama orang orang yang sabar," balas Bunda sambil menepuk bahuku dan beliau beranjak dari kamar Indira. Tinggallah aku di sini dengan pikiran dan berbagai anggapan rumit tentang hari esok. Adikku terdiam menatap diri ini dan jendela kamarnya, angin yang bertiup menggoyangkan tabir penutup jendela dan itu menimbulkan suasana sedih tersendiri."Indi, kakak ke kamar dulu ya Dik," balasku."Iya Kak, jangan lupa tutup pintu