"Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja.
Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan. Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah.Aku bukan saja akan mempermalukan keluarga tapi juga mempermalukan diriku sendiri. Imbasnya juga... Juga kejadian itu benar-benar terjadi, reputasi Ayah pasti akan terganggu dan dia akan disangsi di kantornya karena sudah berpoligami tanpa izin yang resmi.
Entah kenapa, aku ingin tahu sekali prosedur memberikan sanksi kepada pegawai negeri. Aku ingin hidup ayah dan Priska hancur sehingga mereka tahu akibat menyakiti orang. Namun kembali lagi, aku hanya bocah berumur 18 tahun yang belum matang pikiran dan kedewasaannya. Aku harus berpikir dengan baik sebelum melakukan sesuatu. Jangan sampai Ibuku yang kena imbasnya dan juga tersakiti gara-gara perbuatanku. Ah, dilema sekali, Dan dilema itunya harus membuatku gila dan tidak fokus dengan sekolah. Selesai mandi dan berpakaian rapi aku segera menyambar tas dan ponselku lalu memakai sepatu dan berangkat sekolah. Kutemukan keluargaku sedang makan di ruang makan. Aku melangkah mau pergi tapi Bunda segera memanggil dan memintaku untuk mengganjal perut agar pagi-pagi tidak lapar. "Nak, makan dulu...." "Entar aja, aku gak selera." Sebenarnya aku tidak berselera karena melihat wajah Ayah yang menjijikan, wajah pria munafik yang menyembunyikan banyak hal demi kebahagiaannya sendiri. "Jadi sekarang uang jajanmu sudah lebih dari cukup sehingga kamu tidak membutuhkan makan dari rumah lagi?!" ujar ayah sambil menggebrak sendoknya dengan kasar ke permukaan kayu meja makan.Adikku tertegun dan langsung menghentikan kegiatannya makan, sementara Bunda memasang ekspresi panik dan memberiku isyarat agar segera bergabung di meja makan.
Ah, entah kenapa Bunda selalu saja mengalah dan takut kepada suaminya. Apakah dia benar-benar merasa bahwa tidak bisa hidup tanpa Ayah, ah, aku hanya bisa menghela nafas dengan kesal. Brak! Kugeser kursi, sambil menyendokan nasi goreng seadanya ke dalam piringku, Ayah menatapku tajam dan jujur itu membuatku semakin tidak nyaman untuk menikmati sarapan. Baru kali ini aku merasa hidupku bagai neraka dan hubungan antara orang tua dan anak bagaikan musuh kebuyutan. Ayah masih menatapku dengan tatapan matanya yang tajam sementara Bunda berusaha untuk menengahi di antara kami. "Kamu harus tetap sarapan setiap pagi, sayang, agar perutmu terisi dan kamu bisa fokus belajar. Orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya,jadi tetaplah mematuhi omongan ayah." "Baik," jawabku lirih, aku berusaha mengalah di hadapan Bunda karena tidak mau menyakitinya. Aku ingin Bunda aman di hadapan lelaki jahat itu, meski lelaki itu sangat menzalimi dan menyakitinya. "Jangan coba-coba melawan pada orang tua, kamu masih numpang hidup pada kami dan segala sesuatunya kami yang tanggung, jangan banyak tingkah!" "Ayah ... Kok ayah bilang gitu ya?" tanya Indira. "Jadi, anak adalah seperti beban di mata ayah?" tanyaku sinis, "lalu apa kabar wanita yang kemarin ...." "Diam!" Aku belum selesai kulanjutkan ucapanku Ayah sudah berteriak, dia melotot padaku dengan tatapan bengis yang sangar. "Kalian kenapa sih, ada apa Kak?" tanya Indira kaget, adikku yang bertubuh sedikit lebih kurus dariku dan mengenakan kacamata itu menatap Bunda dengan penuh tanda tanya. Dia mengernyit sementara Bunda juga terlihat kebingungan bagaimana meredakan situasi tegang ini. "Sebaiknya kalian segera berangkat sekolah, nanti telat." Bunda segera mengemasi kami, meminta kami untuk segera bergegas, dan membangunkan kami dari kursi untuk segera menjauhi ayah yang murka. Masih kupandangi ayahku yang menatap diri ini dengan kesal dan mendengkus kasar, dari netranya aku bisa melihat ia dendam karena sudah mengutarakan kalimat tadi. Terserah dia, aku tak peduli. * Di atas bis sekolah yang tengah berhenti di lampu merah tiba-tiba aku melihat Priska dengan motornya. Wanita berpakaian coklat dinas itu nampak menatap lurus ke depan sambil menunggu lampu berubah hijau. "Aku turun duluan," ucapku pada Indira. "Kenapa Kak, entar bisnya jalan lho." "Biarin," jawabku bergegas. Kupercepat langkah untuk memburu selingkuhan Ayah sambil menyelipkan diri di antara motor-motor yang sedang berhenti. Syukurnya rok sekolah yang kukenalkan adalah rok pendek jadi aku bisa leluasa melompati ban ban motor yang melintang di jalan. Buk! Kududukan diriku di jok belakang wanita itu, dia terkejut dan langsung menoleh ke belakang. "Kenapa? Kenapa kaget!" "Apa yang kamu lakukan." "Aku minta Ibu tiriku untuk mengantarku ke sekolah," ujarku sambil memasang senyum manis. "Turunlah sekarang, saya mau ke kantor." "Ouh .... jadi ini sifatmu yang sebenarnya?" Aku tertawa di hadapannya."Aku tidak akan keberatan mengantarmu, tapi aku hanya heran mengapa tiba tiba?" "Entahlah, jalan saja, lampunya sudah hijau," jawabku sambil tersenyum tipis. Terpaksa wanita itu mengajakku, memboncengku dengan diam saja. Aku tahu arah kantornya berlawanan, kulihat ia pegawai dinas pendidikan, arah kantornya jauh dari sekolahku. Lima kilo meter berikutnya setelah meluncur, motor melaju pelan. "Aku turunkan kamu di halte ya, kamu lanjut naik ojek aja karena aku harus buru buru rapat." "Ayah pasti sedih mengetahui bahwa Ibu tiriku memperlakukanku seperti ini," ujarku santai. "Maaf, tapi saya harus rapat," jawabnya lirih. Wanita itu menghentikan motornya, memaksaku turun sambil menatapku dengan wajah penuh permohonan. "Saya tahu kamu sangat kecewa dan benci saya, kamu ingin marah dan memukuli saya, tapi tolong beri waktu agar kita bisa saling bicara dan saling menerima," ujarnya "Hah, saling menerima?" Aku langsung tertawa. "Semua akar dari masalah ini adalah ayahmu, dialah yang h
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela Priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya. “Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.” “Jaga ucapanmu, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!” “Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam-diam sudah menikahi suami orang lain. Meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. Dia mengajakku
Jangan tanya betapa merah padamnya wajah wanita itu menahan malu di hadapan para guru yang dia beri arahan, rasanya semua wejangan dan saran yang dia ucapkan terdengar tidak ada artinya setelah aku mengatakan kebenaran. “Pergilah dari sini,” ucap lekaki yang juga mengenakan baju dengan warna yang sama dengan istri ayahku, dia terlihat membela priska dengan begitu kerasnya, tatapan matanya padaku nampak marah karena sudah mengusik hidup sahabatnya.“Saya memang mau pergi, saya tidak ada keperluan lagi untuk lama lama di tempat ini, lagipula saya tak tahan menatap wajah pelakor yang sudah merebut ayah dari hidup kami.”“Jaga ucapan, jangan sampai kamu masuk kantor polisi karena fitnah!”“Justru wanita itu yang akan dikenai sanksi karena diam diam sudah menikahi suami orang lain. meski menikah tidak dilarang, tapi mereka sudah menyembunyikan hubungan selama bertahun tahun dan itu berzina namanya.” Sahabatku yang mengantar diri ini mulai merasa takut dan tak nyaman. dia mengajakku pergi
Mendengar jawaban Ayah yang sudah tidak masuk akal, aku hanya bisa mengurut dada sambil mengucapkan istighfar lalu membalikan badan dan melangkah pergi. Dengan tangis yang tergugu aku memesan taksi lalu tak lama kemudian taksi datang, kunaiki kendaraan itu, meski ayah memanggilku dan memintaku untuk kembali ke rumah sakit bersamanya. Sungguh tak sudi, tak sudi aku semobil dengannya, apalagi tahu kalau ayah akan mengajak wanita itu ke rumah sakit."Ah, ya Tuhan, emangnya tidak ada waktu lain untuk mempertemukan Tante Riska dengan Bunda? Kenapa harus malam ini juga di saat adikku sedang sakit dan lemah. Kenapa tidak pilih waktu lain, apakah wanita itu sudah tidak sabar untuk segera diakui? Allahu Akbar. Kini, apapun yang terjadi aku harus segera memberi tahu Bunda, Bunda harus segera menyiapkan diri dan tegas dengan semua yang terjadi, kalau bisa bunda harus mengusir dua sejoli itu bahkan harus sekali memisahkan mereka demi keutuhan keluarga kami.*Kususuri lorong rumah sakit dengan
Kupandangi wajah Bunda yang juga terkejut melihat sandal seorang wanita tapi beliau kembali tegar dan menarik napas lalu mengajak adikku masuk.Adikku yang tidak menyadari apa apa hanya diam dan ikut melangkah, sewaktu kami masuk dan mengucapkan salam, Tante Priska sudah di sana, dia langsung berdiri begitu melihat kami datang, sesaat Bunda dan Tante priska saling berpandangan lalu wanita berwajah tiru dengan hidung mancung itu menundukkan kepala."Siapa dia Bunda?" tanya Indira. Adikku yang masih pucat dengan bibirnya yang mengering seketika paham dan mengangguk pelan. "Ouh jadi kau wanita itu?" tanya adikku dengan napas yang berat."Ayo masuk dulu ke kamarmu," perintah Bunda."Ga mau, Bund, aku ingin tahu kenapa Wanita ini datang ke rumah ini."“Saya ingin bicara baik baik dan datang dengan kerendahan hati untuk meminta maaf atas kesalahan dan sikap tidak dewasa saya selama ini, saya ingin minta maaf dari hati terdalam.”“Minta maaf? setelah keadaan sudah kacau baru iingin minta m
"Berbagi suami maksudmu?" Di momen itu Bunda terlihat sangat marah dan tidak bisa mengendalikan diri tangan Bunda yang masih memegang indira terlihat gemetar dan dia nampak sekali ingin mengendalikan emosinya."Iya Mbak, Izinkan saya menjadi bagian keluarga ini, menjadi bagian yang bisa berbagi kasih sayang, bantuan dan pengabdian. Saya ingin turut serta berkontribusi untuk kenyamanan dan kebahagiaan kalian Saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya yang telah merebut Mas hafiz sehingga saya ingin sekali mencuci semua dosa-dosa itu agar saya tidak terlalu hidup dalam beban."Ya Tuhan, apakah dia pikir mudah saja semua hal yang dihadapi Bunda? Mendapati suami berselingkuh hingga sudah menikah saja sudah merupakan hal yang menyakitkan, apalagi ditambah sekarang wanita itu ingin bergabung dalam keluarga dengan benar, ini sungguh beban mental yang memberatkan."Maaf saya harus masuk ke dalam, aku harus mengurus putriku yang sakit, kau pulanglah.""Tapi ...." Wanita berjilbab itu nam
"mungkinkah kita beritahu saja nenek atas perbuatan Ayah yang diam-diam menikah lagi," tanyaku saat bunda membantu adikku tertidur di ranjangnya."Jangan dulu, akan terjadi kehebohan.""Biar saja, biar nenek yang bicara pada anaknya, biar nenek yang menegur ayah dan memarahinya.""Tapi itu tidak akan membuat priska dan ayahmu berpisah. Malah mungkin ayahmu akan minta restu dari orang tua dan keluarganya karena pada akhirnya mereka pun tahu.""Ya Tuhan, menyebalkan sekali.""Saat ini, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah bersabar dan berdoa. Percayalah, Allah bersama orang orang yang sabar," balas Bunda sambil menepuk bahuku dan beliau beranjak dari kamar Indira. Tinggallah aku di sini dengan pikiran dan berbagai anggapan rumit tentang hari esok. Adikku terdiam menatap diri ini dan jendela kamarnya, angin yang bertiup menggoyangkan tabir penutup jendela dan itu menimbulkan suasana sedih tersendiri."Indi, kakak ke kamar dulu ya Dik," balasku."Iya Kak, jangan lupa tutup pintu
Aku terbelalak, lemas, terjatuh dalam posisi duduk, kepalaku langsung pusing, persendianku seakan dicopot dari badan, aku gak bisa berkata apa apa, selain hanya bisa berteriak dan menangis."Bundaaaa...." Mendengarku berteriak, Ibuku tergopoh-gopoh keluar, melihatku yang sudah lemas di teras bunda segera menyambangi."Ada apa Nak..."Belum selesai bertanya, Bunda menoleh pada Indira yang sudah terkapar dengan posisi kepala membentur sisi pembatas tanaman bunga dan mengalirkan darah yang banyak, matanya terbuka dan air matanya itu masih mengalir di sana. Bunda berteriak dan langsung berlari memeluk Indira, bunda mengguncang adikku, tapi sayang, dia tak sadar. Sungguh pemandangan yang membuat trauma sekaligus sangat tragis."Anakku ... ya Allah, indi, kenapa begini..." Tangan bunda menyentuh bagian belakang kepala Indira, tangan bunda langsung berlumuran darah kental yang bau anyirnya langsung menyeruak.Mendengar raungan Bunda para tetangga mulai berdatangan dan mereka juga tidak kala