Share

5. beraninya

"Beraninya anak kecil ingin menasehati orang tua. Tidak bisakah diam saja dan fokus belajar sembari menikmati uang belanja yang kami usahakan, kalian anak kecil hanya tahunya makan dan jajan!" ujar ayah sambil menendang kursi dan pergi begitu saja.

Melihat ayah bersikap sekasar itu tentu saja bunda terkejut. Ia hampir saja terlonjak kaget saat Ayah menendang kursi. Adikku Indira juga kebingungan dengan apa yang terjadi. Tapi karena dia adalah putri kesayangan ayah, maka ayah langsung mengajak dia pergi ke meja makan, adikku pun menurut seperti apa yang ayah katakan.

Kuperhatikan wajah bunda yang pucat karena takut, secara diam-diam ia meneteskan air mata dan segera menghapusnya. Melihat ibuku kembali menangis, perasaan ini makin berkejolak tidak karuan rasanya. Ingin kucari priska Yunita dan menemui dia di tempat kerjanya lalu melabraknya dan mempermalukan wanita itu. Tapi tentu saja jika anak SMA yang melakukannya maka aku akan ditegur dan dikembalikan ke sekolah.

Aku bukan saja akan mempermalukan keluarga tapi juga mempermalukan diriku sendiri. Imbasnya juga... Juga kejadian itu benar-benar terjadi, reputasi Ayah pasti akan terganggu dan dia akan disangsi di kantornya karena sudah berpoligami tanpa izin yang resmi.

Entah kenapa, aku ingin tahu sekali prosedur memberikan sanksi kepada pegawai negeri. Aku ingin hidup ayah dan Priska hancur sehingga mereka tahu akibat menyakiti orang. Namun kembali lagi, aku hanya bocah berumur 18 tahun yang belum matang pikiran dan kedewasaannya. Aku harus berpikir dengan baik sebelum melakukan sesuatu. Jangan sampai Ibuku yang kena imbasnya dan juga tersakiti gara-gara perbuatanku.

Ah, dilema sekali, Dan dilema itunya harus membuatku gila dan tidak fokus dengan sekolah.

Selesai mandi dan berpakaian rapi aku segera menyambar tas dan ponselku lalu memakai sepatu dan berangkat sekolah. Kutemukan keluargaku sedang makan di ruang makan. Aku melangkah mau pergi tapi Bunda segera memanggil dan memintaku untuk mengganjal perut agar pagi-pagi tidak lapar.

"Nak, makan dulu...."

"Entar aja, aku gak selera." Sebenarnya aku tidak berselera karena melihat wajah Ayah yang menjijikan, wajah pria munafik yang menyembunyikan banyak hal demi kebahagiaannya sendiri.

"Jadi sekarang uang jajanmu sudah lebih dari cukup sehingga kamu tidak membutuhkan makan dari rumah lagi?!" ujar ayah sambil menggebrak sendoknya dengan kasar ke permukaan kayu meja makan.

Adikku tertegun dan langsung menghentikan kegiatannya makan, sementara Bunda memasang ekspresi panik dan memberiku isyarat agar segera bergabung di meja makan.

Ah, entah kenapa Bunda selalu saja mengalah dan takut kepada suaminya. Apakah dia benar-benar merasa bahwa tidak bisa hidup tanpa Ayah, ah, aku hanya bisa menghela nafas dengan kesal.

Brak!

Kugeser kursi, sambil menyendokan nasi goreng seadanya ke dalam piringku, Ayah menatapku tajam dan jujur itu membuatku semakin tidak nyaman untuk menikmati sarapan. Baru kali ini aku merasa hidupku bagai neraka dan hubungan antara orang tua dan anak bagaikan musuh kebuyutan. Ayah masih menatapku dengan tatapan matanya yang tajam sementara Bunda berusaha untuk menengahi di antara kami.

"Kamu harus tetap sarapan setiap pagi, sayang, agar perutmu terisi dan kamu bisa fokus belajar. Orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya,jadi tetaplah mematuhi omongan ayah."

"Baik," jawabku lirih, aku berusaha mengalah di hadapan Bunda karena tidak mau menyakitinya. Aku ingin Bunda aman di hadapan lelaki jahat itu, meski lelaki itu sangat menzalimi dan menyakitinya.

"Jangan coba-coba melawan pada orang tua, kamu masih numpang hidup pada kami dan segala sesuatunya kami yang tanggung, jangan banyak tingkah!"

"Ayah ... Kok ayah bilang gitu ya?" tanya Indira.

"Jadi, anak adalah seperti beban di mata ayah?" tanyaku sinis, "lalu apa kabar wanita yang kemarin ...."

"Diam!"

Aku belum selesai kulanjutkan ucapanku Ayah sudah berteriak, dia melotot padaku dengan tatapan bengis yang sangar.

"Kalian kenapa sih, ada apa Kak?" tanya Indira kaget, adikku yang bertubuh sedikit lebih kurus dariku dan mengenakan kacamata itu menatap Bunda dengan penuh tanda tanya. Dia mengernyit sementara Bunda juga terlihat kebingungan bagaimana meredakan situasi tegang ini.

"Sebaiknya kalian segera berangkat sekolah, nanti telat."

Bunda segera mengemasi kami, meminta kami untuk segera bergegas, dan membangunkan kami dari kursi untuk segera menjauhi ayah yang murka.

Masih kupandangi ayahku yang menatap diri ini dengan kesal dan mendengkus kasar, dari netranya aku bisa melihat ia dendam karena sudah mengutarakan kalimat tadi. Terserah dia, aku tak peduli.

*

Di atas bis sekolah yang tengah berhenti di lampu merah tiba-tiba aku melihat Priska dengan motornya. Wanita berpakaian coklat dinas itu nampak menatap lurus ke depan sambil menunggu lampu berubah hijau.

"Aku turun duluan," ucapku pada Indira.

"Kenapa Kak, entar bisnya jalan lho."

"Biarin," jawabku bergegas.

Kupercepat langkah untuk memburu selingkuhan Ayah sambil menyelipkan diri di antara motor-motor yang sedang berhenti. Syukurnya rok sekolah yang kukenalkan adalah rok pendek jadi aku bisa leluasa melompati ban ban motor yang melintang di jalan.

Buk!

Kududukan diriku di jok belakang wanita itu, dia terkejut dan langsung menoleh ke belakang.

"Kenapa? Kenapa kaget!"

"Apa yang kamu lakukan."

"Aku minta Ibu tiriku untuk mengantarku ke sekolah," ujarku sambil memasang senyum manis.

"Turunlah sekarang, saya mau ke kantor."

"Ouh .... jadi ini sifatmu yang sebenarnya?" Aku tertawa di hadapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status