Share

3

Hari ini Yanti memilih untuk seharian dirumah dan tidak ke kantor, Ia meminta asistennya membatalkan semua jadwal hari ini, ia ingin rehat sebentar dari segala rutinitas yang ada.

Duduk di teras balkon kamar sembari meminum secangkir kopi, itulah yang dilakukan Yanti pagi ini. Alasan dia tidak pergi ke kantor hanya karena dia trauma dengan ucapan Aris dan semua barang-barang yang dia lihat di kantor. Kata-kata pria itu benar-benar membuatnya tertampar, untuk kesekian kali ia kembali membuat hati mantan kekasihnya itu terluka.

Sesaat ia mengingat kejadian masa lalu sewaktu ia duduk dibangku SMA, saat itu ia sempat berpacaran dengan Aris. Aris merupakan pemuda yang tidak hobi menghamburkan uang dengan kekayaan keluarga, penampilannya terlihat biasa saja meski level kekayaan keluarga Aris memang cukup mumpuni tetapi masih 2 level dibawah keluarga Yanti, meski begitu perasaan dan cintanya sempurna untuk Yanti. Ia memiliki Impian yang jelas dan bahkan ia memang berniat serius dengan Yanti.

“Yanti, maukah kau menikah denganku? Aku serius pacaran sama kamu.” kala itu Aris mengutarakan dengan gamblang keinginannya meskipun ucapannya itu terdengar bodoh karena masih sama-sama sekolah dan Yanti hanya menanggapi hal itu sebagai sebuah candaan.

Hubungan mereka berjalan lama hingga tiba saatnya mereka masuk ke dunia perkuliahan, hubungan mereka mulai renggang karena Yanti kuliah berjauhan dengan Aris. Mereka menjalani hubungan LDR dan itu tidaklah mudah bagi mereka berdua.

“Ris, kita berdua sudah sama-sama saling sibuk, aku juga jarang mendapatkan kabar darimu dan juga aku pun juga habis waktu dan tak bisa pulang sebulan sekali bahkan untuk bertemu, aku rindu kamu, tapi aku harus bagaimana? Aku lelah, Ris.” Tulisan itu tertera jelas di surat, yang mana itulah surat terakhir yang bisa Yanti kirimkan pada Aris kekasihnya.

Yanti akhirnya meninggalkan Aris begitu saja tanpa kabar yang jelas, dua tahun lamanya Aris menunggu Yanti kembali menghubunginya namun hasilnya tetaplah nihil. Namun disuatu sore Aris menerima sebuah surat, sayangnya bukan surat yang ia harapkan, surat itu berupa undangan pernikahan Yanti dengan orang lain.

‘Aris, maafkan aku.’ kata Yanti dengan derai air mata sebelum ia memasukkan undangan ke kotak surat rumah Aris.

Yanti benar-benar meninggalkan Aris kali ini dan tak tergapai lagi. Yanti juga menyadari bahwa ia benar-benar jahat kala itu karena ia tidak memberikan alasan atau memberikan kejelasan pada Aris.

Lamunannya tiba-tiba terhenti karena terdengar sayup-sayup suara Tomi dari luar kamarnya.

“Maaa…. Lagi dimana?!” panggil Tomi.

“Yaaa sayang, tunggu.” Yanti berjalan menuju pintu kamar sambil mengusap matanya yang terlihat berair.

“Ma, turun deh itu Gina dateng.”

“Ohh, calon menantu Mama ya?”

“Siapa lagi, Ma.”

“Ok tunggu bentar Mama siap-siap.”

“Ok, Tomi tunggu dibawah ya, Ma.”

Tak berselang lama Yanti turun ke ruang tamu untuk menemui calon menantunya, ia memang terlalu sibuk hingga ia tak mengenal siapa kekasih anaknya.

“Halooo,  wah ada tamu penting rupanya ya.” ledek Yanti.

“Halo, Tante. Aku Gina.” Dengan senyum ramah ia kemudian menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Yanti dan disambut jabatan tangan itu oleh Yanti dengan hangat.

“Ayo duduk, anggap saja ini rumah kamu tidak perlu sungkan toh kamu sebentar lagi juga akan jadi anak Tante. Ya kan, Tom?” lirik Yanti sambil tersenyum bahagia.

“Hahah, iya lah.” Jawab Tomi dengan mantap namun berbeda dengan Gina, ia malah tersenyum malu.

“Gini, Ma. Kemarin aku kerumah Gina dan kebetulan ketemu Papa dan Mamanya dan Tomi langsung utarakan niatanku untuk melamar Gina sebagai tanda kalau emang Tomi serius sama Gina. Kebetulan mereka merespon dengan baik apa yang Tomi utarakan dan mereka pengen kita berdua kesana secepatnya untuk melamar Gina sekalian membicarakan tanggal pernikahan kami. Orang Tua Gina pengen secepatnya sih, Ma. Menurut Mama gimana?”

“Wahh, Mama sih setuju-setuju aja. Oke Mama atur jadwal dulu gimana?”

“Aku pengennya tiga hari lagi kita ke rumah Gina, Ma.”

“Hmmm, ok Mama akan atur jadwal Mama dulu. Oya Gina sendiri gimana, udah siap menikah sama Tomi dan menerima Tomi dengan segala schedule dia?”

“Heheh, kebetulan kami juga sama-sama dibidang hukum, Tante. Jadi kami saling memahami situasi satu sama lain.”

“Oya?? Wah, keren kalian nih, kalau Papa dan Mama di bidang hukum juga?”

“Enggak sih. Kalau Papa itu kontraktor dan Mama ngurusin eksport import, Tante.”

“Oh begitu. Papa kamu kontraktor? Siapa namanya kali aja Tante kenal soalnya temen-temen Tante banyak yang kontraktor juga.”

“Nama Papa…” kata-katanya terhenti ketika suara ponsel Gina berdering. “Oh, maaf Tante ini Papa telpon.”

“Oh oke, silahkan.”

Gina sengaja memilih mode loudspeaker agar calon Mama mertuanya bisa mendengar suara Papanya.

“Halo, Pa, ini Gina masih dirumah Tomi kebetulan ketemu sama Mamanya Tomi juga.”

“Oya? Hmm,  gini sayang, ini Papa sama Mama nanti malam ada ajakan dinner sama kolega bisnis Papa dan Mama dan dia minta kamu juga ikut. Jadi usahakan secepatnya pulang ya. Sampaikan salam Papa Mama ke Mamanya Tomi.”

Yanti merasa sedari awal suara pria yang disebut Gina sebagai Papa itu tidaklah asing ditelinganya. Ia benar-benar hafal dengan cara bicara lelaki yang ada di telpon itu.

‘Kok suaranya mirip Aris? Ahhh, tidak, tidak mungkin itu dia, suara seperti itu pasti sangat banyak di dunia ini. Aku yakin bukan dia.’ batin Yanti mulai gusar namun berusaha ia tepis.

“Ok, Pa. Abis ini Gina pulang.”

“Baiklah sayang, Papa tunggu dirumah ya.”

“Ya, Pa.”

Gina mematikan saluran telponnya dengan tersenyum.

“Tante, maaf ya kalo Gina harus buru-buru pulang.”

“Ahh, ga masalah sayang. Salam ya untuk Papa dan Mama kamu, yang jelas kami akan segera kerumah.”

“Ya Tante. Terimakasih sudah mau menerima Gina.”

“Sama-sama, sayang.” Yanti mengelus kepala Gina dengan lembut seperti belaian lembut seorang ibu kepada anaknya.

Gina kemudian berpamitan untuk pulang dan Tomi juga sekalian berpamitan untuk kembali berangkat ke kantor. Gina lalu menceritakan kejadian itu pada ayahnya dan disambut dengan senyum kemenangan.

Selama ini, Yanti tidak tahu bahwa Gina adalah anak kandung Aris. Pun Tomi, dia tidak menaruh curiga apapun seputar hubungan Yanti dan Aris yang mulai kembali bersemi.

Di saat kedua anaknya saling mencintai, ada cinta terlarang yang mulai tumbuh di antara kedua orang tua mereka. Aris yang mengasuh Gina bersama istrinya dan Yanti yang merawat Tomi seorang diri.

Malam setelah Gina datang ke rumah, Yanti memandang sebuah nama di kontak ponselnya. Cukup lama, seperti seseorang yang ingin melakukan panggilan. Mengumpulkan niat, Yanti menekan tombol itu.

“Halo” suara Aris terdengar jelas ditelinga Yanti.

“Halo, Aris?” Yanti menjawab dengan sedikit ragu

“Iya, ada apa, Yan”

“Loh kok kamu tahu? Kamu save nomorku ya?”

“Enggak aku sama sekali ga punya nomormu, aku hanya mengingat suaramu dan ingatanku tak pernah salah.”

“Oh, begitu,  ternyata kamu benar-benar mengingatku bahkan sampai dengan suaraku.”

“Ingatan tentang kamu ga pernah satu pun aku lupain.”

“Setelah kejadian dikantorku tadi kamu masih mau ngomong sama aku dan kamu ga nutup telponmu.”

“Kalo nurutin emosi, ya aku lakuin sesuai sama yang kamu katakan tapi kenyataannya aku ga bisa dan aku yakin kamu mau menghubungi aku pasti penuh pertimbangan, jadi aku ga mau kamu merasa tertolak setelah kamu berusaha menurunkan egomu untuk menghubungiku.”

“Makasih, Ris. Hmm, ngomong-ngomong tujuanku telpon malam ini aku ingin ngajak kamu keluar. Aku pengen ngobrol santai sama kamu, setelah apa yang aku lakukan dikantor tadi  terdengar sangat keterlaluan jadi aku ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Terserah kamu ada waktu kapan dan saat kamu dah merasa baik-baik aja.”

“Mau ketemu diluar sekarang?”

“Ya kalau kamu ada waktu sih, Ris.”

“Aku sangat-sangat ada waktu, saking bebasnya waktuku malam ini aku sampai bisa memandangi rumah mewah bercat putih dengan nomor rumah 11 dan tak ingin beranjak.”

“Aris, maksudmu apa?”

“Aku diluar rumahmu.”

Dengan segera Yanti membuka tirai abu-abu dikamarnya, dan benar saja ada mobil Aris didepan rumahnya.

“Kok kamu tahu rumahku?”

“Kali ini aku tahu rumahmu dari rekan bisnisku yang juga teman kita sekelas yang kebetulan handle renovasi layout rumah nomor 15 dan dia pernah lihat kamu beberapa kali keluar dari rumah ini, saat aku cek rupanya benar ini adalah rumahmu dan aku cukup bahagia saat itu meski aku tak menyapamu, melihat kamu sehat dan baik-baik saja sudah cukup bagiku.”

“Ohh jadi begitu, hmm,  baiklah aku akan turun untuk menemuimu, bye.” Yanti kemudian menutup saluran telponnya. Dengan wajah sumringah ia berlari menuju ke arah pria yang membuatnya kelimpungan seharian.

Yanti merasa haus akan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini, energinya seperti kembali pulih saat ia mendengar suara dari Aris.

‘Bagaimana jika rasa ini tak bisa aku tutupi lagi?’ batin Yanti seraya berlari kecil menuju pintu keluar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status