Share

2

Malam setelah pertemuan itu, Tomi menceritakan semuanya kepada Yanti, ibunya. Dia cerita tentang ayah Gina yang begitu baik, bahkan sangat ramah kepadanya. Dia lalu memberitahu ibunya bahwa ayah Gina sudah merestuinya. Ketika Tomi ingin menyebut nama ayah Gina, tiba-tiba ponsel Yanti berdering, ada kabar proyek yang harus diselesaikan Yanti besok pagi.

“Mama tidur dulu yaa, besok kamu bisa cerita lagi ke Mama. Ini sudah jam sepuluh malam, Mama mau istirahat.” Yanti mengelus rambut anaknya, lalu beranjak ke kamar.

Di atas ranjang, Yanti masih memikirkan kejadian reuni kemarin. Dia tidak bisa tidur. Bahkan, baru terlelap sebentar, dia langsung berteriak. Kejadian ini berlangsung selama tiga hari beruntun. Puncaknya adalah ketika Yanti memimpikan bagaimana Aris memaksanya memuaskan hasrat setan yang lama dia pendam.

“Ahhh… Ris, hentikan! Jangan memaksaku untuk melakukan lebih dari ini!” Yanti terlihat terdesak disisi dinding kamarnya

“Mulutmu menolakku tapi sayangnya tidak dengan tubuhmu, tak perlu kau mencoba mengelak cukup diam dan rasakan perlahan kau akan menikmati permainanku.” Aris tersenyum smirk sambil membisikkan kata-kata gila itu di telinga Yanti.

Aris mulai mencumbu leher jenjang Yanti dengan rakusnya bahkan tak hanya itu jemari Aris bergerilya brutal ke area terlarang milik Yanti dan mempermainkannya di di area liang hangat itu.

“Aris! Hentikan!!”

“Ga usah naif, Yan. Kau menikmatinya, nyatanya milikmu ini sudah sangat basah, ” Senyum Aris begitu ngeri membuat Yanti takut.

“Aris kau gila ya!!” teriak Yanti setengah menikmati kelihaian jemari Aris yang menggeliat hebat didalam liang kenikmatannya.

“Diamlah!! Kali ini akulah yang memimpin permainan ini. Kau dulu mempermainkanku dan sekarang akulah karma yang harus kau hadapi!”

Seketika Yanti terbangun  dari tidurnya dengan posisi terduduk, ia terengah-engah dan mencoba mengatur nafasnya. Ia melihat sekeliling dan barulah ia menyadari bahwa ia hanya sendirian.

‘Ya Tuhan rupanya hanya mimpi, ahhhhh, syukurlah.’ Yanti mendenguskan nafasnya dan merasa lega. Ia mengusap rambutnya yang telah basah oleh keringat lalu bola matanya melirik kearah jam dinding.

Perlahan ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya kemudian bergegas menuju ke kamar mandi dan kemudian bersiap mengenakan pakaian dan make up untuk ia kenakan hari ini,  setelah itu ia segera berangkat ke kantornya.

====

Sesampainya dikantor, Yanti kemudian menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum sempat ia selesaikan, selain itu ia juga membutuhkan kontraktor yang berkompeten untuk membuat galerinya yang baru, ia meminta Mia yang bekerja sebagai Asistennya untuk dapat menghubungi kontraktor tersebut.

Tok, tok, tok

“Bu, tamu kita sudah datang.”

“Baiklah persilahkan dia masuk.”

“Baik, Bu.”

Tak berselang lama tamu tersebut masuk ke ruangan Yanti dan betapa terkejutnya ia rupanya tamu tersebut adalah Aris. Ia tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Aris dikantornya, untuk sesaat ia teringat dengan mimpinya semalam, membuatnya kembali merasa tak karuan.

“Loh kok kamu, Ris?”

“Aku juga ga tahu ternyata tempat ini milikmu.”

“Kamu sengaja ya?” tanya Yanti sedikit berlebihan.

“Sengaja? Hal pertama yang perlu kamu tahu bahwa yang pertama menghubungi aku adalah dari asistenmu, bukan dari aku. Kedua aku memang merindukanmu, mecintaimu tapi aku tidak serendah itu untuk menguntit kehidupanmu. Jika kamu tidak berkenan aku akan pergi, aku tidak suka dengan tuduhan yang tidak masuk akal itu.”

“Tunggu, hmm, aku minta maaf untuk ucapanku yang berlebihan. Maaf membuatmu marah karena apa yang aku ucapkan barusan. Aku mungkin terlalu kaget lihat kamu di sini.”

“Diluar ekspektasimu?”

“Bukan begitu, aku rasa ini sebuah kebetulan.” terlihat Yanti merasa tak enak hati atas sikapnya yang dingin.

“Ya, anggap saja begitu. Semua tentang kita memang selalu saja kebetulan.” Jawab Aris yang membuat seketika keduanya hening

Yanti kemudian memecah suasana “Oya, silahkan duduk dulu, Ris.”

Yanti mempersilahkan Aris duduk berhadapan dengannya di area ruang tamu yang letaknya tepat di depan meja kerjanya.

“Hmm, jadi bagaimana konsep kamu tentang galeri yang akan kamu kerjakan.”

“Aku kapan lalu ditelpon oleh asistenmu untuk membuat galeri untukmu, galeri yang cukup luas lebih tepatnya.”

“Ya, betul sekali. Kamu bisa buatkan bangunan dan juga layoutnya.”

“Kamu pengen seperti apa untuk konsep boutiquemu nanti?”

“Aku pengen nuansanya klasik aja, aku pengen semuanya berwarna putih di dindingnya tapi ornamennya berwarna gold dan juga warna-warna warm tone.”

Aris mencatat semua permintaan kliennya itu dengan sangat detil dan lengkap, ia juga sangat faham apa kesukaan mantan kekasihnya itu. Namun ia tetap berusaha mengikuti alur agar semua berjalan dengan baik.

“Ada permintaan selain ini semua??” tanya Aris tanpa melihat klien dihadapannya

“Hmm, apa ya? Oh ya,  saat ini aku ingin kita mengesampingkan urusan masa lalu, hubungan ini adalah hubungan profesional jadi aku ingin kamu lebih fokus pada apa yang kamu kerjakan, Ris.”

“Apa hanya itu yang ada dipikiranmu tentang aku? Kau sepertinya terlalu sibuk dengan pikiran yang seperti itu, sedangkan aku sama sekali tidak memikirkannya. Atau jangan-jangan kau yang tidak bisa bekerja secara profesional? Pertanyaan Aris membuat Yanti tersudut, jelas Yanti tidak bisa menjawab secara gamblang akan apa yang ada di otaknya saat ini. “. Aku rasa kita sudah sangat dewasa dan tau bagaimana cara bekerja dengan baik. Tenang saja, Yan. Aku tahu batasannya jadi selesaikan dulu masalahmu, setelah semua kembali normal aku akan siap mengerjakan proyek ini. Namun jika kau terus saja berfikir buruk tentangku ya sudah, itu keinginanmu dan aku ga masalah jika aku harus melepas proyek ini”

“Tidak, bukan begitu, Aris, aku minta maaf jika kau kembali tersinggung dengan ucapanku, tapi sebenarnya bukan itu maksudku. Aku hanya takut jika kita malah ga bisa bersikap professional setelah kata-kataku di chat kemarin malam.”

“Kita?? Hahahah, kamu aja mungkin, Yan. Aku sih biasa aja.” Jawab Aris dengan tawa tergelak.

“Benarkah? Ahh, begitu. Berarti aku yang berpikir terlalu jauh.” Yanti berusaha mencairkan suasana namun terasa memaksa.

Aris berdiri dari tempat duduknya dan meletakkan kedua tangannya dimeja lalu mencondongkan tubuhnya ke posisi Yanti dengan menatap matanya begitu dalam dan tajam.

“Jika kau terus menanyakan hal itu lagi, aku tak segan mewujudkan pikiran burukmu itu, aku pastikan tak akan ada yang meleset satupun . Percuma jika hanya aku yang disudutkan sedangkan dalam hal ini  kau lah yang jadi tersangkanya. Aku harap kau tidak melupakan badai yang telah kau timpakan padaku. Camkan itu!”

Bola mata Yanti membulat, ia tergagap melihat Aris yang berkata sangat tajam padanya, ia merasa terpojok. Yanti kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menjauh dari Aris. Dengan kondisi marah dan kesal Aris berjalan pergi keluar dari ruangan. Ia meninggalkan Yanti dengan segala rasa bersalah, bibir Yanti terkunci sehingga ia tak berani menghentikan Aris agar tidak pergi darinya. Akhirnya ia membiarkan Aris pergi dengan rasa kesal terukir diwajahnya.

‘Aku harus gimana nih??’ Yanti mulai kebingungan bagaimana harus bersikap.

Yanti mulai gelisah dengan perasaan yang mengganjal, wanita itu kemudian berjalan mendekat kearah jendela ruangannya yang menghadap di area parkir mobil. Dengan sedikit ragu ia melihat Aris masuk kedalam mobil hitam Mercedes Benz G-class dan meninggalkan area parkir dengan cepat.

‘Kenapa aku kembali melukainya? Kenapa kata-kataku selalu membuatnya tak nyaman? Ahh,  bodoh banget sih kamu!!’ Batin Yanti sambil menggigit bibir bawahnya dengan pandangan cemas.

Yanti kemudian kembali ke tempat duduknya dan mencoba mengacuhkan hal yang baru saja terjadi, ia berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meskipun itu sebuah kebohongan besar baginya namun ia harus tetap berpikir jernih saat ini.

Tok, tok, tok

“Permisi Bu, ini teh untuk Pak Aris. Loh pak Arisnya kemana, Bu? Kok ga ada??” Mia melihat sekeliling tak ia temukan sosok Aris, ia terlihat kebingungan.

“Dia udah pulang.”

“Hah?? Pulang, Bu? Kok cepet banget?? Canggih sekali dia bisa secepat itu untuk memahami keinginan Bu Yanti. Trus ini teh nya gimana  dong, Bu?” kata Mia sambil sedikit mengangkat nampan kecil berisi secangkir teh

Yanti tersenyum geli melihat asistennya yang terlalu polos dengan semua kata-kata lugasnya.

“Dah sini tehnya aku minum aja, makasih ya.”

“Baik, Bu.” Mia kemudian berjalan keluar dari ruang pimpinannya dengan wajah penuh tanda tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status