Di bawah langit yang mendung seorang pria berpakaian serba hitam tengah berdiri di depan sebuah pusara. Wajahnya tampak sangat sedih tatapan matanya memancarkan luka yang begitu dalam. Kedua telapak tangannya mengepal dengan begitu kuat hingga otot di punggung tangannya menonjol dengan jelas.
Air matanya luruh bersamaan dengan air hujan yang membasahi tanah, rasa sakit, kecewa, serta amarah menjadi satu. Si pria meraih sebucket bunga mawar putih dan meletakkannya di depan batu nisan sembari tersenyum pahit.
Hujan turun begitu deras seorang pria datang dan memayunginya namun, sorot mata tajam itu seketika berbalik dan menghentikan langkah Sebastian. Emilio lebih memilih membiarkan air hujan membasahi seluruh tubuhnya.
Sebastian tidak pernah mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Bosnya itu. Ia hanya mematung sembari memegang payung hitam di samping sang bos.
“Aku tidak ada di sana. Di saat aku pulang ke rumah tubuhmu sudah terbakar habis. Mereka tidak memberikan apa pun. Tetapi mereka merampas semuanya dariku. Dan sekarang tidak ada orang yang dapat aku percaya.”
“Tuan Emilio, sudah waktunya kita kembali.”
“Uhm,” Emilio mengganggukkan kepalanya dan beranjak pergi meninggalkan area pemakaman.
Emilio berjalan begitu cepat hingga sebastian berusaha mengejarnya dan memayunginya dengan susah payah.
“Sebastian, mengapa luka hati ini kian menganga seiring waktu?”
Mendengar hal itu langkah kaki sebastian terhenti, ia tidak menyangka luka masa lalu itu kian menjerat dan menjebak Bosnya hingga sekarang. Tubuh sebastian mematung jika mengingat hal mengerikan itu.
“Sebastian, cepatlah. Aku kedinginan,” teriak Emilio.
“Ah iya,” suara itu menyadarkannya dari lamunan.
Sebastian melajukan mobil Audi A8 meninggalkan area pemakaman membelah jalanan yang diguyur hujan. Tak banyak mobil yang melintas karena hujan yang begitu lebat. Emilio menyandarkan tubuhnya yang basah pada kepala kursi mobil.
Emilio memejamkan kedua matanya berusaha meredam sedikit amarah yang tersisa di hatinya.
***
Di sebuah restoran seorang wanita muda tengah bekerja begitu keras, restoran tempatnya bekerja sangatlah ramai karena jam pulang kantor. Banyak orang yang mampir ke restoran untuk makan maupun menghilangkan rasa penat setelah seharian bekerja.
Peluh membasahi wajahnya yang cantik, dari raut wajahnya sudah menunjukkan bahwa dia sudah sangat kewalahan tetapi ia tidak bisa meninggalkan para pelanggan yang bergantian masuk ke restoran.
“Elijah, kemarilah!” teriak seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pemilik restoran tempatnya bekerja.
“Baik Bos,” Elijah segera menghampirinya.
“Cepat bersihkan panggangannya, tamu-tamu sudah menunggu.”
Elijah menatap pada wajan pemanggang yang sudah menumpuk, ada rasa lelah yang tak terelakkan tetapi ia harus membersihkannya dengan segera. Dengan sedikit enggan ia menuju tempat pencucian lalu menggosok panggangan itu secara perlahan dan hati-hati.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22:00 malam tetapi Elijah belum juga menyelesaikan tugasnya. Keringat terus memenuhi dahinya. Rasa lelah itu semakin terasa di tubuhnya yang mungil.
“Elijah, kenapa lama sekali? Para pelanggan sudah menunggu! Dasar tidak becus,” selesai berteriak bos pun pergi meninggalkan Elijah.
Elijah sedikit sakit hati walau sebenarnya ia sudah terbiasa dengan makian seperti itu tetapi tetap saja itu sangat menyakitkan baginya. Elijah menangis dalam diamnya sembari terus menggosok wajan penggorengan yang sulit dibersihkan karena noda bumbu yang sudah mengering.
Sesekali tangan kecilnya mengusap kasar pipi yang sudah basah oleh air matanya yang perlahan terus mengalir sambil terus menggosok wajan hingga semuanya selesai.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 22:30 malam sudah waktunya ia pulang dan berganti sip dengan pegawai lain. Elijah bersiap untuk pulang dan seperti biasanya sebelum ia pulang ia akan membawa sisa makanan serta kopi instan untuk dibawa pulang olehnya.
Elijah berjalan menuju stasiun terdekat untuk sampai ke rumahnya yang berada di pinggiran kota. Di dalam kereta Elijah berdiri dengan berpegangan pada hand strap sorot matanya begitu lelah dan kosong.
Elijah turun dari kereta dan kembali berjalan menuju rumahnya yang tidak jauh dari stasiun kereta di mana ia turun. Lingkungan yang sepi tidak membuat Elijah gentar pulang di jam-jam seperti ini.
Di sebuah rumah usang Elijah masuk ke dalam. Semuanya tampak gelap seakan tidak ada penerangan sedikit pun di dalam sana. Ia meletakkan tasnya di atas meja sedangkan dirinya meraih sebuah gelas dan mengambil dua sachet kopi lalu menuangkan air panas ke dalamnya dan membawanya ke meja.
Elijah mengeluarkan makanan sisa yang dibawa olehnya dari restoran dan memakannya perlahan dengan sesekali meminum kopinya.
“Jadi, setidaknya kau bisa makan. Mengapa tidak menghidupkan lampu?” seorang pria tengah duduk di dalam kegelapan tanpa dihiraukan oleh Elijah.
“Kau berpura-pura tidak di rumah?”
Mendengar hal itu, Elijah segera melemparkan segulung uang pada si pria yang kini telah menampakkan dirinya setelah lampu belajar dinyalakan.
“Kau terus memberiku sedikit seperti ini. Apa maksudmu kau ingin sering menemuiku?”
Elijah tidak menanggapi perkataan si pria, ia masih terus melanjutkan makan nya tanpa terganggu sedikitpun oleh kehadiran dirinya.
“Kau bekerja di mana? Kau tidak bekerja?” si pria terus bertanya hingga membuat Elijah kesal.
“Sudah ku bilang, aku sangat benci ketika orang mengganggu ruang pribadiku.”
“Lagi, katakan padaku semua yang tidak kau suka.”
“Mengajakku berbicara ketika sedang makan,” jawabnya.
“Baiklah, aku hanya akan melakukan hal itu.”
Si pria beranjak pergi meninggalkan rumah Elijah, sedangkan Elijah hanya termangu, entah apa yang dipikirkan olehnya. Perlahan kaca-kaca di dalam bola matanya luruh membasahi wajah lesu nya. Ia menangis tertahan setiap kali mengingat betapa pahit hidupnya sekarang.
Di perusahaan begitu sibuk semua orang bergelut dengan pekerjaannya masing-masing. Elijah yang hanya pegawai kontrak itu juga tak luput dari pekerjaan yang semakin menumpuk. Rasa jenuh selalu menghampiri Elijah yang tidak bisa menolak ketika mendapat perintah dari senior maupun atasannya. “Elijah, tolong kau selesaikan semua ini,” Seorang wanita membanting meja kerja Elijah dengan setumpuk kan kertas yang begitu tinggi. Elijah menatap wanita yang mana dia adalah seniornya di kantor. “Ini bahkan bukan pekerjaanku, mengapa kau selalu melimpahkannya padaku?” “Kau ini hanya pegawai kontrak, aku sudah berbaik hati padamu dengan memberimu pekerjaan. Lalu seperti ini kau membalasnya?”&
Elijah terbangun, sorot matanya tertuju ke arah pintu kamar yang terbuka. Di sana terbaring seorang nenek tua yang tidak berdaya. Nenek itu hanya menatap lemah ke arah Elijah. Dua hari yang lalu Elijah ditelepon dari pihak panti jompo karena ia tidak lagi bisa membayar tagihan nenek angkatnya selama tinggal di sana. Elijah datang ke panti jompo di tengah malam agar tidak ada yang melihatnya membawa sang nenek tanpa sepengetahuan panti. Elijah mengemas semua barang-barang neneknya ke dalam tas besar yang telah ia bawa dari rumah. Elijah menatap sendu pada sang nenek yang hanya terdiam tanpa bersuara. Elijah keluar kamar ia memeriksa apakah ada seseorang yang bisa melihatnya saat membawa pergi sang nenek. Elijah berbicara dengan sang nenek de
Keesokan harinya Elijah datang ke kantor dengan menggunakan kaca mata hitam yang besar untuk menutupi semua lebam di wajahnya. Ia bekerja seperti biasanya tidak ada yang peduli terhadapnya. Bahkan untuk bertanya keadaannya saja mereka tidak bertanya. Tidak terasa sekarang sudah waktunya pulang kerja. Elijah bersiap mengemas barang-barangnya. Kali ini dia akan bekerja paruh waktu di sebuah hotel bintang lima, tempat di mana orang-orang beruang menghabiskan malam. Elijah bekerja dengan begitu giat dan keras, ia bahkan tidak memedulikan perkataan orang lain terhadapnya. Elijah yang kelelahan berhenti sejenak ia menatap langit gelap di luar gedung. “Apakah jika aku dilahirkan
Elijah memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar, rasa jijik saat orang itu menyentuh tubuhnya semakin membuatnya takut dan trauma. Air mata terus meleleh. Ia menatap ke arah Sebastian yang sedang sibuk menelepon seseorang. Elijah memberanikan diri untuk berjalan keluar dengan tubuh yang gemetar ia melarikan diri dari Sebastian. Setelah dirasa lepas dari pengawasan Sebastian, Elijah menaiki tangga darurat untuk sampai ke atap hotel. Langkahnya yang tertatih semakin dirasa menyakitkan. “Apa yang aku lakukan sekarang?” Elijah beringsut di balik pintu atap hotel. Elijah berjalan ke tepi pembatas ia dapat melihat bagaimana tingginya tempat dia berdiri sekarang. Ia menatap sendu sorot matanya memancarka
Di dalam kamar ini, suasana ruangannya selalu redup dan temaram. Warna cat abu-abu menghiasi seluruh dinding kamar tidak banyak barang di sana hanya tersedia sofa serta sedikit furniture sehingga menampilkan kesan sederhana namun sangat megah. Emilio membuka matanya perlahan ada rasa pening di kepala membuatnya sedikit mengernyitkan dahinya yang putih. Setelah mengingat apa yang terjadi semalam Emilio tiba-tiba saja bangkit berusaha untuk pergi dari tempat tidur padahal tubuhnya masihlah sangat lemah. “Tuan, apa yang Anda lakukan? Tuan, hentikan!” seorang pelayan wanita berseru panik saat Emilio berusaha bangkit dari tempat tidurnya. “Menyingkirlah,” seru Emilio. &ldqu
Sebastian datang sembari membawakan makanan serta obat milik Emilio ke kamar tamu, Sebastian sedikit penasaran tentang Emilio yang begitu perhatian pada Elijah. wanita yang baru saja ditemui secara langsung dan terlibat dalam kejadian yang rumit. Sebelumnya Sebastian mendapati keduanya sedang berbincang di antara pagar pembatas seakan keduanya sedang berdiskusi tentang hidup yang sulit serta kematian yang selalu menghantui. Sebastian tidak pernah berpikir jika Elijah mampu menarik minat Emilio. Dan Emilio sendiri seakan membuka kedua tangannya untuk menerima Elijah masuk ke dalam kehidupannya yang sunyi. “Kau harus makan dan meminum obatmu, kau sendiri sedang sakit. Jangan berlagak sok kuat,” Sebastian menyerahkan nampan yang berisi makanan. 
Satu Bulan kemudian. Pagi hari tepatnya minggu pertama di musim gugur Emilio berangkat ke kantor untuk mengurus sedikit masalah yang terjadi di sana. Matahari sudah semakin tinggi tanda hari sudah beranjak siang tetapi udaranya tetap terasa dingin. Emilio melirik ke arah jam tangan vintage patek Philippe yang dikenakan olehnya. Terlihat di sana sudah pukul 13.00 siang waktunya Emilio makan siang tetapi dia tidak melakukannya. Emilio menunggu di balik meja kerjanya, pakaiannya sudah tidak karuan. Ikatan dasinya sudah melonggar menyisakan leher jenjang dan berurat terekspos bebas memanjakan mata yang melihatnya. Jari tangannya yang lentik dan ramping terus memainkan pulpen dengan cara memutarnya. Emilio terus menunggu seseorang dari balik pintu ia ingin segera menyelesa
Seorang pria tengah duduk sembari menatap layar laptop, raganya berada di kantor tetapi pikirannya terus melayang. Di dalam benaknya selalu terlintas senyuman tipis yang terukir di wajah pias Elijah. Emilio selalu melirik ke arah ponselnya berharap Elijah menghubunginya. Sudah tiga hari sejak Elijah keluar dari rumah Emilio yang megah tanpa kabar. Kekhawatiran Emilio akan Elijah semakin kuat. Karena seorang suruhannya melaporkan bahwa Elijah tidak terlihat di area tempat tinggalnya. Ia sangat gelisah saat mendapati kabar itu dirinya bahkan sudah tidak fokus lagi akan pekerjaan yang sudah menunggunya. “Sebastian, datanglah ke ruanganku. Sekarang!” Emilio menghubungi Sebastian agar menemuinya. Setelah menunggu sebentar akhirnya Sebastian datang menghampiri Emilio. raut wajahnya sedikit kebingungan k