Satu Bulan kemudian.
Pagi hari tepatnya minggu pertama di musim gugur Emilio berangkat ke kantor untuk mengurus sedikit masalah yang terjadi di sana. Matahari sudah semakin tinggi tanda hari sudah beranjak siang tetapi udaranya tetap terasa dingin. Emilio melirik ke arah jam tangan vintage patek Philippe yang dikenakan olehnya. Terlihat di sana sudah pukul 13.00 siang waktunya Emilio makan siang tetapi dia tidak melakukannya.
Emilio menunggu di balik meja kerjanya, pakaiannya sudah tidak karuan. Ikatan dasinya sudah melonggar menyisakan leher jenjang dan berurat terekspos bebas memanjakan mata yang melihatnya. Jari tangannya yang lentik dan ramping terus memainkan pulpen dengan cara memutarnya.
Emilio terus menunggu seseorang dari balik pintu ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali pulang. Dirinya juga sedikit khawatir tentang keadaan Elijah yang belum pulih sepenuhnya. Samar-samar suara langkah kaki terdengar Emilio mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan terlihatlah sosok Sebastian yang datang.
“Apakah pekerjaanku sudah selesai?” Emilio bertanya.
Sebastian meraih iPad nya dan melihat seluruh jadwal Emilio hari ini. ia sedikit mengerutkan alisnya dan menatap Emilio dengan rasa penyesalan.
“Kau masih harus menemui klien dan ada pertemuan tentang kerja sama dengan pihak D’One,” Sebastian memastikan kembali jadwal Emilio yang sangat padat sejak tadi pagi.
Mendengar hal itu Emilio seakan memiliki secercah harapan. Ia bangkit meraih jasnya yang teronggok di sofa. Raut wajahnya begitu baik senyum tipis terukir di sana
“Emilio, kau mau ke mana? Aku bahkan belum selesai bicara.”
“Sebastian untuk pertemuan dengan klien, kau saja yang menghadirinya. Dan pertemuan dengan pihak D’One undur saja. Dan jika mereka tidak mau menunggu biarkan saja jangan meladeninya,” Emilio tergesa-gesa meninggalkan ruangannya menyisakan Sebastian yang mematung tidak mengerti tentang jalan pikiran Emilio sekarang.
“Emilio!” Sebastian setengah berteriak padanya.
“Shut,” Emilio meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Kau harus ingat saat berada di kantor aku adalah seorang presdir.” Emilio berlalu meninggalkan sebastian yang masih termangu.
***
Di sebuah jendela kaca yang besar seorang wanita mengenakan baju tidur yang berwarna putih. Wajahnya pias seakan tidak ada darah yang mengalir di sana. Tatapannya kosong mengarah ke arah luar. Pembicaraan kedua pelayan yang bekerja di rumah Emilio membuatnya merenung.
“Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Tuan muda membawa wanita yang tidak jelas asal-usulnya seperti dia.”
“Kau benar, jangan-jangan dia adalah wanita murahan yang dipakai oleh Tuan Emilio. kau menyaksikan sendiri bukan jika wajah dan tubuhnya dipenuhi luka lebam.
“Ya kau melihatnya. Tuan Muda tidak akan melakukan hal itu kan. Kau tahu betul bagaimana sifatnya.”
“Tapi bagaimana bisa Tuan muda tahan dengan wanita yang tiba-tiba histeris bahkan beberapa hari yang lalu ia melempar gelas ke arah kepala Tuan muda sampai harus dijahit karena robekannya cukup besar.”
“Aku sangat kasian pada Tuan muda saat itu darah mengalir deras dari sela rambutnya yang coklat. Bahkan kemeja putihnya berubah menjadi merah.”
“Ah aku ingat. Hari itu wanita itu mengamuk. Semua barang dilempar olehnya. Aku melihat dengan kedua mataku sendiri saat gelas itu melayang ke arah kepala Tuan muda.”
“Tapi aku lebih penasaran lagi apa hubungan Tuan muda dengan wanita itu. Tuan muda begitu tulus padanya tapi yang didapat oleh Tuan muda tidak ada satu pun yang baik.”
Pembicaraan itu terus terngiang di dalam ingatan Elijah. ia kembali mengingat kembali kejadian beberapa hari yang lalu dimana dia melemparkan gelas crystal ke arah Emilio. Rasa bersalah menghantui Elijah.
Dari arah belakang terdengar seseorang mendorong pintu. Di sana terlihat sosok seorang pria bertubuh tegap tengah berdiri menghadap ke arahnya. Elijah berbalik dan sedikit mengulas senyum. Bulu matanya yang lebat bergetar setiap kali ia berkedip.
“Kau sudah pulang?”
“Uhm, apa kau sudah memakan makananmu dan meminum obatmu?” Emilio berjalan mendekati Elijah.
“Uhm,” Elijah mengangguk kecil sebagai jawaban dari pertanyaan Emilio.
“Tuan,” suara yang terdengar parau itu terdengar jelas di telinga Emilio.
“Ada apa?”
“Anda pasti kesulitan karena menjagaku. Aku sangat menyesal karena sudah melukaimu,” Elijah menundukkan kepalanya tanda betapa ia sangat menyesal atas apa yang telah terjadi karena ulahnya.
“Tidak apa-apa,” Emilio mengusap puncak siang kepala Elijah hingga membuat Elijah kaget. Dengan refleks dia menghindar.
“Apakah aku membuatmu takut?” Emilio menelisik Elijah.
“Ah maafkan aku, padahal Anda sudah bersikap baik padaku,” Elijah kembali merenung.
“Elijah, aku tahu lukamu belum sembuh. Tapi apa kau bisa untuk tidak takut padaku? Setiap kali kau histeris itu membuatku khawatir.”
Elijah menatap Emilio lekat-lekat. Mata hazelnya berkaca-kaca tak kala ia bicara. “Bagaimana aku bisa melupakan semua hal itu. Ketika kejadian saat itu menghancurkan hidupku.”
Emilio ingin menepuk bahu Elijah tapi ia sadar diri dan mengurungkan niatnya. Emilio tersenyum pahit mendengar Elijah berkata seperti itu.
“Bagaimana dengan nenekku? Sudah satu bulan aku tinggal di sini dan tidak pernah menemui nenek. Apakah dia baik-baik saja?”
“Uhm, aku sudah memerintahkan orang untuk menjaganya dengan baik. Kau tidak perlu khawatir tentang semua itu.”
“Tuan, kau begitu baik padaku. Padahal kita baru saja bertemu di atas gedung hotel. Tapi kau mau menerima tubuh penuh luka ini untuk tinggal di sini."
Emilio beralih ke depan Elijah. di tatapnya Elijah dengan tatapan yang dalam. “Bagaimana bisa aku meninggalkanmu dengan tubuh penuh luka. Tentu saja aku tidak bisa mengabaikanmu,” Emilio mengusap pipi Elijah menghapus air mata yang melintas dengan lembut dan penuh kasih. Perlahan Emilio memberanikan diri untuk menarik Elijah ke dalam pelukannya.
Seketika tangis Elijah pecah, tubuh kecil itu terisak di dalam pelukan hangat Emilio. ada rasa yang berbeda yang dirasakan oleh Emilio. jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya dan darahnya mendesir kala Elijah memeluknya erat. Tangannya yang besar mengelus punggung Elijah dengan lembut mencoba menenangkannya dengan sedikit sentuhan.
“Menangislah, jika itu membuatmu lega. Aku akan menunggumu hingga selesai.”
Elijah mencium aroma pomed mentol di rambut coklatnya. Emilio memiliki bahu yang lebar serta torso yang kekar dan kuat. Tercium perpaduan aroma cedarwood dan cypress membuat orang yang menciumnya dapat merasa segar dan menenangkan.
Setiap Elijah berada di dalam pelukan Emilio ia selalu merasa tenang seakan dirinya tidak ingin terlepas dan berada jauh dari Emilio. Setelah melewati hari bersama Elijah menyadari jika Emilio sangat peduli padanya. Ia selalu mengatakan hal positif padanya yang semakin membuatnya nyaman berada di sisinya.
Di setiap malam Elijah selalu merasa gelisah ingatan mengerikan itu terus menghantuinya membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Tetapi dua hari yang lalu saat Emilio menemaninya Elijah tidak bermimpi buruk. Jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa hangat setiap kali hal kecil yang dilakukan Emilio untuknya.
Elijah membenamkan seluruh wajahnya ke dalam dekapan Emilio ia tidak ingin momen itu berlalu begitu saja. Ia menginginkan sesuatu yang lebih darinya tapi dirinya sendiri sadar akan satu hal bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Ia hanyalah seorang wanita yang telah mendapat pelecehan seksual. Wanita kotor yang bahkan tidak berharga di mata siapa pun.
“Aku mohon. Aku ingin kembali ke rumah,” ucapnya lirih.
Seketika membuat Emilio terkejut. Ia menatap Elijah yang masih terisak ia tidak tahu harus berkata apa? Semenjak kehadiran Elijah rasa yang sempat memudar itu kembali berkembang tapi lagi-lagi kembali menciut saat Elijah memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Seorang pria tengah duduk sembari menatap layar laptop, raganya berada di kantor tetapi pikirannya terus melayang. Di dalam benaknya selalu terlintas senyuman tipis yang terukir di wajah pias Elijah. Emilio selalu melirik ke arah ponselnya berharap Elijah menghubunginya. Sudah tiga hari sejak Elijah keluar dari rumah Emilio yang megah tanpa kabar. Kekhawatiran Emilio akan Elijah semakin kuat. Karena seorang suruhannya melaporkan bahwa Elijah tidak terlihat di area tempat tinggalnya. Ia sangat gelisah saat mendapati kabar itu dirinya bahkan sudah tidak fokus lagi akan pekerjaan yang sudah menunggunya. “Sebastian, datanglah ke ruanganku. Sekarang!” Emilio menghubungi Sebastian agar menemuinya. Setelah menunggu sebentar akhirnya Sebastian datang menghampiri Emilio. raut wajahnya sedikit kebingungan k
Emilio mencari seseorang yang dekat dengan Elijah. dan dia bertemu dengan seorang pria muda yang berusia sekitar 20 tahunan. Dia menemukannya saat dia berada di toko barang bekas saat dirinya sedang menjual sedikit barang. Emilio memerhatikannya sebentar lalu memanggilnya dengan cara melambaikan tangannya yang penuh dengan luka goresan pada Dira satu-satunya pria yang dekat dengan Elijah. Dira sedikit bingung saat melihat tangan itu. Ia mendekat dan mengikuti arah mobil yang membawanya ke sudut gudang yang cukup sepi. Emilio mondar-mandir seperti setrikaan. Dirinya tidak habis pikir jika ada seorang teman yang tetap bekerja padahal temannya sendiri sedang terpuruk. “Tidak, bagaimana kau bisa tetap bekerja dan tidak peduli pada temanmu, apa dia sudah makan atau belum?” “Aku harus men
Hari sudah semakin sore langit juga tampak mendung. Dira masih berada di rumah Elijah. mencoba menyelesaikan pekerjaannya untuk menemani Elijah selama 24 jam. Suhu di luar cukup dingin karena sudah memasuki musim gugur semua orang mulai berpakaian hangat. Dira mengamati Elijah, di wajahnya masih terlihat bekas luka penganiayaan yang hingga kini Elijah tidak mendapat keadilan untuk hal itu. Elijah tidak melaporkan kejadian malang itu kepada polisi karena dirinya lebih dari tahu diri. Orang yang sedang dilawan oleh dirinya adalah orang yang ber-uang mereka bisa membuat Elijah semakin menderita bahkan kemungkinan terburuknya mereka akan menyingkirkannya tanpa jejak sedikitpun. Elijah sudah terlalu sering sakit hati dan kecewa maka dari itu ia meredam semua rasa sakitnya sendirian. Ia tidak pernah berharap lebih dalam hidupnya, ia selalu bekerja keras untuk m
Di gelapnya malam Emilio masih berkeliaran di luar. Ia kembali datang ke area lingkungan rumah Elijah. ia melirik ke sekeliling pandangannya tertuju pada jendela rumah Elijah yang padam seakan penghuninya tidak berada di sana. Emilio melirik pada jam tangannya terlihat sudah pukul 21:00 malam tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Elijah berada di rumah. Emilio benar-benar kalut ia mengabaikan pekerjaannya dan memercayakan semuanya pada Sebastian. “Lampunya mati, apa dia ada di rumah atau tidak? Astaga.” Emilio meraih ponselnya dan mencari kontak Dira dengan segera memanggil Dira. Dira sendiri berada di warnet ia sudah berpisah dengan Elijah sejak siang hari. Ia memicingkan ujung matanya saat layar ponselnya menampilkan Emilio lah yang meneleponnya malam-malam.&
Elijah mengingat kembali bagaimana raut wajah ketakutan yang ditunjukkan oleh Emilio terhadapnya. Elijah mencoba menghubungi nomor Emilio. terdengar suara cemas dari balik telepon. “Kau di mana? Apa yang kau lakukan sekarang? Halo?” Emilio mencoba mendengarkan suara Elijah namun, ia tidak mendengar suara apa pun. “Aku hanya menelepon. Tanganmu apakah baik-baik saja?” mendengar hal itu Emilio menghentikan langkahnya saat mencari keberadaan Elijah. “Tanganku? Tentu, tidak apa-apa. Aku sembuh dengan cepat.” “aku minta maaf.” “Maaf untuk apa?” “Aku tidak bisa membayarmu. Aku tidak bisa membayar uang yang kau habiska
Mendengar kabar Emilio masuk rumah sakit membuat Sebastian terkejut pasalnya beberapa jam lalu dia masih meminta informasi tentang keberadaan Elijah. sesampainya di sana Emilio tengah tertidur wajahnya pias keringat memenuhi dahinya yang lebar. Sebastian menghela napasnya lalu membawakan handuk hangat untuk membasuh keringatnya. Di sudut ruangan Sebastian tengah bicara dengan seseorang sambil sesekali ia melirik ke arah Emilio. perlahan Emilio membuka kedua matanya pening di kepala masih terasa. Ia tersadar saat melihat langit-langit yang berbeda dari kamarnya. Emilio memijat kepalanya berharap rasa sakitnya berkurang. Sebastian yang melihat Emilio telah sadar segera menutup teleponnya dan berlari menghampiri Emilio. “Bagaimana keadaanmu? A
Selagi matahari terbenam senja memancarkan cahaya abu-abu serta warna jingga memenuhi langit sore. Elijah menikmati setiap kali udara dingin menyentuh kulitnya. Sekilas tercium aroma perpaduan Cedar wood dan Cypress Elijah menghirupnya dalam-dalam. Aroma parfum itu sangat familier bagi Elijah. ia menikmati aroma yang terbawa oleh angin. “Ah, kenapa aku jadi memikirkannya?” Elijah menunduk. “Tapi tak bisa aku ungkiri jika Tuan Emilio sangatlah baik. Wanita yang mendapatkannya pastilah sangat bahagia memiliki kekasih atau pun suami yang memiliki perangai seperti Tuan Emilio.” Elijah terus membayangkan ini dan itu, di tengah pikirannya itu kembali terlintas perkataan Emilio yang membuatnya mau bangkit walau hidupnya sudah hancur sejak dulu.&nb
Elijah kembali ke rumahnya. Kali ini Emilio mengizinkannya karena dua hari yang lalu kondisi Elijah sudah stabil ia tidak menunjukkan gejala depresi lagi. Dira selaku teman satu-satunya pun selalu datang untuk mengunjungi serta menemaninya sesuai perintah yang diarahkan oleh Emilio padanya. Elijah sudah sedikit ceria walau terkadang ingatan dan perasaan itu datang menghampirinya secar tiba-tiba. Elijah duduk di depan tv ia sedikit merenungi semua hal yang terjadi dalam hidupnya sembari memanggang sedikit kue. Ia sadar diri jika keberuntungan hidupnya sudah habis tetapi satu hal ada satu orang yang sangat menginginkannya hidup dan mulainya kembali dari awal. Setelah semua yang dilakukan Emilio untuknya sedikit banyak sudah menyentuh hatinya. “Baiklah, untuk sekarang mari hidup.” &nb