Elijah terbangun, sorot matanya tertuju ke arah pintu kamar yang terbuka. Di sana terbaring seorang nenek tua yang tidak berdaya. Nenek itu hanya menatap lemah ke arah Elijah.
Dua hari yang lalu Elijah ditelepon dari pihak panti jompo karena ia tidak lagi bisa membayar tagihan nenek angkatnya selama tinggal di sana. Elijah datang ke panti jompo di tengah malam agar tidak ada yang melihatnya membawa sang nenek tanpa sepengetahuan panti.
Elijah mengemas semua barang-barang neneknya ke dalam tas besar yang telah ia bawa dari rumah. Elijah menatap sendu pada sang nenek yang hanya terdiam tanpa bersuara. Elijah keluar kamar ia memeriksa apakah ada seseorang yang bisa melihatnya saat membawa pergi sang nenek.
Elijah berbicara dengan sang nenek dengan menggunakan bahasa isyarat karena neneknya tidak dapat bicara.
“Aku akan membawamu pergi, aku tidak bisa membayar biaya tinggalmu jika di sini. Jadi aku harap kau tetap tenang.”
Sang nenek hanya pasrah pada cucu perempuannya itu, ia mengangguk tanda dia mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Elijah. Elijah mendorong ranjang neneknya melirik ke kanan dan ke kiri memastikan jika tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Setibanya di luar, Elijah sedikit lega namun di saat yang bersamaan ia juga kebingungan bagaimana membawa neneknya pulang. Padahal suhu malam ini sangatlah dingin. Elijah meninggalkan neneknya di belakang gedung toserba sedangkan dirinya masuk ke dalam untuk membeli sesuatu yang hangat.
Elijah mendorong troli yang cukup besar dan memlilih minuman hangat dan membelinya beberapa botol serta makanan untuk neneknya. Raut wajahnya begitu lelah tetapi ia tetap harus melakukannya. Selesai membayar Elijah kembali ke tempak neneknya berada sembari membawa troli belanja.
Ia mencoba memindahkan neneknya untuk duduk di troli, Elijah menyelimutinya dengan selimut tebal dan memberinya minuman hangat dua botol agar tubuhnya tetap hangat. Elijah kembali terdiam sembari menunggu Bus. Tapi dipikirkan lagi ia tidak akan bisa membawa neneknya untuk naik Bus.
Dengan berat hati Elijah mendorong neneknya hingga ke jalanan dekat rumah. Elijah meraih ponsel usangnya dan mengirim pesan pada seseorang untuk membantunya mengangkat sang nenek.
Di sudut jalan Elijah terduduk lemah tubuhnya cukup lelah karena mendorong neneknya tanpa istirahat. Di seberang jalan seorang pria muda datang menghampirinya. Sorot mata Elijah begitu tajam, amarah berkumpul di dalam bola matanya yang coklat.
“Aku butuh uang untuk datang, tapi berhasil mendapatkannya sedikit dengan menjual beberapa barang.” Si pria berbicara dengan nada yang sedikit bersalah. Namun, saat ia menoleh ke arah troli ia terkejut bukan main dengan apa yang dilihatnya sekarang.
“Ya ampun, Anda menakutiku,” ujarnya. Sang nenek hanya menatapnya sendu karena kedinginan lalu tersenyum lembut pada si pemuda.
“Cepatlah bantu aku memindahkannya,” Elijah meminta bantuan.
Si pemuda pun dengan sigap menggendong sang nenek hingga sampai ke kamarnya, sementara Elijah membereskan tempat tidurnya untuk sang nenek.
“Apa kau sudah selesai? Ini sangat berat,” ucapnya.
Si pemuda membaringkan sang nenek, sementara Elijah membantu sang nenek untuk berbaring di tempat tidurnya.
“Ya ampun. Aku merasa akan pingsan,” napasnya tersengal dan ia pun menjatuhkan tubuhnya karena lelah.
“Oh, aku pusing sekali.”
“Jika kau membawanya ke kamar mandi dia bisa mengurus sisanya sendiri. Datanglah dua kali sehari, jam 12:00 siang dan 16:00 sore. Aku akan meninggalkan kunci di atas jendela.”
Si pemuda segera bangkit dari tempatnya dan berjalan ke arah Elijah.
“Hanya seminggu, apa kau mengerti? Aku tidak bisa melakukannya lebih dari itu.”
“Kenapa? Kau tidak punya pekerjaan apa pun.”
“Tak mudah berhenti ketika main game. Aku akan pergi,” si pemuda pun pergi meninggalkan Elijah bersama dengan neneknya.
Elijah melepas mantelnya dan mulai mengajak bicara neneknya.
“Di siang hari, pria itu akan datang jam 12:00 dan jam 16:00 sore dua kali sehari. Mengerti?” sang nenek mengangguk tanduta ia mengerti.
“Ketika ia datang, pergi ke kamar mandi. Jangan buka pintu untuk siapa pun,” Elijah berbicara dengan gerakan isyarat tangannya.
Sang nenek pun menjawabnya dengan bahasa isyarat.
“Aku tidak bisa mendengar apa pun bahkan bangun.”
Elijah tidak berekspresi, yang jelas raut wajahnya menandakan bahwa dirinya sudah sangat lelah. Ia menyelimuti tubuh neneknya dan mematikan lampu beranjak untuk istirahat.
Elijah mencoba mengangkat tubunya yang sakit karena dipukul oleh Dias, pria yang selalu menagih hutang padanya setiap hari.
“Apakah kau ingin ke kamar mandi?” tanya nya dalam bahasa isyarat.
“Tidak, apa kau baik-baik saja? Wajahmu sangat berantakan,” balas nenek.
Elijah hanya tersenyum lembut. Dan perlahan mengusap lembut puncak kepala neneknya sembari berkata.
“Aku tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil tidak ada yang perlu kau khawatirkan dariku,” Elijah menarik selimut dan menyelimuti tubuh neneknya yang setengah terbuka.
Dari sudut matanya yang sayu tampak air mata berkumpul di sana, Elijah selalu mengulas senyum terbaiknya saat berhadapan dengan sang nenek. Elijah duduk membelakangi sang nenek dan mulai membersihkan luka di wajahnya sesekali ia mengernyit kesakitan tanpa suara sedikitpun.
Elijah mengambil dua sachets kopi lalu menuangkannya ke gelas yang berisi air panas. Dengan perasaan yang campur aduk ia menyesap kopinya hingga ia tersedak. Elijah yang terbatuk-batuk itu kembali menangis dengan suara tertahan. Tangan rampingnya sesekali memukul-mukul dadanya berharap rasa sakit itu berkurang.
“Mengapa kali ini terasa begitu menyakitkan? Ku kira aku sudah terbiasa nyatanya tidak sama sekali,” Elijah menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan kembali menangis.
Keesokan harinya Elijah datang ke kantor dengan menggunakan kaca mata hitam yang besar untuk menutupi semua lebam di wajahnya. Ia bekerja seperti biasanya tidak ada yang peduli terhadapnya. Bahkan untuk bertanya keadaannya saja mereka tidak bertanya. Tidak terasa sekarang sudah waktunya pulang kerja. Elijah bersiap mengemas barang-barangnya. Kali ini dia akan bekerja paruh waktu di sebuah hotel bintang lima, tempat di mana orang-orang beruang menghabiskan malam. Elijah bekerja dengan begitu giat dan keras, ia bahkan tidak memedulikan perkataan orang lain terhadapnya. Elijah yang kelelahan berhenti sejenak ia menatap langit gelap di luar gedung. “Apakah jika aku dilahirkan
Elijah memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar, rasa jijik saat orang itu menyentuh tubuhnya semakin membuatnya takut dan trauma. Air mata terus meleleh. Ia menatap ke arah Sebastian yang sedang sibuk menelepon seseorang. Elijah memberanikan diri untuk berjalan keluar dengan tubuh yang gemetar ia melarikan diri dari Sebastian. Setelah dirasa lepas dari pengawasan Sebastian, Elijah menaiki tangga darurat untuk sampai ke atap hotel. Langkahnya yang tertatih semakin dirasa menyakitkan. “Apa yang aku lakukan sekarang?” Elijah beringsut di balik pintu atap hotel. Elijah berjalan ke tepi pembatas ia dapat melihat bagaimana tingginya tempat dia berdiri sekarang. Ia menatap sendu sorot matanya memancarka
Di dalam kamar ini, suasana ruangannya selalu redup dan temaram. Warna cat abu-abu menghiasi seluruh dinding kamar tidak banyak barang di sana hanya tersedia sofa serta sedikit furniture sehingga menampilkan kesan sederhana namun sangat megah. Emilio membuka matanya perlahan ada rasa pening di kepala membuatnya sedikit mengernyitkan dahinya yang putih. Setelah mengingat apa yang terjadi semalam Emilio tiba-tiba saja bangkit berusaha untuk pergi dari tempat tidur padahal tubuhnya masihlah sangat lemah. “Tuan, apa yang Anda lakukan? Tuan, hentikan!” seorang pelayan wanita berseru panik saat Emilio berusaha bangkit dari tempat tidurnya. “Menyingkirlah,” seru Emilio. &ldqu
Sebastian datang sembari membawakan makanan serta obat milik Emilio ke kamar tamu, Sebastian sedikit penasaran tentang Emilio yang begitu perhatian pada Elijah. wanita yang baru saja ditemui secara langsung dan terlibat dalam kejadian yang rumit. Sebelumnya Sebastian mendapati keduanya sedang berbincang di antara pagar pembatas seakan keduanya sedang berdiskusi tentang hidup yang sulit serta kematian yang selalu menghantui. Sebastian tidak pernah berpikir jika Elijah mampu menarik minat Emilio. Dan Emilio sendiri seakan membuka kedua tangannya untuk menerima Elijah masuk ke dalam kehidupannya yang sunyi. “Kau harus makan dan meminum obatmu, kau sendiri sedang sakit. Jangan berlagak sok kuat,” Sebastian menyerahkan nampan yang berisi makanan. 
Satu Bulan kemudian. Pagi hari tepatnya minggu pertama di musim gugur Emilio berangkat ke kantor untuk mengurus sedikit masalah yang terjadi di sana. Matahari sudah semakin tinggi tanda hari sudah beranjak siang tetapi udaranya tetap terasa dingin. Emilio melirik ke arah jam tangan vintage patek Philippe yang dikenakan olehnya. Terlihat di sana sudah pukul 13.00 siang waktunya Emilio makan siang tetapi dia tidak melakukannya. Emilio menunggu di balik meja kerjanya, pakaiannya sudah tidak karuan. Ikatan dasinya sudah melonggar menyisakan leher jenjang dan berurat terekspos bebas memanjakan mata yang melihatnya. Jari tangannya yang lentik dan ramping terus memainkan pulpen dengan cara memutarnya. Emilio terus menunggu seseorang dari balik pintu ia ingin segera menyelesa
Seorang pria tengah duduk sembari menatap layar laptop, raganya berada di kantor tetapi pikirannya terus melayang. Di dalam benaknya selalu terlintas senyuman tipis yang terukir di wajah pias Elijah. Emilio selalu melirik ke arah ponselnya berharap Elijah menghubunginya. Sudah tiga hari sejak Elijah keluar dari rumah Emilio yang megah tanpa kabar. Kekhawatiran Emilio akan Elijah semakin kuat. Karena seorang suruhannya melaporkan bahwa Elijah tidak terlihat di area tempat tinggalnya. Ia sangat gelisah saat mendapati kabar itu dirinya bahkan sudah tidak fokus lagi akan pekerjaan yang sudah menunggunya. “Sebastian, datanglah ke ruanganku. Sekarang!” Emilio menghubungi Sebastian agar menemuinya. Setelah menunggu sebentar akhirnya Sebastian datang menghampiri Emilio. raut wajahnya sedikit kebingungan k
Emilio mencari seseorang yang dekat dengan Elijah. dan dia bertemu dengan seorang pria muda yang berusia sekitar 20 tahunan. Dia menemukannya saat dia berada di toko barang bekas saat dirinya sedang menjual sedikit barang. Emilio memerhatikannya sebentar lalu memanggilnya dengan cara melambaikan tangannya yang penuh dengan luka goresan pada Dira satu-satunya pria yang dekat dengan Elijah. Dira sedikit bingung saat melihat tangan itu. Ia mendekat dan mengikuti arah mobil yang membawanya ke sudut gudang yang cukup sepi. Emilio mondar-mandir seperti setrikaan. Dirinya tidak habis pikir jika ada seorang teman yang tetap bekerja padahal temannya sendiri sedang terpuruk. “Tidak, bagaimana kau bisa tetap bekerja dan tidak peduli pada temanmu, apa dia sudah makan atau belum?” “Aku harus men
Hari sudah semakin sore langit juga tampak mendung. Dira masih berada di rumah Elijah. mencoba menyelesaikan pekerjaannya untuk menemani Elijah selama 24 jam. Suhu di luar cukup dingin karena sudah memasuki musim gugur semua orang mulai berpakaian hangat. Dira mengamati Elijah, di wajahnya masih terlihat bekas luka penganiayaan yang hingga kini Elijah tidak mendapat keadilan untuk hal itu. Elijah tidak melaporkan kejadian malang itu kepada polisi karena dirinya lebih dari tahu diri. Orang yang sedang dilawan oleh dirinya adalah orang yang ber-uang mereka bisa membuat Elijah semakin menderita bahkan kemungkinan terburuknya mereka akan menyingkirkannya tanpa jejak sedikitpun. Elijah sudah terlalu sering sakit hati dan kecewa maka dari itu ia meredam semua rasa sakitnya sendirian. Ia tidak pernah berharap lebih dalam hidupnya, ia selalu bekerja keras untuk m