Marsha tak sengaja menghabiskan malam panas dengan Derren--lelaki berusia empat tahun lebih muda darinya--setelah kabur dari perjodohan yang diatur sang ayah tiri. Meski syok, ia pun mencoba memanfaatkan kejadian ini untuk menjadikan Derren sebagai suami kontraknya. Setidaknya, ia bisa terhindar dari rencana gila ayahnya! Namun, siapa sangka pria yang ia pikir hanya bekerja sebagai chef itu memiliki latar belakang lain yang tak ia ketahui. Lantas, bagaimana kisah keduanya?
View More“Jangan menentang, Marsha!” desis sang ayah tiri, “ini demi keluarga kita!”
Wanita itu sontak menunduk.Marsha bukannya ingin melawan, tapi sungguh tak nyaman dengan keputusan Bima yang memaksanya untuk menikah dengan anak rekan bisnis pria itu.“Ayah yakin untuk keluarga kita?” Marsha menghela napas panjang, “Ayah juga bilang begitu ketika hendak menjodohkan Kak Nada dan Kak Zahra, tapi apa mereka bahagia? Apa perusahaan ayah semakin maju?”Ia tersenyum getir mengingat pria berusia 60 tahun itu selalu saja menggunakan alasan yang sama untuk menikahkan kedua kakak tirinya dan sekarang ia juga melakukan hal yang sama pada Marsha. Apa mereka komoditas yang bisa dijual untuk ‘keperluan bisnis’ keluarga?“Marsha! Kamu jangan kurang ajar pada–”Wajah Dena–ibu kandung Marsha–itu memerah karena melihat kelakuan anaknya yang kurang ajar pada suaminya. Untungnya, Bima dapat menahan sang istri.Pria itu lalu bangkit dari tempatnya duduk dan mendekat pada Marsha. “Kamu sudah berusia 25 tahun.”“Kamu juga belum memiliki kekasih. Jadi, Ayah membuatkan solusi yang baik untukmu yang lajang,” ucap Bima dengan nada menekan, “kamu tidak mau menjadi perawan tua, kan?”Dengan air mata yang masih menggenang di ujung matanya, Marsha menggeleng.Tapi, ia pun tak ingin bernasib sama dengan saudari-saudarinya itu yang memiliki suami sukses dan tampan, tapi tukang selingkuh. Padahal, mereka sudah memiliki putri yang lucu dan cerdas.“Kenapa?” tegas Bima pada putri tirinya itu menahan marah.“Hanya enggan,” ucapnya tidak mau membuat pertengkaran ini semakin runyam, lalu bangkit dari kursinya. “Aku izin pergi.” Hanya saja, langkah Marsha terhenti ketika merasakan panas di pipinya.Sontak, ia menatap tak percaya pada Dena yang menamparnya.Hanya demi mendukung lelaki di sampingnya, ibu kandung Marsha ini menamparnya? Padahal, dulu Dena tak pernah mau melihat dirinya menangis. Tapi, sekarang?Merasa tak punya alasan untuk bertahan, Marsha lantas segera masuk ke dalam kamarnya.Ia membereskan pakaian serta beberapa barang dengan cepat.Sementara itu, Dena yang menyusul sang putri, begitu terkejut melihat tindakannya.“Marsha!” bentaknya tak percaya. Rasa sesalnya saat menampar putrinya tadi hilang berganti amarah, “jika kamu angkat kaki dari rumah ini, kamu dan Mama tidak akan memiliki hubungan lagi.”Marsha menatap mata sang Ibu cukup lama.Melihat kesungguhan sang ibu, ia pun memejamkan mata, sebelum akhirnya bicara. “Ma, seharusnya Mama mengerti bagaimana rasanya kehilangan suami. Sakit, kan?”“Aku tak ingin melihat anakku sepertiku saat melihat Mama ditinggal Ayah. Aku harap Mama sedikit mengerti keputusanku. Maafkan aku.”Marsha memijat kepalanya pening ketika teringat kejadian tadi pagi.Setelah bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya dan membawa keluar barang-barangnya dengan gegabah, Marsha kini tak bisa pulang ke rumah dan beristirahat di kamar yang nyaman itu. Padahal, ia butuh istirahat setelah menangani pasien-pasiennya di rumah sakit.Kala sedang berpikir, Marsha tak sengaja melihat asrama perawat di balik jendela kaca tempatnya berdiri. Sebuah ide gila pun muncul.“Apa aku tidur di sana saja?” gumam perempuan itu, “Sehari tidur di ranjang keras, tak apalah. Daripada jadi gelandangan.”Tak lama, Marsha pun berjalan ke gedung yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari gedung utama RS. Zahara.Ia pun masuk ke sana dan tidur dalam keadaan lampu mati.Hanya saja, setelah tidur beberapa saat, Marsha tiba-tiba merasa ditindih sesuatu yang berat.Dengusan napas seseorang mulai terdengar samar di telinganya.Awalnya, Marsha berpikir bahwa ia sedang ketindihan atau sleep paralysis akibat terlalu lelah. Namun anehnya, ia merasa semakin bergairah.Bahkan, seolah ada sentuhan panas dari tangan kekar yang memeluk tubuhnya.Ia juga merasakan dinginnya malam seolah sedang telanjang dan tak lama, tubuh bagian bawah Marsha tiba-tiba terasa sakit–seperti ada sesuatu yang keras menusuknya di bawah sana.Marsha sontak membuka mata.Ia seketika sadar dan menemukan seorang lelaki mengurungnya di bawah tubuh kurusnya."Ah ... tunggu, a-apa ini?!!" erang Marsha, mulai kesakitan. Ia meronta mencoba melepaskan diri, tetapi tenaga pria itu lebih besar."Maafkan aku, tapi tubuhku panas sekali.” Suara pria itu terdengar berat dengan napas yang semakin tak teratur, “aku tak bisa menahannya.”Marsha, yang kini dapat melihat wajah tampan pria itu lebih jelas, sedikit malu. Tampak sekali pria itu menikmati permainan mereka.“S-siapa kamu?” cicit Marsha–mulai kehilangan kendali napasnya.Alih-alih menjawab, pria itu tetap melanjutkan permainannya, lalu berkata, “Saya yakin ini adalah pengalaman pertama Anda.”“Tapi, saya janji akan membuat permainan ini berkesan.”Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments