"Kenapa kamu?" tanya Fahmi, sudah duduk di kursi penumpang depan, bersebelahan dengan supir pribadi sahabatnya.
Melihat Agam yang terlihat lesu, dari pantulan kaca spion yang ada di depannya.
Mengalihkan pandangan Agam yang sedang duduk sendiri di kursi belakang penumpang beradu pandang.
Tak membuat Agam bersuara, hanya diam tak ingin menjawab pertanyaan Fahmi, segera mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela kaca mobilnya.
Menatap jalanan kota yang terlihat lenggang, mengacuhkan helaan nafas Fahmi yang masih memperhatikannya dari dalam spion.
"Kamu butuh sesuatu?" tanya Fahmi, menggeser duduknya untuk bisa menoleh, menatap sahabatnya yang telah berganti kepribadian, tak lagi bersikap sableng sama seperti waktu lalu saat di rumah.
"Turunkan aku di minimarket terdekat, aku ingin beli minuman," jawab Agam, dengan suara datarnya, tak mengalihkan pandangannya ke arah Fahmi yang masih menoleh menatapnya.
"Jangan minum, ada meeting!" ucap Fahmi mengingatkan, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Hanya soda!" jawab Agam.
"Cari minimarket terdekat ya Pak," ucap Fahmi, mengulangi kalimat Agam kepada supir paruh baya yang ada di sebelahnya.
"Baik Pak," jawab supir sopan, hanya menatap sesaat Fahmi yang kembali duduk tegak dengan pandangan lurus ke depan.
Hanya butuh waktu lima menit, Sedan mewah yang di tumpangi Agam mulai melaju pelan, sebelum berhenti tepat di depan mini market yang terlihat ramai oleh pelanggan.
"Biar aku yang beli!" tawar Fahmi.
"Aku bisa sendiri," tolak Agam, segera turun dari mobilnya.
Sebelum mengayunkan langkahnya masuk ke dalam mini market, hanya untuk membeli soda yang di inginkannya.
Mengedarkan pandangannya, setelah membuka pintu utama minimarket tak menjawab sapaan selamat datang dari pegawai mini market yang terlihat ramah menyambutnya.
Sementara itu di mini market yang sama, terlihat Inez yang sedang berdiri di depan lemari es, dengan beberapa belanjaan yang di pegangnya di tangan Kiri.
Segera merogoh kantong jaket kulitnya untuk mengambil ponselnya yang bergetar.
"Halo Ndin," ucap Inez, sesaat setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan teleponnya.
"Kamu dimana? aku sudah sampai"
"Ah iya, tunggu sebentar ya, aku mampir dulu ke minimarket," jawab Inez, mengapit ponselnya di antara telinga dan bahunya, berusaha membuka pintu lemari es yang ada di depannya.
Ingin mengambil 1 kaleng soda kesukaannya sebelum...
"Itu punyaku! ucap Inez, bersitatap dengan Agam yang tiba-tiba mengambil soda incarannya.
"Aku tutup dulu ya?" ucapnya lagi, menutup panggilan teleponnya tak menunggu jawaban dari temannya.
"Aku yang lebih dulu membuka lemari es ini! jadi otomatis soda itu punyaku!" ucap Inez, mengulurkan tangannya ke depan, ingin meraih satu kaleng soda dari tangan Agam namun tak bisa.
Karena gerakan tangan Agam yang menghindar, menciptakan decakan kesal di bibir ranumnya.
Tak membuat Agam bersuara, hanya bersitatap dengan Inez sebelum tersentak dengan gerak cepat tangan Inez yang berhasil merebut kaleng soda dari genggamannya.
"Kasih soda itu kepadaku!" ucap Agam, mengulurkan tangannya ke depan dengan sorot mata tajamnya menatap Inez.
"Ini punyaku!' jawab Inez, tak merasa gentar dengan wajah dingin laki-laki yang ada di depannya.
Hendak mengayunkan langkahnya, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang memukul tangannya dari bawah, hingga membuat soda yang di pegangnya keluar dari genggaman tangannya.
Terbang indah ke atas sebelum...
hap
Agam pun berhasil menangkapnya, sebelum mengulaskan senyum setengahnya, mengejek wanita cantik yang ada di depannya.
"Siapa cepat dia yang dapat!" ucap Agam, dengan wajah datarnya segera membalikkan badannya.
Semakin membuat Inez geram, segera menggerakkan kakinya untuk menjegal kaki Agam, hingga...
Brukkk..
Agam pun terjatuh, tersungkur di atas lantai mini market yang terasa dingin, hingga membuat kaleng soda yang di bawanya menggelinding menjauhinya.
Membuatnya malu, dengan deru nafasnya yang memburu memejamkan matanya dalam, mengeratkan tautan gigi menahan rasa geramnya, karena banyaknya pasang mata yang melihatnya.
"Siapa kuat dia yang dapat!" ucap balik Inez, memungut kaleng soda di atas lantai, menatap Agam yang hendak berdiri tegak menatapnya tajam.
"Berani sekali kamu?" ucap Agam, mengepalkan tangan kanannya menahan rasa geramnya, dengan kilatan emosi di matanya, beradu pandang dengan Inez yang mencebikkan bibir menatapnya.
"Aku hanya mempertahankan apa yang harusnya menjadi milikku!" jawab Inez, semakin memancing emosi di diri seorang Agam.
Segera mengalihkan pandangannya ke arah pegawai mini market wanita yang hanya berdiri tegak memperhatikan pertengkarannya.
"Kamu? kesini!" tunjuk Agam, menyentakkan hati pegawai wanita yang terlihat bingung, menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Saya?" tanya pegawai itu memastikan, menunjuk dirinya sendiri sebelum tersentak dengan sentakan Agam.
"Iya kamu!" sentak Agam dengan matanya yang membulat, semakin membuat pegawai mini market itu ketakutan, segera Mengayunkan langkahnya cepat mendekati Agam.
"Apa ada stok lagi untuk soda merk ini?" tanya Agam.
"Ti..tidak ada Pak, lagi kosong," jawab Pegawai gugup.
"Berapa harga soda ini?" tanya Agam lagi.
"Sepuluh ribu Pak,"
"Aku hargai seratus ribu! ambil sodanya dari wanita gila ini!" ucap Agam, mengalihkan kembali pandangan tajamya menatap Inez.
Sebelum membuangnya kembali, hendak mengayunkan langkahnya menuju kasir.
"Aku hargai dua ratus ribu!" ucap Inez tak mau kalah, mencebikkan bibir Agam yang berhenti melangkah kembali menatapnya.
Semakin membuat bingung pegawai mini market yang ada di depannya, tak terkecuali semua pelanggan mini market yang berdiri memperhatikan pertengkarannya.
"Tiga ratus Ribu," jawab Agam lagi, masih dengan sorot mata tajamnya, bersitatap dengan sorot mata Inez yang tak kalah tajam.
"Empat ratus Ribu!" lanjut Inez tak mengalihkan pandangannya.
"Lima ratus Ribu!" ucap Agam dengan deru nafasnya yang mulai memburu.
"Satu juta," ucap Inez, semakin mengejutkan pegawai minimarket, beserta pengunjung yang lainnya.
Mengacuhkan gelengan kepala kompak dari pengunjung minimarket yang tak habis pikir dengan sikap keduanya.
Sama-sama angkuh dan kekeh, untuk mempertahankan soda yang harganya tak seberapa menjadi pelelangan soda yang menembus kata juta.
Semakin mencebikkan bibir Agam, dengan senyum setengahnya membuang pandangannya.
Berusaha mengontrol emosinya karena harga dirinya, yang merasa tertantang oleh sikap gila wanita yang ada di depannya.
"Lima juta!" ucap Agam Akhirnya, karena emosi di hatinya, kembali mengalihkan pandangannya menatap Inez.
"Deal! lima juta!" jawab Inez, dengan senyum seringainya.
Di ikuti dengan senyum tipis di bibir Agam menatapnya, karena hatinya yang merasa menang di pelelangan yang dibuatnya.
"Mau kemana kamu?" tanya Agam, melihat langkah Inez mendekati kasir, tak memberikan soda yang berhasil di menangkan kepadanya.
Menghentikan langkah Inez membalikkan badan menatapnya.
"Bukannya kamu ingin beli soda ini lima juta? aku harus membayar soda ini dulu biar aku bisa menjualnya kepada kamu!" ucap Inez, dengan senyum kemenangannya, mengedipkan salah satu matanya mengejek Agam.
Menyentakkan hati Agam, segera mengalihkan pandangannya ke semua orang yang tengah berbisik memperhatikannya.
Merasa bodoh! merutuki dirinya sendiri yang terjebak di dalam permainan gadis bau kencur.
"Lima juta! kasih uangnya!" ucap Inez, mengulurkan sodanya ke depan Agam, tak membuat Agam bergerak, hanya terdiam dam terpaku menatapnya tajam.
"Ayo ambil... lima juta!," tambah Inez lagi, megedikkan dagunya ke arah soda menatap Agam.
Sebelum menurunkan kembali tangannya, mengulaskan senyum setengahnya berbarengan dengan gerakan tangannya yang membuka tutup soda.
"Tidak semua hal bisa di selesaikan dengan uang Tuan," ucap Inez, masih bersitatap dengan kilatan emosi di mata Agam.
Segera menenggak soda yang baru di bukannya tak membuang pandangannya.
Kembali mengulaskan senyumnya, merasa menang dengan pertengkarannya, bersama laki-laki arogan yang ada di depannya.
"Beraninya kamu...," ucap Agam semakin geram.
"Saya pamit, permisi..." lanjut Inez, menaikkan sudut atas bibirnya, sebelum mengayunkan langkahnya keluar, meninggalkan Agam yang masih berdiri, mengepalkan tangan kanan menatap kepergiannya.
Berbarengan dengan Fahmi yang merasa bingung, membuka pintu utama minimarket mengayunkan langkahnya mendekati Agam.
"Ada apa ini Gam? ada masalah apa? kenapa semua orang melihat kamu?" tanya Fahmi, dengan perasaan bingungnya mengedarkan pandangannya.
Tak membuat Agam bersuara, segera mengayunkan langkahnya keluar dari mini market, tak ingin menjawab pertanyaan Sahabatnya.
***
"Selamat siang Pak," sapa pegawai Dirgantara property, menyambut kedatangan Agam yang mengayunkan langkahnya masuk ke dalam loby, berdampingan dengan Fahmi yang berjalan di sebelahnya.
Masih dengan wajah tegasnya yang terlihat datar, tak ingin menjawab sapaan sopan dari pegawai yang menyambut kedatangannya.
Karena hatinya yang masih emosi, mengingat kembali wanita gila yang berani mempermainkan dan mempermalukannya.
Sedangkan di tempat lainnya, Inez melajukan motornya dengan kecepatan sedang, melewati pintu pagar kampus tempatnya mengenyam pendidikan, sebelum memarkirkan rapi motor sportnya di dalam parkiran.
Bukan untuk kuliah, tapi untuk bertemu dengan teman satu kuliahnya berbeda jurusan, Andien Dirgantara.
Ingin meminta tolong kepada adik dari pemilik Perusahaan Dirgantara property, untuk menjembataninya, agar bisa melakukan penelitian skripsi di perusahaan yang sudah di incarnya.
Karena pengajuan dari perizinannya yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Aku di kantin Nez...," pesan WA Andien yang di baca Inez.
"Oke," balas Inez, sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam jaket yang di pakainya.
Setengah berlari menuju kantin, sebelum melambaikan tangannya, membalas lambaian tangan Andien ke arahnya.
"Maaf ya Ndien, tadi ada laki-laki gila yang mengajakku berperang soalnya, makanya lama...," ucap Inez, segera duduk di kursi kosong yang ada di seberang temannya.
"Laki-laki gila?" tanya Andien yang di jawab dengan anggukan cepat kepala Inez.
"Kamu nunggu lama ya? maaf ya?"
"Nggak juga, ini aku udah pesenin minum buat kamu!" jawab Andien, dengan ulasan senyum di bibirnya, menyodorkan segelas es jus ke depan Inez yang sedikit terengah.
"Terimakasih," ucap Inez, segera menyeruput jus nya dengan cepat, karena tenggorokannya yang terasa kering usai berlari.
"Astaga...," ucap Andien, merogoh tas yang di pakainya mencari keberadaan buku Taekwondo yang harus di kembalikannya kepada Inez.
"Kenapa?" tanya Inez.
"Buku kamu nggak ada, aku lupa memasukkannya ke dalam tas!" ucap Andien tak enak.
"Nggak papa, santai aja!" jawab Inez santai, kembali menyeruput jusnya yang tinggal setengah.
"Ayo berangkat! kita pakai mobilku aja ya?" ucap Andien, segera berdiri dari duduknya, di ikuti dengan Inez yang berdiri di depannya, segera mengayunkan langkah bersama keluar dari kantin.
"Pakai motorku juga boleh!" jawab Inez yang di sambut dengan gelengan cepat kepala Andien.
"Ogah!" tolak Andien tertawa, menyadari rok yang di pakainya.
"Kenapa kamu nggak memilih penelitian di perusahaan Papa kamu Nez? kan enak tinggal jalan nggak perlu repot pengajuan izin!" ucap Andien, masih mengayunkan langkahnya menuju parkiran.
"Papaku hanya pengusaha kecil Ndin, nggak punya perusahaan property," jawab Inez tertawa.
"Astaga... sombongnya kamu Nez...." jawab Andien, ikut tertawa mengayunkan langkahnya.
"Kakak kamu mengizinkan kan Ndin?"
"Aku lupa nggak ngasih tahu Kakak Nez," jawab Andien, menghentikan langkah Inez menatapnya.
"Kalau aku disana di tolak kakak kamu gimana?" tanya Inez.
"Nggak usah khawatir, kakakku nggak mungkin menolak teman adiknya," jawab Andien, merangkul pundak Inez, meyakinkan hati temannya.
"Lagian aku juga sudah bilang ke Sekretarisnya Kakak, dan nggak masalah!" lanjut Andien, mengulaskan senyum di bibir Inez kembali mengayunkan langkahnya.
Bersambung.
Flashback sehari sebelum pertemuan Andien dengan Inez. Mentari hampir terbenam, tak meninggalkan sinarnya beranjak pergi menuju peraduan. Terlihat di rumah mewah berlantai dua kediaman Agam, Andien berlari masuk ke dalam rumah, melewati pintu utama mencari keberadaan mamanya. "Mama mana Bi?" tanya Andien, kepada Bi Rina wanita paruh baya asisten rumah tangga di rumahnya. "Di kamar Mbak," jawab Bi Rina. "Terimakasih Bi...," ucap Andien, kembali Mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari menuju salah satu kamar yang ada di lantai satu. "Ma...Mama..." Teriak Andien, menggedor pintu kamar mamanya yang tertutup, mengejutkan hati Mama Ratih. Baru keluar dari dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, masih memakai jubah handuk putih yang membungkus badannya yang masih terlihat langsing di usianya yang tak lagi muda.
"Aku balik dulu ya Nes?" ucap Andien, segera berdiri dari duduknya di seberang Inez, mengalihkan pandangan temannya yang sedang sibuk dengan berbagai macam outner file dari perusahaan Kakaknya menatapnya."Ada kelas ya?" tanya Inez tak menutup outner yang dibawanya."Iya, kelasnya dosen Killer!" jawab Andien menciptakan senyum tipis di bibir Inez."Ya sudah hati-hati, siapin mental kamu ya?" goda Inez yang di jawab dengan kekehan kecil Andien.Segera meraih tasnya yang ada di atas sofa, sebelum mengayunkan langkahnya menghampiri kakaknya yang terlihat sibuk duduk di kursi keberasaran tak menatapnya."Aku balik dulu ya Kak?""Kemana kamu? temanmu nggak kamu ajak balik?" jawab Agam, menegakkan kepala Inez menatapnya."Sabar Nez sabar... demi skripsi mu..." Batin Inez, menggelengkan kepala pelan, dengan tarikan nafasnya yang sangat panjang, berusaha keras untuk menurunkan ego di hatinya segera membuang pandangannya."Aku ada kelas
Jam makan siang hampir saja selesai, kantin yang seharusnya ramai dengan para pegawai nampak sepi dengan beberapa pegawai yang masih tersisa.Terlihat Agam, duduk tenang menikmati suap demi suap nasi beserta lauk yang telah di pesannya.Duduk berhadapan dengan Inez yang terlihat lahap menghabiskan cepat nasi dan lauk yang ada di piring mengacuhkannya."Sudah berapa hari kamu nggak makan?" sindir Agam, setelah menelan makanan yang ada di mulutnya, menegakkan kepala Inez menatapnya."Empat hari," jawab Inez Asal, kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.Tak ada gengsi, tak ada rasa jaim meskipun makan bersama dengan laki-laki tampan yang baru di kenalnya, jauh berbeda dengan kebanyakan gadis lain di luar sana.Yang akan makan dengan perlahan, sesuap demi sesuap, hanya untuk menjaga Imagenya sebagai seorang perempuan yang anggun dan cantik.Hingga
Senja mulai beranjak, karena waktu siang yang telah berganti, menjadi sore hari dengan suasana mendung yang masih bergelayut.Terlihat Agam dan Inez, duduk berdekatan di sebuah kafe yang tak begitu ramai, bersama dua laki-laki paruh baya yang duduk di seberangnya, belum juga menyelesaikan meeting setelah hampir satu jam lamanya."Terimakasih Pak, saya tunggu kabar baiknya," ucap Agam, berdiri dari duduknya, menjabat tangan kliennya bergantian, di ikuti dengan senyum ramah Inez, yang menganggukkan kepala pelan, sebagai bentuk sopan santunnya sebagai Sekretaris sementara Agam."Minuman kamu habis, mau pesan lagi?" tanya Inez, dengan sikapnya yang di buat sebaik mungkin, mengalihkan pandangan Agam menatapnya."Nggak perlu!" jawab Agam, masih berdiri di tempatnya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka."Masukkan semua berkasnya, kita pulang sekarang!" lanjut Agam, segera mengayunkan
Langit hampir menggelap, Adzan maghrib pun telah lama terdengar.Terlihat mobil Agam yang di kendarai Inez melesat dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Menuju rumah Agam, karena undangan makan malam dari Mama Ratih yang memaksanya untuk datang.Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering di dalam tas punggungnya yang bertengger tenang di kursi penumpang di sebelahnya.Berusaha membuka resleting tasnya, sesaat setelah meraih tas punggung hitamnya, masih dengan pandangannya yang lurus kedepan, terlihat kerepotan."Kalau nyetir itu fokus!" ucap Agam, mengalihkan pandangan Inez ke arah spion yang ada di depannya."Kamu nggak dengar ponselku berbunyi?" jawab Inez, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang meraih tas punggungnya kasar, hendak membantunya membuka resleting tas untuk mengambil ponsel di dalamnya."Tolong sekalian headseatnya ya?" tambah Inez, membuat
"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan."Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya."Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan."Nanti Tante nunggu Agam,""Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih."Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan."Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sam
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya."Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya."Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap
Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka."Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!" Kalimat Agam yang terngiang di kepalany