Senja mulai beranjak, karena waktu siang yang telah berganti, menjadi sore hari dengan suasana mendung yang masih bergelayut.
Terlihat Agam dan Inez, duduk berdekatan di sebuah kafe yang tak begitu ramai, bersama dua laki-laki paruh baya yang duduk di seberangnya, belum juga menyelesaikan meeting setelah hampir satu jam lamanya.
"Terimakasih Pak, saya tunggu kabar baiknya," ucap Agam, berdiri dari duduknya, menjabat tangan kliennya bergantian, di ikuti dengan senyum ramah Inez, yang menganggukkan kepala pelan, sebagai bentuk sopan santunnya sebagai Sekretaris sementara Agam.
"Minuman kamu habis, mau pesan lagi?" tanya Inez, dengan sikapnya yang di buat sebaik mungkin, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Nggak perlu!" jawab Agam, masih berdiri di tempatnya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka.
"Masukkan semua berkasnya, kita pulang sekarang!" lanjut Agam, segera mengayunkan langkahnya.
"Siyapppppppp!" jawab Inez, menaikkan sudut bibirnya, dengan sikapnya yang tergesa, segera memasukkan semua berkas yang ada di atas meja ke dalam tas kerja Agam.
Sebelum mengayunkan langkahnya cepat, untuk berlari mengikuti langkah Agam yang telah melangkahkan kaki jauh di depannya.
"Cepat sedikit! jangan kayak siput!" sentak Agam, menolehkan kepalanya, menatap Inez yang tergesa, dengan dua tas di bahunya.
"Ini sudah cepat! kamu nggak lihat?" Sewot Inez masih mengayunkan langkahnya cepat, berusaha mengimbangi langkah lebar Agam.
Hendak keluar dari pintu utama kafe, menuju parkiran tempat mobil yang di naikinya berhenti, sebelum...
"Ahh...," pekik Inez, mengusap dahinya cepat, karena dirinya yang tak sengaja menabrak Agam yang tiba-tiba berhenti di depannya.
"Apa kamu buta?" sentak Agam, memancing rasa kesal di diri Inez, dengan sorot mata tajamnya menatap Agam.
"Kamu marah? tepati janjimu!" lanjut Agam, dengan senyum miringnya menatap Inez yang membuang pandangan tak lagi menatapnya.
Tak membuat Inez bersuara, hanya terdiam, mengeratkan deretan giginya, berusaha untuk mengontrol rasa geram di hatinya, sebelum menegakkan kepalanya, dengan wajah datarnya mempersilahkan Agam, majikan sementaranya itu untuk keluar dari pintu utama.
"Bukain!"
"Ha?"
"Bukain pintunya!" lanjut Agam, mengedikkan dagunya ke arah pintu kafe yang tertutup.
Semakin membuat Inez geram, memejamkan matanya dalam, dengan helaan nafasnya yang pelan membuang pandangannya ke sembarang Arah.
"Sabar Nez...sabar... gadis sabar di sayang Papa!" batinnya, segera mengayunkan langkahnya malas, melewati Agam yang tersenyum miring hendak membuka pintu kafe yang tertutup.
"Sudah kan?" ucap Inez.
"Begitu caramu mempersilahkan majikanmu?" protes Agam, menciptakan teriakan batin di diri Inez.
Ingin sekali mencakar wajah laki-laki yang yang ada di depannya ini.
"Silahkan... sudah terbuka pintunya...," lanjut Inez, dengan sikapnya yang di buat sangat ramah, menundukkan kepalanya menatap langkah kaki Agam yang mengayunkan langkah melewatinya.
Menahan keras gerakan kakinya yang ingin sekali mengayun, untuk menjegal kaki laki-laki yang di anggapnya paling br*ngsek yang pernah di temuinya.
Sebelum menutup pintu kafe, mengayunkan kembali langkahnya di belakang Agam.
"Maaf Mas, saya di suruh ibu pulang duluan, karena Ibu butuh saya untuk mengantar Ibu ke rumah teman arisannya," ucap supir pribadi Agam, mengerutkan kening Agam menatapnya.
"Supir Mama kemana?"
"Lagi izin, anaknya sakit,"
"Kita pulang sekarang!" jawab Agam, hendak mengayunkan langkahnya kembali, sebelum terdiam karena kalimat supir pribadinya.
"Mohon maaf Mas, ini Ibu titip pesan buat Mas Agam,"
"Pesan? pesan Apa?" tanya Agam.
"Ibu minta Mas Agam belanja ke supermarket, beli buah-buahan untuk persiapan makan malam bareng Mbak Inez, anak perempuannya." lanjut supir Agam, menyentakkan hati Inez yang berdiri di dekat Agam.
Segera mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang menghela nafas, membuang pandangan ke sembarang arah.
"Makan malam?" tanya Inez yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Supir.
"Iya Mbak," jawab supir sopan, berbarengan dengan Agam yang meraup wajah tampannya pelan, menyadari maksud dari tindakan Mamanya.
"Saya pamit duluan ya Mas?" pamit supir mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Apalagi pesan Mama?"
"Hanya itu Mas," jawab supir yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Agam.
"Permisi Mas," lanjut supir, segera mengayunkan langkahnya meninggalkan Agam dan Inez yang masih berdiri dan terdiam di tempatnya.
"Kenapa kamu diam?" sewot Agam, menyentakkan hati Inez, sebelum mengalihkan pandangan menatapnya.
"Ha?"
"Kamu lihat kan? supirku pulang! cepat bukain pintunya!"
"Apa tanganmu putus?" Sewot balik Inez, membulatkan mata Agam menatapnya.
"Tepati janjimu!" ucap Agam, dengan sorot mata tajamnya.
Semakin membuat Inez geram ingin sekali mencabik-cabik wajah laki-laki yang selalu saja memancing emosinya.
"Ayo cepat!" lanjut Agam, mengedikkan dagunya ke arah mobilnya, bersitatap dengan Inez yang mengeratkan tautan gigi menatapnya tajam.
Hanya menghela nafasnya kasar, membuang pandangannya ke sembarang arah, dengan tangannya yang berkacak pinggang, berusaha menetralkan emosi yang telah berhasil menguasainya.
"Ayo cepat!" ucap Agam lagi, sebelum mengayunkan langkahnya masuk ke dalam mobil, untuk duduk di kursi belakang penumpang yang telah di buka oleh Inez.
BRAKKKKKK
Tutup Inez, membanting keras pintu mobil Agam, mengejutkan si pemilik mobil, hingga membuatnya berjingkat dengan matanya yang menutup.
"Apa kamu gila????!!" teriak Agam dari dalam mobil, menatap tajam Inez yang mengayunkan langkah untuk masuk dan duduk di kursi kemudi.
"Mohon maaf, saya tidak sengaja," jawab Inez, setelah duduk di kursinya, menaikkan sudut bibirnya ke atas segera menyalakan mesin mobil yang harus di kendalikannya.
Mengacuhkan rasa kesal di diri Agam, yang sudah duduk bersandar, menghela nafas kasar menatapnya tajam.
"Kita kemana?" tanya Inez, setelah melajukan mobil Agam pelan untuk keluar dari halaman kafe, bersitatap dengan Agam dari pantulan kaca spion yang ada di atasnya.
"Supermarket X," jawab Agam.
***
"Selamat sore Mas," sapa asisten rumah tangga, wanita paruh baya yang menyambut kedatangan Abian.
Yang baru pulang dari rutinitas di perusahaan Papanya, Abian hanya menganggukkan kepalanya pelan untuk menjawab sapaan Bi Semi.
"Inez sudah pulang belum Bi?" tanya Abian, seraya melepaskan jas kerjanya, untuk di sampirkamnya di atas tangan kirinya.
"Belum Mas,"
"Belum?"
"Iya belum," jawab Bi Semi yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Abian.
Segera mengayunkan langkahnya, masuk ke dalam rumah hendak masuk ke dalam kamarnya.
"Sudah pulang Bi?" sapa Mama Desi, duduk di atas sofa ruang tengah, mengalihkan pandangan Abian menatapnya.
"Ma...," panggil Abian, mengulaskan senyum di bibirnya, kembali mengayunkan langkahnya mendekati Mamanya.
"Sudah Ma," jawab Abian, mencium tangan mama Desi, sebelum ikut duduk di sebelah Mamanya.
"Lelah ya?" tanya Mama Desi yang di jawab dengan senyum tipis anak sulungnya.
"Lumayan Ma,"
"Papa mana?"
"Papa lagi keluar sama Papanya Andre, mau bahas pertunangan Inez dan Andre katanya,"
"Kapan pertunangannya?" tanya Abian yang di jawab dengan mengediknya kedua bahu Mama Desi.
"Mama juga nggak tahu, mungkin setelah Inez wisuda." jawab Mama Desi yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Abian.
"Aku masuk kamar ya Ma? mau mandi," pamit Abian, segera berdiri dari duduknya.
"Clara tadi telepon nanyain kamu,!" ucap Mama Desi.
"Ah iya, biarin dulu lah Ma, aku lagi males bicara sama dia!"
"Ada masalah di selesaikan Bi, jangan di buat lari." ucap Mama Desi, menggeleng kan kepalanya pelan, menatap langkah Abian yang mengangguk pelan meninggalkannya.
***
Di supermarket
"Ah! astaga... bisa bawa nggak sih?," pekik Agam, karena troli yang di dorong oleh Inez, menyerempet salah satu kakinya yang sedang melangkah.
"O..o.. sorry...!" ucap Inez dengan senyum miringnya, bersitatap dengan sorot mata Agam yang berhenti melangkah menatapnya tajam.
"Kamu sengaja?"
"Kalau aku sengaja sudah nyungsep kamu di sana!" jawab Inez, menunjuk lantai yang ada di depan Agam.
"Memang sengaja!" batin Inez, kembali mengulaskan senyum miringnya, karena dirinya yang merasa kesal dengan Agam yang menyerahkan tas dan belanjaan kepadanya.
Sedangkan laki-laki yang di anggapnya br*ngsek itu hanya melenggang tanpa beban, dengan memainkan ponsel di tangan menunjuk sana dan sini, memposisikan sebagai raja sedangkan dirinya tak lebih dari budak yang ada di bawah kaki dan kekuasaan Agam.
"Ambil itu!" tunjuk Agam lagi.
"Apa lagi?" sewot Inez dengan emosinya yang mulai meninggi, mengalihkan pandangannya ke arah rak buah yang di tunjuk Agam.
"Jeruk!" jawab Agam.
Tak ingin bersuara, Inez hanya mendorong trolinya malas mendekati rak buah jeruk yang di inginkan Agam.
Dengan di bantu oleh seorang pegawai yang menimbang, Inez hanya berdiri menatap pegawai supermarket yang terlihat cekatan.
"Berapa kilo?" tanya Inez kepada Agam.
"Tiga kilo, pilih yang benar!" jawab Agam.
"Tiga kilo Mas, tolong pilihkan yang benar, yang mulus, jangan sampai ada yang keriput macam dia!" ucap Inez, mengedikkan dagunya ke arah Agam, membulatkan mata Agam yang menendengar menatapnya.
"Jeruknya mulus-mulus Mbak, nggak ada yang keriput," jawab Pegawai, mengulaskan senyum di bibirnya masih melakukan pekerjaannya.
Begitupun dengan Inez yang tersenyum, menanggapi jawaban dari pegawai, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang mengayunkan langkah menjauhinya.
"Kemana?" tanya Inez, tak membuat Agam bersuara, hanya beradu tatap sejenak sebelum mengayunkan langkahnya kembali menuju rak kebutuhan dapur untuk membeli kecap asin pesanan mamanya.
"Terimakasih Mas," ucap Inez, menerima dua kantong plastik jeruk yang di pesannya, kembali mendorong troli yang di bawanya, mengikuti Agam yang sedikit jauh di depannya.
"Kecap asin?" gumam Agam, mengayunkan langkanya, sambil mengedarkan pandangan ke atas mencari barang yang di carinya, tanpa melihat situasi lantai yang akan di lewatinya.
Membulatkan mata Inez, karena pandangannya yang terjatuh pada ceceran minyak goreng yang ada di atas lantai di dekat Agam sebelum...
"Aaaaa," teriak Agam, yang tak sengaja menginjak tumpahan minyak, hingga membuatnya tergelincir, berbarengan dengan langkah cepat Inez yang berlari untuk menangkap tubuh Agam yang hendak terjatuh dan tersungkur di atas lantai.
"Kamu nggak papa?" tanya Inez, dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, berhasil menangkap tubuh Agam yang terjatuh ke dalam pelukannya.
Begitupun dengan Agam yang terdiam, meraup wajahnya pelan, karena rasa shock yang menguasainya, hingga membuatnya tak sadar dengan pelukan Inez yang masih menempel di tubuh tegapnya.
"Kamu nggak papa?" tanya Inez lagi, melepaskan pelukannya, sesaat sebelum memukul pelan lengan Agam yang terdiam, menyadarkan Agam dari rasa terkejutnya beradu pandang.
"Nggak papa!" jawab Agam cepat, masih dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, segera menegakkan kakinya.
"Maaf Mas, Mbak, Masnya nggak papa?" ucap Seorang cleaning service perempuan, dengan membawa peralatan pel yang hendak di gunakannya, mengalihkan pandangan Inez dan Agam menatapnya.
"Kamu ingin membahayakan pengunjung?" sentak Agam, menatap tajam cleaning service yang terlihat ketakutan.
"Mohon maaf Mas, ini baru mau saya pel lantainya Mas, karena saya juga baru dapat informasi kalau ada kemasan minyak goreng yang bocor!" jawab cleaning service, menundukkan kepalanya tak berani menatap Agam.
"Sudah lah, jangan marah-marah disini! malu di lihatin banyak orang, kamu juga baik-baik saja kan?" bisik Inez, mengedarkan pandangannya ke arah para pengunjung yang memperhatikannya.
Mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Kamu punya malu?" sungut Agam, kembali membuat Inez berdecak kesal, segera menarik lengan Agam untuk dibawanya menjauhi cleaning service.
"Sudah kan belanjanya? sekarang kita pulang! lagian kamu juga yang salah, jalan nggak lihat bawah! jangan nyalahin orang di depan umum! kasihan kan dianya merasa malu!" omel Inez, melepaskan tarikannya.
"Kamu menyalahkanku?" protes Agam.
"Sudah lah...aku sudah terlalu emosi untuk berdebat sama kamu!" jawab Inez.
"Tunggu sebentar ya," lanjut Inez, segera mengayunkan langkahnya cepat, berlari ke arah rak minuman hendak mengambil dua botol Air meneral untuk dirinya dan Agam.
Sebelum mengayunkan langkahnya kembali, setengah berlari mendekati Agam yang masih berdiri menunggunya.
"Minum dulu, kamu terkejut kan?" ucap Inez, memberikan salah satu botol air yang baru di ambilnya.
Tak membuat Agam bersuara, hanya menatap lekat botol yang terulur di depannya, tanpa bergerak untuk mengambilnya.
"Ayo ambil...!" lanjut Inez, masih mengulurkan tangannya, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Nggak mau? ya sudah!" tambah Inez, sebelum mengulaskan senyum tipisnya, beradu pandang dengan Agam yang mengambil alih botol air pemberiannya.
Menenggak air bersama, sesaat setelah membuang pandangan kompak ke sembarang arah, berusaha menetralkan rasa terkejut yang ada di diri keduanya.
Bersambung.
Langit hampir menggelap, Adzan maghrib pun telah lama terdengar.Terlihat mobil Agam yang di kendarai Inez melesat dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Menuju rumah Agam, karena undangan makan malam dari Mama Ratih yang memaksanya untuk datang.Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering di dalam tas punggungnya yang bertengger tenang di kursi penumpang di sebelahnya.Berusaha membuka resleting tasnya, sesaat setelah meraih tas punggung hitamnya, masih dengan pandangannya yang lurus kedepan, terlihat kerepotan."Kalau nyetir itu fokus!" ucap Agam, mengalihkan pandangan Inez ke arah spion yang ada di depannya."Kamu nggak dengar ponselku berbunyi?" jawab Inez, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang meraih tas punggungnya kasar, hendak membantunya membuka resleting tas untuk mengambil ponsel di dalamnya."Tolong sekalian headseatnya ya?" tambah Inez, membuat
"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan."Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya."Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan."Nanti Tante nunggu Agam,""Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih."Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan."Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sam
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya."Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya."Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap
Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka."Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!" Kalimat Agam yang terngiang di kepalany
Satu jam sudah waktu yang Inez habiskan, hanya duduk diam di atas sofa tanpa melakukan apa-apa di ruangan Agam.Menunggu bos sementaranya yang masih tidur, tampak tenang dengan wajah yang tak lagi pucat."Sampai kapan dia akan tidur?" gumam Inez, menghela nafasnya panjang menatap Agam.Sebelum mengerutkan keningnya, karena tidur Agam yang tak nyenyak, menggerakkan kepalanya cepat ke kanan dan ke kiri terlihat tertekan."Jangan Cin! jangan kesana! jangan pergi Cintia! jangan pergi..!" gumam Agam, masih memejamkan matanya, menggerakkan kepalanya cepat.Karena mimpi buruknya, sebuah kilas balik mengenai kisah cintanya yang terpisah, akibat kecelakaan maut yang merenggut wanita nya di depan matanya sendiri.Menciptakan banyaknya peluh yang keluar, membasahi dahinya, masih dengan gerakan kepalanya terlihat semakin tertekan."Pak... Pak Agam!" panggil Inez, sesa
"Nez?" panggil Andre, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.Berusaha bersikap tenang, Inez hanya mengulaskan senyum tipisnya segera menenggak air yang ada di dekatnya.Kembali beradu pandang dengan Andre, calon suami pilihan orang tuanya, masih berdiri di dekatnya, menatapnya penuh tanya."Ada apa?" tanya Inez, dengan wajah tak berdosanya beradu pandang."Ngapain kamu disini?" tanya Andre, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Agam."Dia siapa?" lanjut Andre, melirik Agam yang terdiam, tak mengerti dengan suasana yang ada di depannya."Siapapun dia nggak ada hubungannya sama kamu," jawab Inez, menyakiti hati Andre yang tersenyum getir menatapnya cemburu."Aku ingin bicara sama kamu! kamu harus menjelaskan semuanya Nez!" ucap Andre, mencoba untuk bersabar, dengan tatapan tajamnya, merasa tak suka dengan kebersamaan Inez bersama dengan lelaki lain yang t
BRAKKKKKKSuara dentuman keras, beberapa menit setelah kepergian Agam, mengejutkan Inez yang sedang makan.Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, akibat rasa kagetnya yang terlalu tinggi, membuat jiwa keingintahuannya pun meninggi."Ada kecelakaan di depan..." teriak salah satu orang yang ada di dalam restoran, kompak berlari, bersamaan dengan pengunjung yang lainnya, berhambur keluar ingin melihat kejadian.Tak terkecuali Inez, sudah mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari keluar dari dalam restoran.Sementara itu di luar restoran, Agam terlihat berdiri, tepat di halaman restoran yang ada di nol jalan.Dengan tubuhnya yang bergetar hebat tak mampu mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang ada di depannya.Membuat matanya memerah, dengan linangan air mata yang hampir menitik, seolah terpaku di tempatnya.
Jalanan kota yang terlihat lenggang, dengan sinar mentari yang masih terang di siang hari.Inez, sudah duduk bersebelahan dengan Agam di kursi belakang mobil yang di kendarai supir pribadi Bos sementaranya.Hanya duduk bersandar dengan bahunya yang mulai terasa pegal, karena kepala Agam, yang tertidur bersandar di bahunya.Sementara itu di tempat lainnya, terlihat Andre, mengendarai mobil sport merahnya dengan kecepatan tinggi.Menembus jalanan kota yang terlihat sepi, sebelum membelokkan mobilnya memasuki sebuah gerbang gedung perusahan tempatnya bekerja.Sebagai wakil direktur di perusahaan Papanya sendiri, Sukmajaya Group.Dengan hatinya yang teramat kesal, berusaha keras untuk menaha
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda