"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.
Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"
Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi.
"Aku...,"
"Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"
Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Agammm..." Teriak Mama Ratih, memukul kasar anaknya Agam yang tengah tertidur di atas ranjang dengan bantal.Tepat di atas lutut Agam, mengejutkan laki-laki tampan yang tengah bermimpi indah."Astaga Ma..., kenapa sih mukul-mukul?" protes Agam kesal, segera duduk dari tidurnya, masih dengan mata yang menutup karena rasa kantuknya."Heh! ayo bangun Gam! jangan tidur aja kamu ini....!" ucap Mama Ratih.Tak membuat anaknya membuka mata, kembali menjatuhkan tubuh tegapnya di atas kasur mengacuhkan Mamanya yang masih berdiri menatapnya."Ini aku sudah bangun Ma...," jawab Agam malas hampir tak terdengar di telinga mamanya."Duh Gusti... anak perawan ini ya...," ucap Mama Ratih kesal, kembali memukul kaki anak sulungnya dengan bantal, sebelum terdiam, karena Agam yang membuka mata segera duduk protes kepadanya."Aku ini laki-laki Ma! aku ini laki-laki! Astaga..
"Kenapa kamu?" tanya Fahmi, sudah duduk di kursi penumpang depan, bersebelahan dengan supir pribadi sahabatnya.Melihat Agam yang terlihat lesu, dari pantulan kaca spion yang ada di depannya.Mengalihkan pandangan Agam yang sedang duduk sendiri di kursi belakang penumpang beradu pandang.Tak membuat Agam bersuara, hanya diam tak ingin menjawab pertanyaan Fahmi, segera mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela kaca mobilnya.Menatap jalanan kota yang terlihat lenggang, mengacuhkan helaan nafas Fahmi yang masih memperhatikannya dari dalam spion."Kamu butuh sesuatu?" tanya Fahmi, menggeser duduknya untuk bisa menoleh, menatap sahabatnya yang telah berganti kepribadian, tak lagi bersikap sableng sama seperti waktu lalu saat di rumah."Turunkan aku di minimarket terdekat, aku ingin beli minuman," jawab Agam, dengan suara datarnya, tak mengalihkan pandangannya ke arah Fa
Flashback sehari sebelum pertemuan Andien dengan Inez. Mentari hampir terbenam, tak meninggalkan sinarnya beranjak pergi menuju peraduan. Terlihat di rumah mewah berlantai dua kediaman Agam, Andien berlari masuk ke dalam rumah, melewati pintu utama mencari keberadaan mamanya. "Mama mana Bi?" tanya Andien, kepada Bi Rina wanita paruh baya asisten rumah tangga di rumahnya. "Di kamar Mbak," jawab Bi Rina. "Terimakasih Bi...," ucap Andien, kembali Mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari menuju salah satu kamar yang ada di lantai satu. "Ma...Mama..." Teriak Andien, menggedor pintu kamar mamanya yang tertutup, mengejutkan hati Mama Ratih. Baru keluar dari dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, masih memakai jubah handuk putih yang membungkus badannya yang masih terlihat langsing di usianya yang tak lagi muda.
"Aku balik dulu ya Nes?" ucap Andien, segera berdiri dari duduknya di seberang Inez, mengalihkan pandangan temannya yang sedang sibuk dengan berbagai macam outner file dari perusahaan Kakaknya menatapnya."Ada kelas ya?" tanya Inez tak menutup outner yang dibawanya."Iya, kelasnya dosen Killer!" jawab Andien menciptakan senyum tipis di bibir Inez."Ya sudah hati-hati, siapin mental kamu ya?" goda Inez yang di jawab dengan kekehan kecil Andien.Segera meraih tasnya yang ada di atas sofa, sebelum mengayunkan langkahnya menghampiri kakaknya yang terlihat sibuk duduk di kursi keberasaran tak menatapnya."Aku balik dulu ya Kak?""Kemana kamu? temanmu nggak kamu ajak balik?" jawab Agam, menegakkan kepala Inez menatapnya."Sabar Nez sabar... demi skripsi mu..." Batin Inez, menggelengkan kepala pelan, dengan tarikan nafasnya yang sangat panjang, berusaha keras untuk menurunkan ego di hatinya segera membuang pandangannya."Aku ada kelas
Jam makan siang hampir saja selesai, kantin yang seharusnya ramai dengan para pegawai nampak sepi dengan beberapa pegawai yang masih tersisa.Terlihat Agam, duduk tenang menikmati suap demi suap nasi beserta lauk yang telah di pesannya.Duduk berhadapan dengan Inez yang terlihat lahap menghabiskan cepat nasi dan lauk yang ada di piring mengacuhkannya."Sudah berapa hari kamu nggak makan?" sindir Agam, setelah menelan makanan yang ada di mulutnya, menegakkan kepala Inez menatapnya."Empat hari," jawab Inez Asal, kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.Tak ada gengsi, tak ada rasa jaim meskipun makan bersama dengan laki-laki tampan yang baru di kenalnya, jauh berbeda dengan kebanyakan gadis lain di luar sana.Yang akan makan dengan perlahan, sesuap demi sesuap, hanya untuk menjaga Imagenya sebagai seorang perempuan yang anggun dan cantik.Hingga
Senja mulai beranjak, karena waktu siang yang telah berganti, menjadi sore hari dengan suasana mendung yang masih bergelayut.Terlihat Agam dan Inez, duduk berdekatan di sebuah kafe yang tak begitu ramai, bersama dua laki-laki paruh baya yang duduk di seberangnya, belum juga menyelesaikan meeting setelah hampir satu jam lamanya."Terimakasih Pak, saya tunggu kabar baiknya," ucap Agam, berdiri dari duduknya, menjabat tangan kliennya bergantian, di ikuti dengan senyum ramah Inez, yang menganggukkan kepala pelan, sebagai bentuk sopan santunnya sebagai Sekretaris sementara Agam."Minuman kamu habis, mau pesan lagi?" tanya Inez, dengan sikapnya yang di buat sebaik mungkin, mengalihkan pandangan Agam menatapnya."Nggak perlu!" jawab Agam, masih berdiri di tempatnya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka."Masukkan semua berkasnya, kita pulang sekarang!" lanjut Agam, segera mengayunkan
Langit hampir menggelap, Adzan maghrib pun telah lama terdengar.Terlihat mobil Agam yang di kendarai Inez melesat dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Menuju rumah Agam, karena undangan makan malam dari Mama Ratih yang memaksanya untuk datang.Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering di dalam tas punggungnya yang bertengger tenang di kursi penumpang di sebelahnya.Berusaha membuka resleting tasnya, sesaat setelah meraih tas punggung hitamnya, masih dengan pandangannya yang lurus kedepan, terlihat kerepotan."Kalau nyetir itu fokus!" ucap Agam, mengalihkan pandangan Inez ke arah spion yang ada di depannya."Kamu nggak dengar ponselku berbunyi?" jawab Inez, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang meraih tas punggungnya kasar, hendak membantunya membuka resleting tas untuk mengambil ponsel di dalamnya."Tolong sekalian headseatnya ya?" tambah Inez, membuat
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda