Jam makan siang hampir saja selesai, kantin yang seharusnya ramai dengan para pegawai nampak sepi dengan beberapa pegawai yang masih tersisa.
Terlihat Agam, duduk tenang menikmati suap demi suap nasi beserta lauk yang telah di pesannya.
Duduk berhadapan dengan Inez yang terlihat lahap menghabiskan cepat nasi dan lauk yang ada di piring mengacuhkannya.
"Sudah berapa hari kamu nggak makan?" sindir Agam, setelah menelan makanan yang ada di mulutnya, menegakkan kepala Inez menatapnya.
"Empat hari," jawab Inez Asal, kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Tak ada gengsi, tak ada rasa jaim meskipun makan bersama dengan laki-laki tampan yang baru di kenalnya, jauh berbeda dengan kebanyakan gadis lain di luar sana.
Yang akan makan dengan perlahan, sesuap demi sesuap, hanya untuk menjaga Imagenya sebagai seorang perempuan yang anggun dan cantik.
Hingga rela berbohong dengan kalimat kenyang, tak menghabiskan sisa nasi yang ada di piring demi untuk menjaga penampilan di depan laki-laki tampan yang baru di kenalnya.
"Miskin sekali kamu ya..., sampai empat hari nggak bisa makan," ejek Agam, segera menenggak jus jeruknya, mengalihkan kembali pandangan Inez menatapnya.
"Semiskin-miskinnya aku, aku masih bisa traktir kamu!" jawab Inez mencebikkan bibir Agam, kembali menikmati makanan tak menatapnya.
"Ngomong-ngomong masalah tadi, aku minta maaf, aku benar-benar nggak sengaja," lanjut Inez.
"Hemm,"
"Aku sudah selesai," ucap Inez, meletakkan sendok di piringnya, sebelum menenggak air meneral yang ada di dekatnya.
Seraya beradu pandang dengan Agam yang terdiam menatapnya.
"Kenapa?" tanya Inez.
"Rakus!" jawab Agam, mengangkat sudut bibirnya ke atas membuang pandangannya.
Memancing kembali rasa kesal di diri Inez, dengan deretan gigi putihnya yang saling mengerat, segera mengambil sendok yang ada di atas piringnya, sebelum...
"Apa kamu gila?" sentak Agam, karena kelakuan Inez yang tiba-tiba, ikut menyendok makanan yang ada di piringnya.
Beradu pandang dengan tatapan sinis Inez, seolah mengejek kemarahannya, dengan mulut yang terus saja mengunyah makanan menatapnya.
"Astaga... perempuan macam apa ini yang kamu jadikan teman Ndien...," gumam Agam, meletakkan sendok yang di pakainya dengan kasar, segera menenggak habis sisa jus jeruknya, berusaha menetralkan tekanan darahnya yang terus meninggi.
Sebelum bangun dari duduknya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka, tak membuang lirikannya dari Inez.
"Dia yang makan lambat aku yang di bilang rakus!" gumam Inez, berbarengan dengan langkah Agam yang pergi meninggalkannya, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang bergetar di atas meja.
"Halo Kak," jawab Inez, setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan dari kakaknya.
Abian Atmaja, Kakak laki-laki yang selalu menemaninya sebagai teman, kakak laki-laki yang menyayangi dan melindunginya, kiblat penampilannya karena rasa kagum dan sayangnya kepada Abian.
"Dimana kamu?" tanya Abian, dengan suara beratnya menunggu jawaban dari adik perempuannya.
"Lagi di perusahaan property Kak, untuk penelitian skripsi," jawab Inez
"Sudah selesai belum?" tanya Abian.
"Belum sih, ini baru selesai makan siang, kenapa?"
"Di cari sama Andre kamu," jawab Abian.
"Biarin lah Kak.., dari tadi dia telepon tapi nggak aku angkat."
"Jangan gitu, kamu harus ingat statusmu!" ucap Abian, masih dengan suara beratnya mengingatkan adiknya.
Mencebikkan bibir Inez, segera meraup wajah cantiknya pelan dengan pandangannya lurus ke depan.
"Status apa Kak? aku nggak menginginkan status itu!" jawab Inez.
"Kenapa nggak kamu aja sih? kenapa juga harus aku? kuliah aja belum tuntas!" sewot Inez menciptakan kekehan kecil di bibir kakaknya.
"Om Bram nggak punya anak perempuan Nez! masak iya aku yang di jodohkan sama si Andre? cucok dong kakakmu ini?" goda Abian, menciptakan tawa kecil di bibir Inez.
"Sudah lah Kak, biarin aja! lagian aku juga nggak suka sama si Andre! aku tutup dulu ya? aku mau lanjutin penelitiannku!" ucap Inez, segera memutus panggilan teleponnya tak menunggu jawaban dari kakaknya.
Segera berdiri dari duduknya, mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari menuju ruangan Agam, hendak melanjutkan penelitiannya kepada file-file perusahaan Agam.
****
"Bisa nggak kalau masuk itu ketuk pintu dulu?" protes Agam, sudah duduk di kursi kebesarannya, bersitatap dengan Inez yang terdiam, berdiri tegak di depan pintu ruangan yang baru di buka beradu pandang.
Tak membuat Inez bersuara, hanya menghela nafasnya panjang, kembali keluar dari ruangan, untuk mengetuk pintu ruangan setelah menutupnya kembali.
"Jangan menghela nafas seperti itu!" protes Agam, karena helaan nafas Inez yang mengingatkannya kepada Cintia.
Menghentikan langkah Inez, masih memegang gagang pintu di tangannya, menolehkan kepalanya spontan, untuk melihat Agam yang terlihat sibuk dengan berkas tak menatapnya.
"Ya Tuhan... bolehkan aku menendang laki-laki ini??!" gumam Inez, dengan perasaan geramnya, mengeratkan genggaman tangannya di gagang pintu.
Mengalihkan pandangan Agam yang mendengar kalimatnya menatapnya, sebelum...
BRAKKKKKK
Inez pun menutup pintu, dengan kasar dan sekali banting, mengejutkan Agam, hingga membuatnya terpejam, sebelum membuka matanya kembali, berbarengan dengan tangan kanannya yang mengepal menahan rasa geram di hatinya.
"Astaga...," gumamnya kesal, melonggarkan dasi yang dipakainya karena rasa frustasinya kepada Inez.
Sebelum terdiam, menatap tajam pintu ruangannya yang terketuk pelan, tak ingin bersuara, meskipun hanya untuk mengucap kata masuk.
Segera membuang pandangannya ke bawah, ingin melanjutkan pekerjaannya dengan beberapa berkas yang harus disiapkannya sendiri tanpa bantuan Sekretarisnya Fahmi.
"Ya Tuhan... aku cekik ya lama-lama gadis ini!" ucap Agam, dengan deru nafasnya yang memburu, mengalihkan kembali pandangannya ke arah pintu ruangannya yang diketuk secara brutal.
"Masuk!!!" teriak Agam Akhirnya.
Mencoba mengontrol emosinya yang membara, beradu pandang dengan Inez yang tersenyum tak berdosa, setelah membuka pintu ruangan menatapnya.
"Permisi... saya izin masuk ya...," ucap Inez, hendak mengayunkan langkahnya masuk ke dalam ruangan, sebelum terdiam karena kalimat Agam.
"Mau kemana kamu?" tanya Agam, mengalihkan pandangan Inez menatapnya.
"Duduk, nglanjutin penelitian," jawab Inez, menunjuk sofa dengan beberapa outner di atasnya.
"Pulang saja!" ucap Agam, mengerutkan kening Inez, dengan sorot mata bingung menatapnya.
"Kenapa? aku belum selesai,"
"Aku ada meeting di luar," jawab Agam, merubah kerutan di wajah Inez menjadi senyum yang sempurna, dengan wajah yang semringah mengayunkan langkahnya cepat mendekati Agam.
"Ngapain kamu?" protes Agam, masih duduk di tempatnya beradu pandang.
"Aku ikut ya?"
"Nggak!" tolak Agam cepat, mengalihkan kembali pandangannya ke arah berkas.
"Izinin aku ikut ya? demi skripsiku...," pinta Inez, mengalihkan kembali pandangan Agam menatapnya.
"Bukan urusanku! sudah cukup ya bantuanku sama kamu!" jawab Agam, mengedikkan dagunya ke arah outner yang ada di atas sofanya.
"Aku nggak ingin stroke hanya karena terus bersama kamu!" sewot Agam, menciptakan kekehan kecil di bibir ranum Inez menatapnya.
"Aku akan bersikap baik!" bujuk Inez, mengangkat jari telunjuk dan tengahnya di depan Agam, ingin membujuk laki-laki yang ada di depannya demi untuk skripsi yang harus di buatnya.
"Pak Fahmi lagi izin kan? Aku bisa jadi Sekretaris sementara kamu, aku akan membantu kamu mencatat semua hasil meeting dengan sangat cepat dan akurat! bantu aku sekali ini saja, aku ingin mengikuti meeting kamu untuk menyempurnakan penelitianku," tambah Inez, mencoba membujuk Agam yang acuh, membuang pandangan ke arah berkas tak lagi menatapnya.
"Aku nggak perlu catatanmu! otakku sudah terlalu cerdas untuk mengingat semua hasil meetingnya," jawab Agam, tak mengalihkan pandangannya, hanya fokus dengan berkas yang harus di siapkannya, untuk di masukkannya kedalam tas kerjanya.
"Aku bisa bantu kamu membawa tas kerja kamu..., aku bisa jadi bodyguard kamu! atau supir kamu!" lanjut Inez tak mau menyerah, sebelum beradu pandang dengan Agam yang sudah menyelesaikan persiapan berkas menatapnya.
"Please...," mohon Inez, beradu pandang dengan Agam yang terdiam menatapnya.
"Apa ke ahlianmu? tanya Agam, menciptakan senyum semringah di bibir Inez.
"Taekwondo, sabuk hitam, aku bisa menjaga keselamatan hidupmu..." jawab Inez, dengan binar di matanya penuh harap.
Tak membuat Agam bersuara, hanya terdiam, untuk beradu pandang dengan binar mata Inez yang lagi-lagi mengingatkannya kepada Cintia.
"Gimana?" tanya Inez, menyadarkan lamunan Agam, segera membuang pandangannya ke sembarang arah.
Berdehem sejenak, segera berdiri dari dari duduknya, sambil mengancingkan jas kerjanya menatap Inez.
"Bawa tasnya," ucap Agam, mengedikkan dagunya ke arah tas kerjanya yang ada di atas meja, beradu pandang dengan Inez yang semringah menatapnya.
"Yes..!" seru Inez, segera mengayunkan langkahnya, hendak mengambil tas kerja Agam, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang melangkahkan kaki meninggalkannya.
"Tunggu!" ucap Inez, menghentikan langkah Agam.
"Apa lagi?" sewot Agam, membalikkan badannya malas, sebelum mengerutkan keningnya, karena langkah cepat Inez yang mendekatinya.
"Ngapain kamu?"
"Dasi kamu berantakan," jawab Inez sudah berdiri di depan Agam beradu pandang.
"Biar aku bantu, anggap saja sebagai tugas pertamaku sebagai Sekretaris sementara kamu, oh bukan bodyguard kamu!" lanjut Inez terkekeh, merapikan dasi Agam.
Semakin membuat Agam terdiam, tak mampu menggerakkan tangannya untuk menepis tangan Inez, hanya menatap lekat, dengan lidahnya yang terasa kelu, tak mampu memprotes tindakan Inez.
"Okkee... sudah rapi sekarang," ucap Inez, mengulaskan kembali senyum di bibirnya, sebelum mengalihkan pandangannya, menatap Agam yang terdiam memandangnya.
"Sudah!" Inez mengulangi, menyentakkan hati Agam yang tersadar, segera membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Ayo," ucap Agam, segera mengayunkan langkahnya keluar dari ruangan.
Meninggalkan Inez yang tergesa, melangkahkan kakinya cepat untuk menyambar tas kerja Agam di atas meja, sebelum ikut mengayunkan langkahnya cepat menyusul Agam.
Sementara itu di dalam ruangan yang cukup besar, di perusahaan Atmaja Group, Abian Atmaja 31 tahun, sedang duduk di kursi kebesarannya.
Menjabat sebagai wakil direktur di perusahaan Papanya, Abian tampak sibuk dengan layar laptopnya yang menyala, di temani dengan beberapa berkas yang terbuka di atas mejanya.
"Masuk," ucapnya, tak mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang diketuk.
"Sibuk ya Kak?" tanya Andre, mengayunkan langkahnya masuk ke dalam ruangan mendekati Abian.
Menegakkan kepala Abian, sebelum beradu pandang dengan calon adik iparnya, Aditya Andre, 28 tahun.
Calon suami Inez, hasil dari perjodohan bisnis papanya, yang tak pernah di setujui adik perempuannya.
"Lumayan, ayo duduk," jawab Abian, yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Andre, segera duduk di kursi kosong di seberangnya.
"Darimana?" tanya Abian.
"Dari kantor, gimana Inez? "
"Inez? dia lagi penelitian untuk skripsinya," jawab Abian.
Menciptakan helaan nafas kasar di bibir Andre, sebelum mengusap dahinya yang nggak gatal, membuang pandangannya.
"Mikirin apa?" tanya Abian, mengalihkan pandangan Andre menatapnya.
"Mikirin hubunganku sama Inez," jawab Andre.
"Aku hanya bingung sama sikap Inez Kak, sudah hampir dua tahun dia mengetahui perjodohan ini bukan? setelah sekian banyak usahaku untuk menunjukkan perasaanku kepadanya, kenapa susah sekali untuk Inez bisa menerima dan menyukaiku ya Kak?"
"Kamu putus asa? ingin mundur?" ucap Abian yang di jawab dengan gelengan pelan kepala Andre.
Bersambung.
Senja mulai beranjak, karena waktu siang yang telah berganti, menjadi sore hari dengan suasana mendung yang masih bergelayut.Terlihat Agam dan Inez, duduk berdekatan di sebuah kafe yang tak begitu ramai, bersama dua laki-laki paruh baya yang duduk di seberangnya, belum juga menyelesaikan meeting setelah hampir satu jam lamanya."Terimakasih Pak, saya tunggu kabar baiknya," ucap Agam, berdiri dari duduknya, menjabat tangan kliennya bergantian, di ikuti dengan senyum ramah Inez, yang menganggukkan kepala pelan, sebagai bentuk sopan santunnya sebagai Sekretaris sementara Agam."Minuman kamu habis, mau pesan lagi?" tanya Inez, dengan sikapnya yang di buat sebaik mungkin, mengalihkan pandangan Agam menatapnya."Nggak perlu!" jawab Agam, masih berdiri di tempatnya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka."Masukkan semua berkasnya, kita pulang sekarang!" lanjut Agam, segera mengayunkan
Langit hampir menggelap, Adzan maghrib pun telah lama terdengar.Terlihat mobil Agam yang di kendarai Inez melesat dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Menuju rumah Agam, karena undangan makan malam dari Mama Ratih yang memaksanya untuk datang.Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering di dalam tas punggungnya yang bertengger tenang di kursi penumpang di sebelahnya.Berusaha membuka resleting tasnya, sesaat setelah meraih tas punggung hitamnya, masih dengan pandangannya yang lurus kedepan, terlihat kerepotan."Kalau nyetir itu fokus!" ucap Agam, mengalihkan pandangan Inez ke arah spion yang ada di depannya."Kamu nggak dengar ponselku berbunyi?" jawab Inez, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang meraih tas punggungnya kasar, hendak membantunya membuka resleting tas untuk mengambil ponsel di dalamnya."Tolong sekalian headseatnya ya?" tambah Inez, membuat
"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan."Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya."Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan."Nanti Tante nunggu Agam,""Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih."Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan."Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sam
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya."Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya."Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap
Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka."Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!" Kalimat Agam yang terngiang di kepalany
Satu jam sudah waktu yang Inez habiskan, hanya duduk diam di atas sofa tanpa melakukan apa-apa di ruangan Agam.Menunggu bos sementaranya yang masih tidur, tampak tenang dengan wajah yang tak lagi pucat."Sampai kapan dia akan tidur?" gumam Inez, menghela nafasnya panjang menatap Agam.Sebelum mengerutkan keningnya, karena tidur Agam yang tak nyenyak, menggerakkan kepalanya cepat ke kanan dan ke kiri terlihat tertekan."Jangan Cin! jangan kesana! jangan pergi Cintia! jangan pergi..!" gumam Agam, masih memejamkan matanya, menggerakkan kepalanya cepat.Karena mimpi buruknya, sebuah kilas balik mengenai kisah cintanya yang terpisah, akibat kecelakaan maut yang merenggut wanita nya di depan matanya sendiri.Menciptakan banyaknya peluh yang keluar, membasahi dahinya, masih dengan gerakan kepalanya terlihat semakin tertekan."Pak... Pak Agam!" panggil Inez, sesa
"Nez?" panggil Andre, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.Berusaha bersikap tenang, Inez hanya mengulaskan senyum tipisnya segera menenggak air yang ada di dekatnya.Kembali beradu pandang dengan Andre, calon suami pilihan orang tuanya, masih berdiri di dekatnya, menatapnya penuh tanya."Ada apa?" tanya Inez, dengan wajah tak berdosanya beradu pandang."Ngapain kamu disini?" tanya Andre, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Agam."Dia siapa?" lanjut Andre, melirik Agam yang terdiam, tak mengerti dengan suasana yang ada di depannya."Siapapun dia nggak ada hubungannya sama kamu," jawab Inez, menyakiti hati Andre yang tersenyum getir menatapnya cemburu."Aku ingin bicara sama kamu! kamu harus menjelaskan semuanya Nez!" ucap Andre, mencoba untuk bersabar, dengan tatapan tajamnya, merasa tak suka dengan kebersamaan Inez bersama dengan lelaki lain yang t
BRAKKKKKKSuara dentuman keras, beberapa menit setelah kepergian Agam, mengejutkan Inez yang sedang makan.Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, akibat rasa kagetnya yang terlalu tinggi, membuat jiwa keingintahuannya pun meninggi."Ada kecelakaan di depan..." teriak salah satu orang yang ada di dalam restoran, kompak berlari, bersamaan dengan pengunjung yang lainnya, berhambur keluar ingin melihat kejadian.Tak terkecuali Inez, sudah mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari keluar dari dalam restoran.Sementara itu di luar restoran, Agam terlihat berdiri, tepat di halaman restoran yang ada di nol jalan.Dengan tubuhnya yang bergetar hebat tak mampu mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang ada di depannya.Membuat matanya memerah, dengan linangan air mata yang hampir menitik, seolah terpaku di tempatnya.
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda