Langit hampir menggelap, Adzan maghrib pun telah lama terdengar.
Terlihat mobil Agam yang di kendarai Inez melesat dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.
Menuju rumah Agam, karena undangan makan malam dari Mama Ratih yang memaksanya untuk datang.
Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang berdering di dalam tas punggungnya yang bertengger tenang di kursi penumpang di sebelahnya.
Berusaha membuka resleting tasnya, sesaat setelah meraih tas punggung hitamnya, masih dengan pandangannya yang lurus kedepan, terlihat kerepotan.
"Kalau nyetir itu fokus!" ucap Agam, mengalihkan pandangan Inez ke arah spion yang ada di depannya.
"Kamu nggak dengar ponselku berbunyi?" jawab Inez, sebelum tersentak dengan gerakan tangan Agam yang meraih tas punggungnya kasar, hendak membantunya membuka resleting tas untuk mengambil ponsel di dalamnya.
"Tolong sekalian headseatnya ya?" tambah Inez, membuat Agam berdecak menatapnya dalam.
"Siapa?" tanya Inez.
"Mama," jawab Agam setelah membaca layar ponsel Inez yang menyala.
"Mama kamu?"
"Apa kamu b*doh?" umpat Agam yang di sambut dengan kekehan Inez.
Segera mengambil alih headset bluetooth yang di berikan Agam sebelum memasangkannya di telinga kirinya.
"Iya Ma?" jawab Inez sesaat setelah menekan tombol headet yang dipakainya.
"Kamu dimana Nez? kok belum pulang?" tanya Mama Desi yang terdengar jelas dari dalam headseatnya.
"Aku ada undangan makan malam di rumah teman Ma, maaf ya aku lupa nggak izin Mama," jawab Inez, masih dengan stir yang di kendalikannya, mengacuhkan Agam yang tengah bersandar menutup mata di belakangnya.
"Papa nyariin ya?" lanjut Inez.
"Papa belum pulang, mungkin sekalian makan malam di luar sama calon mertua kamu," jawab Mama Desi yang di sambut dengan helaan nafas kasar anak gadisnya.
"Baik-baik sama Andre Nez, dia calon suami kamu," pesan Mama Desi yang tak pernah disukai Inez.
"Ayolah Ma..., bujukin Papa untuk batalin semuanya ya?"
"Mama nggak bisa Nez...,lagian tanggal pertunangan kamu mungkin sudah di tentukan,"
"Ha? kapan?" tanya Inez cepat, dengan gerak kakinya yang spontan karena dirinya yang tersentak.
Menekan keras rem mobil yang di kendarainya, sebelum terdengar....
"Ahhhhh...," rintih Agam, menyentuh dahinya yang terjedot sandaran mobil yang ada di depannya.
Karena tubuhnya y terpental, sedikit keras efek dari rem dadakan Inez.
"Apa kamu gila?!!!" sentak Agam, menahan rasa sakit di dahinya.
Semakin mengejutkan Inez, segera menolehkan kepalanya menatap Agam.
"Ssst" lirih Inez, meletakkan jari telunjuknya di atas bibir, sebagai kode untuk Agam agar diam tak bersuara.
"Siapa itu Nez? kamu sama siapa?" tanya Mama Desi.
"Ahh...Anu Ma...itu...," jawab Inez bingung, beradu tatap dengan Agam yang terdiam menatapnya tajam.
"Anu itu anu itu! anu apa?" selidik Mama Desi yang tak sabar dengan jawaban putri bungsunya.
"Kamu sama siapa sekarang?" selidik Mama Desi semakin tak sabar.
"Sama pacar..., Iya Ma, aku lagi sama pacar," jawab Inez akhirnya,sudah mengalihkan pandangannya lurus ke depan.
Karena dirinya yang tak ingin bertunangan dengan Andre, memaksanya untuk berbohong kepada Mamanya sendiri.
Mengejutkan hati Agam yang duduk di belakangnya, dengan matanya yang membulat mendorong kepala Inez pelan.
"Ahh...," Dengus Inez, menyentuh kepalanya, di ikuti dengan gerakan kepalanya yang kembali menoleh menatap Agam.
"Ngapain kamu Nez? kenapa kamu ah ah begitu? dan pacar... sejak kapan kamu punya pacar?" tanya Mama Desi runtut salah paham.
"Nggak ngapa-ngapain Ma..., hanya bermain sedikit," jawab Inez, semakin memancing salah paham di diri mamanya.
"Sebentar ya Ma..., ini pacarku lagi ngajak main," lanjut Inez, sebelum memutus panggilan teleponnya, berbarengan dengan matanya yang menutup karena teriakan Agam tepat di dekat telinganya.
"Apa kamu gila? berani sekali kamu menganggapku pacar?!!" teriak Agam, dengan perasaan kesalnya mengalihkan pandangan Inez menatapnya.
"Bisa nggak ngomongnya biasa aja? nggak usah berteriak begitu? sakit tahu telingaku!" protes Inez, menekan telinganya pelan menatap Agam.
"Telepon Mama kamu sekarang! klarifikasi semuanya!" ucap Agam, dengan sorot mata mengintimidasinya, berusaha menahan emosi yang kembali menguasainya.
"Ya nggak mungkin lah..., lagian Mama juga nggak tahu wajah kamu kan? jadi tenang aja...jangan marah-marah seperti itu!" jawab Inez, segera mengalihkan pandangannya ke depan, kembali melajukan mobil Agam dengan pelan.
Sebelum menambah kecepatan laju mobil yang dikendalikannya, mengacuhkan rasa kesal di diri Agam yang mengepalkan tangan menatapnya tajam.
"Astaga...benar-benar gadis gila! br*ngsek!" umpat Agam dalam hati, membentur-benturkan pelan kepalanya di sandaran kursi.
Dengan perasaannya yang sangat kesal ingin sekali mencincang gadis yang ada di depannya ini.
Gadis bau kencur yang selalu saja berhasil membuatnya frustasi dengan emosinya yang terus meninggi.
"Jangan begitu..., nanti otaknya geser lo...," goda Inez.
"Diam!!" jawab Agam, masih menutup matanya dalam, tak ingin mendengar suara Inez.
Sementara itu di kediaman Atmaja, Terlihat Mama Desi yang berteriak, setengah berlari menuju kamar anak sulungnya Abian.
Mengetuk pintu kamar Abian dengan cepat, karena kalimat Inez yang membuatnya kelabakan.
Bagaimana bisa? di saat suaminya sedang keluar untuk membicarakan perihal pertunangan putrinya, putri satu-satunya itu malah asik bermain Ah ah an dengan laki-laki yang di sebut pacar.
Pacar yang nggak pernah di ketahuinya, pacar yang baru saja di dengarnya namun sudah sangat berani bermain ah ah an dengan putri yang di sayanginya.
"Abian...," teriak Mama Desi semakin tak sabar.
Mengetuk keras pintu kamar anak sulungnya, sebelum beradu pandang dengan Abian yang membuka pintu kamar menatapnya.
"Ada apa sih Ma? kok panik begini?" tanya Abian, dengan perasaan bingungnya menatap mamanya.
"Apa kamu tahu pacarnya Inez Bi? kasih tahu Mama siapa pacarnya Inez!" ucap Mama Desi cepat, ingin segera mendengar jawaban dari Abian.
"Ha?"
"Jangan Ha! ha! kamu Bi! jawab pertanyaan Mama sekarang Bi, apa kamu tahu pacarnya Inez?" tanya Mama Desi lagi semakin tak sabar.
"Duduk dulu Ma, jangan panik begini," ucap Abian, merangkul pundak Mamanya ingin mengarahkan mamanya masuk ke dalam kamarnya.
"Mama nggak mau duduk Bi...," jawab Mama Desi, menepis tangan Abian beradu pandang.
"Bagaimana bisa Mama duduk dan tenang di saat Anak Mama main ah ah an diluar sana sama pacar yang nggak Mama kenal Bi?" lanjut Mama Desi, dengan matanya yang berkaca-kaca tak mengalihkan pandangannya.
"Main ah ah an gimana sih Ma? Mama tenang dulu..., oke? bicara pelan-pelan biar aku ngerti Ma," ucap Abian dengan intonasi lembutnya ingin menenangkan mamanya.
"Adik kamu Bi! Inez! dia bermain ah ah an sama pacarnya! tadi Mama dengar sendiri suara Inez, ahh...seperti itu Bi!" jawab Mama Desi, menirukan dengusan Inez.
Memancing tawa Abian yang tertahan, masih dengan pandangannya menatap Mamanya.
"Inez nggak punya pacar Ma,"
"Ya Allah Bi..., Mama dengar sendiri Bi! Inez sendiri yang bilang kalau dia lagi sama pacarnya, lagi main ah ah...!" ucap Mama Desi mengulangi, dengan air matanya yang mengalir menatap anaknya dalam.
"Aku telepon Inez sekarang ya? Mama tenang oke? jangan nangis," ucap Abian, menyeka pelan air mata di pipi Mamanya.
"Aku ambil ponsel dulu di kamar, lebih baik Mama Masuk dulu, tenangin hati Mama," lanjut Abian, dengan suaranya yang sangat lembut kembali merangkul pundak Mamanya.
Mengayunkan langkahnya bersama masuk ke dalam kamar, sebelum mengarahkan Mama Desi untuk duduk di atas sofa yang ada di dalam kamarnya.
"Tunggu sebentar Ma," lanjut Abian, mengayunkan kembali langkahnya mendekati nakas, untuk mengambil ponselnya beserta segelas air untuk mamanya.
"Minum dulu Ma, aku telepon Inez dulu ya?" ucap Abian, memberikan segelas air yang baru di ambilnya kepada Mama Desi, sebelum menggeser layar ponselnya untuk menghubungi adik satu-satunya.
Sementara itu di rumah Agam, Inez telah memarkirkan mobil Agam dengan baik, segera turun dari mobil yang di kendarainya.
Sebelum mengulaskan senyum di bibirnya, beradu pandang dengan Andien yang mengayunkan langkahnya dari dalam rumah mendekatinya.
"Ayo masuk Nez," ucap Andien, merangkul pundak temannya, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang terlihat kesal masuk ke dalam rumah melewatinya.
"Kenapa dia?" tanya Andien mengedikkan dagunya ke arah kakaknya, yang di sambut dengan mengediknya kedua bahu Inez menatapnya.
"Sebentar ya? ponselku bunyi," ucap Inez, segera merogoh tas punggungnya, untuk mengambil ponselnya yang tersimpan di dalamnya.
"Kakakku Ndien, tunggu ya?" ucap Inez yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Andien.
Segera melepaskan rangkulan tangannya berdiri tegak di depan Inez.
"Aku tunggu," ucap Andien.
"Halo Kak?" jawab Inez, setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon dari Kakaknya.
"Dimana kamu Nez?" tanya Abian.
"Dirumah teman Kak, tadi aku sudah bilang sama Mama, aku ada undangan makan malam,"
"Teman apa pacar?"
"Ha?" tanya Inez melupakan kebohongannya.
"Mama bilang kamu sedang bermain ah ah an sama pacar kamu! pacar yang mana? kenapa kakak nggak pernah tahu?" selidik Abian, dengan intonasi tegasnya.
Memejamkan mata Inez kembali mengingat kebohongannya.
"A...i...iya... Kak..., itu tadi, sekarang sudah di rumah Andien, ada undangan makan malam dari Mamanya Andien," jawab Inez, sebelum menarik ponsel dari telinganya.
Karena Abian yang tiba-tiba saja memutus panggilan teleponnya.
"Kenapa Nez? tanya Andien.
"Sebentar Ndien, Kakakku video call," jawab Inez, segera menggeser layar ponselnya kembali menerima panggilan video dari kakaknya.
"Tuh kan Kak, aku ada di rumah Andien," ucap Inez yang mengerti maksud dari kakaknya, mengarahkan kamera ponselnya ke arah Andien yang berdiri di sampingnya.
"Say hai ke kakakku Ndien," sindir Inez, yang di ikuti dengan senyum tipis Andien yang menganggukkan kepala ramah kepada Abian.
"Ini Inez lagi sama temannya Ma," ucap Abian, mengarahkan kamera ponselnya kepada Mamanya.
"Selamat malam Tante," sapa Andien.
"Selamat Malam," jawab Mama Desi dengan hatinya yang merasa lega.
"Mana pacar kamu?" tanya Mama Desi, menyentakkan hati Andien menatap Inez.
"Sudah pulang Ma,"
"Main ah ah itu main apa kamu sama pacar kamu?" selidik Mama Desi semakin membulatkan mata Andien menatap Inez.
"Aku hanya bercanda Ma...," jawab Inez.
"Lain kali jaga bercandaan kamu Nez! jangan buat Mama nangis lagi seperti ini!" ucap Abian.
"Iya Kak, aku minta maaf ya Ma...," sesal Inez.
"Dan untuk masalah pacar kamu, kita bicarakan di rumah, Kakak tunggu penjelasan kamu!" lanjut Abian yang di sambut dengan kebisuan Inez.
Karena dirinya yang tak tahu harus menjelaskan seperti apa tentang kebohongan yang di buatnya.
Karena rasa terkejutnya, merasa tak suka dengan rencana Papanya yang telah merencanakan acara pertunangannya, dengan seorang Andre yang tak pernah sukainya.
Laki-laki yang terus saja bilang cinta kepadanya namun terus saja di hindarinya, karena bukan Andre yang di sedang di cari hatinya.
Bukan Andre laki-laki idaman yang di harapkannya.
"Kamu punya pacar Nez?" selidik Andien, setelah Abian memutus panggilan video di ponsel Inez.
Menyentakkan hati Inez, segera menggelengkan kepalanya spontan menatap Andien.
Bersambung.
"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan."Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya."Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan."Nanti Tante nunggu Agam,""Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih."Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan."Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sam
"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya."Buka mulut kamu! jawab pertanyaan Papa!" lanjut Papa Raimon dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi putri bungsunya."Aku nggak mau bertunangan dengan Andre Pa," jawab Inez akhirnya.Menciptakan senyum getir di bibir Papa Raimon membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa? karena kamu nggak mencintainya?" tanya Papa Raimon dengan detak jantungnya yang berpacu sangat cepat kembali mengalihkan pandangannya menatap
Waktu telah beranjak siang, di saat jam tangan yang di kenakan Inez telah menunjuk ke pukul sembilan lebih lima belas menit.Terlihat Inez, baru turun dari motor sport hitamnya, sudah memarkirkan motornya dengan baik segera mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari masuk ke dalam loby Dirgantara property.Ingin memulai tugas sementaranya sebagai Sekretaris Agam, laki-laki dingin yang emosional.Hanya untuk memanfaatkan otak pemilik perusahaan property itu sebagai bala bantuan skripsi yang harus di kerjakannya.Masih setengah berlari, dengan pandangannya lurus ke depan menuju pintu lift yang di peruntukkan untuk semua pegawai.Dengan sikapnya yang terlihat tak sabar, menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu lift yang masih menutup tak kunjung terbuka."Besok datang jam delapan! jangan sampai telat!" Kalimat Agam yang terngiang di kepalany
Satu jam sudah waktu yang Inez habiskan, hanya duduk diam di atas sofa tanpa melakukan apa-apa di ruangan Agam.Menunggu bos sementaranya yang masih tidur, tampak tenang dengan wajah yang tak lagi pucat."Sampai kapan dia akan tidur?" gumam Inez, menghela nafasnya panjang menatap Agam.Sebelum mengerutkan keningnya, karena tidur Agam yang tak nyenyak, menggerakkan kepalanya cepat ke kanan dan ke kiri terlihat tertekan."Jangan Cin! jangan kesana! jangan pergi Cintia! jangan pergi..!" gumam Agam, masih memejamkan matanya, menggerakkan kepalanya cepat.Karena mimpi buruknya, sebuah kilas balik mengenai kisah cintanya yang terpisah, akibat kecelakaan maut yang merenggut wanita nya di depan matanya sendiri.Menciptakan banyaknya peluh yang keluar, membasahi dahinya, masih dengan gerakan kepalanya terlihat semakin tertekan."Pak... Pak Agam!" panggil Inez, sesa
"Nez?" panggil Andre, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.Berusaha bersikap tenang, Inez hanya mengulaskan senyum tipisnya segera menenggak air yang ada di dekatnya.Kembali beradu pandang dengan Andre, calon suami pilihan orang tuanya, masih berdiri di dekatnya, menatapnya penuh tanya."Ada apa?" tanya Inez, dengan wajah tak berdosanya beradu pandang."Ngapain kamu disini?" tanya Andre, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Agam."Dia siapa?" lanjut Andre, melirik Agam yang terdiam, tak mengerti dengan suasana yang ada di depannya."Siapapun dia nggak ada hubungannya sama kamu," jawab Inez, menyakiti hati Andre yang tersenyum getir menatapnya cemburu."Aku ingin bicara sama kamu! kamu harus menjelaskan semuanya Nez!" ucap Andre, mencoba untuk bersabar, dengan tatapan tajamnya, merasa tak suka dengan kebersamaan Inez bersama dengan lelaki lain yang t
BRAKKKKKKSuara dentuman keras, beberapa menit setelah kepergian Agam, mengejutkan Inez yang sedang makan.Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, akibat rasa kagetnya yang terlalu tinggi, membuat jiwa keingintahuannya pun meninggi."Ada kecelakaan di depan..." teriak salah satu orang yang ada di dalam restoran, kompak berlari, bersamaan dengan pengunjung yang lainnya, berhambur keluar ingin melihat kejadian.Tak terkecuali Inez, sudah mengayunkan langkahnya cepat, setengah berlari keluar dari dalam restoran.Sementara itu di luar restoran, Agam terlihat berdiri, tepat di halaman restoran yang ada di nol jalan.Dengan tubuhnya yang bergetar hebat tak mampu mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang ada di depannya.Membuat matanya memerah, dengan linangan air mata yang hampir menitik, seolah terpaku di tempatnya.
Jalanan kota yang terlihat lenggang, dengan sinar mentari yang masih terang di siang hari.Inez, sudah duduk bersebelahan dengan Agam di kursi belakang mobil yang di kendarai supir pribadi Bos sementaranya.Hanya duduk bersandar dengan bahunya yang mulai terasa pegal, karena kepala Agam, yang tertidur bersandar di bahunya.Sementara itu di tempat lainnya, terlihat Andre, mengendarai mobil sport merahnya dengan kecepatan tinggi.Menembus jalanan kota yang terlihat sepi, sebelum membelokkan mobilnya memasuki sebuah gerbang gedung perusahan tempatnya bekerja.Sebagai wakil direktur di perusahaan Papanya sendiri, Sukmajaya Group.Dengan hatinya yang teramat kesal, berusaha keras untuk menaha
Waktu belum terlalu sore, tepat di saat jam dinding di setiap ruangan yang ada di gedung Dirgantara property sudah menunjuk ke angka tiga.Terlihat Agam, mengayunkan langkah keluar dari ruang meeting bersama dengan Inez di belakangnya.Baru menyelesaikan meeting bersama dengan para manager di setiap departement yang di bawahinya."Siapkan bahan skripsi kamu, aku bantu kamu sekarang," ucap Agam, masih mengayunkan langkah membulatkan mata Inez.Menciptakan binar bahagia di wajahnya, bagaikan mendapat angin segar yang menerpa wajah cantiknya, segera melangkahkan kakinya cepat untuk berjalan sejajar dengan bos sementaranya."Serius?" tanya Inez, dengan senyum semringah yang tersungging di bibirnya, masih mengayunkan langkah mencoba untu
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda